Ada sebuah kelompok aliran
Kristen yang tumbuh di Inggris sekitar abad ke-17. Kelompok ini menamakan diri Kaum Quaker atau Perkumpulan Agama
Sahabat. Pendirinya adalah George Fox (1624-1691). Suatu ketika Fox mendengar
suara ajaib, ia menyimpulkan bahwa itulah suara kebenaran Allah. Fox merasa
tercerahkan tanpa perantaraan manusia. Untuk mendapatkan pencerahan itu Fox
percaya kuasa Roh Kudus yang berbicara melalui hati nurani manusia. Hati nurani manusia adalah sarana Tuhan menyatakan kebenaranNya.
Kaum Quaker percaya akan
keadilan, kejujuran yang tidak kenal kompromi, gaya hidup sederhana, dan sikap
anti kekerasan. Mereka juga percaya bahwa semua orang Kristen termasuk wanita,
hendaknya berperan dalam pelayanan. Karena menolak sistem agama, menghindari
ritus yang semarak, serta mengaku dibimbing oleh suara batin, maka mereka tidak
memerlukan ulama atau pendeta. Kaum Quaker sering ditakuti dan dicurigai. Yang paling
merisaukan para pemimpin baik agama maupun pemerintah adalah semangat “penginjilan”
mereka. Di Inggris kaum Quaker ditindas, ditumpas bahkan dibunuh.
Kekerasan demi kekerasan terus
dialami mereka. Misalnya, antara tahun 1659-1661, para missionaris: Mary Dyer,
William Ledda, William Robinson, dan Marmaduke Stephenson digantung di Boston
yang lain diborgol, diselar, atau dicambuk. Ada yang telinganya dipotong.
William Brend mendapat 117 cambukan dipunggungnya dengan tali yang dilapisi
ter. Apakah kaum Quaker musnah? Alih-alih musnah, mereka bertambah banyak!
Mengapa? Salah satunya adalah karena perkataan mereka dapat dipegang. Mereka melakukan
apa yang mereka yakini sebagai kebenaran! Mereka pantas disebut orang-orang yang memiliki integritas, satunya kata dengan perbuatan. Salah satu contoh adalah kisah
berikut:
Pada tahun 1662, penduduk Kota
London melihat sepasukan barisan. Barisan itu terdiri dari tiga puluh orang
narapidana Quaker yang sedang berjalan tanpa dikawal oleh seorang polisi pun. Mereka
dipenjarakan karena mereka menolak sumpah setia kepada negara. Mereka mau hidup
sesuai dengan keyakinan imannya. Kini mereka mau membuktikannya. Kaum Quaker
ini dipindahkan dari satu penjara ke penjara lainnya, dan pejabat penjara itu
berkata kepada mereka, “Kalian akan pergi ke Penjara Bridewell, dan kalian
sudah tahu jalan menuju ke sana. Kami percaya, kata-kata kalian dapat dipegang.
Oleh karena itu kami memutuskan untuk tidak usah mengawal kalian. Pasti tidak
ada di antara kalian yang berusaha kabur! Kini, kalian boleh pergi sendiri,
asalkan kalian berjanji sampai ke sana sebelum jam tidur.”
Anda bisa membayangkan betapa
terkejutnya orang-orang di kota London melihat Thomas Elwood dan 30 orang
lainnya berbaris. Mereka hendak ke mana? Mengapa? Dan tanpa pengawal? Apakah
mereka akan melarikan diri? Sekarang inilah kesempatan itu! Itulah kurang lebih pertanyaan dan opini yang ada dalam benak penduduk kota London. Tetapi Thomas
Elwood menjawab dengan bangga, “Tidak, kami tidak akan melarikan diri dengan kesempatan yang sedang kami nikmati ini. Mengapa? Karena kata-kata kami, yang telah kami ucapkan,
adalah pengawal kami!”
Seberapa jauh kata-kata kita
dapat dipegang? Seberapa teguh kita berpegang pada tugas panggilan Tuhan. Sering
kali situasi “Sekarang inilah kesempatan itu!” membuat kita toleran untuk
hal-hal prinsip. Aji "mumpung" telah banyak mengendalikan orang berprilaku. Mumpung berkuasa, bisa melakukan apa saja, meski itu bertentangan dengan nuraninya. Mumpung kaya, nikmati semua keinginan. Mumpung sehat, makan segala yang disukai. Mumpung masih muda, lampiaskan nafsu meski tahu hal itu tidak disukai Tuhan. Mumpung kesempatan ada, kapan lagi?
Atau kita memilih untuk mundur dari tugas pelayanan itu sama seperti para murid Yesus yang kemudian mengundurkan diri ketika mendengar pengajaran Yesus lebih lanjut (Yohanes 6:60-66). Mereka kecewa oleh karena apa yang mereka harapkan, yakni roti yang merupakan kebutuhan perut mereka ternyata tidak didapatkan lagi. Malah Yesus mengatakan diriNyalah roti hidup yang turun dari sorga. Mereka harus memakan daging dan meminum darah Yesus! Apa konsekuensi memakan daging dan darah Yesus? Jelaslah bukan perkara mudah! Mereka harus mau belajar mengikuti teladan Yesus dan berpedoman pada ajaran-ajaranNya. Itu berarti mereka tidak lagi bisa hidup semau gue. Dari pada itu yang mengikat, lebih baik mereka memilih mundur. Banyak orang Kristen mundur, tidak lagi melakukan kesaksian imannya oleh karena lebih memilih memanjakan keinginannya ketimbang memegang ajaran Yesus. Lebih baik kompromi dengan dunia ketimbang setia kepada Kristus!
Atau kita memilih untuk mundur dari tugas pelayanan itu sama seperti para murid Yesus yang kemudian mengundurkan diri ketika mendengar pengajaran Yesus lebih lanjut (Yohanes 6:60-66). Mereka kecewa oleh karena apa yang mereka harapkan, yakni roti yang merupakan kebutuhan perut mereka ternyata tidak didapatkan lagi. Malah Yesus mengatakan diriNyalah roti hidup yang turun dari sorga. Mereka harus memakan daging dan meminum darah Yesus! Apa konsekuensi memakan daging dan darah Yesus? Jelaslah bukan perkara mudah! Mereka harus mau belajar mengikuti teladan Yesus dan berpedoman pada ajaran-ajaranNya. Itu berarti mereka tidak lagi bisa hidup semau gue. Dari pada itu yang mengikat, lebih baik mereka memilih mundur. Banyak orang Kristen mundur, tidak lagi melakukan kesaksian imannya oleh karena lebih memilih memanjakan keinginannya ketimbang memegang ajaran Yesus. Lebih baik kompromi dengan dunia ketimbang setia kepada Kristus!
Bayangkan kalau Anda berada di
dalam barisan Thomas Elwood, tawanan yang dilepas menuju penjara lain. Tanpa pengawalan, kesempatan melarikan diri begitu
terbuka. Masihkah perkataan Anda mampu mengawal? Ketika Anda berada di “ruang
terbuka”, tanpa ada yang mengawasi dan bukan pula sebuah kewajiban, masihkah
iman Anda menjadi “pengawal” sehingga betapa pun resikonya Anda akan
melakukannya demi kecintaan Anda terhadap apa yang diyakini sebagai kebenaran?
Banyak manusia yang tahu dan mengerti akan kebenaran. Namun, tidak banyak manusia yang berpegang kepada kebenaran itu. Banyak manusia yang membenarkan dalam hatinya bahwa dirinya harus taat dan beribadah kepada Tuhan. Namun, hanya sedikit saja manusia yang dapat mengerjakan tugas panggilan ibadah itu dengan setia dan sukacita. Tampaknya Yosua tidak menginginkan umat yang dipimpinannya itu menjadi umat yang hanya mengaku percaya tetapi tanpa tahu konsekuensi di balik kepercayaannya itu. Yang hanya percaya dimulut saja tetapi tidak dalam prilaku. Maka sebelum memasuki negeri perjanjian, Yosua merasa perlu untuk mengingatkan komitmen umat Israel dalam beribadah (Yosua 24).
Kini, umat itu diperhadapkan
pada pilihan; beribadah kepada Allah atau kepada illah-illah lain. Mereka bebas
memilih. Apa pun pilihan mereka, Yosua menyatakan bahwa diri dan keluarganya
akan menyembah Allah. Mereka memilih untuk hidup dan beribadah kepada Allah. Lebih
lanjut Yosua memaparkan konsekuensi di balik pernyataan itu, Allah menuntut
kesetiaan dari orang-orang yang menyatakan diri untuk beribadah kepadaNya. Allah
menuntut kesetian bukan hanya bersifat verbal atau di rumah ibadat saja,
melainkan keseluruhan hidup, karena itulah hakekat ibadah sesungguhnya.
Tidak mudah untuk beribadah
kepada Allah dengan setia. Kebanyakan orang memahami ibadah itu terjadi di
rumah ibadah, namun di luar itu orang sering kompromi dan merasa bebas
melakukan hasratnya. Tidak mudah mempertahankan kesetiaan di tengah orang-orang
yang tidak setia. Bukan perkara gampang hidup benar di tengah-tengah lingkungan
yang tidak benar. Tidak mudah pula mempertahankan iman di tengah tekanan hidup.
Namun, apakah mungkin orang bisa terus beribadah dengan setia kepada Tuhannya
dalam segala kondisi itu? Tidakkah Tuhan mengerti kalau aku melanggar sedikit
saja atau kompromi sebentar saja? Toh, nanti aku kembali lagi dan bertobat. Ada banyak alasan manusia untuk kompromi dengan dosa. Entah itu kepepet, karena penindasan, atau memandangnya sebagai kesempatan yang langka.
Tuhan menyadari tantangan yang dihadapi manusia dalam mengemban misi setia kepadaNya. oleh karena itu Ia tidak membiarkan manusia itu dengan tangan hampa. Tuhan telah melengkapi kita
agar dapat menunaikan tugas panggilan itu dengan baik sehingga tidak ada alasan
untuk kompromi dan melanggarnya. Dalam kondisi yang memang tidak mudah itu,
Tuhan melalui Paulus, mengingatkan kita. Tuhan telah memberikan kepada kita
senjata perlengkapan rohani. Paulus mengingatkan supaya dalam kehidupan yang
tidak mudah ini, kita seharusnya mengenakan senjata dari Allah. “Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata
Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis; karena
perjuangan kita bukan melawan darah dan daging,.....” (Efesus 6:11-12). Yang
menjadi masalah buat kita sekarang, apakah kita menyadari bahwa Tuhan itu sudah
melengkapi kita sedemikian rupa dengan “perlengkapan senjata” itu atau tidak?
Perhatikanlah senjata-senjata
itu (Ef. 6:14-18), jelas bukan senjata fisik. Melainkan: berikatpinggangkan
kebenaran. Setiap orang Kristen pasti mengenal kebenaran melalui Kristus,
masalahnya tidak semua orang Kristen mau diikat dengan kebenaran Kristus. Maunya
bebas! Berbajuzirahkan keadilan, banyak orang berteriak ketika merasa diperlakukan
tidak adil. Namun, lupa kalau dirinya juga dituntut hal yang sama untuk orang
lain.
Kaki yang berkasutkan kerelaan
untuk memberitakan Injil damai sejahtera. Jika kaki kita dapat bicara, mungkin
ia akan bercerita banyak. Kemana saja ia membawa tubuh ini. Apakah lebih banyak
ke tempat-tempat orang yang membutuhkan damai sejahtera ataukah ke
tempat-tempat yang dapat memanjakan tubuh ini? Pergunakanlah perisai iman!
Apakah iman yang kita pegangi sekarang ini mampu menjadi perisai, penangkal
segala hal yang buruk. Ataukah sebaliknya malah menjadi beban dalam hidup ini?
Ketopong dan pedang Roh, yaitu Firman Allah, sejauh manakah firman itu menjadi
pelindung dan senjata? Jika kita jarang bergaul dengan firman itu, mustahil
dapat berdaya guna dalam kehidupan ini.
Ingatlah, betapa pun sulitnya
ada Mata yang terus melihat kita. Ya, mata Tuhan! “Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang benar, dan telingaNya kepada
teriakan mereka minta tolong;” (Mazmur 34:16). Janji Tuhan bagi siapa saja
yang mau melakukan tugas panggilannya dengan sepenuh hati. Saya dapat membayangkan
jika semua orang Kristen menghayati hidup ibadahnya secara benar. Pasti
berdampak luar biasa. Bayangkan jika seluruh anggota GKI yang terhisab dalam
222 jemaat melakukan tugas panggilannya dengan sungguh-sungguh betapa pun
resiko yang harus diterima, saya percaya gereja ini akan menjadi berkat.
Selamat ulang tahun ke-24 Gereja Kristen Indonesia, selamat berpegang teguh
pada tugas panggilan gerejawi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar