Agustus sebenarnya bernama Octavianus. Agustus
hanyalah salah satu gelar, nama lengkapnya ialah Gaius Julius Caesar
Octavianus. Ia berkuasa dari tahun 30 sebelum Masehi sampai 14 Masehi, relatif
panjang. Pada tahun 27 sebelum Masehi, ia mendapat gelar “Agustus”, artinya “yang
mulia” bisa juga berarti “ia yang dapat melipatgandakan kemakmuran”. Octavianus
bisa dianggap sebagai kaisar terbesar dan pendiri kekasisaran Romawi. Dia adalah anak
angkat dari Julius Caesar. Julius mendidiknya dengan ilmu perang dan politik.
Octavianus tumbuh menjadi anak pintar, gagah dan tanpan. Ia sangat piawai dalam
menangani konflik dan meredam pemberontakan, ia menciptakan kedamaian (Pax Romano),
kesejahteraan dan kemakmuran serta kemegahan di seluruh kekaisaran Romawi.
Sehingga tidak mengherankan ia dimuliakan bagaikan dewa dan dianggap sebagai “juruselamat
dunia” yang dinantikan itu, sebab dialah yang mewujudkan “zaman emas” untuk
dunia. B.J. Boland mengungkapkan bahwa ada sebuah inskripsi yang terdapat di
Halikarnassus (: Bodrum, di pantai Asia Kecil) berisi pujian yang berbunyi, “Kemanusiaan dianugerahi dewa tertinggi,
ketika Kaisar Agustus dibangkitkan dalam hidup kita yang beruntung ini, yaitu
bapa tanah air, orang Romawi yang Ilah dan Juruselamat seluruh kemanusiaan,
yang dengan kedatangannya bukan hanya segala doa dikabulkan tetapi malahan lebih…!”
Meminjam beberapa catatan positif tentang Kaisar
Agustus di mana ia memainkan peranan penting di dataran yang kini disebut
Eropa, sebagian Asia dan sebagian lagi Afrika, bukankah ia adalah orang yang
tepat untuk sebuah perwujudan manusia ideal yang membawa peradaban pada
kedamaian, kemakmuran dan kemegahan? Mengapa tidak Agustus saja yang dipakai
Allah untuk mewujudkan belarasa-Nya kepada umat yang tertindas, toh karyanya jelas, kemakmuran sudah begitu banyak dirasakan? Namun, mengapa
justeru Allah menepati janji kelahiran Sang Mesias bukan kepadanya, melainkan
Yesus? Injil Lukas seolah menempatkan Agustus dan Yesus berhadapan! Seakan-akan
Lukas berkata, “Pada zaman pemerintahan Kaisar Agustus, kaisar yang gagah,
perkasa, tanpan, pandai, pembawa kesejahteraan dan kemakmuran, serta banyak
orang mengelarinya dengan sebutan dewa, kepala umat beragama dan juruselamat,
kini lahir Juruselamat yang sebenarnya, yakni Yesus bukan Agustus!” Tidak mudah dipahami.
Hal ini berbeda dengan pengharapan yang tercatat
dalam Yesaya 9:2-7. Penulis Yesaya mempunyai angan-angan bahwa, “Bangsa yang berjalan dalam kegelapan telah
melihat terang.” Situasi kelam – kegelapan – bangsa Israel diawali setelah
kematian Raja Uzia. Kekacauan dalam masyarakat tidak terkendali (Yesaya 5:8-25).
Di sana tergambar sesama warga negeri saling memfitnah dan menjatuhkan bahkan membinasakan. Orang-orang
kaya menindas orang miskin. Diperparah lagi bahwa orang yang melakukan tindakan
kejahatan menyebut diri sedang berbuat baik. Jelas, semua tindakan kebusukan
yang menyengsarakan umat ini bersumber dari dosa. Situasi ini menjadi penyebab
keruntuhan Israel. Zaman ini berubah ketika Hizkia ditahbiskan menjadi raja.
Tak pelak lagi, kehadiran Hizkia menjadi secercah sinar bagi Israel. Kelahiran
Hizkia ibarat sang pemulih yang dinantikan itu. Hizkia, setidaknya pada
masa itu adalah sosok yang sangat mudah dan gamblang dipahami sebagai jawaban
Allah atas keprihatinan umat yang tertindas oleh dosa. Ia muncul di tengah
kebobrokan, kesengsaraan dan penderitaan umat.
Hizkia menjadi gambaran pengharapan umat terhadap
pemulihan. Benih-benih pengharapan Mesianik telah lama bermunculan dalam
Perjanjian Lama. Sejalan dengan itu Allah menjawab pengharapan itu. Allah tidak membiarkan umat itu harus menunggu
ratusan tahun lamanya menunggu sang pembebas? Allah selalu menjawab dengan
menghadirkan orang-orang yang pada zamannya mempunyai kualifikasi memulihkan,
membarui dan melegakan. Namun, hal ini bersifat temporal, hanya berlaku pada
konteks saat itu. Tidak hanya Hizkia, Koresh, raja Persia pada zamannya
dipandang sebagai mesias: pembebas, pemberi kelegaan dan dialah yang membangun
kembali Bait Allah. Tentang dia, Yesaya menulis, “Akulah yang berkata tentang Koresh: Dia gembala-Ku; segala kehendak-Ku
akan digenapinya dengan mengatakan tentang Yerusalem. Baiklah ia dibangun! Dan tentang
Bait Suci: Baiklah diletakkan dasarnya!” (Yesaya 44:28). Jadi TUHAN dapat
memakai siapa saja untuk menjawab pergumulan umat-Nya.
Agustus menjadi alat dalam tangan Allah, sebab mau
tidak mau dia dipakai dan diikutsertakan dalam kedatangan Juruselamat yang
sesungguhnya, yang kerajaan-Nya akan mengatasi segala kerajaan oleh karena
kerajaan-Nya kekal. Nilai-nilai luhur dan perjuangan Kerajaan-Nya itu tidak hanya
berlaku temporal, melainkan sepanjang masa. Agustus, sebagaimana Daud, Hizkia
atau Koresh pada zamannya memberi pencerahan, pembebasan dan kelegaan. Namun,
ditinjau dalam rentang waktu panjang pasti ada banyak hal yang tidak bisa berlaku di sepanjang zaman. Semua raja-raja, kaisar atau pun pembesar yang dianggap membawa
pembebasan, kedamaian, bahkan yang disanjung bagaikan dewa dan diberi gelar-gelar
super hebat, mereka itu telah berjuangan dalam konteks dunia di mana ia ada. Mereka memerjuangankan apa
yang dianggap ideal pada zamannya. Sebagian besar di antaranya berkelit-kelindan dengan
memenuhi hasrat ambisi berkuasa dengan pelbagai cara; tidak segan menumpas lawan bahkan dengan
menumpahkan darah! Jelas, ini tidak bisa dijadikan acuan sepanjang zaman.
Kebalikan dengan penguasa-penguasa lain, gelar
kehormatan dan pengakuan terhadap Yesus sebagai Mesias justeru Ia peroleh ketika dengan
sadar Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati di kayu salib (Filipi
2:5-11). Kerendahan itu tergambar sejak kelahiran-Nya (Lukas 2:1-7). Bagaikan tingginya langit dari bumi,
demikian kontras Agustus dan Yesus. Orang tua Yesus harus ikut sensus bersama
rakyat jelata lainnya yang ditetapkan pemerintah koloni. Yusuf dan Maria harus
menempuh jarak Nazaret – Betlehem sekitar 170 km dengan berjalan kaki, jarak
itu bisa ditempuh selama 4-5 hari. Tetapi karena panas terik, debu, dan medan
berat ditambah lagi Maria sedang hamil besar bisa saja lebih dari 5 hari.
Betlehem pada waktu itu diperkirakan dihuni 1000 orang, jadi sebuah kota mungil, kini tiba-tiba kedatangan banyak tamu yang hendak
melakukan pencatatan sensus. Adalah wajar kalua ada banyak orang yang tidak
bisa tertampung dalam rumah-rumah penduduk di sana. Waktu kecil dalam drama
natal, saya diminta memainkan peran sebagai pemilik penginapan. Dalam naskah
dan adegan yang harus saya mainkan adalah menolak permintaan Yusuf dan Maria untuk menumpang bermalam karena
tidak menguntungkan, bahkan cenderung merepotkan karena sudah hamil besar dan
tiba saatnya untuk melahirkan. Saya hanya mau menerima tamu yang bersih dan
berduit, sebab itu menguntungkan saya! Kini, setelah saya pelajari Injil Lukas,
saya bertanya dari mana asalnya sumber naskah drama itu? Saya menduga, mungkin
pesan moralnya adalah penolakan terhadap Sang Mesias.
Sulit dibayangkan bahwa kota mungil Betlehem itu
komersil. Bukankah pada saat itu Israel sedang berada di bawah jajahan imperium Agustus dan pencatatan
sensus itu juga demi keuntungan sang penguasa untuk memungut pajak dan ketentuan wajib militer. Jadi mestinya di antara kaum
tertindas itu tumbuh subur semangat persaudaraan: senasib dan
sepenanggungan. Jadi bisa saja ketiadaan tempat itu karena Yusuf dan Maria
terlambat mendapatkannya lantaran susahnya menempuh perjalanan berat. Dan
rasanya, tidak mungkin juga orang-orang yang sudah menerima tamu untuk menginap
kemudian mengusir mereka dan memersilahkan Yusuf dan Maria masuk. Kalau itu terjadi maka kisah kelahiran Yesus akan dilukiskan bahwa Ia terpaksa menyingkirkan orang lain. Apakah ada cara lain yang lebih manusiawi? Ada! Orang yang telah terlebih dahulu punya tempat menginap atau pemilik penginapan itu merelakan kenyamanannya terganggu dan memberikannya kepada Maria. Namun, sayangnya hal itu tidak terjadi. Pada masa kini pun Yesus mengetuk setiap pintu hati kita, Ia tidak memaksa! Kita hanya bisa menyambut-Nya ketika rela ruang nyaman kita diberikan kepada-Nya.
Kisah ini sederhana, mereka tidak mendapatkan tempat karena semua sudah penuh dan akhirnya mereka mendapatkan semacam pesanggrahan, yang biasanya terdapat di sekitar pelataran atau pekarangan tengah. Di situlah orang-orang akan meletakkan hewan ternak yang mereka bawa selama dalam perjalanan untuk beristirahat, makan dan minum bahkan menginap. Jadi rasanya bukan di kandang domba yang jauh terpencil.
Kisah ini sederhana, mereka tidak mendapatkan tempat karena semua sudah penuh dan akhirnya mereka mendapatkan semacam pesanggrahan, yang biasanya terdapat di sekitar pelataran atau pekarangan tengah. Di situlah orang-orang akan meletakkan hewan ternak yang mereka bawa selama dalam perjalanan untuk beristirahat, makan dan minum bahkan menginap. Jadi rasanya bukan di kandang domba yang jauh terpencil.
Di tempat pesanggrahan atau perhentian hewan itulah
Maria melahirkan Yesus. Mereka membungkus Anak Itu dengan kain lampin dan
membaringkannya di dalam palungan, tempat memberi makan ternak. Kedua tanda
ini, kain lampin dan palungan menjadi penting karena itulah yang akan menjadi
petunjuk bagi para gembala untuk mengenali Sang Mesias. Allah yang peduli
dengan pendetiaan manusia itu merelakan Anak-Nya lahir di tempat yang tidak
semestinya. Dari situlah Dia mulai menyapa setiap manusia. Dia menyapa Anda dan saya! Dia akan melebihi
Daud, Hizkia, Koresh bahkan Agustus oleh karena apa yang diperjuangkan,
diajarkan, dan dihidupi-Nya tidak bersifat temporal melainkan tidak lekang oleh
waktu, tidak habis di makan zaman, akan berlaku abadi. "Kekuasaan" dan "kerajaan-Nya" kekal sampai selama-lamanya. Mestinya, siapa pun yang mengikuti, percaya
dan menyembah-Nya akan terus memerjuangkan hal yang sama; yakni meneruskan
belarasa Allah kepada semua yang tertindas akibat dosa.