Namanya John Beeden, lima puluh tiga tahun. Ia seorang pria berkebangsaan Inggris yang tinggal
di Kanada. Namanya menjadi buah bibir di seantero jagad khususnya Autralia. Ia
sukses mengarungi Samudera Pasifik seorang diri. Mungkin sudah ada yang lebih
dahulu melakukannya. Namun, yang membuat orang berdecak kagum adalah bahwa ia
melakukannya seorang diri bukan
dengan kapal modern yang bermesin andal dan alat navigasi canggih, melainkan dengan sebuah perahu dayung.
Petualangan menantang maut itu ia mulai dari San Fransisco, Amerika Serikat,
pada Juni yang lalu dan berakhir di pantai Cairns, timur laut Australia.
Jaraknya 6.100 mil laut atau 11.297 km. Jarak panjang dan membahayakan itu ia
tempuh selama 209 hari, itu berarti dua pertiga tahun ia habiskan berada di laut lepas seorang diri.
Awalnya, Beeden merencanakan menempuhnya dalam waktu 140-180 hari, setengah
tahun saja. Namun, cuaca buruk dan badai menghambat target waktu yang
ditetapkan.
Mengarungi samudera raya dengan waktu panjang bukanlah pengalaman pertama
Beeden, tiga tahun sebelumnya, ia mengarungi Samudera Altantik sejauh 2.600 mil
laut atau 4.815 kilometer selama 53 hari. Artinya jika digabungkan, Beeden
berhasil mengelilingi dunia seorang diri hanya dengan perahu dayungnya. Ketika ia turun dari perahu dan disambut
isterinya, ia mengatakan kepada para wartawan dan orang-orang yang
menyambutnya di pantai Cairns, “Saya
merasakan sensasi luar biasa dengan menjadi orang pertama yang mampu mencapai
prestasi ini.” Perjalanan mengarungi dua samudera itu tentun beresiko tinggi.
Beeden mengaku mengalami saat-saat ketika perjalanan itu nyaris merenggut
nyawanya. “Terus terang, saya tidak menyangka bahwa perjalanannya bakal sesulit
itu. Namun, saya merasa harus terus mendorong kemampuan saya sampai pada
batasnya,” kata Beeden.
Banyak orang mengandaikan hidup ini adalah sebuah perjalanan mengarungi
samudera raya. Simbol gereja kita, GKI : ada perahu, ombak dan lambang Alpha-Omega. Itu menandakan bahwa gereja pun
ibarat sebuah perahu yang mengarungi samudera raya dan di situlah Sang
Alpha-Omega selalu hadir. Ibarat sebuah perjalanan – seperti Beeden merancangkan
sebuah perjalanan – tentu kita punya rencana mau ke mana, dengan menggunakan
apa, dan target apa yang hendak dicapai. Pasti semua menghendaki
perjalanan yang aman dan nyaman serta berhasil sampai tujuan dengan hasil yang
berkelimpahan.
Ibarat sebuah etape, penghujung tahun adalah saatnya kita berhenti
di sebuah pelabuhan. Bukan untuk
berhura-hura. Namun, saat inilah momentum yang tepat untuk kita mengevaluasi
kembali perjalanan hidup kita. Ibarat Beeden mencapai pantai Cairns, ia menyadari
bahwa rencana dan targetnya tidak selalu pas dengan harapan semula. Ia tiba di
pelabuhan itu terlambat dua bulan. Dua bulan bukan waktu yang singkat. Bisa
jadi harapan yang kita canangkan semua, entah itu bisnis, studi, karier, dan
sebagainya meleset. Beeden mengatakan badai dan cuaca buruk itulah yang telah
menghambat perjalanannya. Tidak mustahil juga dalam perjalanan kehidupan kita,
Tuhan mengizinkan ada badai; sakit-penyakit, ditinggalkan orang yang kita
kasihi, bisnis menjadi terpuruk, hubungan keluarga retak, dan masih banyak lagi
badai-badai itu. Namun, apakah itu membuat kita kehilangan arah dan
pengharapan? Perjalanan itu akan menguji, apakah kita merupakan orang-orang yang tangguh – seperti Beeden yang mengerahkan
seluruh daya dan kemampuannya – atau kita orang-orang cengeng yang mudah menyerah dan menyalahkan Tuhan,
menyalahkan keadaan dan menyalahkan orang lain?
Walaupun terlambat, namun Beeden dapat merayakan perjalanan petualangannya
itu. Walaupun banyak hambatan, melewati lembah air mata dan kesulitan, mestinya
ketika kita sampai pada penghujung tahun ini kita juga dapat merayakan
kehidupan ini dengan sukacita. Toh
akhirnya Tuhan mengizinkan juga kita ada di penghujung tahun ini.
Dengan keberanian, pengetahuan tentang kelautan, kemampuan fisik dan tekad
yang kuat, akhirnya dunia mengakui dan menghormati John Beeden sebagai penakluk
samudera raya. Beeden mempersaksikan dirinya kepada dunia tentang jati diri dan
kemampuannya. Sebagai anak-anak Tuhan, apa yang dapat kita persaksikan kepada
dunia ini setelah setahun kita mengarungi samudera kehidupan?
Sebagai anak-anak Tuhan, arah tujuan hidup kita mestinya sudah jelas, yakni
mempersaksikan Kristus sebagai terang dunia. Baru beberapa hari ini kita
merayakan Natal. Tema Natal kita adalah tentang kepedulian Allah terhadap
manusia yang tertindas oleh kuasa dosa. Jika Allah begitu peduli sehingga Ia
sendiri memberikan Anak-Nya yang Tunggal agar dunia, di dalamnya termasuk Anda
dan saya, diselamatkan maka selayaknyalah kita meneruskan berita itu,
meneruskan terang kebenaran ini bagi orang lain. Dengan kata lain tidak menahan
atau menghalanginya hanya untuk diri sendiri.
Sang Terang dunia itu telah hadir. Pernyataan diri Yesus sebagai terang
sudah dimulai dari prolog Injil Yohanes. Dalam Yohanes 1:4 dinyatakan bahwa
Yesus telah menjadi terang, Ia adalah kekuatan yang membebaskan dunia dari
kungkungan kegelapan yang menguasainya. Terang itu menjadi terang hidup oleh
karena menyelamatkan manusia dari kegelapan. Yesuslah terang dunia yang membawa
keselamatan itu. Setiap orang yang berjalan di dalam Dia, tidak akan berjalan di
dalam kegelapan. Dalam Yohanes pasal 8 Yesus kembali berbicara tentang jati
diri-Nya. Yesus mengatakan, “Akulah
terang dunia”. Ia tidak mengatakan, “Aku
adalah terang dunia.” Kata “AKu” memperoleh tekanan yang kuat dalam kalimat
“Akulah terang dunia.” Artinya
kalimat itu mau menyatakan bahwa Terang dunia yang sejati adalah Yesus sendiri.
“Aku” dalam kalimat itu tidak lagi menjadi subyek, tetapi predikat. Oleh karena
itu, yang dibutuhkan bukanlah pertama-tama menganalisis tentang apakah arti
terang itu. Yang dibutuhkan adalah mengerti bahwa terang yang dibutuhkan oleh
dunia dan dengannya dunia diselamatkan, keluar dari kegelapan dan kematian
adalah Yesus sendiri. Orang yang mengikuti-Nya mustahil akan berjalan dalam
kegelapan.
Bayangkan kalau Beeden tidak punya kompas dan tidak dapat membacanya,
mustahil ia akan sampai di pelabuhan. Kompas adalah penunjuk arah yang jelas
dan terang itu sudah datang. Dialah Yesus yang memandu bahkan Dia sendiri
nahkodanya. Jika kita mengikuti-Nya mustahil tersesat atau kehilangan arah. Terang
itu sudah datang! Apakah kita, sementara sedang mengarungi samudera kehidupan
ini, sama seperti orang-orang Farisi yang terus disibukan dengan perdebatan
tentang kesahihan Sang Terang itu ataukah justeru yang lebih bijak dan masuk
akal adalah mengikuti Sang Terang itu?
Teman seperjalanan dalam kehidupan kita banyak. Tidak terhitung jumlahnya.
Bisa jadi mereka tidak tahu arah hidupnya mau ke mana. Di sinilah peran kita
sebagai “anak-anak terang” yakni meneruskan pancaran terang itu agar orang lain
juga dapat merasakannya. Memancarkan terang tentu bukan dengan membawa
lilin ke mana-mana tetapi dengan
melakukan kehendak, ajaran dan teladan-Nya. Hidup yang mempunyai
integritas moral yang tinggi dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi pelbagai
kesulitan. Sebaliknya, sebaliknya,
menutup Terang itu dengan menjadi batu sandungan bagi orang lain. Terang itu sering tertutup atau ditutup justeru oleh
orang-orang yang mengaku mengenal Sang Terang. Mereka menutup dengan kata-kata
munafik, sapaan basa-basi, dan hati yang tegar melihat penderitaan sesama yang
kesemuanya itu cerminan dari sikap egois.
Selamat mengakhiri satu tahun lagi perjalanan kita. Tuhan memberkati!