Kamis, 18 Juni 2015

TEGUH BERTUMBUH DI TENGAH HIDUP YANG GADUH

Kisah pertempuran Daud melawan Goliat (1 Samuel 17) merupakan kisah klasik legendaris segaligus inspiratif. Banyak diingat, dipelajari, dijadikan dongeng menjelang tidur oleh banyak orang. Kisah heroik ini bermula dari konflik antara Israel dan Filistin. Mereka berhadap-hadapan siap berperang! Pada waktu itulah keluar seorang yang bernama Goliat. Alkitab menggambarkan sosoknya sebagai berikut: Tingginya enam hasta sejengkal, kira-kira 3,2 meter! Ketopong tembaga ada di kepalanya, dan ia memakai baju zirah yang bersisik; berat baju zirah ini 5000 syikal tembaga (~57 kg). Dia memakai penutup kaki dari tembaga, dan di bahunya ia memanggul lembing tembaga. Gagang tombaknya seperti pesa tukang tenun, dan mata tombaknya itu 600 syikal besi beratnya (~7 kg). Dan seorang pembawa perisai berjalan di depannya.

Goliat menantang orang Israel, katanya: "Mengapa kamu keluar untuk mengatur barisan perangmu? Bukankah aku seorang Filistin dan kamu adalah hamba Saul? Pilihlah bagimu seorang, dan biarlah ia turun mendapatkan daku. Jika ia dapat berperang melawan aku dan mengalahkan aku, maka kami akan menjadi hambamu; tetapi jika aku dapat mengungguli dia dan mengalahkannya, maka kamu akan menjadi hamba kami dan takluk kepada kami." Pula kata orang Filistin itu: "Aku menantang hari ini barisan Israel; berikanlah kepadaku seorang, supaya kami berperang seorang lawan seorang." Sontak, seluruh Israel ciut.

Seperti biasa, Daud tidak diikut sertakan dengan kakak-kakaknya, Eliab, Abinadab dan Syama sebagai prajurit-prajurit Israel. Daud dipandang tidak ada potongan sebagai tentara, barangkali karena posturnya yang terlalu kecil maka selalu saja ia disuruh pulang untuk menggembalakan kamibing domba bapaknya. Isai kuatir akan keselamatan ketiga anaknya yang bertempur bersama dengan Saul, maka ia meminta Daud untuk menengok keadaan ketiga anaknya itu sambil membawa bekal makanan. Sesampainya di medan pertempuran, Daud mendengar tantangan Goliat yang meremehkan Israel. Harga dirinya sebagai umat Allah terusik dan semangatnya membara. Ia tidak peduli dengan tampilan Goliat yang menyeramkan itu. Lalu berkatalah Daud kepada orang-orang yang berdiri di dekatnya: "Apakah yang akan dilakukan kepada orang yang mengalahkan orang Filistin itu dan yang menghindarkan cemooh dari Israel? Siapakah orang Filistin yang tak bersunat ini, sampai ia berani mencemoohkan barisan dari pada Allah yang hidup?"

Terdengarlah kepada orang perkataan yang diucapkan oleh Daud, lalu diberitahukanlah kepada raja Saul. Dan Saul menyuruh memanggil dia. Berkatalah Daud kepada Saul: "Janganlah seseorang menjadi tawar hati karena dia; hambamu ini akan pergi melawan orang Filistin itu." Tetapi Saul berkata kepada Daud: "Tidak mungkin engkau dapat menghadapi orang Filistin itu untuk melawan dia, sebab engkau masih muda, sedang dia sejak dari masa mudanya telah menjadi prajurit."

Tetapi Daud berkata kepada Saul: "Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya. Kemudian apabila ia berdiri menyerang aku, maka aku menangkap janggutnya lalu menghajarnya dan membunuhnya. Baik singa maupun beruang telah dihajar oleh hambamu ini. Dan orang Filistin yang tidak bersunat itu, ia akan sama seperti salah satu dari pada binatang itu, karena ia telah mencemooh barisan dari pada Allah yang hidup." Pula kata Daud: "TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu."

Kata Saul kepada Daud: "Pergilah! TUHAN menyertai engkau." Lalu Saul mengenakan baju perangnya kepada Daud, ditaruhnya ketopong tembaga di kepalanya dan dikenakannya baju zirah kepadanya. Lalu Daud mengikatkan pedangnya di luar baju perangnya, kemudian ia berikhtiar berjalan, sebab belum pernah dicobanya. Maka berkatalah Daud kepada Saul: "Aku tidak dapat berjalan dengan memakai ini, sebab belum pernah aku mencobanya." Kemudian ia menanggalkannya. Lalu Daud mengambil tongkatnya di tangannya, dipilihnya dari dasar sungai lima batu yang licin dan ditaruhnya dalam kantung gembala yang dibawanya, yakni tempat batu-batu, sedang umbannya dipegangnya di tangannya.

Kini, saat yang mendebarkan itu tiba. Daud berhadapan muka dengan Goliat! Sedikit pun tak ada kegentaran dalam diri Daud. Ia berkata kepada orang Filistin itu: "Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu. Hari ini juga TUHAN akan menyerahkan engkau ke dalam tanganku dan aku akan mengalahkan engkau dan memenggal kepalamu dari tubuhmu; hari ini juga aku akan memberikan mayatmu dan mayat tentara orang Filistin kepada burung-burung di udara dan kepada binatang-binatang liar, supaya seluruh bumi tahu, bahwa Israel mempunyai Allah, dan supaya segenap jemaah ini tahu, bahwa TUHAN menyelamatkan bukan dengan pedang dan bukan dengan lembing. Sebab di tangan Tuhanlah pertempuran dan Iapun menyerahkan kamu ke dalam tangan kami." Dengan keyakinan itu Daud mengalahkan Goliat!

Di tengah kenyataan dan ancaman mengerikan, di mana nyali semua orang Israel, tak kecuali Eliab, Abinadab dan Syama serta Saul sendiri, Daud – meskipun pada mulanya diragukan – tampil dengan keyakinan penuh bahwa TUHANnya dapat diandalkan. Itulah iman! Iman, bagi Daud nyata dalam keadaan kemelut dan krisis. TUHAN yang dia percaya akan ada bersamanya dalam menghadapi orang Filistin.

Sayangnya, iman seperti itu tidak terjadi dalam kehidupan kita. Kita mudah gentar, pesimis lalu kemudian putus asa dan menyalahkan TUHAN, seolah TUHAN tidak bertindak dan diam saja mana kala badai hidup menimpa kita. Memang, sekarang kita tidak berhadapan dengan lawan yang tingginya 3,2 meter dengan peralatan senjata perang yang mengerikan. Namun, bukankah sakit penyakit, kehilangan orang-orang yang dikasihi, kesulitan keuangan, kemelut dalam rumah tangga, intimidasi dan ancaman, serta yang semacam itu telah menjadi “Goliat-Goliat” masa kini yang membuat kita miris dan tidak lagi berpengharapan?

Dalam kondisi kemelut tertimpa badai kehidupan, kita cenderung seperti murid-murid Yesus. Mereka ketakutan luar biasa ketika berhadapan dengan taufan (Markus 4:35-41). Mereka membangunkan Yesus dan menggugat Yesus. Mereka menyalahkan Yesus, seolah Yesus tidak peduli dengan ancaman bahaya yang sedang terjadi. Kata mereka kepada-Nya, “Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?” Kemudian Yesus menghardik badai itu. Maka seketika itu juga tenanglah danau itu. Kini, Yesus menegur para murid atas nyali yang ciut dan ketidakpercayaan mereka. Dalam kehidupan ini, badai hidup akan selalu ada. Yesus tidak pernah menjanjikan kehidupan ini selalu menyenangkan. Tetapi, janji-Nya akan selalu hadir dalam kehidupan kita!

Iman terhadap hadirnya TUHAN dalam kehidupan kita tidak serta-merta membebaskan kita dari usaha menghadapi persoalan itu. TUHAN yang diyakini Daud menyertainya tidak membuat Daud terus berpangku tangan dalam menghadapi Goliat. Ia harus menyiapkan, mempersenjatai diri dengan batu, umban dan tongkat. Ia sendiri harus menghadapi Goliat. Ketika Yesus berada bersama-murid-murid-Nya dalam perahu, tidak juga Ia membebaskan para murid untuk mendayung. Mereka harus bekerja menghadapai kenyataan di danau itu. Selebihnya TUHAN yang mengambil alih. Kita pun harus menyadari bahwa beriman kepada TUHAN bukan berarti duduk manis diam saja, melipat tangan dan berdoa. Tentu saja doa sangat perlu, tetapi usaha mengatasinya tidak kalah penting sebagai ekspresi orang beriman.

Kita dapat belajar menghadapi kesulitan di tengah badai dari Paulus. Ada kata kunci yang dipakai Paulus menghadapi pelbagai “taufan atau badai” hidup itu, yakni kata hupomone “menahan dengan penuh kesabaran” (2 Korintus 6:4). Hupomone nyaris tidak dapat diterjemahkan. Kesabaran bukan diartikan sebagai tindakan pasrah kepada nasib dan tidak melakukan apa-apa. Melainkan, usaha maksimal dalam menghadapi penderitaan, kesulitan hidup dan aniaya dengan hati terpaut kepada TUHAN yang pasti tidak tinggal diam. Dengan demikian tetap ceria dan tenang sekalipun di tengah badai bahkan tidak mustahil sikap iman yang demikian akan mengubah ratap menjadi tarian; kemalangan menjadi kemuliaan. Itulah yang selanjutnya diceritakan Paulus dalam 2 Korintus 6:5:10. Ada pelbagai paradoks yang dimunculkan Paulus: ketika dianggap sebagai penipu namun dipercaya. Sebagai orang yang tidak dikenal, namun terkenal. Sebagai orang yang nyaris mati namun sungguh hidup. Sebagai orang yang berdukacita namun senantiasa bersukacita. Sebagai orang miskin namun memperkaya banyak orang. Sebagai orang yang tak bermilik, namun memiliki segala sesuatu!

Kamis, 11 Juni 2015

IMAN YANG MEMBARUI MATA HATI

“- sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat - “ (2 Korintus 5:7). Anak kalimat ini ditulis Paulus dalam keadaan hidup yang sungguh sangat sulit. Setelah ia mengalami pelbagai macam penderitaan, nyaris putus asa dan binasa. Apakah, karena sulitnya beban hidup, derita dan aniaya karena memberitakan Injil itu, lantas Paulus berhalusinasi untuk segera beranjak dari realitas kepada impian hidup bersama dengan Tuhannya dan dengan demikian bebas sama sekali dari penderitaan?  Sehingga ia menyambung kalimat itu dengan, “….., dan terlebih suka kami beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan.” (2 Kor.5: 8). Apakah bagi Paulus, tubuh ragawi tidak begitu penting, sehingga kapan pun bisa ditinggalkan dan rohnya beralih kepada Tuhan?

Banyak orang beragama ketika menghadapi kesulitan dan penderitaan di dunia ini segera ingin mengakhirinya dengan jalan “dipanggil pulang” oleh Tuhannya. Mengapa? Jawabnya sederhana, “Tuhan telah menjanjikan sorga dan di sana tidak ada lagi sakit, derita dan air mata. Yang ada hanyalah sukacita, terbebas dari segala penderitaan. Alih-alih menghadapi kenyataan hidup – yang memang tidak mudah – iman itu dipahami sebagai impian atau kerinduan lepasnya roh seseorang dalam cengkraman derita tubuh. Sorga tak ubahnya sebagai tempat pelarian dari duka, derita dan air mata! Apakah iman seperti itu yang sedang diajarkan Paulus kepada jemaat Korintus? Jika kita merangkai, memotong dan kemudian menafsirkan 2 Kor. 5:7 dan 8 dengan menghilangkan kata-kata, “tetapi hati kami tabah,..” sangat mungkin ajaran Paulus ini dimengerti seperti itu!

Iman yang diajarkan Paulus adalah iman yang mampu tegar menghadapi realitas, betapa pun hal itu terasa menyakitkan. Iman itu membuat dia dan teman-temannya tetap tabah menghadapi penderitaan. Iman yang dimaksudkan Paulus adalah iman yang terus berusaha dalam kehidupan ini untuk mengerjakan apa yang dikehendaki Tuhan (bnd. 2 Kor.5:9) dan bukan melarikan diri dari kenyataan hidup. Benar, dalam bagian iman tentu ada pengharapan pembebasan di masa yang akan datang. Paulus tidak menampikan itu. Kendati demikian, Paulus tidak pernah melupakan kehidupan “kini” dan “di sini”. Ia tidak pernah lupa bahwa kita sedang berada “di perjalanan”, tidak saja menuju kepada kemuliaan, tetapi juga ke pengadilan. “Kita semua harus berdiri di hadapan kursi pengadilan.” Demikian juga kita nantinya akan menghadapi keputusan Allah. Kalau kita mengingat hal itu, maka seharusnya kehidupan ini menjadi sesuatu yang sangat serius, malah menurut Barclay kehidupan ini menakutkan dan mengerikan, karena dalam kehidupan inilah kita membuat ketetapan akhir kehidupan kita, entah memenangkan atau kehilangan mahkota.

Kini dan di sini adalah realita, kenyataan yang menentukan masa depan kita. Apakah iman yang kita miliki dapat merespon realita yang ada atau tidak, itu sangat bergantung dalam cara kita menanggapi realitas. Tentang realitas, Eric Fromm menjelaskan, “Kesadaran semu atau gambaran tentang realitas yang tidak benar, bisa memperlemah kita. Sedangkan pemahaman realitas yang sebenarnya, dengan memiliki gamabaran yang memadai atas realitas tersebut, akan menjadikan kita lebih kuat.” Ada benarnya apa yang dikatakan Eric Fromm ini. Sering kita tidak obyektif melihat sebuah realitas kehidupan. Ambil contoh, ketika kita berhadapan dengan sakit penyakit, maka kita membayangkan bahwa penyakit itu akan membelenggu kita, merusak daya tahan tubuh, selanjutnya kita dikuasai oleh kecemasan luar biasa dan akhirnya kita kalah sebelum berperang. Bisa jadi, kodisi obyektifnya, sakit penyakit itu sebenarnya tidak mematikan dan bisa diatasi.

Lebih jauh dari Fromm, Leroy Eims menyarankan, agar kita mampu memenangkan pergulatan dalam kancah kemulut, “Jadilah seorang yang melihat lebih banyak dari pada yang dapat dilihat oleh orang lain, yang melihat lebih jauh daripada yang dilihat orang lain, dan yang melihat sebelum orang lain melihat.” Dua tokoh ini ingin mengatakan supaya kita tidak silap melihat dan mengenali realitas dalam “labirin kehidupan”.

Ada orang mengatakan bahwa realitas hidup ini seperti labirin. Tempat yang sarat jalan dan lorong yang berliku, simpang-siur. Hidup bukan jalan lurus, bukan pula jalan membentang yang datar. Hidup ini labirin dengan konfigurasi yang begitu rumit, tak selalu lazim dan sarat ketidakpastian, yang mendatangkan intimidasi, menggiring rasa kuatir dan putus asa. Iman seharusnya bukan jalan bagaimana meloncati “labirin” itu, tetapi menolong kita memasuki “labirin” dan tidak tersesat di sana. Maka, salah satu fungsi terpenting dari iman adalah menundukkan labirin hidup ini sehingga kita sanggup menaklukkan ketidakpastian. Bukankah iman itu berbicara tentang hal yang pasti di balik ketidakpastian hidup?

Lalu sikap iman yang bagaimana yang dapat menaklukkan labirin itu? Tentu saja cara yang paling mudah adalah melihat labirin dari atas, kita akan tahu, bukan saja jalan, lorong, tikungan, arah, dan pola yang rumit tetapi juga setiap sudut, sisi, lekuk, dan noktah. Caranya? Pakailah Mata Tuhan! Mata-Nya tidak pernah silap melihat realitas hidup ini. Mata Tuha tidak pernah salah pilih. Manusia sering melihat apa yang tampak, namun belum tentu yang tampak itu mencerminkan realitas yang sebenarnya. Malah sebaliknya, yang tampaknya gagah, pintar, mumpuni bisa saja kelak mengecewakan. Mata Tuhan tidak pernah silap ketika ia meminta Samuel menentukan salah seorang anak Isai untuk menggantikan Saul sebagai raja. Daud, dalam pandangan Isai, bapaknya sendiri bahkan Samuel tidak masuk hitungan sebagai calon raja.

Mengapa mata kita suka salah menilai? Agus Santoso dalam renungannya Miopia, mengingatkan bahwa terkadang bukan cara pandang kita yang salah, tetapi jarak pandang kita yang harus diubah. Jarak pandang yang tidak tepat, bisa membuat cara pandang menjadi tidak tepat pula. Apa yang harus kita lakukan? Kita hanya perlu bergeser ke posisi yang lebih tepat, berpijak pada ketinggian yang tepat pula, agar cakrawala terbentang luas dan jauh.

Kita harus terus menapaki hidup ini jauh ke depan. Tidak mandeg, dan hanya berputar-putar dalam suatu labirin terlebih terpaku dalam realitas yang menyilaukan. Ingatlah, bahwa yang dapat merabunkan mata kita bukan hanya kegelapan (baca: penderitaan, pergumulan, aniaya, dan yang sejenisnya), tetapi juga cahaya yang menyilaukan kita dapat membatasi pandangan mata, khususnya mata hati kita. Terang yang menyilaukan benar-benar membuat kita tidak dapat melihat. Kita bisa menjadi “gelap mata” ketika kita silau oleh kekayaan, kekuasaan, popularitas, ataupun karena godaan sensualitas. Bukankah yang begini-ini yang disukai banyak orang? Akibatnya, kita dapat tersesat dalam labirin kehidupan ini!

Kita bisa mempunyai mata hati yang jernih supaya dapat melihat seperti apa yang Tuhan lihat dengan jalan pertama-tama berilah hati kita dikuasai oleh kasih Kristus. “Sebab kasih Kristus yang menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati. Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka.” (2 Kor.5.:14,15). Dengan kesadaran ini kita melakukan segala sesuatu bukan demi memenuhi keinginan dan ambisi kita, melainkan agar karya Kristus dapat nyata melalui hidup dan pelayanan kita.

Kedua, yakinlah bahwa Tuhan itu sudah memberikan kepada kita “benih”. Apakah menyediakan hati kita untuk ditumbuhi benih-benih kebenaran itu atau kita menutupnya rapat-rapat? Andaikan saja kita membuka hati dan memelihara benih-benih kebenaran itu, maka pastilah akan membuahkan hasil yang sesuai dengan kehendak-Nya. Segala sesuatu sudah Tuhan siapkan buat kita, kini tinggal respon kita untuk melakukannya!