Kamis, 31 Juli 2025

MENJARING ANGIN

Seorang ibu mengeluh. Nada kesal bercampur geram nyata dari helaan nafas yang pendek, “Mulai saat ini, saya tidak akan menginjak rumah itu lagi. Putus hubungan kita sebagai saudara. Sekalipun kau mati, aku tidak akan melayatnya!” Ibu ini tidak terima dengan sikap kakaknya yang menguasai rumah warisan dari orang tua mereka. Sengketa warisan dapat kita jumpai dengan mudah dari orang-orang terdekat kita. Bisa juga menimpa kita. Berakhir dengan tragis, putus hubungan persaudaraan! 

 

Sengketa warisan merupakan masalah kompleks, bisa terjadi pada berbagai jenis harta, termasuk tanah, rumah, kekayaan intelektual dan sebagainya. Perselisihan kerap tak dapat dihindari karena masing-masing pihak merasa tidak adil dalam pembagian warisan tersebut ditambah kurangnya wawasan mengenai hak waris. 

 

Reputasi Yesus sebagai guru berpengaruh tampak ketika seseorang mengadu kepada-Nya tentang perlakuan tidak adil dalam pembagian harta waris. Sayang, Yesus tidak mau melibatkan diri pada pusaran konflik itu. Ada hukum yang telah mengatur itu. Jika ia seorang Yahudi, maka sudah jelas aturannya dalam Kitab Ulangan 21:15-17. Dan, jika ia bukan orang Yahudi, ada aturan pemerintah kolonial Romawi, ini lebih menjamin kepastian hukum! Namun, Yesus tidak membiarkan orang itu dan para pendengar-Nya pulang dengan tangan hampa.

 

Seperti biasa Yesus menanggapi pelbagai permasalahan bukan dari kulit luar pasal-pasal hukum. Tetapi, menembus pada akar permasalahan, yakni: ketamakan! Siapa pun bisa tamak, bukan hanya saudaranya orang yang diperlakukan tidak adil itu tetapi juga para pendengar Yesus. Bahkan, kita yang sedang menikmati kisah ini pun bisa tamak dan rakus! Untuk mengajar agar para pendengar Yesus tidak kemaruk, Yesus menggunakan perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh.

 

Orang kaya ini mempunyai tanah yang luas dengan hasil pertanian berlimpah-limpah sampai semua lumbung yang dia punya tidak lagi cukup untuk menampung semua hasil panen. Anda bisa membayangkan kekayaan orang ini! Seperti umumnya orang kaya – disclaimer tidak semua – sulit percaya pada orang lain, orang kaya ini tampaknya tidak punya sahabat, ia hanya percaya dan berbicara pada dirinya sendiri. Perhatikan Lukas 12:17, “Ia bertanya dalam hatinya…”. Dia tidak membutuhkan pendapat dan nasihat orang lain. Dan, dia juga tidak perlu melibatkan Tuhan dalam rancangannya!

 

Dalam banyak kasus para pebisnis mengandalkan intuisi untuk ekspansi bisnis. Tidak ada yang salah dengan intuisi. Namun, bukankah intuisi adalah wahana yang bisa diisi oleh ego dan keserakahan. Yang menjadi lahan subur hanya untuk memikirkan kenikmatan, kenyamanan dan kepuasan diri sendiri. Intuisi tidak butuh teman kecuali dirinya sendiri! 

 

Ternyata memang benar, orang kaya ini hanya memikirkan dirinya sendiri, “Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!” (Lukas 12:19). Apa yang salah? Apa yang salah ketika seseorang telah bekerja lalu ia menikmati hasilnya? Bukankah saat ini tengah populer gaya hidup “FIRE” (Financial Independence, Retire Eary) gerakan yang bertujuan mencapai kemandirian finansial dan pensiun dini. Selagi muda dan punya kesempatan mengumpulkan dan membangun aset yang kemudian menghasilkan pasif income. Ia tidak lagi bergantung pada pekerjaan aktif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena asset yang dimilikinya sudah menghasilkan pendapatan yang lebih dari cukup. Sekali lagi, apakah ada yang salah?

 

Menghemat, menabung membangun aset untuk mengantisipasi masa depan yang tidak menentu adalah tindakan bijak. Yusuf menafsirkan mimpi Fir’aun bahwa akan datang tujuh tahun masa kelimpahan dan tujuh tahun masa kelaparan. Maka, dengan hikmatnya ia mengatur dengan baik. Hasilnya, bukan saja menyelamatkan bangsa Mesir dari kelaparan, tetapi juga memelihara kelangsungan hidup umat Allah. Inilah tindakan bijak! Namun, masalahnya menjadi berbeda ketika seseorang melakukannya dengan tujuan menaruh masa depan dan nasibnya pada harta kekayaan ditambah mengabaikan kehadiran orang lain dalam kehidupannya. 

 

Orang kaya dalam perumpamaan yang diceritakan Yesus terkonfirmasi tipikal orang yang menaruh kebahagiaan pada harta benda dan tidak peduli dengan orang lain. Di sinilah letak kebodohannya. Harta kekayaan dijadikan sebagai tujuan yang bisa menggantikan Tuhan. Ia lupa, bahwa harta benda bukan barang konsumsi untuk jiwa. Sang penguasa jiwa tentu lebih utama. Kebodohan yang lain adalah perkembangan dari sikap ketidak-peduliaan terhadap orang lain, yakni: Tamak!

 

Pleonexia! Kata yang disebutkan Yesus dalam ayat 15 adalah sikap pemenuhan untuk diri sendiri dan tidak butuh apa-apa lagi kecuali memiliki dan memiliki! Ciri-ciri orang dengan pleonexia mudah terlihat, hidupnya berjuang untuk memiliki dan memiliki. Sebaliknya, betapa sulitnya ia memberi dan berkorban untuk orang lain! Apakah gaya hidup yang seperti ini akan menjamin seseorang bahagia, dalam bahasa perumpamaan: “jiwaku akan bersenang-senang”? Ternyata tidak! Banyak contoh, orang dengan harta kekayaan luar biasa, populer, tampan, cantik, segala yang dingini tinggal bilang, namun berakhir dengan tragis: kesepian dan merasa tidak berguna. Ternyata semua yang dilakukan hanya menjaring angin!

 

Kesia-siaan dalam hidup dan bekerja bisa menimpa siapa pun. Penyebabnya jelas, yakni: mencari bukan yang utama dan mencari hanya untuk kesenangan diri sendiri! Benar, bahwa semua yang hidup akan berakhir di liang lahat. Mati! Namun, meminjam pesimisme Kesia-siaan dalam Kitab Pengkhotbah, adalah lebih berbahagia dalam menjaring angin dan Kesia-siaan itu orang-orang yang takut akan Tuhan!

 

Kisah selanjutnya misteri, apakah orang yang datang kepada Yesus meminta perkara sengketa warisnya dibela kembali berhadapan konflik dengan saudaranya atau tidak. Ini ciri khas Lukas, ia mengajak kita masuk dalam ranah kisah ini. Orang itu adalah kita! Apa yang akan kita lakukan setelah mendengar ajaran Yesus tentang orang kaya yang bodoh itu? Apakah kita melanjutkan kebodohan kita dengan mencari yang sia-sia. Warrent Buffet, sang investor ulung pernah mengatakan, “Kalau Anda menyadari terpeloksok dalam sebuah lubang, berhentilah, jangan terus menggali lubang itu!” Tentu kalimat ini dia sampaikan pada para investor yang mencari rejeki dalam dunia investasi. Namun, kalimat ini juga menyadarkan kita. Jika kita menyadari bahwa apa yang kita kejar saat ini, ujungnya tidak membawa kita pada makna hidup yang sebenarnya, apalagi membawa kebahagiaan hakiki, berhentilah! Meskipun, tampaknya menggiurkan dan menjanjikan!

 

Sekarang, buatlah hidup ini bukan menjaring angin lagi. Namun, penuh makna! Bagaimana itu? Paulus memberi jawab, “Carilah perkara yang di atas…Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi!” (Kolose 3:1,2). Paulus meminta jemaat Kolose – saya kira ini berlaku untuk kita juga – untuk mematikan segala hal yang duniawi; pola pikir, ucapan, dan perilaku yang pada umumnya menjadi kesenangan banyak orang. Mematikan hal duniawi bukan berarti kita tidak lagi membutuhkan barang-barang duniawi. Bukan itu! Maksudnya, hal-hal duniawi yang tampaknya menyenangkan, memberi kenyamanan dan kenikmatan bukan lagi tujuan dan ciri utama. Ada yang lebih utama, yakni kesadaran dicintai oleh Tuhan dan itu membuatmu akan berubah dari manusia lama yang hobinya menjaring angin, menjadi manusia baru yang kesukaannya menebarkan cinta kasih Tuhan. Sayangilah diri dan hidupmu, jangan menjaring angin, carilah perkara yang di atas!

 

 

Jakarta, 31 Juli 2025, Minggu Biasa XVIII Tahun C

 

 

 

Kamis, 24 Juli 2025

DIA HANYA SEJAUH DOA


Mengapa berita miring lebih diminati ketimbang kabar positif? Mengapa kabar tentang pendeta yang melakukan KDRT lebih cepat viral, daripada pesan khotbah yang bagus? Sensasi dan dramatis! Berita negatif sering disajikan secara dramatis, sensasional dan sarat bumbu, hingga menarik perhatian orang dan membuat orang yang menerimanya semakin penasaran, lalu mencari tahu lebih banyak lagi. Media sering menggunakan berita negative untuk meningkatkan rating dan penjualan, karena berita negatif dapat menarik perhatian orang.

Mana yang lebih menarik untuk disimak tentang Sodom dan Gomorah; kejahatan mereka yang mirisnya hanya meruncing pada penyimpangan perilaku seksual sehingga viral dengan istilah “sodomi”. Sementara keprihatinan seorang bapak tua lantaran kedua kota itu segera akan dihancurkan akibat perbuatan-perbuatan jahat mereka nyaris tenggelam. Mana yang lebih disukai Allah yang menghukum atau upaya Abraham dalam mencegah penghukuman itu? Tampaknya banyak orang lebih mengingat “sodomi” ketimbang syafaat!

Meneruskan bacaan pertama minggu lalu, setelah Abraham menjamu para tamunya, ia melangkah bersama-sama mereka. Abraham mengantar para tamunya pergi. Para tamu itu memandang ke arah Sodom, di daerah perbukitan di sebelah timur Hebron, Laut Mati dan dataran sekitarnya dapat terlihat dari jauh. Bukankah itu tanah yang dipilih Lot untuk tinggal dan mengembangkan bisnis peternakannya? Kini, daerah itu diambang kehancuran!

Tetamu Ilahi itu mengarahkan pandang ke  Sodom, Gomora dan daerah sekitarnya. Tepat pada posisi sudut pandang ini Tuhan berbicara kepada diri-Nya sendiri dan dua malaikat yang bersama-Nya, mengetahui bahwa Abraham akan mendengarnya, maka berfirmanlah TUHAN: “Apakah Aku akan menyembunyikan kepada Abraham apa yang hendak Kulakukan ini?” (Kejadian 18:17) Menjawab pertanyaan-Nya sendiri, TUHAN bernalar, mengapa Ia harus memberi tahu Abraham tentang kehancuran Sodom dan Gomora.

Salah satu alasan TUHAN memberi tahu rencana-Nya itu adalah, “Karena Aku telah mengenal dia” (Kejadian 18:19). HC Leupold menerjemahkannya, “Karena Aku mengakui dia sebagai sahabat karib-Ku. Seorang hamba tidak mungkin mengetahui keinginan tuannya, tetapi seorang sahabat karib akan mengetahuinya. Abraham dipanggil, dipilih dan menjadi sahabat TUHAN. Abraham mengenal siapa Allah-Nya. Relasi yang baik terbangun sehingga mendorongnya untuk bersyafaat bagi orang lain. Relasi baik inilah yang memungkinkan Abraham dapat dengan rendah hati dan berani berdoa. “Lalu datanglah Abraham dan berkata, ‘Apakah Engkau juga akan membinasakan orang benar bersama-sama dengan orang fasik?” (Kejadian 18:23) Abraham masih berdiri di hadapan TUHAN dan kemudian ia datang mendekat. Hanya mereka yang dekat dengan TUHAN yang dapat menjadi pendoa syafaat.

Abraham gigih berdoa. Setelah menerima janji TUHAN bahwa Dia akan mengampuni kota itu demi 50 orang benar, Abraham terus memintanya 45, 40, 30, 20, dan akhirnya 10. Abraham menunjukkan keberanian yang penuh hormat kepada TUHAN, tetapi juga tidak pernah lancang. Ia berulang kali mengakui kerendahan hatinya di hadapan TUHAN yang Mahakuasa. Tidak ada indikasi bahwa Abraham menganggap dirinya lebih baik daripada orang-orang Sodom. Abraham menunjukkan keseimbangan antara kerendahan hati, kesadaran akan posisinya, namun juga keberanian untuk terus memohon kepada TUHAN lebih banyak lagi. Seharusnya kisah syafaat Abraham lebih popular ketimbangan penghancuran Sodom dan Gomora!

Mencontoh Abraham, kita membutuhkan tidak hanya keberanian tetapi juga rasa hormat mendalam Ketika datang di hadapan TUHAN untuk menyampaikan doa-doa kita. Kita harus mengingat siapa diri kita yang tidak lain adalah orang berdosa yang sebenarnya tidak layak di hadapan TUHAN. Namun, seperti keyakinan Paulus, “Kamu juga, meskipun dahulu mati oleh pelanggaranmu dan oleh karena tidak disunat secara lahiriah, telah dihidupkan Allah bersama-sama dengan Dia, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita.” (Kolose 2:13). Relasi kita dipulihkan dan mestinya setiap orang percaya punya hubungan yang dekat dengan Allah dan doa adalah cara kita ngobrol dengan-Nya.

Relasi dekat bukan berarti dapat dengan seenaknya “ngobrol” apalagi lancang. Seperti Abraham, dia dekat bahkan menjadi sahabat Allah, namun tahu diri. Yesus mengajari para murid-Nya untuk berdoa, itu pun karena para murid sendiri yang meminta-Nya untuk mengajari berdoa setelah mereka melihat Yesus berdoa. Kita dapat membayangkan bagaimana Yesus menikmati suasana doa itu. Rasanya tidak mungkin para murid minta diajari berdoa jika Yesus tidak menikmati persekutuan indah dengan Bapa-Nya. Jadi, jika Anda ingin mengajarkan anak, pasangan, saudara, atau siapa pun berdoa, maka mulailah dari diri sendiri untuk menikmati persekutuan yang akrab dengan TUHAN!

Yesus berbagi kedekatannya dengan Bapa kepada para murid. Ia mengajarkan doa itu dimulai dengan menyebut Allah sebagai Bapa. Seperti relasi Abraham adalah sahabat Allah, murid-murid Yesus diantar-Nya mendekat dan mengenal Sang Bapa. Meskipun demikian, relasi yang dekat itu tidak serta merta membuat semua keinginan dari si pendoa dikabulkan. Yesus mengajarkan pertama-tama si pendoa untuk mengakui kedaulatan Bapa. Selanjutnya, memohon kebutuhan mendasar baik fisik maupun spiritual. Tidak berlebihan!

Sekali lagi kedekatan dengan Bapa harus tahu diri, tidak menjadikan keinginan diri sendiri sebagai tolok ukur keberhasilan doa. Melainkan kehendak-Nya yang terwujud. Apa yang menjadi jawaban doa dari Tuhan adalah yang terbaik. Abraham tahu diri dalam membatasi permohonannya, yakni sampai 10 orang benar, kota itu tidak akan dibinasakan. Dia tidak terus meminta 5 atau 3. Meskipun demikian Allah yang berdaulat tetap menyelamatkan Lot dan keluarga, kecuali istrinya. Itulah yang terbaik menurut kehendak-Nya. Yesus menegaskan bahwa manusia yang jahat saja bisa memberikan yang baik kepada anak-anaknya, apalagi Bapa yang di surga, Ia tahu apa yang terbaik untuk anak-anak-Nya.

Yesus telah mendekatkan kita kepada Bapa, dan kita percaya bahwa Bapa pasti tahu apa yang terbaik untuk anak-anak-Nya, ini tidak berarti bahwa kita hanya berpangku tangan untuk menerima yang terbaik dari Bapa surgawi itu. Selanjutnya, Yesus mengajar kita tidak hanya sungguh-sungguh tekun dalam berdoa seperti perumpamaan seorang pria yang datang larut malam, mengetuk pintu sahabatnya untuk meminta makanan. Karena ia terus menggedor maka pintu dibuka dan dia mendapatkan makanan itu. Tetapi, Yesus juga mengajar bahwa setiap orang itu wajib untuk bekerja dengan optimal untuk mewujudkan setiap doa-doa yang disampaikan kepada Bapa. Ia mengatakan, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” (Lukas 11:9). Minta, cari, ketok, adalah Upaya kita untuk mewujudkan doa-doa kita. Sementara, diberikan, mendapatkan, dibukakan adalah kedaulatan Allah yang mewujudkan doa kita dengan takaran-Nya yang terbaik.

Allah, Bapa kita adalah Allah yang dekat. Dia hanya sejauh doa! Namun, sadarilah bahwa relasi yang dekat seharunya menolong kita untuk tahu diri dan tahu kehendak Bapa di surga sehingga doa-doa kita akan terjaga dengan baik sebagai jalan untuk terus membangun relasi yang karib!

Temanggung, 24 Juli 2025 Minggu Biasa XVII Tahun C