Seorang ibu mengeluh. Nada kesal bercampur geram nyata dari helaan nafas yang pendek, “Mulai saat ini, saya tidak akan menginjak rumah itu lagi. Putus hubungan kita sebagai saudara. Sekalipun kau mati, aku tidak akan melayatnya!” Ibu ini tidak terima dengan sikap kakaknya yang menguasai rumah warisan dari orang tua mereka. Sengketa warisan dapat kita jumpai dengan mudah dari orang-orang terdekat kita. Bisa juga menimpa kita. Berakhir dengan tragis, putus hubungan persaudaraan!
Sengketa warisan merupakan masalah kompleks, bisa terjadi pada berbagai jenis harta, termasuk tanah, rumah, kekayaan intelektual dan sebagainya. Perselisihan kerap tak dapat dihindari karena masing-masing pihak merasa tidak adil dalam pembagian warisan tersebut ditambah kurangnya wawasan mengenai hak waris.
Reputasi Yesus sebagai guru berpengaruh tampak ketika seseorang mengadu kepada-Nya tentang perlakuan tidak adil dalam pembagian harta waris. Sayang, Yesus tidak mau melibatkan diri pada pusaran konflik itu. Ada hukum yang telah mengatur itu. Jika ia seorang Yahudi, maka sudah jelas aturannya dalam Kitab Ulangan 21:15-17. Dan, jika ia bukan orang Yahudi, ada aturan pemerintah kolonial Romawi, ini lebih menjamin kepastian hukum! Namun, Yesus tidak membiarkan orang itu dan para pendengar-Nya pulang dengan tangan hampa.
Seperti biasa Yesus menanggapi pelbagai permasalahan bukan dari kulit luar pasal-pasal hukum. Tetapi, menembus pada akar permasalahan, yakni: ketamakan! Siapa pun bisa tamak, bukan hanya saudaranya orang yang diperlakukan tidak adil itu tetapi juga para pendengar Yesus. Bahkan, kita yang sedang menikmati kisah ini pun bisa tamak dan rakus! Untuk mengajar agar para pendengar Yesus tidak kemaruk, Yesus menggunakan perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh.
Orang kaya ini mempunyai tanah yang luas dengan hasil pertanian berlimpah-limpah sampai semua lumbung yang dia punya tidak lagi cukup untuk menampung semua hasil panen. Anda bisa membayangkan kekayaan orang ini! Seperti umumnya orang kaya – disclaimer tidak semua – sulit percaya pada orang lain, orang kaya ini tampaknya tidak punya sahabat, ia hanya percaya dan berbicara pada dirinya sendiri. Perhatikan Lukas 12:17, “Ia bertanya dalam hatinya…”. Dia tidak membutuhkan pendapat dan nasihat orang lain. Dan, dia juga tidak perlu melibatkan Tuhan dalam rancangannya!
Dalam banyak kasus para pebisnis mengandalkan intuisi untuk ekspansi bisnis. Tidak ada yang salah dengan intuisi. Namun, bukankah intuisi adalah wahana yang bisa diisi oleh ego dan keserakahan. Yang menjadi lahan subur hanya untuk memikirkan kenikmatan, kenyamanan dan kepuasan diri sendiri. Intuisi tidak butuh teman kecuali dirinya sendiri!
Ternyata memang benar, orang kaya ini hanya memikirkan dirinya sendiri, “Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!” (Lukas 12:19). Apa yang salah? Apa yang salah ketika seseorang telah bekerja lalu ia menikmati hasilnya? Bukankah saat ini tengah populer gaya hidup “FIRE” (Financial Independence, Retire Eary) gerakan yang bertujuan mencapai kemandirian finansial dan pensiun dini. Selagi muda dan punya kesempatan mengumpulkan dan membangun aset yang kemudian menghasilkan pasif income. Ia tidak lagi bergantung pada pekerjaan aktif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena asset yang dimilikinya sudah menghasilkan pendapatan yang lebih dari cukup. Sekali lagi, apakah ada yang salah?
Menghemat, menabung membangun aset untuk mengantisipasi masa depan yang tidak menentu adalah tindakan bijak. Yusuf menafsirkan mimpi Fir’aun bahwa akan datang tujuh tahun masa kelimpahan dan tujuh tahun masa kelaparan. Maka, dengan hikmatnya ia mengatur dengan baik. Hasilnya, bukan saja menyelamatkan bangsa Mesir dari kelaparan, tetapi juga memelihara kelangsungan hidup umat Allah. Inilah tindakan bijak! Namun, masalahnya menjadi berbeda ketika seseorang melakukannya dengan tujuan menaruh masa depan dan nasibnya pada harta kekayaan ditambah mengabaikan kehadiran orang lain dalam kehidupannya.
Orang kaya dalam perumpamaan yang diceritakan Yesus terkonfirmasi tipikal orang yang menaruh kebahagiaan pada harta benda dan tidak peduli dengan orang lain. Di sinilah letak kebodohannya. Harta kekayaan dijadikan sebagai tujuan yang bisa menggantikan Tuhan. Ia lupa, bahwa harta benda bukan barang konsumsi untuk jiwa. Sang penguasa jiwa tentu lebih utama. Kebodohan yang lain adalah perkembangan dari sikap ketidak-peduliaan terhadap orang lain, yakni: Tamak!
Pleonexia! Kata yang disebutkan Yesus dalam ayat 15 adalah sikap pemenuhan untuk diri sendiri dan tidak butuh apa-apa lagi kecuali memiliki dan memiliki! Ciri-ciri orang dengan pleonexia mudah terlihat, hidupnya berjuang untuk memiliki dan memiliki. Sebaliknya, betapa sulitnya ia memberi dan berkorban untuk orang lain! Apakah gaya hidup yang seperti ini akan menjamin seseorang bahagia, dalam bahasa perumpamaan: “jiwaku akan bersenang-senang”? Ternyata tidak! Banyak contoh, orang dengan harta kekayaan luar biasa, populer, tampan, cantik, segala yang dingini tinggal bilang, namun berakhir dengan tragis: kesepian dan merasa tidak berguna. Ternyata semua yang dilakukan hanya menjaring angin!
Kesia-siaan dalam hidup dan bekerja bisa menimpa siapa pun. Penyebabnya jelas, yakni: mencari bukan yang utama dan mencari hanya untuk kesenangan diri sendiri! Benar, bahwa semua yang hidup akan berakhir di liang lahat. Mati! Namun, meminjam pesimisme Kesia-siaan dalam Kitab Pengkhotbah, adalah lebih berbahagia dalam menjaring angin dan Kesia-siaan itu orang-orang yang takut akan Tuhan!
Kisah selanjutnya misteri, apakah orang yang datang kepada Yesus meminta perkara sengketa warisnya dibela kembali berhadapan konflik dengan saudaranya atau tidak. Ini ciri khas Lukas, ia mengajak kita masuk dalam ranah kisah ini. Orang itu adalah kita! Apa yang akan kita lakukan setelah mendengar ajaran Yesus tentang orang kaya yang bodoh itu? Apakah kita melanjutkan kebodohan kita dengan mencari yang sia-sia. Warrent Buffet, sang investor ulung pernah mengatakan, “Kalau Anda menyadari terpeloksok dalam sebuah lubang, berhentilah, jangan terus menggali lubang itu!” Tentu kalimat ini dia sampaikan pada para investor yang mencari rejeki dalam dunia investasi. Namun, kalimat ini juga menyadarkan kita. Jika kita menyadari bahwa apa yang kita kejar saat ini, ujungnya tidak membawa kita pada makna hidup yang sebenarnya, apalagi membawa kebahagiaan hakiki, berhentilah! Meskipun, tampaknya menggiurkan dan menjanjikan!
Sekarang, buatlah hidup ini bukan menjaring angin lagi. Namun, penuh makna! Bagaimana itu? Paulus memberi jawab, “Carilah perkara yang di atas…Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi!” (Kolose 3:1,2). Paulus meminta jemaat Kolose – saya kira ini berlaku untuk kita juga – untuk mematikan segala hal yang duniawi; pola pikir, ucapan, dan perilaku yang pada umumnya menjadi kesenangan banyak orang. Mematikan hal duniawi bukan berarti kita tidak lagi membutuhkan barang-barang duniawi. Bukan itu! Maksudnya, hal-hal duniawi yang tampaknya menyenangkan, memberi kenyamanan dan kenikmatan bukan lagi tujuan dan ciri utama. Ada yang lebih utama, yakni kesadaran dicintai oleh Tuhan dan itu membuatmu akan berubah dari manusia lama yang hobinya menjaring angin, menjadi manusia baru yang kesukaannya menebarkan cinta kasih Tuhan. Sayangilah diri dan hidupmu, jangan menjaring angin, carilah perkara yang di atas!
Jakarta, 31 Juli 2025, Minggu Biasa XVIII Tahun C