Pernah jatuh cinta? Atau setidaknya menyaksikan sepasang muda-mudi yang
sedang kasmaran. Kalau Anda diminta menyebut satu kata saja untuk melukiskan
seorang yang sedang jatuh cinta, kira-kira kata apa yang tepat? Gairah! Ya,
mungkin itu kata yang tepat. Ketika cinta merasuk dalam dada, hidup seseorang
menjadi bergairah seolah tidak ada kata lelah untuk menyenangkan sang buah
hati. Apa pun akan dilakukan. Satu syair cinta mengatakan, “Gunung ‘kan kudaki,
lautan ‘kan kuseberangi dan nyawa ‘kan kupertaruhkan demi menyenangkanmu!” Bagi
seorang yang sedang kasmaran dunia menjadi begitu indah sehingga tidaklah sulit
untuk menuangkannya dalam bentuk puisi. “Dengarlah
kekasihku! Lihatlah, ia datang, melompat-lompat di atas gunung-gunung,
meloncat-loncat di atas bukit-bukit. Kekasihku serupa kijang, atau anak rusa.
Lihatlah, ia berdiri di balik dinding kita,…”(Kid.2:8,9a). Sepenggal bait
puisi sang pujangga Kidung Agung yang menyiratkan letupan hati yang penuh
kerinduan.
Sungguh luar biasa jika kita bicara tentang gairah cinta. Tema yang satu
ini tidak pernah habis dikupas, dibahas, dijadikan tema novel atau film.
Perhatikan lirik-lirik lagu pop di tanah air, hampir sembilan puluh persen
mengangkat tema cinta. Perhatikan tema-tema film di sepanjang zaman, bukankah
kebanyakan berbicara tentang cinta. Cinta adalah keindahan begitulah kata
pujangga. Cinta adalah gairah api yang tak terpadamkan bahkan oleh
aliran-aliran sungai sekalipun. “…karena
cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya
adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN.” (Kid.8:6). Gairah cinta itu
kuat seperti maut, artinya: gairah itu, sama seperti maut, tidak bisa dilawan.
Berbicara gairah cinta, mestinya menyadarkan kita bahwa ada gairah yang
membuat kehidupan menjadi semakin indah. Namun, fakta juga menunjukkan bahwa
gairah itu dapat membakar hangus tanpa bekas orang yang dirasukinya. Ada cinta
sejati, ada cinta terlarang. Cinta sejati mestinya akan membuahkan kebahagiaan
sejati. Namun, cinta yang dibakar oleh nafsu birahi membuahkan kebinasaan!
Cinta sejati adalah cinta menyeluruh, ia tidak pernah menuntut kecuali pada
diri sendiri untuk memberikan yang terbaik bagi yang dicintainya. Ia tidak akan
pernah merasa rugi atau merasa menjadi korban manakala telah berjuang
memberikan yang terbaik. Orang lain akan melihat bahwa cintanya penuh
pengorbanan. Tetapi si pencinta tidak pernah merasa dirugikan. Alih-alih
berkelu-kesah atas penderitaan yang dialami, ia akan tersenyum manakala melihat
sang kekasih tersenyum bahagia.
Cinta mestinya bening dan transparan. Ia tidak pernah membuahkan
kegaduhan apalagi mencederai dan membinasakan. Cinta bukan hanya milik sepasang
anak manusia yang sedang kasmaran. Cinta bisa merasuki semua orang. Karena
cinta, orang tua rela melakukan apa saja untuk anak-anaknya. Karena cinta,
seorang sahabat merelakan nyawanya. Karena cinta, TUHAN mau melakukan apa pun
demi menyelamatkan manusia. Karena cinta, Ia memberikan Anak-Nya yang Tunggal
untuk Anda dan saya. Karena cinta, mestinya Anda dan saya tidak akan tahan
menyaksikan penderitaan sesama anak manusia! Karena cinta, mestinya kita
bergairah dalam melakukan kehendak-Nya.
Kita sering menyatakan diri bahwa kita mencintai-Nya. Kita sering
menyanyikan pujian tentang cinta kita kepada-Nya bahkan kita juga membuat
syair-syair pujian maupun doa tentang cinta itu. Namun, apakah yang ditulis,
digubah, dinyanyikan dan dilantunkan dalam doa itu membuat kita bergairah untuk
melakukannya? Apakah gairah itu sama seperti ketika kita sedang jatuh cinta
pada seseorang? Ataukah kita hanya bergairah dalam tataran ibadah formal saja?
Apa yang kita fikirkan seandainya cinta itu hanya diungkapkan dengan
baku dan formal? Anda bisa membayangkan ketika Anda akan mengekspresikan cinta
itu, kemudian didahului semacam kata-kata protokoler. Maka cinta itu menjadi
kaku, beku dan kehilangan gairahnya. Hal yang sama terjadi apabila kita mengekspresikan
ungkapan cinta kepada TUHAN itu hanya dibatasi dengan ritual-ritual ibadah
formal saja. Cinta itu menjadi kaku dan beku serta kehilangan gairah
esensialnya!
Dalam perjalanan pelayanan-Nya, kerap kali Yesus berhadapan dengan
orang-orang yang begitu gigih menekankan
pemahaman harafiah formal atas aturan-aturan Taurat yang mereka anggap sebagai
firman TUHAN ketimbang terlebih dahulu memahami jiwa atau motif-motif di balik
aturan-aturan agama itu sebagai ekspresi cinta mereka kepada Allah. Mereka
menyebut diri ahli Taurat dan orang Farisi. Mereka hanya bergairah melakukan
hukum-hukum formal itu karena fikirnya, dengan melakukan sederetan syareat itu
mereka mendapat upah yakni kehidupan yang diberkati dan sorga serta bonus
pujian dari orang-orang yang melihatnya. Sehingga pelaksanaan aturan-aturan itu
tidak lagi memertimbangkan konteks. Pokoknya, dalam segala kondisi aturan itu
harus dilaksanakan, kalau tidak; berdosa!
Markus 7:1-23 mencatat bagaimana polemik Yesus dan ahli-ahli Taurat ini
terjadi. Mulai dari soal membasuh tangan yang kemudian menilai orang najis atau
tidak. Mereka mengecam murid-murid Yesus yang tidak membasuh tangan sebelum
makan dan hal itu, menurut tradisi nenek moyang mereka disebut nazis dan
berdosa. Maka Yesus menjawab mereka mengutip nubuat Yesaya, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya,
padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan
ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan
untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” (Markus 7:6-8). Demikian pula,
Yesus melanjutkan membongkar gairah mereka yang keliru dengan mencela praktek
mentaati Taurat yang keliru. Yesus menyebut hukum kelima dari Taurat tentang
menghormati ayah dan ibu. Namun, yang terjadi mereka tidak dapat merawat atau
menyantuni orang tua mereka dengan baik karena uang untuk itu telah mereka
gunakan untuk persembahan kurban di bait Allah. Yesus mengecam, mengapa hal
yang esensi, yakni memelihara, merawat dan menyantuni orang tua diabaikan hanya
dengan alasan memelihara kultus pengorbanan di bait Allah (Markus 7:9-13).
Padahal Allah sebenarnya tidak memerlukan apa-apa lagi!
Bisa jadi gairah yang digandrungi ahli Taurat dan orang Farisi juga
terjadi dalam hidup kita. Kita sering memilah orang; mana yang najis dan mana
yang tidak. Seolah kitalah pemilik kuasa penghakiman. Demikian juga kita dapat
saja bergairah sibuk “melayani” ini dan itu serta mempersembahkan banyak waktu,
tenaga dan uang demi nama kita tercantum sebagai pelayan yang berdedikasi.
Namun, apa yang terjadi di rumah sendiri? Terbengkalai! Tentu, di sinilah
kecerdasan spiritual kita diuji. Mana gairah cinta kepada Tuhan yang benar dan
mana gairah yang sedang memuaskan nafsu kita sendiri atas nama pelayanan!
Ingat, gairah cinta yang fokusnya pada pemuasan diri kelak akan memberangus
kita sendiri. Sebaliknya, gairah cinta yang tertuju kepada-Nya dan menjadikan
Dia pusat segalanya akan membuat kita mengalami sukacita.
Gairah yang pemuasan diri yang sama dalam nuansa berbeda bisa kita
jumpai dalam peradaban Kristen mula-mula. Rupa-rupanya, Yakobus menengarai
orang-orang percaya gemar membicarakan dan menikmati firman yang diberitakan. “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman
dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri
sendiri.” (Yakobus 1:22). Mestinya setiap orang yang mencintai Tuhan tidak
hanya sekedar mau mendengar melainkan menikmati, bersukacita dalam kegembiraan
ketika melakukan firman itu dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya berbeda;
bukan lagi kepuasan bagi diri sendiri melainkan selalu bertanya dan mencari
tahu; apakah Tuhan bergembira, senang dengan apa yang kita lakukan atau tidak.
Seseorang yang hanya bisa
membuat syair atau puisi pujian terhadap kekasihnya tapi tidak dapat memenuhi
bahkan bertolak belakang dari yang diungkapkannya maka kita sering menyebutnya,
“gombal”. Nah, jika tidak mau disebut gombal
maka seharusnya kita melakukan firman Tuhan itu dengan sungguh-sungguh, bukan
dengan terpaksa melainkan dengan gairah dan sukacita!