Manusia umumnya menghindari dan menolak penderitaan. Namun, tak dapat
disangkal, tidak ada manusia yang seteril dari derita. Setiap orang pernah
mengalami kesulitan dan pergumulan yang kemudian kita mesebutnya sebagai
penderitaan. Ada pelbagai sebab manusia mengalami penderitaan, antara lain:
Kesalahan atau kelalaian diri sendiri, kurangnya ilmu pengetahuan, dimusuhi
atau dianiaya orang lain karena tidak sepaham atau kita sama sekali tidak tahu
penyebabnya. Untuk yang terakhir ini, biasanya sikap spiritualitas orang
percaya akan mengatakan, “Tuhan mempunyai rencana yang indah.”
Berkaitan dengan tema kita, jelaslah yang dimaksud dengan menderita itu
bukan akibat kesalahan dan kelalaian sendiri melainkan menderita sebagai
konsekuensi ketaatan kepada Tuhan. Dengan kata lain memilih taat kepada Tuhan
meskipun konsekuensinya mengalami pelbagai derita. Taat
kepada Tuhan mengandung pengertian: senantiasa tunduk, patuh, tidak berlaku
curang, setia, disiplin dan selalu
mendahulukan kehendak Tuhan. “Menderita namun tetap taat”
Kalimat tema ini gampang diucapkan tetapi sulit untuk dijalani! Mengapa? Sebab,
pada umumnya manusia dengan naluri, logika dan segenap kemampuannya punya
“sistem” untuk menghindari dan menolak penderitaan itu. Maka untuk dapat
mengalahkan “sistem” yang cenderung lari dari penderitaan harus ada sesatu yang
lebih bernilai yang dipandang pantas untuk diperjuangan dan bahkan menjadi
penopang dalam menjalani kehidupan yang tidak mudah.
Satu hal yang dapat mengatasi penolakan terhadap konsekuensi penderitaan
adalah kecintaan dan keyakinan iman yang tulus kepada Allah. Orang yang
mengasihi Allah dan mempercayakan hidup kepada-Nya pasti dapat bertahan di
tengah kesulitan dan penderitaan yang luar biasa sekalipun. Bukankah pengalaman
empirik kita menunjukkan hal itu? Misalnya, seorang ibu akan meninggalkan
kenyamanannya, meskipun seharusnya ia dapat menikmati istirahat pada malam hari
setelah seharian disibukkan dengan pelbagai urusan rumah tangga ketika anaknya
menangis karena popoknya basah atau lapar. Seorang kekasih akan melakukan apa
saja, yang dilihat oleh orang lain terkesan nekad, penuh tantangan dan derita
demi menyenangkan buah hatinya. Pengalaman empirik yang merelakan diri
mengalami derita untuk orang yang dikasihi mestinya dapat menjadi modal untuk
melakukannya bagi dan atas nama cinta kepada Allah.
Yesus Kristus adalah contoh yang sangat gamlang dan jelas. Begitu besar
kasih-Nya kepada Bapa-Nya sehingga Ia rela memberikan apa pun, termasuk
nyawa-Nya sendiri! Di samping itu Yesus Kristus tahu benar rencana Bapa-Nya atas
jalan hidup yang harus Ia tempuh. Dengan sikap seperti ini, penderitaan bukan
lagi sebagai hambatan dalam ketaatan kepada Bapa-Nya. Penderitaan justeru
membuat semakin nyata ketaatan dan kesetiaan-Nya. Penderitaan menjadi mata uji
bagi orang yang mengaku setia kepada-Nya. Dapatkah kita disebut setia jiak
tidak pernah melewati masa-masa sulit? Dengan penderitaan yang dialami-Nya,
Yesus memenuhi tujuan (teleios) Allah
untuk menyelamatkan dunia.
Melalui pengalaman-pengalaman pahit, Yesus mencapai kesempurnaan (teleioun,
dari kata sifat teleios). Bagi
orang Yunani, sesuatu disebut teleios,
sempurna, jika sesuatu itu dapat memenuhi dengan tepat tujuan yang telah
ditetapkan semula. Yesus ditetapkan dari semula oleh Bapa-Nya untuk menjadi
Mesias. Ya, Mesias yang menderita untuk menyelamatkan dunia dari dosa. Kata teleios tidak dimaksudkan untuk
kesempurnaan abstrak dan khayal melainkan dikaitkan dengan fungsinya. Apa yang
dikatakan oleh penulis Ibrani adalah sebuah pengalaman derita yang dilewati
Yesus sungguh tepat (sempurna) untuk predikat Dia sebagai Juruselamat manusia,
Imam Besar yang sejati! Yesus telah dengan sempurna mengerjakan apa yang
dikehendaki Allah supaya melalui pelbagai penderitaan bahkan kematian-Nya
manusia dapat ditebus dan diselamatkan. Kini manusia tidak lagi membawa hewan
kurban agar dapat diselamatkan. Cukup memandang dan mengimani serta meneladani
karya agung Sang Imam Besar itu.
Hal menarik yang berkaitan dengan tema kita adalah bahwa meskipun Yesus
telah ditetapkan menjadi Imam Besar dan bahwa diri-Nya adalah Anak, ternyata
tidak membebaskan-Nya dari pelbagai kesulitan. Sebaliknya, Ia belajar menjadi
taat dari apa yang telah diderita-Nya (Ibr.5:10). William Barclay mencatat ungkapan, “Ia belajar dari apa yang diderita.” Adalah sebuah ungkapan
permainan kata emathen aph’ hon epathen.
Menurutnya, ugkapan ini lazim ditemukan pada para ahli pikir Yunani. Mereka
selalu menghubungkan mathein,
belajar, dengan pathein, menderita.
Aeskhylus, pengarang drama besar Yunani yang pertama menulis kata-kata yang
mirip dan melanjutkan ungkapan itu, katanya: “Belajar itu muncul dari menderita” (pathei mathos). Ia menyebut penderitaan sebagai semacam anugerah
liar dari para dewa. Herodotus menyatakan bahwa penderitaannya adalah akharista mathemata, cara belajar yang
keras dan kejam.
Sayangnya, tidak semua orang dapat melihat bahwa di balik derita itu ada
pelajaran yang berharga. Bahkan murid-murid Yesus pun tidak sanggup mengerti.
Permintaan Yakubus dan Yohanes yang menginginkan duduk dalam kemuliaan (Markus
10 :35-45) setidaknya mewakili kebanyakan orang yang enggan menempuh jalan
sulit. Yakobus dan Yohanes mewakili kebanyakan orang yang sulit melihat bahwa
kemesiasan yang diemban Yesus adalam Mesias yang menderita (Imam Besar yang
mengorbankan diri-Nya sendiri; versi Surat Ibrai). Mereka berangan-angan Yesus
tampil sebagai Mesias politik yang menaklukan musuh-musuh Israel serta
memulihkan kedigdayaan Israel seperti pada zaman Daud dan Salomo. Tentu, Yesus
tidak ingin murid-murid-Nya jatuh dalam pemahan sempit tentang jalan kemuliaan
itu. Maka Ia mengajarkan barangsiapa mengingini
kemuliaan, ia harus mau menjadi pelayan seperti yang sedang dan akan
dilakoni-Nya.
Allah menyapa manusia melalui pelbagai pengalaman hidup, terutama
pengalaman yang menyentuh hati dan mengancam jiwa. Suara-Nya hanya dapat kita
dengar apabila kita menerima dengan penuh hormat dan menyakini bahwa segala
yang datang menghampiri kita pasti berujung pada kebaikan. Sebaliknya, jika
kita menanggapinya dengan rasa benci, maka teriakan pemberontakan yang dalam
hati kita akan membuat kita menjadi tuli terhadap suara Allah.
Kita dapat belajar dari kisah yang menyentuh hati, menyesakkan dada dan
mengancam jiwa dari pengalaman Ayub. Tokoh Ayub sangat kental dengan
penderitaan. Allah mengajar kita melalui cerita Ayub tentang misteri penderitaan
itu. Sahabat-sahabat Ayub mencoba menafsirkan pengalaman pahit, kejam, keras
dan mengancam jiwa itu berkaitan dengan dosa. Maka tidak segan, mereka menuduh
Ayub telah melakukan dosa di hadapan Tuhan. Namun ternyata tidak sesempit itu! Bukan,
penderitaan itu bukan balasan dari keberdosaan Ayub. Manusia merasa punya
kapasitas hikmat namun berhadapan dengan hikmat TUHAN ternyata tidak memadai.
TUHAN bertanya kepada Ayub tentang misteri diri-Nya dan alam raya ciptaan-Nya.
Manusia dalam hal ini Ayub bungkam seribu basa (Ayub 38:1-7). Di ujungnya nanti
seluruh penderitaan yang dialami Ayub adalah bagian dari proses pembelajaran
yang menghantar Ayub untuk berjumpa dengan Allah sendiri.
TUHAN menyatakan keterbatasan hikmat dan pengetahuan Ayub. Dari sisi
Ayub, ia menerima pernyataan langsung dari TUHAN mengenai kehadiran, kemurahan
dan kasih-Nya, doa Ayub kemudian segera terjawab. Tanggapan TUHAN terhadap Ayub dapat ditafsirkan
bahwa pada akhirnya TUHAN sendiri akan menghampiri semua orang yang dengan
sungguh-sungguh berseru kepada-Nya dan tawaqal dalam menjalani kesulitan hidup.
Aspek terutama hubungan kita dengan Allah bukanlah pemahaman intelektual semata
mengenai semua jalan TUHAN, tetapi yang terpenting adalah pengalaman dan realitas
perjumpaan dengan TUHAN dalam setiap pergumulan. Ketika keyakinan itu menjadi
pengalaman konkrit, bahwa TUHAN ada dalam kondisi tersulit sekalipun, di
situlah kita bisa tentram! Dengan cara itulah baru kita dapat mendengar dengan
jernih suara-Nya. Dengan jalan demikian kita bisa taat maupun di tengah badai
karena dalam badai pun TUHAN dapat hadir!
Kebalikan dari Ayub dan
teman-temannya, Penulis Mazmur 104 : 1-9, 24-25 alih-alih bersoal-jawab tentang
misteri Allah dan alam semesta, justeru ia menjadikannya bahan refleksi untuk
memuji dan mengagungkan Allah.