Dicobai. Kata ini sering kita gunakan dalam percakapan sehari-hari.
Untuk menguji makanan enak atau tidak, tidak ada cara lain, selain mencobanya. Untuk
mengetahui kandungan makanan baik tidaknya bagi kesehatan tubuh, cara terbaik
bukan langsung memakan dan tunggu beberapa waktu kemudian reaksinya, melainkan
test laboratorium. Untuk mengetahui sebuah mobil keluaran terbaru nyaman atau
tidak ketika dikendarai, tentu Anda tidak akan puas hanya dengan membaca brosur
dan penjelasan dari seorang sales di ruang pamer. Anda harus test drive untuk membuktikan bahwa
fitur-fitur yang dipromosikan itu sesuai dengan fungsi dan kenyataannya.
Kata Ibrani נסה nä-sä’ hampir setara
dengan kata Yunani πέιράζω peirazo dari
kata πέιρα peira yang berarti : “percobaan”,
“pengalaman”, mencoba mengetahui dari
pengalaman. Kualitas barang atau manusia dapat dikatakan sahih, terbukti
apabila ia telah melalui serangkaian test atau uji coba. Bagaimana kita memerlakukan sebuah
mobil dalam test drive? Kita akan
membawanya ke medan atau jalan-jalan yang ekstrim. Untuk menguji ketangguhan
tenaga mesinnya kita akan membawa mobil itu ke tanjakan terjal. Jalan menurun
yang curam adalah sarana terbaik untuk menguji rem berfungsi dengan baik atau
tidak. Tikungan berkelok tajam berguna untuk mengetahui kemudi dan kaki-kaki
serta roda apakah berjalan dengan semestinya atau tidak. Hujan badai dan cuaca
yang berubah-ubah akan menguji apakah body
kendaraan kita tangguh atau tidak. Dan jalan mulus bebas hambatan akan menguji
kecepatan maksimal dari mobil yang kita uji. Semuanya diperlukan untuk
memastikan sebuah mobil layak disebut mobil berkelas atau abal-abal!
Mirip-mirip test drive,
kehidupan orang percaya juga mengalami ujian atau pencobaan. Tokoh terkenal
dalam Alkitab Abraham pernah mengalami pencobaan, Ayub dan juga Yesus. Mungkin
kita bertanya, “Apakah Allah kurang kemahatahuannya sehingga harus mengadakan
semacam test drive terhadap manusia?
Rasanya bukan begitu. Sama seperti seorang guru menguji anak didiknya dengan
ulangan atau ujian. Saya kira, guru yang baik pasti sudah tahu kemampuan
muridnya. Namun, toh test itu harus
dilakukan juga. Mengapa? Hal ini jelas lebih banyak untuk kepentingan si anak
didik itu sendiri. Dengan serangkaian test itu, anak didik mendapat keyakinan
bahwa sekarang ia dapat menguasai pelbagai ilmu dari gurunya. Kini, ia pun
dapat pengakuan bukan hanya dari lembaga pendidikan yang mendidiknya tetapi
juga dari dunia di sekitarnya bahwa ia mampu membuktikan bahwa dirinya
menguasai ilmu itu. Nah, pencobaan yang Allah ijinkan terjadi tentu bukan untuk
kepentingan dan kebaikan Allah melainkan untuk manusia itu sendiri.
Tidak dipungkiri ketika kita menjalani proses “ujian” itu tidaklah
selalu menyenangkan. Sama seperti mobil yang sedang diuji-coba. Bisa saja mobil
itu berteriak ketika kekuatannya mesinnya dipaksa dipacu maksimal. Kemudinya,
dibanting kiri-kanan lalu remnya ditekan sekuat tenaga sehingga roda itu
berteriak mendecit. Kita pun protes ketika melewati pelbagai kesulitan dan
jalannya hidup yang ekstrem itu! Seperti
Ayub protes, “Allah telah membuat aku
putus asa, Yang Mahakuasa telah membuat hatiku gemetar;..” (Ayub 2316).
Namun, bukankah juga dalam test
drive itu ada jalan mulus. Di mana mobil dapat dipacu dengan maksimal. Hal
ini mengingatkan kepada kita bahwa ujian hidup itu bisa saja seperti jalan mulus. Kehidupan yang
menyenangkan, semua berjalan lancar, serba cepat dan berlimpah ruah harta. Nah,
dalam keadaan seperti ini apakah kita tetap waspada dan bergantung pada Tuhan?
Ataukah kita tergoda utuk terus memacu gas sehingga tidak lagi memedulikan
rambu-rambu yang ada? Banyak kecelakaan fatal terjadi justeru bukan di jalan
yang berkelok, menanjak, atau menurun, namun justru di jalan yang mulus dan lurus.
Demikian juga banyak orang percaya jatuh ketika sedang menikmati kemudahan,
kenyamanan dan berlimpah harta kekayaan. Markus 10:17-31 mengisahkan bagaimana
kekayaan menjadi batu uji bahkan menjadi hambatan untuk seseorang
mengikuti-Nya. Betapa sulitnya seseorang melepaskan diri dari kemelekatan
terhadap harta benda.
“Dicobai hanya tidak berbuat dosa”. Kalimat tema ini mau tidak mau
mengingatkan kita pada apa yang dialami Yesus ketika tiga kali dicobai di
padang gurun. Yesus berhasil mengalahkan pencobaan dengan bergantung sepenuhnya
kepada kehendak Bapa dengan jalan itu kemudian kita mengerti bahwa Yesus yang
kemudian dinobatkan Allah menjadi Iman Besar yang melintasi segala langit (Ibrani
4 :14-16). Sekarang bagaimana respon kita terhadap pencobaan yang terjadi dalam
kehidupan kita? Tidak ada jalan lain, sama seperti Yesus bergantung pada
kehendak Bapa-Nya, maka kita harus berpegang teguh pada pengakuan iman kita, meneladani
apa yang Yesus lakukan yakni tidak menampik pencobaan tetapi mengatasi dan
mengalahkannya.
Sebuah merek mobil terkenal bukan karena gencarnya promosi atau iklan,
melainkan karena memang ia tahan uji. Yesus menerima kehormatan sebagai Iman
Besar, itu bukan karena promosi atau iklan dari Allah, Bapa-Nya. Melainkan, Ia
telah membuktikannya melalui pelbagai penderitaan, ujian dan cobaan itu! Yesus
mengalami setiap hal yang harus dialami manusia, dan memang Ia benar-benar sama
seperti kita dalam semua hal. Namun, berbeda dari kita, dalam segala hal yang
harus diterima-Nya, Ia tidak melakukan dosa! Padahal kita tahu apa yang terjadi
di sepanjang kehidupan-Nya. Betapa berat tekanannya, dan betapa hebat serangan
dan pencobaan yang Ia alami. William Barclay menggambarkan bahwa pergumulan-Nya
sungguh jauh dari ringan dan beratnya tidak dapat diukur. Mengapa? Kalau
dibandingkan dengan kita, barangkali kita sudah jatuh dalam pencobaan jauh
sebelum pencobaan itu mengerahkan semua kekuatannya.
Kita tidak pernah tahu pencobaan itu pada level yang paling dasyat!
Mengapa? Karena sering kita sudah jatuh lama sebelum tingkat itu dicapai.
Tetapi Yesus dicobai lebih dari kita, sebab terhadap Yesus si penggoda
mengerahkan segala kekuatannya untuk menyerang dan menggagalkan misi Yesus.
Renungkanlah hal ini dengan mengambil contoh rasa sakit sebagai pembanding. Ada
tingkat rasa sakit yang dapat dirasakan oleh manusia. Masing-masing manusia punya
ketahanan sendiri sampai level berapa ia bertahan menanggung rasa sakit. Namun,
ada batasnya. Pada batas tertentu kita sudah tidaklagi tahu apa dan bagaimana
rasa sakit itu. Kita keburu pingsan, tidak sadarkan diri. Sampai pada batas
tertentu, kita pun bisa kehilangan kesadaran terhadap pencobaan. Tetapi Yesus,
dapat sampai pada batas akhir pencobaan dan bahkan jauh melampauinya dengan
keadaan tetap sadar. Sampai akhirnya menyerahkan nyawa ke dalam tangan
Bapa-Nya. Maka benarlah jika dikatakan bahwa Ia dicobai dalam semua hal seperti
kita; dan benar juga jika dikatakan tidak ada seorang pun yang telah dicobai
seperti Dia!
Sebagai pengikut-pengikut-Nya,
mestinya tidak menjadikan pencobaan sebagai alasan untuk jatuh bahkan hidup di
dalam dosa. Pencobaan bisa dan harus terjadi dalam hidup kita. Pandanglah itu
ibarat kita sebuah mobil yang sedang diuji coba. Kelak kita akan lulus uji,
bukan hanya nama saja yang disandang, melainkan memang kenyataan demikian.
Bukan hanya bangga dengan iklan, nama, sebutan, atau merek “anak-anak Allah”
melainkan kenyataannya memang demikian: tangguh dan tahan uji!