“Memberikan korban persembahan bagi Allah”. Kalimat ini sering kita
dengar dan karena seringnya mungkin tidak lagi menjadi persoalan buat kita.
Namun, cermatilah! Apakah Allah membutuhkan pengorbanan dari seorang anak
manusia? Bukankah Dia Yang Mahakuasa dan Pemilik segalanya? Lantas, buat apa
korban itu diberikan?
Kalau kita menelisik koraban persembahan, akarnya jauh ada dalam
Perjanjian Lama. Bahkan sebelum ada tradisi korban di Perjanjian Lama,
bangsa-bangsa di luar Israel pun telah mengenal dan mempraktekkan ritual-ritual
penyembahan yang disertai dengan penyerahan korban. Penyerahan korban
persembahan itu bisa hasil bumi, hewan ternak, bahkan manusia! Peradaban kultus
penyembahan dalam Yudaisme berangsur-angsur menjadi lebih tertata. Kitab
Kejadian mencatat ritus korban persembahan yang dilakukan oleh Kain dan Habil.
Abraham menjadi tenar sebagai bapa orang percaya setelah berhasil melewati
ujian mempersembahkan Ishak, anak yang lama dinanti-nantikannya. Sejarah
keluarnya Israel dari perbudakan di tanah Mesir dengan peringatan Paskah tidak
luput juga dengan korban persembahan. Kitab Imamat merinci dan mengatur
bagaimana korban-korban persembahan dilakukan serta orang-orang yang diberi
otorisasi menyelenggarakannya.
Korban persembahan menjadi hal utama dalam ritual ibadah Israel, sebab
tanpa itu tidak akan terjadi hubungan yang baik antara Allah dan manusia. Dosa
manusia telah merusak hubungan baik itu. Maka Hari Penebusan atau Hari
Pendamaian itu memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan umat. Hari
menjadi penting, mengapa? Karena pada hari itu terjadi penebusan bagi semua
dosa umat. Hari itu adalah hari satu-satunya di mana Imam Besar secara pribadi
mempersembahkan korban. Pada hari-hari biasa pekerjaan itu diserahkan kepada
imam-imam bawahan.
Acara pertama dan yang paling utama dalam upacara pada hari itu ialah
persembahan korban untuk dosa-dosa Imam Besar itu sendiri. Ia akan mencuci
tangan dan kakinya, menanggalkan jubahnya yang maha indah. Lalu mengenakan
pakaian dari kain lenan yang putih bersih. Kemudian seekor sapi jantan yang
dibelinya dengan uangnya sendiri dibawa kepadanya. Sang imam Besar kemudian
meletakan kedua tangannya di atas kepala sapi jantan itu untuk mengalihkan
dosa-dosanya kepada hewan tersebut. Lalu ia mengucapkan pengakuan, “O, TUHAN
Allah, aku telah berbuat kefasikan, aku telah berdosa, aku dan keluargaku. O,
Allah, aku mohon dengan sangat, tutupilah dosa-dosa dan pelanggaran-pelanggaran
yang telah aku dan keluargaku lakukan di hadapan-Mu.”
Persembahan korban yang paling besar dalam imamat Lewi mulai dengan
persembahan korban bagi dosa-dosa Imam Besar itu sendiri. Kitab Ibrani
menyatakan bahwa Yesuslah Sang Imam Besar Sejati. Mengapa? Karena Yesus tidak
berdosa! Imam Besar menurut imamat Lewi adalah orang berdosa yang
mempersembahkan korban-korban hewan bagi manusia berdosa. Sedangkan Yesus
adalah Anak Allah, tanpa dosa dan kemudian mempersembahkan diri-Nya sendiri
untuk dosa semua manusia. Yang menentukan seseorang menjadi Imam Besar menurut
imamat Lewi adalah hukum. Sebaliknya, yang memberikan jabatan imam kepada Yesus
adalah sumpah Allah.
Selanjutnya, Yesus bukan saja Imam Besar yang sempurna tetapi juga Ia
adalah korban yang sempurna. Hanya Yesus sajalah yang dapat membuka jalan
kepada Allah, karena Dia adalah Imam Besar yang sempurna dan Ia telah
mempersembahkan korban yang sempurna, yakni diri-Nya sendiri. Dalam konteks
ritus korban persembahan inilah penulis Ibrani menyatakan bahwa Yesuslah Sang
Imam Besar ideal itu. Sejak dahulu manusia mencari Allah tetapi dosanya telah
menjadi penghalang sehinga perjumpaan dengan Allah itu tidak memungkinkan
terjadi. Hanya Yesus satu-satunya kemungkinan itu bisa terjadi.
Di sini kita menemukan jawaban bahwa sebenarnya Allah tidak membutuhkan
korban apa pun dari manusia. Manusialah yang membutuhkan pengorbanan itu agar ia
dapat diperdamaikan dengan Allah. Korban dalam tradisi Perjanjian Lama jelas
tidak akan bisa sempurna. Mengapa? Karena Imam Besar sekalipun yang
menyelenggarakannya ia tetap memerlukan korban persembahan karena ia sendiri
pun tak luput dari dosa. Pendamaian itu hanya memungkinkan terjadi melalui Imam
Besar yang sejati, Yesus! (sumber
tafsiran: William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari : Ibrani)
Apa yang harus dilakukan atau terjadi pada manusia yang kesalahannya
sudah ditebus? Bersyukur dan berterimakasih! Dengan cara apa dan bagaimana?
Sederhana: dengan jalan menjadikan hidup kita sebagai persembahan yang hidup
dan berkenan kepada-Nya (Roma 12:1). Kini, kita tidak perlu lagi membawa hewan
korban atau ritual yang sejenis dengan itu. Yang harus kita lakukan adalah
bagaimana hidup ini menjadi berkat bagi orang lain yang belum mengenal kasih
karunia-Nya. Jadi segenap kehidupan ini harus kita pakai sebagai kesempatan
untuk bersyukur dan berterimakasih. Sehingga kita melakukan tugas apa pun demi
kemuliaan nama-Nya bukan dengan terpaksa, melainkan sukacita dengan ungkapan
syukur. Kisah Hudson Taylor dapat menolong kita untuk dapat mempersembahkan
hidup kita sebagai ungkapan syukur bagi Allah:
Senin, 19 September 1853, Amelia Taylor datang ke dermaga di Liverpool
untuk melepas puteranya, Hudson yang pada saat itu berusia 21 tahun. Hudson
mempunyai tekad bulat memberitakan Injil di China. Baik ibu maupun anak
sama-sama tdak yakin apakah mereka kelak akan bertemu lagi atau tidak. Mereka
larut dalam kesedihan. Missionaris muda itu memeluk ibunya dan berusaha
menghibur, “Ibu tersayang, jangan menangis. Kita akan bertemu lagi, pikirkan
tujuan mulia yang akan saya datangi dengan meninggalkanmu! Ini bukan demi
kekayaan atau ketenaran, melainkan untuk mencoba membawa China mengenal Yesus.”
Ketika Dumfries, kapal kecil
yang membawa Hudson Taylor menuju China, sampai di Laut Irlandia, kapal itu
menghadapi badai yang sangat dasyat. Morris, sang kapten kapal mengatakan, “Saya
belum pernah melihat laut seganas ini. Jika Allah tidak menolong kita, tidak
ada harapan!” Akhirnya, setelah menempuh perjalanan selama lima bulan, Dumfries tiba dengan selamat di China dan Hudson Taylor
mengabdikan hidupnya selama 50 tahun menjadi missionaris.
Pada awal 1894, Hudson Taylor melakukan perjalanan untuk kesembilan
kalinya ke China. Dalam kelompok missinya, kali ini bergabung Geraldine
Guineness, yang bertunangan dan akan menikah dengan anak Taylor, yaitu Howard.
Pernikahan itu terjadi di Shanghai pada bulan April. Howard dan Geraldine
memutuskan cuti untuk berbulan madu. Namun, ketika mereka pergi, masalah
bermunculan di beberapa pos missi di provinsi utara. Sehingga Hudson Taylor memutuskan
untuk segera menanganinya. Keputusan itu jelas beresiko mengingat perjalanan
berat harus ditempuh selama tiga sampai empat bulan di dataran China sebelum
ada jalur kereta api. Tanpa gentar ia mengaturnya, tepat pada musim terpanas
tahun itu tiba.
Setelah kembali ke Shanghai dari bulan madu, Howard dan Geraldine
belajar dari keberangkatan Hudson, sang ayah. Melihat dan mengalami perjalanan
yang tidak mudah itu, anak dan menantu Taylor sangat mengkhawatirkan kesehatan
orang tua mereka yang kini tidak muda lagi. Ketika mereka berjumpa dengan missionaris
tua ini, Howard memprotes, “Perjalanan ini mungkin berbahaya bagi hidupmu,
Ayah!”
“Ya,” Taylor senior menegaskan dengan tenang, kemudian menambahkan
dengan mengutip sebuah ayat Alkitab, “dan kita tidak boleh lupa, kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk
saudara-saudara kita.” (1 Yohanes 3:16). (Sumber :Christie, Hudson Taylor; Steer, J. Hudson Taylor, hlm 46-50;
332-333)