Kamis, 22 Mei 2025

KETAATAN SEBAGAI PEMBERIAN ALLAH

Dari Troas ke Samotrake jika Anda melihat rute perjalanan mengemudi mobil yang ditawarkan oleh aplikasi Google Map akan menempuh 327 Km yang separuhnya perjalanannya harus menggunakan kalap ferry. Troas terletak di wilayah barat laut Turki, sedangkan Samotrake adalah sebuah pulau di Laut Aegea, Yunani. Kurang lebih Anda akan menikmati perjalanan selama 8 jam, itu pun kalau kapal penyeberangan tersedia dengan jadwal tepat waktu.

 

Kondisi ini jelas berbeda ketika kita menerawang ke masa lalu sewaktu Paulus yang ditemani Silas dan Timotius melakukan perjalanan dari Troas ke Samotrake. Dengan kapal layar sederhana yang rata-rata kecepatannya sekitar 5 – 10 km/jam, maka perjalanan dapat memakan waktu sekitar 20 – 60 jam, atau sekitar 2 – 5 hari. Ini sangat tergantung pada kondisi cuaca dan tentunya kapal yang ditumpangi.

 

Mengapa Paulus dan teman-temannya melakukan perjalanan yang melelahkan ini? Rupanya, malam hari sebelum perjalanan itu, Paulus mendapat sebuah penglihatan. Tampak di hadapannya seorang Makedonia yang berseru agar ia menyeberang dan menyelamatkan mereka (Kisah Para Rasul 16:9). Reaksinya? Semangat yang tersimpan dalam dada Paulus tetap sama seperti dahulu ia pergi ke pelbagai tempat untuk menumpas para pengikut Yesus!

 

Sekalipun semangat penjelajah sama, kali ini ada motivasi yang berbeda. Sejak perjumpaannya dengan Yesus yang bangkit di jalan menuju ke Damsyik itu segalanya berubah. Apa yang dikerjakannya bukan lagi termotivasi oleh penegakan Hukum Taurat, melainkan terinspirasi oleh kasih Yesus. Yesus yang selama ini dimusuhi dan pengikut-Nya dia aniaya, justru tidak menghukumnya, alih-alih merangkul dengan cinta-Nya! Cinta-Nya itulah yang mengubah total jalan hidup Paulus. “Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah,…” (Filipi 3:8).

 

Dahulu, Paulus melakukan perjalanannya untuk memberangus para pengikut Yesus dengan alasan untuk menegakkan Taurat. Ia telah memelihara dan hidup tidak bercacat dalam melakukan perintah Taurat. Dengan kalimat lain, apa yang dikerjakannya termotivasi karena ia takut punya cacat di hadapan Tuhan sehingga menjadi tidak layak. Kini, ketakutan itu diubah oleh cinta kasih Yesus sehingga ia dapat mengatakan bahwa, “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Galatia 2:20).

 

Dari Troas ke Samotrake bukan perkara berat bagi Paulus, ada banyak lagi perjalanannya yang lebih berat, menantang maut dan respons negatif, bermusuhan yang di alami Paulus. Anda bisa membaca kesaksian Paulus sendiri dalam 2 Korintus 23-28. Percis seperti Yesus yang dia layani. Kasih Allah di dalam Kristus itulah yang menjadi api yang menyala di dalam dirinya. Kasih Yesus itu tidak hanya menjadi sumber inspirasi bagi Paulus, tetapi kini menjadi jalan baru bagi hidupnya.

 

Dengan tepat Paulus menghidupi apa yang dulu pernah disampaikan Yesus kepada para murid-Nya, “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia.” (Yohanes 14:23). Kasih Kristus itulah yang sekarang mengendalikan Paulus sehingga ia taat mendengar suara Roh Kudus. Ketaatan itu sendiri merupakan buah dari kasih Allah. Ini pemberian Allah yang ditanggapi bukan dengan ketakutan, melainkan ucapan syukur dan tindakan kasih yang nyata. Paulus dapat melihat seperti Yesus melihat, mendengar seperti Yesus mendengar. Ke mana pun suara Roh Kudus itu memerintahkannya, ke sanalah dia pergi. Paulus dapat melihat banyak orang yang layak menerima kasih Kristus. Dan, kasih yang sudah ada di dalam dirinya itu membuahkan tindakan sekalipun berisiko besar!

 

Sekarang, apa yang memotivasi Anda untuk hidup benar, baik, beribadah, dan taat kepada Tuhan? Apakah seperti Saulus sebelum berjumpa dengan Yesus? Agar tidak bercacat, lalu dengan demikian pantas menerima anugerah dari Tuhan? Ataukah agar tampil seperti layaknya orang saleh, dihormati dan dikagumi? Mungkin juga agar mendapat kavling di surga nanti! 

 

Perjumpaan dengan Yesus akan menentukan motivasi apa yang mestinya menggerakkan kita untuk melakukan setiap tindakan. Jika dalam perjumpaan itu, Anda merasakan kasih dan pengampunan-Nya, maka untuk menuruti, taat pada setiap perintah Tuhan bukanlah merupakan sebuah beban. Coba bayangkan ketika Anda sedang jatuh cinta. Ya, jatuh cinta pada seseorang atau apa pun juga, hampir dipastikan Anda akan bersedia melakukan apa saja untuk yang Anda cintai itu. Hampir pasti Anda akan menuruti segala permintaan, bahkan melebihi yang diminta untuk orang yang Anda cintai itu. Orang lain melihatnya sebagai pengorbanan. Namun, Anda sendiri merasa tidak berkorban apa-apa! Anda mencintai hobi tertentu, pasti untuk itu Anda rela membayar harga tanpa merasa diri rugi!

 

Seperti Paulus, segalanya berubah. Tujuan hidup dan ketaatan yang dia kejar juga berubah. Bukan terpaksa, ini semata karena kasih yang menggugah itu. Kasih Allah akan mengubah perintah ketaatan bukan sebagai beban, melainkan cara atau jalan yang diberikan Allah untuk kita berpartisipasi dalam kasih-Nya yang besar itu. Melalui perintah-Nya seolah-olah Dia memberikan kesempatan kepada kita terlibat dalam mewujudkan dunia baru. Langit dan bumi baru yang bebas dari penderitaan akan terwujud bila semua orang merasa dicintai dan atas nama cinta itu terpanggil untuk mengerjakan perbuatan baik.

 

Bagi Paulus dan teman-temannya, dari Troas ke Samotrake sekalipun secara obyektif merupakan perjalanan berat, bagi mereka layaknya sebuat tour yang menyenangkan. Bisa jadi bagi banyak orang mengasihi musuh, berdoa untuk orang yang membenci, memberkati si penganiaya adalah pekerjaan yang nyaris tidak mungkin, ini tidak masuk akal. Namun, bagi orang-orang yang tersentuh oleh kasih Yesus; ini mungkin, ini mengasyikan, ini menyenangkan!

 

Perjalanan dari Troas ke Samotrake bukan perjalanan konyol, tetapi perjalanan antara. Selanjutnya mereka menyentuh daerah-daerah yang kelak disebut Jemaat-jemaat Makedonia. Mereka adalah orang-orang yang tangguh meski menderita. Iman mereka tampak dalam kesulitan dan penderitaan. Paulus tidak segan memakai iman mereka sebagai contoh yang baik untuk orang-orang Korintus yang kondisi kehidupannya jauh lebih baik. 

 

Perjalanan hidup kita dalam ketaatan kepada Kristus jelas bukan perjalanan konyol. Percayalah, melalui tindakan-tindakan kesetiaan kita kepada Kristus akan banyak orang tersentuh oleh kasih-Nya. Kelak kasih Kristus itu akan tumbuh seperti iman orang-orang Makedonia. Sebuah kondisi baru akan terjadi, yakni: langit dan bumi baru di mana kasih menjadi panglimanya. Semoga!

 

 

Jakarta, 22 Mei 2025 Minggu Paskah VI, tahun C

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar