Selasa, 29 Desember 2015

MEMPERSAKSIKAN KRISTUS, SANG TERANG DUNIA


Namanya John Beeden, lima puluh tiga tahun. Ia seorang pria berkebangsaan Inggris yang tinggal di Kanada. Namanya menjadi buah bibir di seantero jagad khususnya Autralia. Ia sukses mengarungi Samudera Pasifik seorang diri. Mungkin sudah ada yang lebih dahulu melakukannya. Namun, yang membuat orang berdecak kagum adalah bahwa ia melakukannya seorang diri bukan dengan kapal modern yang bermesin andal dan alat navigasi canggih, melainkan dengan sebuah perahu dayung. Petualangan menantang maut itu ia mulai dari San Fransisco, Amerika Serikat, pada Juni yang lalu dan berakhir di pantai Cairns, timur laut Australia. Jaraknya 6.100 mil laut atau 11.297 km. Jarak panjang dan membahayakan itu ia tempuh selama 209 hari, itu berarti dua pertiga tahun ia habiskan berada di laut lepas seorang diri. Awalnya, Beeden merencanakan menempuhnya dalam waktu 140-180 hari, setengah tahun saja. Namun, cuaca buruk dan badai menghambat target waktu yang ditetapkan.


Mengarungi samudera raya dengan waktu panjang bukanlah pengalaman pertama Beeden, tiga tahun sebelumnya, ia mengarungi Samudera Altantik sejauh 2.600 mil laut atau 4.815 kilometer selama 53 hari. Artinya jika digabungkan, Beeden berhasil mengelilingi dunia seorang diri hanya dengan perahu dayungnya.  Ketika ia turun dari perahu dan disambut isterinya, ia mengatakan kepada para wartawan dan orang-orang yang menyambutnya di pantai Cairns, “Saya merasakan sensasi luar biasa dengan menjadi orang pertama yang mampu mencapai prestasi ini.” Perjalanan mengarungi dua samudera itu tentun beresiko tinggi. Beeden mengaku mengalami saat-saat ketika perjalanan itu nyaris merenggut nyawanya. “Terus terang, saya tidak menyangka bahwa perjalanannya bakal sesulit itu. Namun, saya merasa harus terus mendorong kemampuan saya sampai pada batasnya,” kata Beeden.


Banyak orang mengandaikan hidup ini adalah sebuah perjalanan mengarungi samudera raya. Simbol gereja kita, GKI : ada perahu, ombak dan lambang Alpha-Omega. Itu menandakan bahwa gereja pun ibarat sebuah perahu yang mengarungi samudera raya dan di situlah Sang Alpha-Omega selalu hadir. Ibarat sebuah perjalanan – seperti Beeden merancangkan sebuah perjalanan – tentu kita punya rencana mau ke mana, dengan menggunakan apa, dan target apa yang hendak dicapai. Pasti semua menghendaki perjalanan yang aman dan nyaman serta berhasil sampai tujuan dengan hasil yang berkelimpahan.

Ibarat sebuah etape, penghujung tahun adalah saatnya kita berhenti di sebuah pelabuhan. Bukan untuk berhura-hura. Namun, saat inilah momentum yang tepat untuk kita mengevaluasi kembali perjalanan hidup kita. Ibarat Beeden mencapai pantai Cairns, ia menyadari bahwa rencana dan targetnya tidak selalu pas dengan harapan semula. Ia tiba di pelabuhan itu terlambat dua bulan. Dua bulan bukan waktu yang singkat. Bisa jadi harapan yang kita canangkan semua, entah itu bisnis, studi, karier, dan sebagainya meleset. Beeden mengatakan badai dan cuaca buruk itulah yang telah menghambat perjalanannya. Tidak mustahil juga dalam perjalanan kehidupan kita, Tuhan mengizinkan ada badai; sakit-penyakit, ditinggalkan orang yang kita kasihi, bisnis menjadi terpuruk, hubungan keluarga retak, dan masih banyak lagi badai-badai itu. Namun, apakah itu membuat kita kehilangan arah dan pengharapan? Perjalanan itu akan menguji, apakah kita merupakan orang-orang yang tangguh – seperti Beeden yang mengerahkan seluruh daya dan kemampuannya – atau kita orang-orang cengeng yang mudah menyerah dan menyalahkan Tuhan, menyalahkan keadaan dan menyalahkan orang lain?

Walaupun terlambat, namun Beeden dapat merayakan perjalanan petualangannya itu. Walaupun banyak hambatan, melewati lembah air mata dan kesulitan, mestinya ketika kita sampai pada penghujung tahun ini kita juga dapat merayakan kehidupan ini dengan sukacita. Toh akhirnya Tuhan mengizinkan juga kita ada di penghujung tahun ini.

Dengan keberanian, pengetahuan tentang kelautan, kemampuan fisik dan tekad yang kuat, akhirnya dunia mengakui dan menghormati John Beeden sebagai penakluk samudera raya. Beeden mempersaksikan dirinya kepada dunia tentang jati diri dan kemampuannya. Sebagai anak-anak Tuhan, apa yang dapat kita persaksikan kepada dunia ini setelah setahun kita mengarungi samudera kehidupan?

Sebagai anak-anak Tuhan, arah tujuan hidup kita mestinya sudah jelas, yakni mempersaksikan Kristus sebagai terang dunia. Baru beberapa hari ini kita merayakan Natal. Tema Natal kita adalah tentang kepedulian Allah terhadap manusia yang tertindas oleh kuasa dosa. Jika Allah begitu peduli sehingga Ia sendiri memberikan Anak-Nya yang Tunggal agar dunia, di dalamnya termasuk Anda dan saya, diselamatkan maka selayaknyalah kita meneruskan berita itu, meneruskan terang kebenaran ini bagi orang lain. Dengan kata lain tidak menahan atau menghalanginya hanya untuk diri sendiri.

Sang Terang dunia itu telah hadir. Pernyataan diri Yesus sebagai terang sudah dimulai dari prolog Injil Yohanes. Dalam Yohanes 1:4 dinyatakan bahwa Yesus telah menjadi terang, Ia adalah kekuatan yang membebaskan dunia dari kungkungan kegelapan yang menguasainya. Terang itu menjadi terang hidup oleh karena menyelamatkan manusia dari kegelapan. Yesuslah terang dunia yang membawa keselamatan itu. Setiap orang yang berjalan di dalam Dia, tidak akan berjalan di dalam kegelapan. Dalam Yohanes pasal 8 Yesus kembali berbicara tentang jati diri-Nya. Yesus mengatakan, “Akulah terang dunia”. Ia tidak mengatakan, “Aku adalah terang dunia.” Kata “AKu” memperoleh tekanan yang kuat dalam kalimat “Akulah terang dunia.” Artinya kalimat itu mau menyatakan bahwa Terang dunia yang sejati adalah Yesus sendiri. “Aku” dalam kalimat itu tidak lagi menjadi subyek, tetapi predikat. Oleh karena itu, yang dibutuhkan bukanlah pertama-tama menganalisis tentang apakah arti terang itu. Yang dibutuhkan adalah mengerti bahwa terang yang dibutuhkan oleh dunia dan dengannya dunia diselamatkan, keluar dari kegelapan dan kematian adalah Yesus sendiri. Orang yang mengikuti-Nya mustahil akan berjalan dalam kegelapan.

Bayangkan kalau Beeden tidak punya kompas dan tidak dapat membacanya, mustahil ia akan sampai di pelabuhan. Kompas adalah penunjuk arah yang jelas dan terang itu sudah datang. Dialah Yesus yang memandu bahkan Dia sendiri nahkodanya. Jika kita mengikuti-Nya mustahil tersesat atau kehilangan arah. Terang itu sudah datang! Apakah kita, sementara sedang mengarungi samudera kehidupan ini, sama seperti orang-orang Farisi yang terus disibukan dengan perdebatan tentang kesahihan Sang Terang itu ataukah justeru yang lebih bijak dan masuk akal adalah mengikuti Sang Terang itu?

Teman seperjalanan dalam kehidupan kita banyak. Tidak terhitung jumlahnya. Bisa jadi mereka tidak tahu arah hidupnya mau ke mana. Di sinilah peran kita sebagai “anak-anak terang” yakni meneruskan pancaran terang itu agar orang lain juga dapat merasakannya. Memancarkan terang tentu bukan dengan membawa lilin ke mana-mana tetapi dengan melakukan kehendak, ajaran dan teladan-Nya. Hidup yang mempunyai integritas moral yang tinggi dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi pelbagai kesulitan. Sebaliknya, sebaliknya, menutup Terang itu dengan menjadi batu sandungan bagi orang lain. Terang itu sering tertutup atau ditutup justeru oleh orang-orang yang mengaku mengenal Sang Terang. Mereka menutup dengan kata-kata munafik, sapaan basa-basi, dan hati yang tegar melihat penderitaan sesama yang kesemuanya itu cerminan dari sikap egois.

Selamat mengakhiri satu tahun lagi perjalanan kita. Tuhan memberkati!

Sabtu, 26 Desember 2015

MAKIN DIKASIHI OLEH ALLAH DAN MANUSIA

“Makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” Saya kira kita semua setuju bahwa kalimat tema ini menjadi idaman orang tua terhadap anaknya. Bahkan kita sendiri. Namun, kenyataannya tidak mudah. Ada orang yang begitu popular di dunia hiburan atau tokoh public, ia banyak penggemarnya dan ke mana pun ia pergi menjadi pusat perhatian dan disanjung orang banyak. Namun belum tentu ia mengerjakan apa yang baik menurut kehendak Tuhan. Sebaliknya, ada orang yang begitu saleh, taat melakukan apa yang Tuhan kehendaki, punya integritas moral yang tinggi. Alih-alih orang menyukainya, ia dibenci dan dimusuhi. Maka kalua ada manusia yang dikasihi Allah dan sesamanya adalah manusia ideal.

Dalam catatan Alkitab ada dua orang manusia yang dikasihi Allah dan dicintai manusia. Setidaknya pada masa awal kemunculan atau pertumbuhannya. Kedua orang itu adalah Samuel dan Yesus. Mengenai Samuel, Alkitab mengatakan, “Tetapi Samuel yang muda itu, semakin besar dan semakin disukai, baik di hadapan TUHAN maupun di hadapan manusia.” (1 Samuel 2:26). Samuel merupakan anak nazar dari Hana dengan suaminya Elkana. Hana semula disebut mandul. Ia berdoa dan menangis agar TUHAN membuka rahimnya, kemudian ia bernazar bahwa jika ia dikaruniai seorang anak, maka anaknya itu akan diserahkan kepada TUHAN. Nazar itu dipenuhi dan Samuel diserahkan kepada TUHAN dalam bimbingan imam Eli di Bait Suci. Jadi sejak kecil Samuel tinggal di Bait Allah.

Mengenai Yesus, Alkitab mencatat, “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” (Lukas 2:52). Kalimat pernyataan ini merupakan akhir dari sebuah drama di seputar Bait Allah. Tidak seperti Samuel yang memang sengaja diserahkan oleh orang tuanya untuk tinggal di Bait Allah, Yesus pada peristiwa itu mungkin saja baru dibawa oleh Yusuf dan Maria ke Bait Allah.

Drama itu terjadi di sekitar perayaan Paskah. Menurut ketentuan agama Yahudi, setiap laki-laki dewasa yang tinggal sekitar 15 km dari Yerusalem harus datang ke Yerusalem tiga kali dalam setahun untuk ikut serta dalam tiga perayaan besar (Keluaran 23:14-17; Ulangan 16:16). Untuk orang-orang yang tinggalnya jauh dari Yerusalem, seperti Yusuf dan Maria (Nazaret – Yerusalem + 170 km) biasanya hanya pergi sekali setahun, yakni pada perayaan Paskah. Hari Raya itu diperingati untuk mengingat peristiwa keluaranya bangsa Israel dari Mesir.

Dalam tradisi agama Yahudi, anak-anak usia 12 tahun sudah dipandang akil baliq, dewasa pada usia itulah mereka disebut “anak Taurat”. Sebutan itu mengharuskan mereka untuk memelihara segala ketentuan dan syareat-yareat agama. Proses pendidikan sebelum menginjak usia 13 tahun tentu tidak mudah. Anak-anak diajar, dilatih, dan didik mulai dengan contoh-contoh kebiasaan yang rinagan dan mudah. Namun, setelah menginjak usia 12-13 tahun mereka akan menerima pelajaran=pelajaran yang berat. Itulah sebabnya mengapa pada usia 12 tahun Yesus diajak oleh orang tua-Nya untuk datang dan merayakan Paskah di Yerusalem.

Perjalanan dari Galilea ke Yerusalem biasanya dilakukan melalui daerah seberang Sungai Yordan dan lamanya 4-5 hari. Walau perjalanan itu berat, namun rombongan itu merupakan semacam arak-arakan yang gembira disertai nyanyian-nyanyian (terekam dalam Mazmur 84, 120-134). Dalam perjalanan panjang itu tentu mereka merencanakan beberapa tempat persinggahan atau menginap.

Drama itu terjadi pada saat perjalanan pulang. Yesus tidak ada bersama mereka! Tentu, walaupun tradisi Yahudi menganggap usia 12 tahun adalah usia akil baliq, tetap saja Yesus masih dipandang kanak-kanak. Mereka panic. Bisa saja Yusuf dan Maria bertengkar tentang siap yang harus bertanggungjawab menjaga anak mereka! Sangat mungkin juga kerabat-kerabat dalam rombongan orang Nazaret itu mempersalahkan Yusuf dan Maria; mengapa mereka tidak bertanggungjawab menjaga anak mereka sehingga hilang. Kita juga akan bereaksi menyalahkan orang tua kalua ada anak usia 12 tahun hilang di tengah kerumunan keramaian. Sebelum kita menduga dan menyalahkan Yusuf dan Maria, mungkin ada baiknya kita melihat situasi yang terjadi pada saat selesainya perayaan Paskah itu.

Sepertinya bukan karena mereka kurang memerhatikan Yesus, melainkan karena kebiasaan. Biasanya para perempuan akan dipersilahkan jalan pulang lebih dahulu. Mengapa? Karena biasanya mereka berjalan lebih lambat. Lalu berangkatlah Maria bersama rombongan perempuan lebih dulu. Yusuf mengira Yesus yang masih kanak-kanak itu ada bersama rombongan ibu-Nya. Jadi dia tidak mengkuatirkannya. Kaum pria berangkat lebih kemudian, karena mereka lebih cepat berjalan. Maria, mengira bahwa karena Yesus sudah dianggap dewasa menurut tradisi Yahudi, Ia ada bersama dengan bapak-Nya dalam rombongan kaum pria. Kedua rombongan, perempuan dan pria akan bertemu di sebuah rumah penginapan pada waktu malam. Di sinilah baru mereka engeh bahwa Yesus tidak ada baik di rombongan kaum perempuan maupun kaum laki-laki. Bisa dibayangkan mereka panic dan mencari-cari Yesus! Bagaimanapun, mereka adalah orang tua yang bertanggungjawab. Mereka kembali ke Yerusalem.

Setelah tiga hari, barulah mereka menemukan Yesus. Yesus berada dalam salah satu di Bait Allah yang biasa dipakai  para rabi Yahudi dalam memberikan pelajaran kepada murid-murid mereka. Mungkin semacam kelas katekisasi. Di situ Yesus, seperti juga anak-anak yang lain, memberi perhatian serius terhadap pengajaran para rabi. Yesus mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan juga memberi jawab atas pertanyaan-pertanyaan mereka layaknya sebuah kelas pembelajaran. Artinya, Yesus berlaku sebagai pelajar dan bukan sebagai pengajar; tingkah-lakukannya adalah sebagaimana yang diharapkan oleh para rabi dari seorang murid yang baik dan rajin (tafsir B.J. Boland). Metode pembelajaran ini lazim terjadi di kalangan umat Yahudi. Namun, di sini Yesus mampu memerlihatkan bahwa diri-Nya melebihi kemampuan murid-murid yang lain. Yesus dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang begitu baik dan memberi jawab dengan bijak sana sehingga memesona banyak orang (Lukas 2:47)

Yusuf dan Maria tercengan, girang dan juga agak marah, ini tercermin dari teguran Maria, “Mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” (ayat 49). Bagaimana tanggapan Yesus? “Kamu mencari Aku? Mengapa? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada dalam rumah Bapa-Ku?” Bayangkan Anda berada pada posisi Yusuf dan Maria. Di sini kita mendapat kesan bahwa jawaban Yesus itu tidak sopan. Mengapa anak yang tidak sopan ini kemudian ditegaskan bahwa Ia semakin dikasih Allah dan Manusia?

Pada saat itu Yesus telah menemukan keunikan hubungan-Nya dengan Allah. Ia belum mengetahui hal itu ketika ia masih bayi dan terbaring dalam palungan. Dengan bertambahnya usia, kesadaran Yesus pun bertambah pula. Dan kemudian pada Paskah yang pertama bagi-Nya ini, dengan tiba-tiba Ia sadar bahwa ada hubungan istimewa yang unik antara diri-Nya dengan Sang Bapa. Kesadaran ini tidak lantas kemudian menjadikan-Nya besar kepada dan kemudian memandang rendah orang tua-Nya. Setelah penjelasan-Nya yang singkat yang merupakan penegasan hubungan-Nya dengan Sang Bapa. Ia kembali pulang bersama ibu dan bapaknya ke Nazaret. Ia masih harus terus tinggal dan belajar dari Yusuf dan Maria hingga genap waktunya untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah. Yesus adalah manusia sejati dari Allah yang tidak menganggap rendah ikatan-ikatan duniawi, seperti kekeluargaan. Justeru karena Ia dari Allah maka Ia dapat melakukan kewajiban-kewajiban manusiawi dengan kesetiaan yang luar biasa.

Belajar dari Yesus, untuk kita dapat dikasihi Allah dan Manusia adalah bahwa dengan semakin meningkatnya usia fisik kita maka harus juga semakin meningkat perkembangan nalar, logika, moral dan spiritual. Ada orang yang terus bertumbuh fisiknya. Namun, mental spiritualnya tidak pernah tumbuh. Tetap kekanak-kanakan dan egosi sampai tua. Ketika pertumbuhan holistic ini terjadi, maka tidak akan membuat menjadi sombong atau arogan. Melainkan seperti ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Hanya dengan jalan seperti inilah kita akan dapat menjadi manusia yang dikasihi Allah dan disayang sesama manusia.