Rabu, 11 September 2019

ANDA, SAYA, KITA SEMUA ADALAH KELUARGA.

Kisah Paulus, Filemon dan Onesimus yang terekam dalam Surat Rasul Paulus kepada Filemon sangat menarik untuk dijadikan contoh bahwa di dalam Kristus semua diterima sebagai anggota keluarga. Menariknya lagi, ini bukan sekedar basa-basi, namun begitu nyata! Paulus yang dipenjarakan karena pekerjaan Tuhan tidak pernah merasa kesepian. Selalu saja ada orang yang Tuhan kirim untuk mendampingi dan membantunya dalam pekabaran Injil. 

Paulus dilihat secara jasmani, boleh dibilang sebatang kara. Alkitab tidak pernah menceritakan orang tuanya siapa, tidak ada bukti bahwa ia menikah dan oleh karena itu pastilah dia tidak mempunyai anak. Coba kita bayangkan, seorang yang sebatang kara, sudah tua dan sisa hidupnya ada di dalam penjara, bagaimana kira-kira perasaannya? Tentu saja bagi kebanyakan orang, ini malapetaka. Kondisi seperti ini tidak diinginkan oleh siapa pun! Namun ternyata tidak bagi Paulus. Penjara tidak dapat membatasi dirinya untuk terus menyebarkan Injil Kristus. Di dalam penjara bahkan Paulus banyak menghasilkan surat-surat pastoral untuk banyak jemaat Kristen mula-mula, di antaranya Filipi, Efesus, Kolose dan Filemon. Paulus tidak pernah meratapi diri sebagai seorang yang paling malang di rundung duka dan nestapa. Tidak! Justru di tempat itulah Tuhan memakai Paulus dengan luar biasa.

Di sisi lain, Tuhan menghadirkan orang-orang sederhana untuk membantu pelayanan Paulus, di antaranya Timotius, Filemon, dan Onesimus. Timotius begitu dekat dengan Paulus. Ia sudah seperti anaknya sendiri. Di dalam penjara Timotius sering menemani dan membantu dalam penulisan surat-surat Paulus. Tidaklah mengherankan jika Paulus menyiapkan Timotius untuk menjadi penerusnya kelak. Di temani Timotius, Paulus menuliskan surat kepada Filemon. Siapa Filemon? Nama Filemon dalam bahasa Yunani berarti “Penuh Kasih”. Ia adalah seorang warga kota Kolose. Di kota tersebut, Filemon merupakan orang terkemuka, orang kaya dengan memiliki banyak budak. Filemon tidak hanya kaya dalam materi, tetapi juga dalam iman. Bersama Apfia, isterinya, ia membuka pintu rumahnya untuk pertemuan-pertemuan ibadah. Sejak awal kekristenan, ibadah di rumah merupakan  cikal-bakal pertumbuhan sebuah jemaat. 

Onesimus salah seorang budak Filemon. Namun sayang, sang budak melakukan tindakan tercela. Ia mencuri dan melarikan diri. Rupanya Onesimus tahu risiko yang harus ia hadapi ketika tertangkap. Mati! Ya, menurut tradisi waktu itu, jika seorang budak kedapatan mencuri uang atau barang dari tuannya makai a harus dihukum mati. Tidak diceritakan apakah Filemon mengerahkan orang-orangnya untuk mencari Onesimus atau tidak. Yang jelas Onesimus, dalam pelariannya berjumpa dengan Paulus dalam penjara. Dalam penjara itulah Paulus menggunakan kesempatan dengan baik. Ia memberitakan Injil kepada hamba yang kabur ini. Hasilnya luar biasa! Bahkan Paulus menganggap Onesimus seperti anaknya sendiri (Filemon 10). Di penjara itulah Onesimus yang kemungkinan besar hidup sebatang kara mendapatkan keluarga baru, Paulus layaknya sebagai bapaknya sendiri. Di lain pihak, Paulus tidak memanfaatkan Onesimus untuk kepentingannya sendiri. Paulus berusaha memulihkan hubungan Onesimus dengan tuannya.

Onesimus, budak, sebatang kara, dan tersangka dalam sebuah perkara benar-benar telah mendapat perlindungan dan memulai sesuatu yang baru, menjadi anak Tuhan! Paulus berhasil mengembalikan arti nama Onesimus (dalam bahasa Yunani berarti “berguna”). Onesimus kini benar-benar menjadi hamba yang berguna. Ia siap menghadapi apa juga termasuk ketika Paulus memintanya untuk kembali kepada sang majikan, Filemon.

Paulus sebagai seorang rasul dan pemimpin tidak serta merta menggunakan wewenang yang dia miliki untuk menekan Filemon supaya menerima si budak yang telah melakukan tindakan pidana. Namun, niat yang baik itu harus dilakukan dengan cara-cara yang baik, yakni memohon kesediaan Filemon. Di sinilah kita belajar untuk tidak menggunakan dan memanfaatkan kewenangan yang ada pada kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Dalam keluarga sering kali orang tua merasa punya kewenangan untuk mengatur anak-anaknya sehingga anak-anak tidak punya kesempatan untuk menyampaikan keinginannya.

Seharusnya seperti inilah sebuah jemaat Kristen, sebuah gereja. Gereja harus mampu menghadirkan suasana keluarga. Tidak ada lagi orang yang merasa terasing dan diasingkan. Tidak ada orang yang merasa punya kewenangan atau kuasa di atas yang lain. Lihatlah, Paulus, Filemon, Onesimus: strata sosial yang ada pada waktu itu menunjukkan, Paulus sebagai pemimpin spiritual, Filemon orang kaya terkemuka dan Onesimus seorang hamba yang bermasalah. Namun, ketika mereka ada dalam jemaat Tuhan, mereka adalah keluarga, kedudukan mereka sama, yakni sebagai orang-orang yang layak menerima kasih karunia Tuhan dan orang-orang yang diutus untuk menyebarkan cinta kasih Tuhan.

Bagaimana kehidupan gereja kita? Apakah di sini kita juga merasakan kesehatian, kepedulian, kesetaraan dan menghindari pementingan diri sendiri? Apakah di gereja kita semua orang sudah tidak lagi merasa kesepian dan tidak mempunyai teman bicara? Apakah kita hanya sibuk berkumpul dengan sesamaanggota keluarga secara fisik saja, sehingga menutup pintu untuk orang lain dapat masuk? Sepertinya gereja Tuhan tidak dibangun dalam fondasi seperti ini! Kita semua adalah satu keluarga. Ya, keluarga Allah di mana Yesus Kristus bertakhta sebagai kepala-Nya. Oleh karena itu : Saya, Anda, dan Kita semua adalah keluarga!

Selamat merayakan Bulan Keluarga!

Kamis, 05 September 2019

MELEPAS KEMELEKATAN

Kota Berlin, 1927 ada sekelompok mahasiswa dan seorang profesor suatu universitas mengunjungi sebuah rumah makan. Seorang pelayan menerima pesanan demi pesanan, termasuk permintaan-permintaan khusus. Hebatnya, ia tidak memerlukan kertas untuk mencatat begitu banyak pesanan itu. Kelompok mahasiswa itu berpikir menu yang akan mereka terima pasti berantakan. Ajaib, sesudah beberapa waktu menunggu, semua pesanan diterima persis seperti yang mereka pesan.

Setelah makan malam, di pinggir jalan luar rumah makan itu, mahasiswa psikologi dari Rusia, Bluma Zeigarnik, menyadari syalnya tertinggal di dalam rumah makan itu. Buru-buru, dia masuk kembali dan bertemu dengan pelayan yang memiliki ingatan luar biasa itu. Ia bertanya kalau-kalau pelayan itu melihat syalnya. Si pelayan memandang dengan tatapan kosong. Pelayan itu sama sekali tidak mengingat Zeigarnik duduk di sebelah mana, apalagi memerhatikan syalnya. “Bagaimana mungkin engkau lupa?” Zeigarnik bertanya dengan nada tinggi, “Bukankah baru saja kami menyaksikan keajaiban ingatanmu yang luar biasa?” Pelayan itu menjawab dengan singkat, “Saya menyimpan pesanan di kepala saya – sampai selesai disajikan.”

Bersama mentornya, Kurt Lewin, Zeigarnik membahas perilaku “aneh” dari sang pelayan tadi. Mereka sepakat bahwa setiap orang berfungsi kurang lebih seperti pelayan itu. Kita jarang melupakan tugas yang menjadi tanggungjawab kita. Pikiran dan konsentrasi kita hanya tertuju kepada hal yang menurut kita adalah paling utama. Kita membiarkannya terus ada di dalam kesadaran kita dan tidak mengizinkannya pergi, menarik-narik kita seperti anak kecil, sampai kita memberikan perhatian penuh. Sang peneliti meminjam namanya, kemudian orang mengenal dengan istilah efek Zeigarnik. Tentu saja bertahun-tahun kemudian orang menemukan selalu ada pengecualian dari efek Zeigarnik.Di mana ada sebagian kecil manusia mempunyai pikiran sangat jernih ketika mengerjakan lusinan proyek.

Meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Kurt Lewin; efek Zeigarnik, pada umumnya manusia dan mungkin juga termasuk kita tidak bisa multi tasking, yakni mengerjakan dan berkonsentrasi terhadap beberapa minat atau proyek pada waktu yang bersamaan. Kita fokus pada sebuah masalah lalu yang lainnya kurang mendapat perhatian serius atau malah terabaikan sama sekali. Fokus pada suatu persoalan akan menolong kita mengerjakan dan menangani persoalan itu dengan serius.

Jika dalam persoalan sehari-hari kita membutuhkan fokus yang jelas agar bisa mengerjakan pekerjaan dengan serius, apalagi dalam urusan mengikut Tuhan. Dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem, Yesus mengingatkan mereka yang berduyun-duyun mengikuti-Nya (Lukas 14:25). Catatan Lukas mengisyaratkan bahwa Yesus berjalan menuju Yerusalem berarti Ia sedang menuju kepada penderitaan dan kematian-Nya. Yesus sendiri sedang fokus terhadap misi Bapa yang harus dikerjakan-Nya sampai paripurna. Namun, orang banyak itu tidak menyadari akan apa yang harus ditanggung Yesus. Mereka hanya antusias dan berharap dapat melihat pelbagai mukjizat yang dilakukan Yesus itu.

Harapan palsu itulah yang hendak dilawan Yesus. Yesus tidak berusaha mengerahkan segala tenaga-Nya untuk menghimpun kekuatan massa dan mencari sebanyak mungkin dukungan untuk selanjutnya dipakai sebagai kekuatan politikmelawan imperium Romawi atau para pemuka Yahudi yang sering mencari-cari kesalahan-Nya. Tidak! Dia tidak sedang mencari pendukung fanatikyang mengkultuskan-Nya. Sebaliknya, Yesus menghendaki mereka yang mau mengikuti-Nya tahu persis tugas dan tanggung jawab yang harus dikerjakanserta risiko yang akan dihadapi mereka. Yesus menghendaki kebulatan tekad yang terjadi di dalam hati dengan demikian mereka yang mengikuti-Nya bersedia meninggalkan segala sesuatu yang melekat. Sebagaimana Ia fokus menuntaskan pelayanan-Nya di Yerusalem dan selanjutnya Golgota, demikian juga para pengikut-Nya harus mempunyai kebulatan tekad yang sama!

Dalam kerangka inilah kemudian Yesus berkata kepada mereka yang mau mengikuti-Nya, “Jika seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudaranya laki-laki dan perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku”(Lukas 14:26). Mungkin saja kita heran dan bertanya-tanya. Mengapa Yesus yang mengajarkan untuk mengasihi musuh sekali pun, koqsekarang mengajarkan untuk membenci ikatan emosional dan kerabat yang paling tinggi: keluarga? Tidak tahukah Yesus bahwa Hukum Taurat ke-5 mengajarkan untuk menghormati ayah dan ibu? Bagaimana mungkin Ia yang mengajarkan bahwa pasangan yang sudah disatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia, tetapi kini harus dibenci?

Apa yang disampaikan Yesus tentang “membenci” dalam konteks ini mempunyai makna yang berbeda. Membenci di sini tidak sama seperti kita membenci orang jahat. Bukan begitu! Meski ditulis dalam bahasa Yunani, kita harus mengingat bahwa konteks penulisan Injil ini punya akar budaya Semit. Yahudi termasuk rumpun Semit. Kata Yunani miseodalam kalimat yang disampaikan Yesus bermakna “to love less or reject something in the matter of choice.Dengan demikian, “miseo”yang dikatakan Yesus harus dipahami bahwa, orang yang “membenci” orang tuanya, pasangannya, anak-anaknya dan saudara-saudaranya, bahkan nyawanya sendiri demi Kerajaan Allah, ialah orang-orang yang fokus, mengutamakan, mementingkan nilai-nilai ilahi daripada nilai-nilai atau ikatan-ikatan yang berlaku di dunia. Atau dengan bahasa lain, “Jika ikatan-ikatan yang ada di dunia ini begitu penting: hormat pada orang tua, mengasihi pasangan, anak, kerabat, dan saudara. Maka betapa mutlak dan lebih pentingnya lagi mengasihi dan mengikut Tuhan!

Miseoyang diucapkan Yesus harus diletakkan dalam konteks kemelekatan. Manusia memiliki kecenderungan “melekat” dan “terikat” pada hal-hal yang berhubungan erat dengan dirinya. Terhadap apa dan siapa yang paling memungkinkan manusia melekatkan diri? Tidak lain adalah keluarga dan kerabat, di samping uang dan harta benda. Hal-hal inilah tempat rasa nyaman dan aman manusia dibangun. Inilah tempat keegoisan manusia dibangun dan hal-hal seperti inilah yang hendak dibongkar Yesus. Sebab, itu semua sangat mungkin merampas fokus utama yang seharusnya ditujukan kepada diri-Nya.

Namun, perlu disadari bahwa melepaskan kemelekatan tidak identikdengan melepaskan tanggung jawab kita terhadap ikatan-ikatan sosial yang ada. Kita dapat bersikap tidak melekat terhadap orang-orang dan materi di sekitar kita, tetapi bukan berarti membuang dan mencampakkan orang-orang terdekat dan materi yang harus kita kelola. Bukan! Ketidak-melekatan dapat diwujudkan dengan sikap lapang dada, tidak bergantung dan tidak terobsesi.

Berusaha tidak melekat terhadap ikatan-ikatan sosial dan materi tentu saja bukan perkara mudah. Apalagi tawaran-tawaran hedonisme kekinian. Ada banyak orang dapat meninggalkan ikatan kekeluargaan hanya karena uang dan kedudukan. Banyak orang yang tidak bisa lepas dari ikatan gaway, narkoba, judi dan kesenangan lainnya. Bahkan, bersedia meninggalkan keluarga dan kerabat demi apa yang disukainya. Nah, apabila untuk itu saja manusia bisa meninggalkan ikatan kekerabatan, seharusnya untuk yang lebih serius dan demi Kerajaan Allah serta kehidupan kekal mestinya kita semua dapat melakukannya.

Kembali ke efek Zeigarnik. Kita diingatkan, tidak mudah untuk menaruh banyak fokus dalam benak kita. Kita harus memilih yang paling utama. Selanjutnya serius dengan itu. Ketika kita mengutamakan mengikut Yesus dan serius dengan komitmen yang tinggi melakukan apa yang dikehendaki-Nya, percayalah ikatan-ikatan keluarga dan kerabat tidak pernah akan kita benci. Sebaliknya, kita akan semakin mengasihi dan menyayangi mereka. Mengutamakan fokus pada Kristus dan mengikuti-Nya dengan setia seakan kita mendapatkan “master key” untuk membuka semua pintu-pintu kamar dalam rumah kita. Dengan mengikut Yesus, Anda dan saya akan tahu bagaimana ketulusan cinta kasih itu. Dengan mengikut Yesus, Anda dan saya akan mengerti dan mengalami apa yang namanya pengampunan. Dengan mengikut Yesus Anda dan saya akan tahu apa itu panjang sabar, kasih setia, kebajikan dan seterusnya. Mengapa? Oleh karena Dialah firman yang hidup itu, yang tidak hanya mengajarkan tetapi mencontohkan-Nya dengan penuh kuasa. Kini, yang diperlukan adalah lepaskanlah ikatan-ikatan yang menghambat fokus kita pada Kristus!

Jakarta, 5 September 2019