Kamis, 25 Juni 2015

KASIH : KEKAYAAN YANG MEMERSATUKAN

Setiap orang pasti pernah menerima pemberian dan tentunya juga pernah memberi. Sebab, tidak satu pun dari antara kita yang dapat survive seorang diri tanpa kontribusi orang lain. Kita dikodratkan sebagai makhluk sosial, selalu membutuhkan uluran tangan dari pihak atau orang lain. Mari kita telusuri, dalam hal memberi. Cobalah ingat-ingat, apa yang paling kuat dan dominan mendorong kita untuk memberi? Apakah terdorong karena melihat kondisi orang lain yang memprihatinkan, sehingga memaksa hati nurani ini bergejolak dan iba, lalu kemudian kita mengulurkan tangan dan memberikan sesuatu sehingga kondisinya akan lebih baik? Atau, karena kita mempunyai sesuatu yang berlebih dan kita tidak membutuhkannya lagi maka kita memberi? Atau mungkin saja kita memberi karena di balik tindakan itu ada keuntungan yang dapat kita peroleh. Tidak mustahil kita memberi karena hati berlimpah kasih sehingga kita tidak menyayangkan apa yang ada pada kita untuk berbagi dengan sesama? Ada pelbagai motivasi kita memberi. Namun, apa yang menjadi niat atau motivasi kita memberi, hanya kita sendiri dan Tuhan yang tahu.

Memberi tak pelak lagi merupakan tindakan terpuji apabila didasari oleh niatan yang baik. Bukan sekedar pamer kedermawanan atau mengharapkan keuntungan di balik itu. Memberi, sejatinya bukan karena kita telah berlebih. Banyak orang sering berkilah untuk tidak memberikan apa yang mereka punyai dengan alasan diri sendiri juga masih membutuhkan dan curiga bahwa pihak yang akan diberi itu memanipulasi keadaan sehingga kita berasa sebagai orang yang dimanfaatkan.Dalam tradisi Yahudi ada sebuah hari raya yang mengajarkan seseorang harus berbagi dengan sesamanya. Kemiskinan bukan menjadi alasan untuk seseorang tidak memberi.

Hari raya itu adalah hari raya Purim. Purim adalah hari sukacita, dirayakan antara tanggal 14 dan 15 bulan Adar. Sehari sebelumnya, tanggal 13, mereka mengadakan puasa Ester. Peristiwa ini mengingatkan bangsa Israel akan puasa yang diserukan Ester (Ester 4:16) ketika menghadapi ancaman pemusnahaan etnis Yahudi pada zaman Ahasyweros, raja Persia akibat kebenciaan yang ditebarkan oleh Haman. Keadaannya menjadi terbalik, Haman akhirnya yang digantung, Ester menjadi ratu dan Mordekai diberi kedudukan. Atas peristima itu, Mordekai mengumumkan sebuah hari raya kelepasan bagi umat Yahudi, itulah hari raya Purim. Kemudian dalam hari raya itu berkembang sebuah tradisi bahwa setiap orang harus mencari dan menemukan seseorang yang lebih miskin dari dirinya. Setelah itu ia wajib memberikan kepadanya sebuah pemberian. 

Tidak selalu mereka yang kaya dapat memberikan sebuah pemberian. Justeru, realitas menunjukkan bahwa mereka yang cuma memiliki sedikit hartalah yang paling siap untuk memberi. Seperti sebuah ungkapan umum, “orang miskinlah yang menolong orang miskin”, karena merekalah yang benar-benar mengerti, memahami dan mengalami kemiskinan itu. Acara-acara reality show dengan kamera tersembunyi di televisi-televisi swasta, seakan membenarkan ungkapan itu. Biasanya dalam acara-acara itu ditampilkan sosok orang yang sangat membutuhkan bantuan, entah minta diatar pulang, minta makanan atau menjual sesuatu agar mendapat uang untuk membeli obat untuk anaknya yang sedang sakit. Rata-rata yang memberi tanggapan positif atau mereka tergerak dan memberi pertolongan bukanlah orang-orang kaya. Justeru mereka yang miskinlah yang mau mengulurkan tangan.

Contoh kalangan miskin yang siap berbagi pun terekam kuat dalam kisah kesaksian pelayanan Paulus dalam 2 Korintus 8:1-15. Saat itu Paulus sedang menggalang dana untuk membantu jemaat induk di Yerusalem. Mereka sedang mengalami kesulitan kebutuhan hidup. Paulus menegur jemaat Korintus, yang secara finansial cukup mampu namun  mengulur-ngulur waktu  bahkan terkesan ogah memberikan bantuan.  Dalam 1 Korintus 16 :1-4 sebenarnya Paulus telah menyampaikan dorongan agar jemaat Korintus yang katanya, “….kaya dalam segala sesuatu..”(ay.7) dapat mengambil bagian untuk membantu saudara-saudara mereka di Yerusalem. Tidak hanya itu, Paulus memberikan panduan mengenai apa yang harus mereka lakukan. Setiap kepala keluarga seharusnya menyisihkan sebagian dari pendapatan mingguannya selama 12 bulan, sehingga tersedia sumbangan untuk dibawa ke Yerusalem pada musim semi tahun berikutnya. Namun, kenyataannya setelah satu tahun jemaat Korintus ini tidak juga merespon secara positif. Karena itulah, Paulus mengingatkan mereka kembali dengan memberikan contoh jemaat-jemaat di Makedonia yang walaupun kondisi mereka jauh lebih miskin, namun mereka memberikan bantuan melampaui harapan Paulus.

Apa yang menyebabkan sulitnya Korintus memberikan bantuan untuk saudara seiman mereka di Yerusalem. Setidaknya, ada tiga hal:

1.   Bagaimana pun juga jemaat Korintus mayoritas bukanlah orang-orang percaya yang berlatar belakang Yahudi. Sempat ada ketegangan bahwa orang di luar Yahudi yang menjadi pengikut Yesus haruslah juga memelihara tradisi Yahudi. Mereka harus disunat, memelihara hari Sabat dan yang lainnya. Dengan kondisi itu ada pengaruh psikologis bahwa orang-orang Kristen di Yerusalem – yang mayoritas berlatar belakang Yahudi – bukanlah bagian yang benar-benar utuh melekat sebagai kesatuan umat Tuhan.

2.   Dalam jemaat itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mencoba merongrong kewibawaan Paulus dengan menebarkan isu bahwa Paulus sedang mencari keuntungan di balik pencarian bantuan untuk jemaat Yerusalem. Pendek kata, mereka tidak mau memberikan bantuan oleh karena curiga disalahgunakan.

3.  Jemaat Korintus merupakan jemaat kota pelabuhan besar pada jaman itu. Paulus, dalam suratnya yang pertama menengarai bahwa di jemaat itu telah timbul perpecahan. Masing-masing bangga dengan dirinya sendiri. Sangat mungkin mereka terbiasa mengurus diri sendiri dan kurang memperhatikan kebutuhan sesamanya. Maka ketika ada permohonan bantuan, jemaat yang cenderung memerhatikan diri sendiri ini, tidak mau peduli.

Bukankah alasan-alasan yang disinyalir kuat dari orang Korintus ini juga dapat menjadi alasan kita juga untuk tidak memberikan bantuan kepada orang lain yang sedang membutuhkan lantaran mereka bukan pihak atau bagian dari kita? Kita juga sering curiga dan tidak yakin apakah pemberian itu sampai kepada pihak-pihak yang benar-benar membutuhkan sementara kita juga masih punya keperluan sendiri.

Dalam menghadapi situasi jemaat seperti ini, Paulus mengambil contoh dari jemaat-jemaat lain. Ia menceritakan kepada mereka betapa jemaat-jemaat di Makedonia telah bermurah hati. Mereka miskin dan sedang berhadapan dengan banyak masalah tetapi mereka memberikan semua yang mereka miliki jauh dari apa yang diharapkan Paulus. Paulus juga mengutip contoh dati Tuhan Yesus. Bagi Paulus, pengorbanan Yesus tidaklah dimulai dari peristiwa salib. Pengurbanan itu dimulai dari surga, ketika Ia mengesampingkan kemuliaan-Nya dan dengan rela hati menjadi “miskin” untuk memuliakan manusia. Ia mengatakan, “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekali pun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinanNya.” (2 Korintus 8:9).

Dari kisah Paulus menegur jemaat Korintus ada banyak pelajaran yang kita petik dalam hal memberi.

1.    Kondisi kekurangan bukanlah menjadi alasan untuk kita tidak memerhatikan kebutuhan orang lain. Contoh jemaat-jemaat Makedonia menginsyafkan kita bahwa kunci utama dalam memberi adalah hati yang penuh dengan cinta kasih dan kemurahan. Ada banyak cerita dan kisah nyata bahwa seseorang yang sangat sederhana pun dapat memberi dari kekurangannya. Sebaliknya, ketiadaan cinta kasih akan membuat seseorang kesulitan dalam memberi, betapa pun ia sebenarnya orang kaya.

2.   Hidup akan berarti apabila kita berguna untuk sebanyak mungkin orang. Perhatikan mereka yang membutuhkan kasih sayang. Pikirkanlah andai kata kita di pihak mereka. Allah di dalam Yesus telah lebih dahulu melakukan itu untuk kita. Jadi sangat logis, kalau kita yang menyembah-Nya meneruskan karya kasih-Nya buat orang lain.

3.   Kita tidak akan mengalami kesulitan apabila kita merasakan dan mengalami bahwa Tuhan begitu baik. Bukankah segala yang ada pada kita adalah pemberian dari-Nya. Jika kita memberi, sebenarnya kita hanya alat untuk menyalurkan berkat-Nya.

4.  Milikilah kerendahan hati dan ketulusan dalam memberi karena dengan demikian kita akan terbebas dari prasangka buruk. Alangkah baiknya, seperti apa yang diajarkan Yesus. Ketika tangan kanan memberi sebaiknya tangan kiri tidak tahu. Lebih baik kita tidak tahu siapa yang kita beri dan dalam kerendahan hati pemberian kita tujukan kepada Tuhan. Demikian pula jika si penerima tidak tahu, maka ia tidak akan rikuh kepada kita, tapi ia akan merasakan bahwa itu semua datangnya dari Tuhan. Dengan demikian, kasih itu akan menyatukan kita di dalam kasih Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar