Namanya Zefanya dan pastinya keturunan priyayi
atau bangsawan. Mengapa? Nama leluhurnya melekat padanya: Zefanya bin Kusy bin
Gedalya bin Amarya bin Hizkia (Zefanya 1:1) sulit dibayangkan kalau ia hanya
rakyat jelata dengan punya empat garis keturunan yang menyertai namanya.
Kitabnya dimulai dengan catatan zamannya. Ia hidup dalam zaman Yosia bin Amon,
raja Yehuda. Yosia adalah raja yang melakukan pembenahan dan pembaruan. Raja
Yosia memerintah dari tahun 642-609 SM dan memulai membangun bangsanya sekitar 622 SM. Untuk menuju sebuah
reformasi, khususnya spiritual tidaklah mudah. Pengaruh kultus ibadah Baal pada
masa-masa awal Yosia berkuasa ternyata masih begitu melekat menjadi gaya hidup
Yehuda.
Peribadatan terhadap berhala membawa kepada
pemikiran, sikap hidup dan tingkah laku egois. Mengapa? Ini sebenarnya sangat
logis. Perhatikanlah orang-orang yang menyembah berhala. Pada dasarnya mereka
tidak sedang melayani atau mengabdi kepada berhala yang mereka sembah itu.
Mereka sedang melayani dan mengabdi kepada diri sendiri. Sesajen, persembahan,
korban, apa pun namanya, bukankah itu semua diberikan agar kelak mereka
mendapatkannya lagi dalam bentuk perlindungan, hasil panen, kesehatan,
terhindar dari kerugian, mendapatkan kuasa, kekayaan, pendeknya semua yang
mereka kehendaki terpenuhi. Ibadah terhadap berhala itu berujung pada
memikirkan diri sendiri, ketamakan dan cemburu, bahkan tidak ragu-ragu untuk
menindas, memeras, menyingkirkan sesamanya. Saya kira karena dampaknya seperti
ini maka ibadah kepada berhala menjadi salah! Hal ini sangat berbeda sekali
ketika manusia beribadah kepada TUHAN. Mereka yang beribadah kepada-Nya harus
menjadi saluran berkat, hidup berdamai dan mengasihi sesama. Jadi jika saja ada
orang yang mengaku beribadah kepada TUHAN tetapi cara berpikir, bertindak dan
tingkah lakunya sama seperti para penyembah berhala maka dapat dipastikan ia
sedang membuat TUHAN sebagai berhala!
Apa akibatnya penyembahan berhala yang terjadi
pada era nabi Zefanya? Mereka menolak untuk sebuah pembaruan. Tidak mau
berubah. Hakim-hakim mereka bertindak tak ubahnya seperti serigala (lih.
Yeremia 5:26); imam-imam dan para nabinya tidak melaksanakan kewajiban, mereka
hanya melayani para pembesar dan bernubuat sekehendak sendiri. Mereka sering
mencatut nama TUHAN demi kepentingan sendiri (Yeremia 2:8; 6:13). Bagaimana
dengan orang-orang yang berlaku jahat? Mereka sudah tidak kenal kata malu
(Zef.3:5 “…Tetapi orang lalim tidak kenal
malu.”). Kejahatan dipertontonkan dengan terang-terangan (lih. Yeremia
3;3). Yang menyedihkan lagi adalah ketika para pemimpin menindas umat seperti singa dan serigala tak seorang pun dari mereka mau
berbalik kepada TUHAN. Mereka lebih percaya dan mengandalkan kekuatan dan
perhitungan sendiri dan membuang jauh-jauh keyakinan kepada TUHAN.
Bila kita meminjam catatan Alkitab, kenyataan ini
terus terjadi bahkan sampai 600 tahun sesudah itu ketika Yohanes pembaptis
menyerukan pertobatan. Apa yang terjadi dengan manusia yang dilengkapi akal
budi, nalar dan kehendak bebas? Ternyata, 2600 tahun setelah zaman Zefanya pun,
keadaanya nyaris sama terjadi. Sekarang ini, kita melihat bagaimana para
pemimpin dan penguasa sibuk memertahankan, melanggengkan dan memperbesar
kekuasaanya. Demi nafsu berkuasa tidak segan mengorbankan siapa pun termasuk
kawan sendiri. Kongkalikong terjadi di mana-mana untuk meraup keuntungan yang
semakin besar. Memburu rente, bancakan proyek, manipulasi data dan kebohongan publik
dianggap biasa dan lumrah sebagai budaya politik. Bencana kebakaran hutan,
lumpur dan limbah tambang serta sederet lagi kerusakan lingkungan tidak
menggoyahkan nurani.
Bagaimana dengan para hakim, penegak hukum,
penegak moral dan etika? Sama bobroknya. Keadilan muncul terbalik. Seperti
pisau yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Maling ayam ditebus nyawa tetapi korupsi
triliunan rupiah hukuman hanya alakadarnya. Perkara orang lemah gampang
diputuskan tetapi orang kaya, berkuasa; keputusan bisa diatur.
Lalu bagaimana dengan para penjahat? Tidak kalah!
Tidak ada budaya malu ketika melakukan kejahatan dan kebejatan moral. Di negeri
ini, siapa yang menjadi saksi dan melaporkan tindakan kejahatan justeru
dihakimi, diadili dan dipertanyakan. Bukan sebaliknya dihargai dan dilindungi.
Semakin hari kita menyaksikan semakin orang tidak lagi berpikir ulang terhadap
tindakan kejahatan yang dilakukannya.
Dengan cara hidup demikian, Zefanya menyebut bahwa
bangsanya telah menghianati TUHAN. Mengapa? Karena TUHAN menghendaki
keselamatan, dan damai sejahtera bagi semua orang (Zef.3:5). Apa yang pantas
diberikan kepada penghianat? Penghancuran habis-habisan (Zef. 3:6-8) atau dalam
Bahasa Yohanes Pembaptis ,”Hai kamu
keturunan orang beludak! Siapakah yang mengatakan kepada kamu supaya melarikan
diri dari murka yang akan datang?...Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan
setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang
ke dalam api.” (Lukas 3:7,9).
Pada zaman Zefanya ancaman itu bukanlah ancaman
kosong. Kota-kota bobrok dengan Menara-menara jaganya, memang merupakan
pemandangan yang lazim dan mengerikan.
Serbuan Asyur di tahun
701 meninggalkan pemandangan seperti itu. Rumusan yang diucapkan Zefanya
memberikan tekanan bahwa ancaman itu bukan pepesan kosong, melainkan akan
dilaksanakan dengan kekuatan hukum TUHAN. Kejahatan akan berhadapan dengan hukum
yang setimpal!
Apakah masih ada celah untuk dapat terhindar dari
malapetaka besar itu? Ada! Zefanya 3:12-13, “ Di antara kamu akan Kubiarkan hidup suatu umat yang rendah hati dan
lemah, dan mereka akan mencari perlindungan pada nama TUHAN, yakni sisa Israel
itu. Mereka tidak akan melakukan kelaliman atau berbicara bohong; dalam mulut
mereka tidak akan terdapat lidah penipu; ya mereka akan seperti domaba yang
makan rumput dan berbaring dengan tidak ada yang mengganggunya.” Atau
seperti Bahasa Yohanes Pembaptis bahwa mereka yang bertobat dan menghasilkan
buah pertobatan itulah yang akan selamat dari azab yang akan datang! Zefanya
meneruskan dalam ayat 14-20 bahwa mereka yang setia kepada TUHAN akan melihat
Yerusalem dipulihkan, TUHAN akan menjadi Raja bagi mereka dan tentunya damai
sejahtera meliputi seluruh negeri!
Beruntunglah Zefanya, yang walaupun keturunan
ningrat, dia tidak ikut-ikutan menjadi penindas. Lebih beruntung lagi mereka
punya raja seperti Yosia yang bersedia mendengar suara TUHAN sehingga akhirnya
sang raja membersihkan praktek-praktek ibadah berhala dan kembali kepada
kehendak-Nya. Setidaknya, pada zaman itu ketentraman meliputi negeri itu. Meskipun
dua atau tiga generasi berikutnya mengulangi kekeliruan yang sama.
Berkaca dari kisah umat TUHAN ini, sudah jelas
kehancuran yang sedang mengintai bangsa kita akibat kebobrokan moral dan
kejahatan yang terus terjadi tanpa kenal malu segera menimpa. Pastilah TUHAN
menuntut perhitungan dan pengadilan. Seberapa pun sumber alam dan kekayaan
perut bumi kita tidak akan menjadi berkat kemakmuran bagi negeri ini jika saja
segenap elemen bangsa ini mengalami kebobrokan moral dan tidak mau mengalami
pembaruan radikal. Sebelum saat azab itu
benar-benar datang, alangkah baiknya kita menggunakan waktu yang ada ini dengan
berbenah diri. Bertobat, tidak usah malu mengaku kesalahan dan kebobrokan masa
lalu demi kebaikan akan akan datang.
Zefanya, seperti juga nabi-nabi Allah lainnya selalu mengingatkan bahwa
di tengah murka Allah atas kejahatan manusia, pintu pertobatan itu tetap
terbuka! Pertobatan sebuah bangsa dimulai dari setiap pribadi. Mulailah dari
diri sendiri, sekarang ini juga dan jangan tuntut orang lain terlebih dulu!