Jumat, 11 Desember 2015

SIAP DITAMPI OLEH PENGHAKIMAN-NYA

Namanya Zefanya dan pastinya keturunan priyayi atau bangsawan. Mengapa? Nama leluhurnya melekat padanya: Zefanya bin Kusy bin Gedalya bin Amarya bin Hizkia (Zefanya 1:1) sulit dibayangkan kalau ia hanya rakyat jelata dengan punya empat garis keturunan yang menyertai namanya. Kitabnya dimulai dengan catatan zamannya. Ia hidup dalam zaman Yosia bin Amon, raja Yehuda. Yosia adalah raja yang melakukan pembenahan dan pembaruan. Raja Yosia memerintah dari tahun 642-609 SM dan memulai membangun bangsanya sekitar 622 SM. Untuk menuju sebuah reformasi, khususnya spiritual tidaklah mudah. Pengaruh kultus ibadah Baal pada masa-masa awal Yosia berkuasa ternyata masih begitu melekat menjadi gaya hidup Yehuda.

Peribadatan terhadap berhala membawa kepada pemikiran, sikap hidup dan tingkah laku egois. Mengapa? Ini sebenarnya sangat logis. Perhatikanlah orang-orang yang menyembah berhala. Pada dasarnya mereka tidak sedang melayani atau mengabdi kepada berhala yang mereka sembah itu. Mereka sedang melayani dan mengabdi kepada diri sendiri. Sesajen, persembahan, korban, apa pun namanya, bukankah itu semua diberikan agar kelak mereka mendapatkannya lagi dalam bentuk perlindungan, hasil panen, kesehatan, terhindar dari kerugian, mendapatkan kuasa, kekayaan, pendeknya semua yang mereka kehendaki terpenuhi. Ibadah terhadap berhala itu berujung pada memikirkan diri sendiri, ketamakan dan cemburu, bahkan tidak ragu-ragu untuk menindas, memeras, menyingkirkan sesamanya. Saya kira karena dampaknya seperti ini maka ibadah kepada berhala menjadi salah! Hal ini sangat berbeda sekali ketika manusia beribadah kepada TUHAN. Mereka yang beribadah kepada-Nya harus menjadi saluran berkat, hidup berdamai dan mengasihi sesama. Jadi jika saja ada orang yang mengaku beribadah kepada TUHAN tetapi cara berpikir, bertindak dan tingkah lakunya sama seperti para penyembah berhala maka dapat dipastikan ia sedang membuat TUHAN sebagai berhala!

Apa akibatnya penyembahan berhala yang terjadi pada era nabi Zefanya? Mereka menolak untuk sebuah pembaruan. Tidak mau berubah. Hakim-hakim mereka bertindak tak ubahnya seperti serigala (lih. Yeremia 5:26); imam-imam dan para nabinya tidak melaksanakan kewajiban, mereka hanya melayani para pembesar dan bernubuat sekehendak sendiri. Mereka sering mencatut nama TUHAN demi kepentingan sendiri (Yeremia 2:8; 6:13). Bagaimana dengan orang-orang yang berlaku jahat? Mereka sudah tidak kenal kata malu (Zef.3:5 “…Tetapi orang lalim tidak kenal malu.”). Kejahatan dipertontonkan dengan terang-terangan (lih. Yeremia 3;3). Yang menyedihkan lagi adalah ketika para pemimpin  menindas umat seperti singa dan serigala tak seorang pun dari mereka mau berbalik kepada TUHAN. Mereka lebih percaya dan mengandalkan kekuatan dan perhitungan sendiri dan membuang jauh-jauh keyakinan kepada TUHAN.

Bila kita meminjam catatan Alkitab, kenyataan ini terus terjadi bahkan sampai 600 tahun sesudah itu ketika Yohanes pembaptis menyerukan pertobatan. Apa yang terjadi dengan manusia yang dilengkapi akal budi, nalar dan kehendak bebas? Ternyata, 2600 tahun setelah zaman Zefanya pun, keadaanya nyaris sama terjadi. Sekarang ini, kita melihat bagaimana para pemimpin dan penguasa sibuk memertahankan, melanggengkan dan memperbesar kekuasaanya. Demi nafsu berkuasa tidak segan mengorbankan siapa pun termasuk kawan sendiri. Kongkalikong terjadi di mana-mana untuk meraup keuntungan yang semakin besar. Memburu rente, bancakan proyek, manipulasi data dan kebohongan publik dianggap biasa dan lumrah sebagai budaya politik. Bencana kebakaran hutan, lumpur dan limbah tambang serta sederet lagi kerusakan lingkungan tidak menggoyahkan nurani.

Bagaimana dengan para hakim, penegak hukum, penegak moral dan etika? Sama bobroknya. Keadilan muncul terbalik. Seperti pisau yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Maling ayam ditebus nyawa tetapi korupsi triliunan rupiah hukuman hanya alakadarnya. Perkara orang lemah gampang diputuskan tetapi orang kaya, berkuasa; keputusan bisa diatur.

Lalu bagaimana dengan para penjahat? Tidak kalah! Tidak ada budaya malu ketika melakukan kejahatan dan kebejatan moral. Di negeri ini, siapa yang menjadi saksi dan melaporkan tindakan kejahatan justeru dihakimi, diadili dan dipertanyakan. Bukan sebaliknya dihargai dan dilindungi. Semakin hari kita menyaksikan semakin orang tidak lagi berpikir ulang terhadap tindakan kejahatan yang dilakukannya.

Dengan cara hidup demikian, Zefanya menyebut bahwa bangsanya telah menghianati TUHAN. Mengapa? Karena TUHAN menghendaki keselamatan, dan damai sejahtera bagi semua orang (Zef.3:5). Apa yang pantas diberikan kepada penghianat? Penghancuran habis-habisan (Zef. 3:6-8) atau dalam Bahasa Yohanes Pembaptis ,”Hai kamu keturunan orang beludak! Siapakah yang mengatakan kepada kamu supaya melarikan diri dari murka yang akan datang?...Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api.” (Lukas 3:7,9).

Pada zaman Zefanya ancaman itu bukanlah ancaman kosong. Kota-kota bobrok dengan Menara-menara jaganya, memang merupakan pemandangan yang lazim dan mengerikan.  Serbuan Asyur di tahun 701 meninggalkan pemandangan seperti itu. Rumusan yang diucapkan Zefanya memberikan tekanan bahwa ancaman itu bukan pepesan kosong, melainkan akan dilaksanakan dengan kekuatan hukum TUHAN. Kejahatan akan berhadapan dengan hukum yang setimpal!

Apakah masih ada celah untuk dapat terhindar dari malapetaka besar itu? Ada! Zefanya 3:12-13, “ Di antara kamu akan Kubiarkan hidup suatu umat yang rendah hati dan lemah, dan mereka akan mencari perlindungan pada nama TUHAN, yakni sisa Israel itu. Mereka tidak akan melakukan kelaliman atau berbicara bohong; dalam mulut mereka tidak akan terdapat lidah penipu; ya mereka akan seperti domaba yang makan rumput dan berbaring dengan tidak ada yang mengganggunya.” Atau seperti Bahasa Yohanes Pembaptis bahwa mereka yang bertobat dan menghasilkan buah pertobatan itulah yang akan selamat dari azab yang akan datang! Zefanya meneruskan dalam ayat 14-20 bahwa mereka yang setia kepada TUHAN akan melihat Yerusalem dipulihkan, TUHAN akan menjadi Raja bagi mereka dan tentunya damai sejahtera meliputi seluruh negeri!

Beruntunglah Zefanya, yang walaupun keturunan ningrat, dia tidak ikut-ikutan menjadi penindas. Lebih beruntung lagi mereka punya raja seperti Yosia yang bersedia mendengar suara TUHAN sehingga akhirnya sang raja membersihkan praktek-praktek ibadah berhala dan kembali kepada kehendak-Nya. Setidaknya, pada zaman itu ketentraman meliputi negeri itu. Meskipun dua atau tiga generasi berikutnya mengulangi kekeliruan yang sama.

Berkaca dari kisah umat TUHAN ini, sudah jelas kehancuran yang sedang mengintai bangsa kita akibat kebobrokan moral dan kejahatan yang terus terjadi tanpa kenal malu segera menimpa. Pastilah TUHAN menuntut perhitungan dan pengadilan. Seberapa pun sumber alam dan kekayaan perut bumi kita tidak akan menjadi berkat kemakmuran bagi negeri ini jika saja segenap elemen bangsa ini mengalami kebobrokan moral dan tidak mau mengalami pembaruan radikal.  Sebelum saat azab itu benar-benar datang, alangkah baiknya kita menggunakan waktu yang ada ini dengan berbenah diri. Bertobat, tidak usah malu mengaku kesalahan dan kebobrokan masa lalu demi kebaikan akan akan datang.  Zefanya, seperti juga nabi-nabi Allah lainnya selalu mengingatkan bahwa di tengah murka Allah atas kejahatan manusia, pintu pertobatan itu tetap terbuka! Pertobatan sebuah bangsa dimulai dari setiap pribadi. Mulailah dari diri sendiri, sekarang ini juga dan jangan tuntut orang lain terlebih dulu!

Kamis, 03 Desember 2015

TUGAS KENABIAN MASA KINI

Ketika renungan ini ditulis, ada peristiwa yang sangat menyita perhatian publik. Digelarnya Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang menghadirkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said yang mengadukan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua DPR, Setya Novanto. Sudirman mempunyai bukti rekaman yang berisi percakapan Setya Novanto, Maroef Sjamsuddin (Presdir PT Freeport Indonesia), dan Muhammad Reza Chalid (Pengusaha/ raja minyak). Isi rekaman itu, oleh Presiden Joko Widodo dipopulerkan dengan “Papa minta saham”. Meskipun berkali-kali Sudirman Said menyatakan bahwa pengungkapan skandal papa minta saham tidak berbau politik, rasanya permainan politik itu terendus juga. Sebagian masyarakat yang kristis mempertanyakan, mengapa kasus yang terjadi beberapa bulan lalu baru diungkap ke publik sekarang ini, justeru di tengah-tengah tersudutnya Sudirman lantaran berbeda pendapat dengan Rizal Ramli, Menko Kemaritiman. Belum lagi MKD yang gencar menyecar Sudirman tentang kewenangannya merekam dan mengadukan skandal tersebut kepada MKD.

Tampaknya desakan publik yang muak dengan prilaku kongkalikong pejabat tidak dapat dibendung. Akhirnya, awal Desember sidang MKD itu digelar, salah satu agenda persidangan adalah memperdengarkan bukti rekaman. Dari sinilah mata dan telinga kita terbuka bagaimana kebusukan-kebusukan itu nyata. Selama ini mereka membungkus rapat-rapat dengan kedok ideologi partai yang begitu keren, bahasa-bahasa agama yang santun dan masih banyak lagi propoganda tentang nasinalisme. Kenyataannya, sulit terbantahkan bahwa kebusukan itu telah lama mengerogoti bangsa ini. Inilah mungkin penyebabnya negara yang dianugerahi kekayaan alam luar biasa tetap menjadi negara miskin dan bahkan mengemis untuk mendapatkan utang dari luar negeri! Bagaimana mungkin, yang kata Presiden Jokowi, hanya dengan satu kabupaten saja di Papua sudah dapat membiayai seluruh negeri. Nyatanya tetap miskin dan banyak hutang!

Rupanya, tabiat manusia yang menyembunyikan kebusukan dengan prilaku saleh, santun dan terlihat agamis bukanlah barang baru. Lima ratus tahun sebelum kelahiran Yesus, atau dua ribu lima ratus tahun yang lalu Nabi Maleakhi mengungkap skandal kebobrokan bangsanya, Israel ang nota bene umat pilihan Allah. Sang nabi mengeluhkan kehidupan umat Allah yang jahat dan mereka menyangka bahwa kejahatan yang dilakukan itu berkenan di hadapan TUHAN. Ia berkata, “Kamu menyusahi TUHAN dengan perkataanmu. Tetapi kamu berkata: ‘Dengan cara bagaimanakah kami menyusahi Dia?’ Dengan cara kamu menyangka: ‘Setiap orang yang berbuat jahat adalah baik di mata TUHAN; kepada orang-orang yang demikian Ia berkenan –atau jika tidak, di manakah Allah yang menghukum?’.”(Maleakhi 2:17). Nyaris sama dan sebangun, sebagian besar penjahat kemanusiaan juga mengatakan begitu? Setya Novanto, dan para kroninya mengatakan begitu bahwa yang sedang mereka diskusikan adalah demi kepentingan rakyat! Para penegak syareat yang memberangus, melukai bahkan membunuh minoritas yang berbeda aliran juga berteriak bahwa mereka melakukan itu atas nama Tuhan!

Apakah TUHAN, yang namanya sering dicatut lantas berdiam diri saja dan melihat dari singgasana-Nya keadilan diinjak-injak? Marah! Ya, Jokowi dan JK saja ketika namanya dicatut mereka geram. Perilaku dan pemahaman buruk Israel itu kemudian dijawab secara tegas dalam Maleakhi 3:5, “Aku akan mendekati kamu untuk menghakimi dan akan segera menjadi saksi terhadap tukang-tukan sihir, orang-orang berzinah dan orang-orang yang bersumpah dusta dan terhadap orang-orang yang menindas orang upahan, janda dan anak piatu, dan yang mendesak ke samping orang asing, dengan tidak takut kepada-Ku, firman TUHAN semesta alam.” (Maleakhi 3:5). Jadi, sangat jelas, TUHAN bukanlah Allah yang membiarkan kebenaran dikelabuhi, keadilan diinjak-injak, dilecehkan lalu dibungkus dengan pelbagai kesalehan! Sang nabi dengan berani dan tegas menunjukkan borok-borok Israel dan mengingatkan mereka bahwa hukuman TUHAN itu tidak main-main.

Inilah yang disebut suara kenabian. Memperdengarkan suara TUHAN di tengah-tengah ketidakbenar yang sedang terjadi walau beresiko. Kita beruntung, di tengah-tengah ketidakbenaran, kedegilan, kerakusan dan pelbagai tindak kejahatan yang begitu masif, masih ada orang-orang yang berani menyuarakan kebenaran dan keadilan. Kita beruntung punya orang seperti Munir dan Yap Thiam Hien. Namun, sangat disayangkan sering kita memilah-milah dengan tolok ukur: apakah yang menyampaikan dan menyuarakan itu adalah orang yang satu aliran atau satu agama? TUHAN bisa memakai siapa saja dan dari kalangan mana pun untuk menyuarakan suara-Nya. Terbukti dalam kehidupan umat Allah sekali pun banyak sekali dari kalangan mereka sendiri yang tampil menjadi nabi-nabi palsu. Yang setuju saja dengan kelaliman yang sedang terjadi. Mereka seakan menina-bobokan bangsa itu. Bukankah hal serupa bermunculan di negeri kita. Para ustazd, pendeta, kyai, apa pun namanya yang memilih bungkam atau setuju saja bahkan terus mendoakan para pemimpin yang lalim?

Mengapa kejahatan terus bergulir? Anis Baswedan dalam kampanye pemilihan presiden 2009 yang lalu pernah menjawabnya, “karena orang benar memilih diam!” Negeri ini sebenarnya tidak kurang dengan orang yang baik, orang benar. Namun, mengapa seolah kejahatan yang terus merajai? Mengapa satu orang melakukan pelecehan seksual di bus kota atau kereta api yang begitu ramai, pelakunya tidak diketahui? Jawabannya karena orang-orang baik dan benar tidak mau mengambil resiko. Mereka, mungkin termasuk kita memilih bungkam dengan pemikiran jangan-jangan usaha dan kepentingan kita diganggu. Dalam Minggu Advent kedua ini kita diingatkan bahwa TUHAN tidak menginginkan umat-Nya diam ketika menyaksikan kelaliman terjadi, kejahatan merajalela dan kebenaran ditunggangbalikan. Apa jadinya ketika pembiaran itu terus terjadi dan dibiarkan. Kita sudah dapat menduganya; selesailah peradaban manusia yang dulu dikatakan sebagai makhluk mulia nan bermoral. Ketika itu selesai, bencana besar terjadi, selesai pula seluruh peradaban. Kalaupun TUHAN tidak menghumnya, maka hukuman itu terjadi, manusia memangsa sesamanya!

Pembiaran mempunyai konsekuensi berakhirnya peradaban damai sejahtera. Apakah kita puas hanyut dalam arus ini? Ataukah kita adalah kelompok orang-orang yang masih mempunyai pengharapan bahwa masa depan akan indah, damai sejahtera dan keadilan akan bergulung-gulung seperti air di samudera? Hal ini tentu tidak akan menjadi harapan utopia. Janji TUHAN seperti itu akan terjadi ketika manusia mengupayakannya. Hari ini saya membaca surat Zuckerberg untuk Max, bunyinya, “Max, kami mencintaimu dan merasakan sebuah tanggung jawab besar untuk meninggalkan dunia sebuah tempat yang lebih baik bagimu dan semua anak-anak. Kami mengharapkan bagimu sebuah hidup yang penuh dengan cinta, harapan dan sukacita yang sama yang kau berikan kepada kami. Kami tak sabar menanti untuk melihat apa yang kau berikan kepada dunia ini.” (Kompas 3/12)

Zuckerberg akan “menghadiahkan atau menunjukkan” hampir semua saham Facebook-nya, atau hasil penjualan sahamnya setelah pajak, untuk melanjutkan sebuah misi “memajukan potensi manusia dan mempromosikan kesetaraan”. Hari Rabu (2/12) ayah baru ini mengumumkan bahwa dirinya akan menghibahkan 99% yang diperkirakan senilai 45 miliar dollar AS (585 triliun rupiah) dari saham Facebook-nya untuk membuat dunia “sebuah tempat yang lebih baik” bagi puterinya, Max dan bagi anak-anak yang lain. Sebuah nilai uang fantastis, yang sedang dinegosiasikan oleh Setya Novanto dan para pejabat lainnya!

Mengapa ada orang seperti Mark Zuckerberg? Mengapa ada orang seperti nabi Maleakhi? Mengapa ada orang seperti Yohanes pembaptis? Mereka tahu persis resiko yang dapat terjadi akibat tindakan yang mereka jalani. Zuckerberg tidak menyayangkan uangnya, Maleakhi tidak takut popularitasnya redup karena tidak diakui oleh elit bangsawan dan pengusaha. Dan Yohanes tidak takut mati demi menyuarakan kebenaran karena mereka melihat dan bermimpi tentang masa depan dengan peradaban yang indah. Sebuah keadamaian, sebuah Firdaus, sebuah Sorga! Apakah Anda melihat itu? Jika ya, apa pun resikonya akan Anda hadapi. Bukan nekad dan konyol, tapi jelas bahwa sebuah peradaban baru sedang terjadi kini, saat ini dan melalui Anda!