Rabu, 23 Desember 2015

BELARASA ALLAH BAGI UMAT YANG TERTINDAS OLEH DOSA


Agustus sebenarnya bernama Octavianus. Agustus hanyalah salah satu gelar, nama lengkapnya ialah Gaius Julius Caesar Octavianus. Ia berkuasa dari tahun 30 sebelum Masehi sampai 14 Masehi, relatif panjang. Pada tahun 27 sebelum Masehi, ia mendapat gelar “Agustus”, artinya “yang mulia” bisa juga berarti “ia yang dapat melipatgandakan kemakmuran”. Octavianus bisa dianggap sebagai kaisar terbesar dan pendiri kekasisaran Romawi. Dia adalah anak angkat dari Julius Caesar. Julius mendidiknya dengan ilmu perang dan politik. Octavianus tumbuh menjadi anak pintar, gagah dan tanpan. Ia sangat piawai dalam menangani konflik dan meredam pemberontakan, ia menciptakan kedamaian (Pax Romano), kesejahteraan dan kemakmuran serta kemegahan di seluruh kekaisaran Romawi. Sehingga tidak mengherankan ia dimuliakan bagaikan dewa dan dianggap sebagai “juruselamat dunia” yang dinantikan itu, sebab dialah yang mewujudkan “zaman emas” untuk dunia. B.J. Boland mengungkapkan bahwa ada sebuah inskripsi yang terdapat di Halikarnassus (: Bodrum, di pantai Asia Kecil) berisi pujian yang berbunyi, “Kemanusiaan dianugerahi dewa tertinggi, ketika Kaisar Agustus dibangkitkan dalam hidup kita yang beruntung ini, yaitu bapa tanah air, orang Romawi yang Ilah dan Juruselamat seluruh kemanusiaan, yang dengan kedatangannya bukan hanya segala doa dikabulkan tetapi malahan lebih…!”

Meminjam beberapa catatan positif tentang Kaisar Agustus di mana ia memainkan peranan penting di dataran yang kini disebut Eropa, sebagian Asia dan sebagian lagi Afrika, bukankah ia adalah orang yang tepat untuk sebuah perwujudan manusia ideal yang membawa peradaban pada kedamaian, kemakmuran dan kemegahan? Mengapa tidak Agustus saja yang dipakai Allah untuk mewujudkan belarasa-Nya kepada umat yang tertindas, toh karyanya jelas, kemakmuran sudah begitu banyak dirasakan? Namun, mengapa justeru Allah menepati janji kelahiran Sang Mesias bukan kepadanya, melainkan Yesus? Injil Lukas seolah menempatkan Agustus dan Yesus berhadapan! Seakan-akan Lukas berkata, “Pada zaman pemerintahan Kaisar Agustus, kaisar yang gagah, perkasa, tanpan, pandai, pembawa kesejahteraan dan kemakmuran, serta banyak orang mengelarinya dengan sebutan dewa, kepala umat beragama dan juruselamat, kini lahir Juruselamat yang sebenarnya, yakni Yesus bukan Agustus!” Tidak mudah dipahami.

Hal ini berbeda dengan pengharapan yang tercatat dalam Yesaya 9:2-7. Penulis Yesaya mempunyai angan-angan bahwa, “Bangsa yang berjalan dalam kegelapan telah melihat terang.” Situasi kelam – kegelapan – bangsa Israel diawali setelah kematian Raja Uzia. Kekacauan dalam masyarakat tidak terkendali (Yesaya 5:8-25). Di sana tergambar sesama warga negeri saling memfitnah dan menjatuhkan bahkan membinasakan. Orang-orang kaya menindas orang miskin. Diperparah lagi bahwa orang yang melakukan tindakan kejahatan menyebut diri sedang berbuat baik. Jelas, semua tindakan kebusukan yang menyengsarakan umat ini bersumber dari dosa. Situasi ini menjadi penyebab keruntuhan Israel. Zaman ini berubah ketika Hizkia ditahbiskan menjadi raja. Tak pelak lagi, kehadiran Hizkia menjadi secercah sinar bagi Israel. Kelahiran Hizkia ibarat sang pemulih yang dinantikan itu. Hizkia, setidaknya pada masa itu adalah sosok yang sangat mudah dan gamblang dipahami sebagai jawaban Allah atas keprihatinan umat yang tertindas oleh dosa. Ia muncul di tengah kebobrokan, kesengsaraan dan penderitaan umat.  

Hizkia menjadi gambaran pengharapan umat terhadap pemulihan. Benih-benih pengharapan Mesianik telah lama bermunculan dalam Perjanjian Lama. Sejalan dengan itu Allah menjawab pengharapan itu. Allah tidak membiarkan umat itu harus menunggu ratusan tahun lamanya menunggu sang pembebas? Allah selalu menjawab dengan menghadirkan orang-orang yang pada zamannya mempunyai kualifikasi memulihkan, membarui dan melegakan. Namun, hal ini bersifat temporal, hanya berlaku pada konteks saat itu. Tidak hanya Hizkia, Koresh, raja Persia pada zamannya dipandang sebagai mesias: pembebas, pemberi kelegaan dan dialah yang membangun kembali Bait Allah. Tentang dia, Yesaya menulis, “Akulah yang berkata tentang Koresh: Dia gembala-Ku; segala kehendak-Ku akan digenapinya dengan mengatakan tentang Yerusalem. Baiklah ia dibangun! Dan tentang Bait Suci: Baiklah diletakkan dasarnya!” (Yesaya 44:28). Jadi TUHAN dapat memakai siapa saja untuk menjawab pergumulan umat-Nya.

Agustus menjadi alat dalam tangan Allah, sebab mau tidak mau dia dipakai dan diikutsertakan dalam kedatangan Juruselamat yang sesungguhnya, yang kerajaan-Nya akan mengatasi segala kerajaan oleh karena kerajaan-Nya kekal. Nilai-nilai luhur dan perjuangan Kerajaan-Nya itu tidak hanya berlaku temporal, melainkan sepanjang masa. Agustus, sebagaimana Daud, Hizkia atau Koresh pada zamannya memberi pencerahan, pembebasan dan kelegaan. Namun, ditinjau dalam rentang waktu panjang pasti ada banyak hal yang tidak bisa berlaku di sepanjang zaman. Semua raja-raja, kaisar atau pun pembesar yang dianggap membawa pembebasan, kedamaian, bahkan yang disanjung bagaikan dewa dan diberi gelar-gelar super hebat, mereka itu telah berjuangan dalam konteks dunia di mana ia ada. Mereka memerjuangankan apa yang dianggap ideal pada zamannya. Sebagian besar di antaranya berkelit-kelindan dengan memenuhi hasrat ambisi berkuasa dengan pelbagai cara; tidak segan menumpas lawan bahkan dengan menumpahkan darah! Jelas, ini tidak bisa dijadikan acuan sepanjang zaman.

Kebalikan dengan penguasa-penguasa lain, gelar kehormatan dan pengakuan terhadap Yesus sebagai Mesias justeru Ia peroleh ketika dengan sadar Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati di kayu salib (Filipi 2:5-11). Kerendahan itu tergambar sejak kelahiran-Nya (Lukas 2:1-7). Bagaikan tingginya langit dari bumi, demikian kontras Agustus dan Yesus. Orang tua Yesus harus ikut sensus bersama rakyat jelata lainnya yang ditetapkan pemerintah koloni. Yusuf dan Maria harus menempuh jarak Nazaret – Betlehem sekitar 170 km dengan berjalan kaki, jarak itu bisa ditempuh selama 4-5 hari. Tetapi karena panas terik, debu, dan medan berat ditambah lagi Maria sedang hamil besar bisa saja lebih dari 5 hari.

Betlehem pada waktu itu diperkirakan dihuni 1000 orang, jadi sebuah kota mungil, kini tiba-tiba kedatangan banyak tamu yang hendak melakukan pencatatan sensus. Adalah wajar kalua ada banyak orang yang tidak bisa tertampung dalam rumah-rumah penduduk di sana. Waktu kecil dalam drama natal, saya diminta memainkan peran sebagai pemilik penginapan. Dalam naskah dan adegan yang harus saya mainkan adalah menolak permintaan Yusuf dan Maria untuk menumpang bermalam karena tidak menguntungkan, bahkan cenderung merepotkan karena sudah hamil besar dan tiba saatnya untuk melahirkan. Saya hanya mau menerima tamu yang bersih dan berduit, sebab itu menguntungkan saya! Kini, setelah saya pelajari Injil Lukas, saya bertanya dari mana asalnya sumber naskah drama itu? Saya menduga, mungkin pesan moralnya adalah penolakan terhadap Sang Mesias.

Sulit dibayangkan bahwa kota mungil Betlehem itu komersil. Bukankah pada saat itu Israel sedang berada di bawah jajahan imperium Agustus dan pencatatan sensus itu juga demi keuntungan sang penguasa untuk memungut pajak dan ketentuan wajib militer. Jadi mestinya di antara kaum tertindas itu tumbuh subur semangat persaudaraan: senasib dan sepenanggungan. Jadi bisa saja ketiadaan tempat itu karena Yusuf dan Maria terlambat mendapatkannya lantaran susahnya menempuh perjalanan berat. Dan rasanya, tidak mungkin juga orang-orang yang sudah menerima tamu untuk menginap kemudian mengusir mereka dan memersilahkan Yusuf dan Maria masuk. Kalau itu terjadi maka kisah kelahiran Yesus akan dilukiskan bahwa Ia terpaksa menyingkirkan orang lain. Apakah ada cara lain yang lebih manusiawi? Ada! Orang yang telah terlebih dahulu punya tempat menginap atau pemilik penginapan itu merelakan kenyamanannya terganggu dan memberikannya kepada Maria. Namun, sayangnya hal itu tidak terjadi. Pada masa kini pun Yesus mengetuk setiap pintu hati kita, Ia tidak memaksa! Kita hanya bisa menyambut-Nya ketika rela ruang nyaman kita diberikan kepada-Nya.

Kisah ini sederhana, mereka tidak mendapatkan tempat karena semua sudah penuh dan akhirnya mereka mendapatkan semacam pesanggrahan, yang biasanya terdapat di sekitar pelataran atau pekarangan tengah. Di situlah orang-orang akan meletakkan hewan ternak yang mereka bawa selama dalam perjalanan untuk beristirahat, makan dan minum bahkan menginap. Jadi rasanya bukan di kandang domba yang jauh terpencil. 

Di tempat pesanggrahan atau perhentian hewan itulah Maria melahirkan Yesus. Mereka membungkus Anak Itu dengan kain lampin dan membaringkannya di dalam palungan, tempat memberi makan ternak. Kedua tanda ini, kain lampin dan palungan menjadi penting karena itulah yang akan menjadi petunjuk bagi para gembala untuk mengenali Sang Mesias. Allah yang peduli dengan pendetiaan manusia itu merelakan Anak-Nya lahir di tempat yang tidak semestinya. Dari situlah Dia mulai menyapa setiap manusia. Dia menyapa Anda dan saya! Dia akan melebihi Daud, Hizkia, Koresh bahkan Agustus oleh karena apa yang diperjuangkan, diajarkan, dan dihidupi-Nya tidak bersifat temporal melainkan tidak lekang oleh waktu, tidak habis di makan zaman, akan berlaku abadi. "Kekuasaan" dan "kerajaan-Nya" kekal sampai selama-lamanya. Mestinya, siapa pun yang mengikuti, percaya dan menyembah-Nya akan terus memerjuangkan hal yang sama; yakni meneruskan belarasa Allah kepada semua yang tertindas akibat dosa.

Jumat, 18 Desember 2015

MENGHAYATI KERENDAHAN HATI MARIA, IBU YESUS

Apa reaksi Anda ketika anak gadis Anda tiba-tiba datang dan berkata, “Mama, papa, aku hamil!” Atau Anda sebagai seorang pria, punya pacar. Anda begitu mengasihinya dan bertekad menjaga kesucian sampai hari pernikahan. Namun, suatu hari pacar Anda berkata, “Mas, aku hamil!” Rasanya reaksi yang bakal muncul bukan gembira apalagi bahagia. Sebaliknya, kecewa, marah bahkan murka. Bisa dibayangkan apa yang ada dalam benak Maria ketika ia diberitahu bahwa dirinya hamil. Padahal ia tidak pernah melakukan hubungan seks dengan pria mana pun. Tentu sebagai perempuan normal yang lugu, ia juga akan berpikir sebagaimana kebanyakan orang tentang reaksi keluarganya? Pasti mereka akan menyangka dirinya telah melakukan pelanggaran susila. Lalu bagaimana dengan Yusuf, tunangan yang dicintainya. Pasti ia akan kecewa dan marah. Dengannya Maria telah merencanakan banyak hal dalam membangun keluarga. Apakah Yusuf dapat memercayai penjelasannya? Bagaimana pula pandangan keluarga calon mertua. Pasti mereka akan memandang rendah dan menganggapnya tidak lebih dari perempuan jalang! Dan pastinya Maria membayangkan hukuman rajam yang menantinya ketika masyarakat tahu bahwa dirinya hamil di luar nikah!

Cobalah sejenak kita berada pada posisi Maria. Ketika Gabriel, sang Malaikat membawa berita itu pastilah yang ada dalam benaknya adalah Yusuf. Bukankah sesaat lagi ia akan dapat tidur di dekapan Yusuf? Bercerita manja sambil bercumbu dan bercinta! Ia akan melahirkan anak-anak, buah cintanya dengan Yusuf. Mereka akan membangun rumah sederhana, menatanya dengan perabotan sederhana pula. Sebagaimana pada umumnya pasangan suami-isteri Israel, Yusuf dan Maria juga pasti berangan-angan punya anak-anak yang akan mereka rawat, didik, dan dibesarkan sesuai tradisi menjadi anak-anak yang mengenal Tuhan. Namun, apa yang terjadi dengan kehadiran Malaikat Gabriel di tengah mimpi yang sekejap lagi akan diraihnya? Kini, Maria harus bergumul untuk memilih: Mewujudkan mimpi-mimpi indah bersama dengan Yusuf ataukah rela mengubur mimpi itu demi sebuah tugas mulia, yakni merelakan rahimnya yang masih suci itu dipakai untuk mengandung Sang Mesias? Setidaknya, kita dapat menyimpulkan ada dua hal yang menjadi beban pergumulan Maria ketika ia menyatakan bersedia menjawab “ya” atas rencana Tuhan itu. Pertama, menyangkut nama baik; resiko dipandang sebagai perempuan sundal dan kedua, melupakan mimpi-mimpi indah bersama dengan kekasihnya, Yusuf. Lukas mencatat begitu singkat pergumulan yang dialami Maria.  Hanya 13 ayat Lukas menceritakan pemberitahuan Malaikat Gabriel tentang rencana Allah dalam diri Maria untuk mengandung dan melahirkan Anak Allah (Lukas 1:26-38). Kisah ini diakhiri dengan pernyataan Maria, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah kepadaku menurut perkataanmu itu.”

Pada akhirnya, Maria dapat menyelesaikan pergumulan, kegelisahan dan kekuatirannya dengan menyediakan diri sebagai hamba Tuhan. Maria bersedia mengorbankan mimpi dan kepentingannya sendiri demi serta berani menanggung resiko apa pun dari pandangan masyarakat terhadap dirinya demi terlaksananya rencana Allah dalam menyelamatkan manusia dan dunia ini. Maria bisa melihat perkara yang lebih besar, agung dan mulia di balik rencananya sendiri yang memang juga indah. Di sinilah kita dapat melihat kerendahan hatinya yang tidak mementingkan diri sendiri. Sering orang melupakan peran dan sebutan hamba kepada Maria. Kebanyakan Maria dikenang sebagai wanita hebat, mulia dan ibu Yesus, Tuhan dan Sang Juruselamat itu. Namun, kita sering lupa menempatkan Maria sebagai manusia biasa, bersahaja, yang mempunyai mimpi sederhana. Kita lupa bahwa untuk sebuah tugas maha mulia itu, semua resiko harus dihadapinya. Maria memilih menjadi hamba, artinya melepaskan kepentingannya sendiri demi kepentingan yang lebih besar.

Salah satu sikap hamba adalah kerendahan hati, Maria menyadari bahwa dalam hidupnya harus ada yang diutamakan, yakni kehendak Tuannya. Kerendahan hati merupakan lawan dari tinggi hati atau sombong. Maria kini menyadari bahwa janin yang dikandungnya adalah Mesias namun hal ini tidak membuatnya pongah; besar kepala. Memang ada yang berubah dalam diri Maria tapi bukan tinggi hati melainkan sukacita yang besar dalam dirinya. Hamba yang sejati adalah hamba yang mau mengikuti apa yang diperintahkan Sang Tuan bukan dengan terpaksa melainkan dengan hati rela dan sukacita.

Maka tidak heran, setelah terjadi dialog dengan Elisabet, sepupunya yang juga mendapat karunia mujizat dengan mengandung pada masa tuanya yang disebut mandul itu, Maria mengucapkan madah pujian syukur. Ia berkata, “Jiwaku memuliakan Tuhan dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku  dan nama-Nya adalah kudus.” (Lukas 1:46-49)

Dalam pujian ini, kita dapat merasakan kebahagiaan orang yang mendengarkan Sabda Allah dan memeliharanya dengan penuh cinta di dalam hatinya. Inilah yang kita lihat dari benang merah tanggapan para nabi terhadap panggilan Tuhan. Mereka memuliakan Tuhan dengan cara menjadi hamba-Nya. Maria senada dan seolah satu tarikan nafas dengan Habakuk: “Aku akan bersorak-sorai di dalam Tuhan…Allah yang menyelamatkan aku”. Nabi ini menulis juga bahwa, “orang yang benar itu akan hidup oleh imannya.” (Habakuk 3:18; 2:4). Kegembiraan Habakuk jelas bukan terletak pada jasa-jasa, kehebatan atau karyanya, melainkan pada kepercayaan teguh terhadap TUHAN. Kata-kata nabi Yesaya juga menggema dalam kidung Maria ini: “Aku bersukaria di dalam TUHAN, jiwaku bersorak-sorai di dalam Allahku.”(Yesaya 61:10). Terlebih kita juga mengingat pada Hana, ibu dari Samuel, yang mengalami pergumulan sama seperti Elisabet yang dibebaskan dari aib kemandulannya. Seperti Hana, Maria pun memaklumkan bahwa anugerah yang paling besar hanya diberikan Allah kepada mereka yang bersemangat menjadi hamba-Nya dan dengan rela merendahkan hati. Dalam madah Magnifikat ini, Maria seolah bertindak sebagai juru bicara semua manusia yang tertebus dan hidup dalam rancangan-Nya. Dengan bahasa teknis yang dipakai oleh para ahli Kitab Suci, Maria menjadi semacam wakil yang menjadi model pembawa harapan-harapan, kebutuhan-kebutuhan, kemenangan-kemenangan serta sukacita kegembiraan bagi kaum papa dan miskin milik Allah.

Maria dapat menerima anugerah terbesar dari Allah justeru ketika ia memilih menjadi hamba-Nya ketimbang mewujudkan mimpi-mimpinya. Maria tentu mengetahui dari mazmur-mazmur bahwa kerendahan hati membuka rakhmat Allah yang dapat membangkitkan sukacita dan kebahagiaan sejati. Maria meneruskan kidungnya, “Ia memeprlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh pergi orang kaya dengan tangan hampa.”(Lukas 1:51-53) Menghayati kerendahan hati Maria, maka setidaknya kita belajar dua hal: Pertama, siap menanggung segala resiko demi melaksanakan kehendak-Nya. Kedua, rela melepaskan keinginan dan ambisi diri sendiri, dan mengantinya dengan mengutamakan kehendak-Nya. Sampai di sini kemudian orang bertanya: Bagi Maria enak bisa langsung mendengar kehendak Allah melalui pernyataan Malaikat Gabriel. Nah, buat kita, bagaimana mendengar suara dan kehendak Tuhan itu?”

Benar, Maria mudah mengerti kehendak-Nya karena Malaikat Tuhan sendiri yang berbicara kepada-Nya. Kini, kita tidak perlu menunggu Malaikat Gabriel menyatakan kehendak Tuhan kepada kita. Bukankah setiap hari, setiap saat Tuhan juga berbicara kepada kita? Ia bisa berbicara melalui mimbar gereja, renungan harian, orang-orang di sekeliling kita, peristiwa-peristiwa yang Tuhan izinkan menyapa kita. Nah, itu semua dapat dipakai-Nya untuk menyatakan kehendak-Nya. Tinggal kita mengasah kepekaan untuk menangkapnya. Setiap orang yang bergaul akrab dengan Tuhan pasti sangat mudah baginya untuk menangkap, mendengar dan mengerti kehendak-Nya itu. Beranikah kita bersikap dan bertindak seperti Maria bersikap dan bertindak dalam merespon suara Tuhan? Setiap orang pastinya ingin merasakan dan mengalami rakhmat Allah yang bermuara kepada sukacita. Namun, sayangnya tidak setiap orang rela melepaskan impian, ambisi, dan rencananya demi mengutamakan rencana dan kehendak-Nya.