“Makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” Saya kira
kita semua setuju bahwa kalimat tema ini menjadi idaman orang tua terhadap
anaknya. Bahkan kita sendiri. Namun, kenyataannya tidak mudah. Ada orang yang
begitu popular di dunia hiburan atau tokoh public, ia banyak penggemarnya dan
ke mana pun ia pergi menjadi pusat perhatian dan disanjung orang banyak. Namun
belum tentu ia mengerjakan apa yang baik menurut kehendak Tuhan. Sebaliknya,
ada orang yang begitu saleh, taat melakukan apa yang Tuhan kehendaki, punya
integritas moral yang tinggi. Alih-alih orang menyukainya, ia dibenci dan
dimusuhi. Maka kalua ada manusia yang dikasihi Allah dan sesamanya adalah
manusia ideal.
Dalam catatan Alkitab ada dua orang manusia yang
dikasihi Allah dan dicintai manusia. Setidaknya pada masa awal kemunculan atau
pertumbuhannya. Kedua orang itu adalah Samuel dan Yesus. Mengenai Samuel,
Alkitab mengatakan, “Tetapi Samuel yang
muda itu, semakin besar dan semakin disukai, baik di hadapan TUHAN maupun di
hadapan manusia.” (1 Samuel 2:26). Samuel merupakan anak nazar dari Hana
dengan suaminya Elkana. Hana semula disebut mandul. Ia berdoa dan menangis agar
TUHAN membuka rahimnya, kemudian ia bernazar bahwa jika ia dikaruniai seorang
anak, maka anaknya itu akan diserahkan kepada TUHAN. Nazar itu dipenuhi dan
Samuel diserahkan kepada TUHAN dalam bimbingan imam Eli di Bait Suci. Jadi
sejak kecil Samuel tinggal di Bait Allah.
Mengenai Yesus, Alkitab mencatat, “Dan Yesus makin bertambah besar dan
bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.”
(Lukas 2:52). Kalimat pernyataan ini merupakan akhir dari sebuah drama di
seputar Bait Allah. Tidak seperti Samuel yang memang sengaja diserahkan oleh
orang tuanya untuk tinggal di Bait Allah, Yesus pada peristiwa itu mungkin saja
baru dibawa oleh Yusuf dan Maria ke Bait Allah.
Drama itu terjadi di sekitar perayaan Paskah.
Menurut ketentuan agama Yahudi, setiap laki-laki dewasa yang tinggal sekitar 15
km dari Yerusalem harus datang ke Yerusalem tiga kali dalam setahun untuk ikut
serta dalam tiga perayaan besar (Keluaran 23:14-17; Ulangan 16:16). Untuk
orang-orang yang tinggalnya jauh dari Yerusalem, seperti Yusuf dan Maria
(Nazaret – Yerusalem + 170 km) biasanya hanya pergi sekali setahun,
yakni pada perayaan Paskah. Hari Raya itu diperingati untuk mengingat peristiwa
keluaranya bangsa Israel dari Mesir.
Dalam tradisi agama Yahudi, anak-anak usia 12
tahun sudah dipandang akil baliq, dewasa pada usia itulah mereka disebut “anak
Taurat”. Sebutan itu mengharuskan mereka untuk memelihara segala ketentuan dan
syareat-yareat agama. Proses pendidikan sebelum menginjak usia 13 tahun tentu
tidak mudah. Anak-anak diajar, dilatih, dan didik mulai dengan contoh-contoh
kebiasaan yang rinagan dan mudah. Namun, setelah menginjak usia 12-13 tahun
mereka akan menerima pelajaran=pelajaran yang berat. Itulah sebabnya mengapa
pada usia 12 tahun Yesus diajak oleh orang tua-Nya untuk datang dan merayakan
Paskah di Yerusalem.
Perjalanan dari Galilea ke Yerusalem biasanya
dilakukan melalui daerah seberang Sungai Yordan dan lamanya 4-5 hari. Walau
perjalanan itu berat, namun rombongan itu merupakan semacam arak-arakan yang
gembira disertai nyanyian-nyanyian (terekam dalam Mazmur 84, 120-134). Dalam
perjalanan panjang itu tentu mereka merencanakan beberapa tempat persinggahan
atau menginap.
Drama itu terjadi pada saat perjalanan pulang.
Yesus tidak ada bersama mereka! Tentu, walaupun tradisi Yahudi menganggap usia
12 tahun adalah usia akil baliq, tetap saja Yesus masih dipandang kanak-kanak.
Mereka panic. Bisa saja Yusuf dan Maria bertengkar tentang siap yang harus
bertanggungjawab menjaga anak mereka! Sangat mungkin juga kerabat-kerabat dalam
rombongan orang Nazaret itu mempersalahkan Yusuf dan Maria; mengapa mereka
tidak bertanggungjawab menjaga anak mereka sehingga hilang. Kita juga akan
bereaksi menyalahkan orang tua kalua ada anak usia 12 tahun hilang di tengah
kerumunan keramaian. Sebelum kita menduga dan menyalahkan Yusuf dan Maria,
mungkin ada baiknya kita melihat situasi yang terjadi pada saat selesainya
perayaan Paskah itu.
Sepertinya bukan karena mereka kurang memerhatikan
Yesus, melainkan karena kebiasaan. Biasanya para perempuan akan dipersilahkan
jalan pulang lebih dahulu. Mengapa? Karena biasanya mereka berjalan lebih
lambat. Lalu berangkatlah Maria bersama rombongan perempuan lebih dulu. Yusuf
mengira Yesus yang masih kanak-kanak itu ada bersama rombongan ibu-Nya. Jadi
dia tidak mengkuatirkannya. Kaum pria berangkat lebih kemudian, karena mereka
lebih cepat berjalan. Maria, mengira bahwa karena Yesus sudah dianggap dewasa
menurut tradisi Yahudi, Ia ada bersama dengan bapak-Nya dalam rombongan kaum
pria. Kedua rombongan, perempuan dan pria akan bertemu di sebuah rumah
penginapan pada waktu malam. Di sinilah baru mereka engeh bahwa Yesus tidak ada baik di rombongan kaum perempuan maupun
kaum laki-laki. Bisa dibayangkan mereka panic dan mencari-cari Yesus!
Bagaimanapun, mereka adalah orang tua yang bertanggungjawab. Mereka kembali ke
Yerusalem.
Setelah tiga hari, barulah mereka menemukan Yesus.
Yesus berada dalam salah satu di Bait Allah yang biasa dipakai para rabi Yahudi dalam memberikan pelajaran
kepada murid-murid mereka. Mungkin semacam kelas katekisasi. Di situ Yesus,
seperti juga anak-anak yang lain, memberi perhatian serius terhadap pengajaran
para rabi. Yesus mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan
juga memberi jawab atas pertanyaan-pertanyaan mereka layaknya sebuah kelas
pembelajaran. Artinya, Yesus berlaku sebagai pelajar dan bukan sebagai
pengajar; tingkah-lakukannya adalah sebagaimana yang diharapkan oleh para rabi
dari seorang murid yang baik dan rajin (tafsir B.J. Boland). Metode pembelajaran
ini lazim terjadi di kalangan umat Yahudi. Namun, di sini Yesus mampu
memerlihatkan bahwa diri-Nya melebihi kemampuan murid-murid yang lain. Yesus
dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang begitu baik dan memberi jawab
dengan bijak sana sehingga memesona banyak orang (Lukas 2:47)
Yusuf dan Maria tercengan, girang dan juga agak
marah, ini tercermin dari teguran Maria, “Mengapa
Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari
Engkau.” (ayat 49). Bagaimana tanggapan Yesus? “Kamu mencari Aku? Mengapa? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada
dalam rumah Bapa-Ku?” Bayangkan Anda berada pada posisi Yusuf dan Maria. Di
sini kita mendapat kesan bahwa jawaban Yesus itu tidak sopan. Mengapa anak yang
tidak sopan ini kemudian ditegaskan bahwa Ia semakin dikasih Allah dan Manusia?
Pada saat itu Yesus telah menemukan keunikan hubungan-Nya
dengan Allah. Ia belum mengetahui hal itu ketika ia masih bayi dan terbaring
dalam palungan. Dengan bertambahnya usia, kesadaran Yesus pun bertambah pula. Dan
kemudian pada Paskah yang pertama bagi-Nya ini, dengan tiba-tiba Ia sadar bahwa
ada hubungan istimewa yang unik antara diri-Nya dengan Sang Bapa. Kesadaran ini
tidak lantas kemudian menjadikan-Nya besar kepada dan kemudian memandang rendah
orang tua-Nya. Setelah penjelasan-Nya yang singkat yang merupakan penegasan
hubungan-Nya dengan Sang Bapa. Ia kembali pulang bersama ibu dan bapaknya ke
Nazaret. Ia masih harus terus tinggal dan belajar dari Yusuf dan Maria hingga
genap waktunya untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah. Yesus adalah manusia
sejati dari Allah yang tidak menganggap rendah ikatan-ikatan duniawi, seperti
kekeluargaan. Justeru karena Ia dari Allah maka Ia dapat melakukan
kewajiban-kewajiban manusiawi dengan kesetiaan yang luar biasa.
Belajar dari Yesus, untuk kita dapat dikasihi Allah dan Manusia adalah
bahwa dengan semakin meningkatnya usia fisik kita maka harus juga semakin
meningkat perkembangan nalar, logika, moral dan spiritual. Ada orang yang terus
bertumbuh fisiknya. Namun, mental spiritualnya tidak pernah tumbuh. Tetap
kekanak-kanakan dan egosi sampai tua. Ketika pertumbuhan holistic ini terjadi,
maka tidak akan membuat menjadi sombong atau arogan. Melainkan seperti ilmu
padi, makin berisi makin merunduk. Hanya dengan jalan seperti inilah kita akan
dapat menjadi manusia yang dikasihi Allah dan disayang sesama manusia.