Sabtu, 26 Desember 2015

MAKIN DIKASIHI OLEH ALLAH DAN MANUSIA

“Makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” Saya kira kita semua setuju bahwa kalimat tema ini menjadi idaman orang tua terhadap anaknya. Bahkan kita sendiri. Namun, kenyataannya tidak mudah. Ada orang yang begitu popular di dunia hiburan atau tokoh public, ia banyak penggemarnya dan ke mana pun ia pergi menjadi pusat perhatian dan disanjung orang banyak. Namun belum tentu ia mengerjakan apa yang baik menurut kehendak Tuhan. Sebaliknya, ada orang yang begitu saleh, taat melakukan apa yang Tuhan kehendaki, punya integritas moral yang tinggi. Alih-alih orang menyukainya, ia dibenci dan dimusuhi. Maka kalua ada manusia yang dikasihi Allah dan sesamanya adalah manusia ideal.

Dalam catatan Alkitab ada dua orang manusia yang dikasihi Allah dan dicintai manusia. Setidaknya pada masa awal kemunculan atau pertumbuhannya. Kedua orang itu adalah Samuel dan Yesus. Mengenai Samuel, Alkitab mengatakan, “Tetapi Samuel yang muda itu, semakin besar dan semakin disukai, baik di hadapan TUHAN maupun di hadapan manusia.” (1 Samuel 2:26). Samuel merupakan anak nazar dari Hana dengan suaminya Elkana. Hana semula disebut mandul. Ia berdoa dan menangis agar TUHAN membuka rahimnya, kemudian ia bernazar bahwa jika ia dikaruniai seorang anak, maka anaknya itu akan diserahkan kepada TUHAN. Nazar itu dipenuhi dan Samuel diserahkan kepada TUHAN dalam bimbingan imam Eli di Bait Suci. Jadi sejak kecil Samuel tinggal di Bait Allah.

Mengenai Yesus, Alkitab mencatat, “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” (Lukas 2:52). Kalimat pernyataan ini merupakan akhir dari sebuah drama di seputar Bait Allah. Tidak seperti Samuel yang memang sengaja diserahkan oleh orang tuanya untuk tinggal di Bait Allah, Yesus pada peristiwa itu mungkin saja baru dibawa oleh Yusuf dan Maria ke Bait Allah.

Drama itu terjadi di sekitar perayaan Paskah. Menurut ketentuan agama Yahudi, setiap laki-laki dewasa yang tinggal sekitar 15 km dari Yerusalem harus datang ke Yerusalem tiga kali dalam setahun untuk ikut serta dalam tiga perayaan besar (Keluaran 23:14-17; Ulangan 16:16). Untuk orang-orang yang tinggalnya jauh dari Yerusalem, seperti Yusuf dan Maria (Nazaret – Yerusalem + 170 km) biasanya hanya pergi sekali setahun, yakni pada perayaan Paskah. Hari Raya itu diperingati untuk mengingat peristiwa keluaranya bangsa Israel dari Mesir.

Dalam tradisi agama Yahudi, anak-anak usia 12 tahun sudah dipandang akil baliq, dewasa pada usia itulah mereka disebut “anak Taurat”. Sebutan itu mengharuskan mereka untuk memelihara segala ketentuan dan syareat-yareat agama. Proses pendidikan sebelum menginjak usia 13 tahun tentu tidak mudah. Anak-anak diajar, dilatih, dan didik mulai dengan contoh-contoh kebiasaan yang rinagan dan mudah. Namun, setelah menginjak usia 12-13 tahun mereka akan menerima pelajaran=pelajaran yang berat. Itulah sebabnya mengapa pada usia 12 tahun Yesus diajak oleh orang tua-Nya untuk datang dan merayakan Paskah di Yerusalem.

Perjalanan dari Galilea ke Yerusalem biasanya dilakukan melalui daerah seberang Sungai Yordan dan lamanya 4-5 hari. Walau perjalanan itu berat, namun rombongan itu merupakan semacam arak-arakan yang gembira disertai nyanyian-nyanyian (terekam dalam Mazmur 84, 120-134). Dalam perjalanan panjang itu tentu mereka merencanakan beberapa tempat persinggahan atau menginap.

Drama itu terjadi pada saat perjalanan pulang. Yesus tidak ada bersama mereka! Tentu, walaupun tradisi Yahudi menganggap usia 12 tahun adalah usia akil baliq, tetap saja Yesus masih dipandang kanak-kanak. Mereka panic. Bisa saja Yusuf dan Maria bertengkar tentang siap yang harus bertanggungjawab menjaga anak mereka! Sangat mungkin juga kerabat-kerabat dalam rombongan orang Nazaret itu mempersalahkan Yusuf dan Maria; mengapa mereka tidak bertanggungjawab menjaga anak mereka sehingga hilang. Kita juga akan bereaksi menyalahkan orang tua kalua ada anak usia 12 tahun hilang di tengah kerumunan keramaian. Sebelum kita menduga dan menyalahkan Yusuf dan Maria, mungkin ada baiknya kita melihat situasi yang terjadi pada saat selesainya perayaan Paskah itu.

Sepertinya bukan karena mereka kurang memerhatikan Yesus, melainkan karena kebiasaan. Biasanya para perempuan akan dipersilahkan jalan pulang lebih dahulu. Mengapa? Karena biasanya mereka berjalan lebih lambat. Lalu berangkatlah Maria bersama rombongan perempuan lebih dulu. Yusuf mengira Yesus yang masih kanak-kanak itu ada bersama rombongan ibu-Nya. Jadi dia tidak mengkuatirkannya. Kaum pria berangkat lebih kemudian, karena mereka lebih cepat berjalan. Maria, mengira bahwa karena Yesus sudah dianggap dewasa menurut tradisi Yahudi, Ia ada bersama dengan bapak-Nya dalam rombongan kaum pria. Kedua rombongan, perempuan dan pria akan bertemu di sebuah rumah penginapan pada waktu malam. Di sinilah baru mereka engeh bahwa Yesus tidak ada baik di rombongan kaum perempuan maupun kaum laki-laki. Bisa dibayangkan mereka panic dan mencari-cari Yesus! Bagaimanapun, mereka adalah orang tua yang bertanggungjawab. Mereka kembali ke Yerusalem.

Setelah tiga hari, barulah mereka menemukan Yesus. Yesus berada dalam salah satu di Bait Allah yang biasa dipakai  para rabi Yahudi dalam memberikan pelajaran kepada murid-murid mereka. Mungkin semacam kelas katekisasi. Di situ Yesus, seperti juga anak-anak yang lain, memberi perhatian serius terhadap pengajaran para rabi. Yesus mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan juga memberi jawab atas pertanyaan-pertanyaan mereka layaknya sebuah kelas pembelajaran. Artinya, Yesus berlaku sebagai pelajar dan bukan sebagai pengajar; tingkah-lakukannya adalah sebagaimana yang diharapkan oleh para rabi dari seorang murid yang baik dan rajin (tafsir B.J. Boland). Metode pembelajaran ini lazim terjadi di kalangan umat Yahudi. Namun, di sini Yesus mampu memerlihatkan bahwa diri-Nya melebihi kemampuan murid-murid yang lain. Yesus dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang begitu baik dan memberi jawab dengan bijak sana sehingga memesona banyak orang (Lukas 2:47)

Yusuf dan Maria tercengan, girang dan juga agak marah, ini tercermin dari teguran Maria, “Mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” (ayat 49). Bagaimana tanggapan Yesus? “Kamu mencari Aku? Mengapa? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada dalam rumah Bapa-Ku?” Bayangkan Anda berada pada posisi Yusuf dan Maria. Di sini kita mendapat kesan bahwa jawaban Yesus itu tidak sopan. Mengapa anak yang tidak sopan ini kemudian ditegaskan bahwa Ia semakin dikasih Allah dan Manusia?

Pada saat itu Yesus telah menemukan keunikan hubungan-Nya dengan Allah. Ia belum mengetahui hal itu ketika ia masih bayi dan terbaring dalam palungan. Dengan bertambahnya usia, kesadaran Yesus pun bertambah pula. Dan kemudian pada Paskah yang pertama bagi-Nya ini, dengan tiba-tiba Ia sadar bahwa ada hubungan istimewa yang unik antara diri-Nya dengan Sang Bapa. Kesadaran ini tidak lantas kemudian menjadikan-Nya besar kepada dan kemudian memandang rendah orang tua-Nya. Setelah penjelasan-Nya yang singkat yang merupakan penegasan hubungan-Nya dengan Sang Bapa. Ia kembali pulang bersama ibu dan bapaknya ke Nazaret. Ia masih harus terus tinggal dan belajar dari Yusuf dan Maria hingga genap waktunya untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah. Yesus adalah manusia sejati dari Allah yang tidak menganggap rendah ikatan-ikatan duniawi, seperti kekeluargaan. Justeru karena Ia dari Allah maka Ia dapat melakukan kewajiban-kewajiban manusiawi dengan kesetiaan yang luar biasa.

Belajar dari Yesus, untuk kita dapat dikasihi Allah dan Manusia adalah bahwa dengan semakin meningkatnya usia fisik kita maka harus juga semakin meningkat perkembangan nalar, logika, moral dan spiritual. Ada orang yang terus bertumbuh fisiknya. Namun, mental spiritualnya tidak pernah tumbuh. Tetap kekanak-kanakan dan egosi sampai tua. Ketika pertumbuhan holistic ini terjadi, maka tidak akan membuat menjadi sombong atau arogan. Melainkan seperti ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Hanya dengan jalan seperti inilah kita akan dapat menjadi manusia yang dikasihi Allah dan disayang sesama manusia.

Rabu, 23 Desember 2015

HIDUP BENAR DALAM BELARASA ALLAH

Orang Majus mendapat pesan lewat mimpi dan melihat bintang sebagai petunjuk kelahiran Sang Mesias harus menempuh perjalanan jauh untuk berjumpa dengan-Nya.  Bisa setahun atau lebih. Oleh sebab itu perjumpaan para Majus dengan Sang Mesias tidak lagi di tempat hewan ternak, melainkan sudah berada di rumah. Maka di Matius 2:11 dikatakan, “Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat ANak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia…” Sayangnya dalam drama-drama Natal menggabungkannya bersamaan dengan kunjungan para gembala sehingga pesannya menjadi tumpang-tindih.

Kunjungan para gembala lebih dekat dengan peristiwa kelahiran itu. Setidaknya, petunjuk kain lampin dan palungan menunjukkan itu. Peristiwa kelahiran Yesus dicatat Lukas 2:1-7. Berita itu disampaikan Malaikat kepada para gembala. Segera sesudah itu mereka mengikuti petunjuk Malaikat, mereka berjumpa dengan Sang Mesias itu. Hal ini menunjukkan bahwa jarak antara para gembala yang sedang menggembalakan kambing domba bisa ditempuh dalam hitungan jam atau hari. Tidak seperti para Majus dari Timur yang menghabiskan waktu berbulan-bulan. Banyak yang menduga bahwa para gembala itu adalah mereka yang terdapat di sekitar Yerusalem, yang berjarak sekitar 8 km saja. Mereka menggembalakan domba untuk keperluan kultus ibadah di Bait Suci Yerusalem.

Sejak lama orang bertanya tentang gembala, mengapa mereka yang pertama mendapat berita sukacita Natal? Mengapa pula mereka yang kemudian menjadi saksi kelahiran itu? Selanjutnya orang menghubungkannya dengan sifat, karakter dan asumsi gembala menurut tradisi kitab suci yang memberi kesan begitu positif terhadap gembala. Musa dan Daud sebelum dipakai Tuhan memimpin umat-Nya adalah seorang gembala. Mazmur 23 begitu rupa menggubah himne tentang gembala. Dan Yohanes 10 menyebutkan bahwa Yesus adalah Gembala yang baik. Lengkap sudah citra bahwa gembala adalah seorang yang baik!

Tetapi di kalangan orang Yahudi, setidaknya pada zaman kelahiran Yesus para gembala tidak populer. Mereka cenderung dilihat sebagai orang-orang kasar yang tidak mengindahkan kaidah dan syareat agama. Di daerah-daerah yang kekurangan air, mereka mengabaikan pembasuhan-pembasuhan yang diwajibkan dalam peraturan agama. Dalam mencari sumber-sumber makanan bagi domba-domba, mereka kerap kali bertikai, berebut lahan. Terkadang karena kekeringan, sulit mendapatkan padang rumput, mereka membawa domba-bomba itu ke lading milik orang. Jadi para imam Yahudi menganggap mereka tidak bisa dipercaya hingga, andaikata pun mereka melihat sebuah kejadian perkara, mereka tidak diperbolehkan menjadi saksi di pengadilan. Pertanyaannya, apakah gembala-gembala yang disebutkan dalam Lukas 2:8 ini, adalah mereka yang mempunyai karakter berbeda? Apakah mereka ini adalah orang-orang yang benar-benar merindukan kelahiran Sang Mesias, seperti Zakharia dan Elisabet atau Simeon dan Hana? Bisa saja mereka lebih baik dari para gembala yang ada. Namun, yang lebih logis, mereka sama dengan kebanyakan para gembala yang mendapat cap negative dari kalangan ulama.

Sama seperti Kristus lahir di tempat peristirahatan ternak, bukan di istana. Tampaknya peran para gembala sejajar dengan itu. Bukan saksi  terpelajar dan dianggap kredibel yang dipakai TUHAN. Namun, para gembala yang miskin dan hina; dan orang-orang ini tidak masuk hitungan, yang menurut aturan imam-imam Yahudi tidak boleh bertindak sebagai saksi di depan pengadilan, merekalah yang dipakai TUHAN menjadi saksi pertama dari Kristus!

Para gembala yang marjinal secara ekonomi dan martabat itu mendengar kabar gembira. Kabar itu bukan tentang pemberian hadiah oleh majikan mereka, atau berubahnya status dari gembala kepada pemilik domba. Tetapi “Jangan takut…!” (Lukas 2:10) Selanjutnya diungkapkan oleh malaikan alasan untuk tidak menjadi takut itu. Ada 3 alasan yang terungkap dalam Lukas 3:10. Pertama, “memberitakan” kata ini terjemahan dari euangelion atau Injil, artinya: “Aku memberitakan Injil” (Kabar Baik). Selanjutnya kata itu dicirikan oleh kata penting kedua, “kesukaan besar”. Dengan kalimat sederhana malaikat itu seolah mau mengatakan, “Dengar baik-baik hai para gembala, sebab kabar itu akan berisi kesukaan besar; dan adakah yang lebih berharga daripada kegirangan yang sejati? Dan sukacita itu tidak hanya terbatas kepada para gembala itu saja, tetapi menurut kata penting ketiga diperuntukkan bagi “seluruh bangsa”. Ungkapan ini berarti : untuk seluruh bangsa Israel. Benarkah Sang Mesias itu hanya untuk bangsa Israel? Bila kita lihat, Lukas menulis ini dalam Bahasa Aram, pada zaman itu adalah Bahasa rakyat, Bahasa pergaulan di Palestina. Maka artinya dapat menjadi luas. Sebab tema pokok yang menjadi pusat penulisan Injil Lukas adalah berkembangnya keselamatan dari kaum Yahudi kepada dunia bangsa-bangsa. Lukas kemudian mengungkapkan bahwa Subyek kabar baik itu adalah Yesus, dengan tiga gelar : Juruselamat, Kristus dan Tuhan (ayat 11).

Tanpa menunggu waktu lama, dengan keyakinan utusan Tuhan telah berbicara kepada mereka, kini mereka cepat-cepat pergi untuk menyambut sang Mesias itu. Mungkin di sini kita perlu melihat bahwa para gembala itu pergi bukan  untuk membuktikan kebenaran perkataan utusan Tuhan itu, melainkan mereka segera pergi ke sana untuk menyambut dan menjadi saksi atas kelahiran Itu! Terbukti ketika mereka tiba di sana, mereka menceritakan apa yang sudah didengar dari Malaikat!

Peran gembala di sini sangat penting. Kelahiran – yang tidak usah didramatisir dan bisa terjadi pada siapa saja pada saat seorang perempuan hamil tua tidak mendapat tempat – biasa menjadi luar biasa oleh karena apa yang diucapkan para gembala. Merekalah yang pertama membuka tabir di hadapan umum. “Dan ketika mereka melihat-Nya, mereka memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu. Dan semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu kepada mereka.” (Lukas 2:17,18). Menjadi jelaslah bahwa peristiwa kelahiran Yesus bukan di kandang terpencil, melainkan di sana sudah ada banyak orang. Bisa saja ada yang langsung percaya dengan perkataan para gembala, mungkin juga ada yang masih bingung, atau bahkan tidak  percaya sama sekali. Sikap ini adalah cerminan di sepanjang zaman.

Di sinilah peran para gembala menjadi luar biasa. Tuhan memakai mereka dari orang dengan ekomomi dan martabat yang dipandang rendah menjadi saksi  kunci kelahiran Mesias. Bukankah dengan cara yang sama di kemudian hari Tuhan memakai orang-orang sederhana untuk menjadi saksi-Nya?

Bercermin dari gembala, Tuhan dapat memakai kita yang sederhana untuk menjalankan misi-Nya yang luar biasa. Namun, sayangnya sering kali kita terlalu banyak berhitung. Para gembala yang mendapatkan kasih karunia dan kabar gembira dari Tuhan, mereka langsung menyambut dengan sukacita. Mereka tidak lagi kuatir akan domba-domba yang digembalakannya atau harta milik mereka sementara menyambut Sang Mesias. Kita sering memberatkan apa yang menjadi milik kita (meskipun sesungguhnya bukan milik kita) untuk mendahulukan kepentingan-Nya. Bahkan kita kebalikan dari para gembala itu; mengambil keuntungan dari apa yang disebut pelayanan!

Ada sebuah perubahan besar pada para gembala setelah mereka menyambut dan bersaksi tentang Mesias. Mereka tidak terus berlama-lama di sana tetapi kembali ke dalam tugasnya, namun kini dengan bersukacita. Bisakah kita juga mengalami perubahan? Mungkin kehidupan ekonomi dan karier kita tidak berubah; sama seperti para gembala juga tidak berubah langsung jadi juragan domba. Tetapi ada sukacita besar. Ketika kita mengalami perjumpaan dengan Sang Mesias, percaya dan mempercayakan diri kepada-Nya, pasti kita juga memiliki sukacita seperti yang dirasakan oleh para gembala itu.

Kini, kalau pada natal tahun ini tema kita tentang Hidup benar dalam belarasa Allah dengan mencontoh para gembala itu berarti percaya kepada kabar baik itu, menyambut dengan hati bersyukur dan kemudian meneruskan sukacita itu kepada setiap orang.

Selamat Natal, 25 Desember  2015 dan Tahun Baru, 1 Januari 2016