Kamis, 17 Juli 2025

KERAMAHAN, BUKAN KEMARAHAN

Ada kesamaan, namun banyak juga perbedaan di antara dua orang perempuan yang sama-sama menyambut kedatangan tamu mereka. Keduanya sibuk di dapur mengolah hidangan untuk tamu mereka. Bedanya, perempuan yang lebih tua diminta oleh suaminya untuk mengolah tepung menjadi tiga buah roti bundar. Sementara perempuan yang lainnya - atas    inisiatif sendiri - mengolah makanan untuk dihidangkan bagi tamu mereka. Mereka sama-sama kedatangan tamu istimewa, tamu Ilahi! Di penghujung episode; yang satu tertawa, atau lebih tepatnya menertawakan perkataan tamu Ilahi itu dan perempuan yang lainnya marah-marah terhadap saudara perempuannya!

 

Baik Sara, maupun Marta hidup dalam budaya Timur yang kental dengan keramahan. Keramahan yang tumbuh subur tercermin dalam memperlakukan tamu dengan baik. Sebab, tamu adalah isyarat bahwa yang Ilahi berkenan memberi kabar baik. Berkat! Ada semacam kode etik yang tidak tertulis bahwa, tuan rumah akan menyediakan apa saja yang terbaik. Mulai dari sambutan berupa salam, ajakan untuk singgah, hidanganistimewa, sampai tempat bernaung dan keselamatan sang tamu menjadi jaminan dari tuan rumah. Sebaliknya, sang tamu yang hadir itu akan memberi kabar baik dan memberkati tuan rumah. Benar, ini terkesan transaksi. Artinya, seperti orang berdagang: Saya memberikan sesuatu supaya saya mendapatkan yang terbaik, yakni berkat! Namun, mestinya tidak harus selalu transaksi. Keramahan sejatinya adalah jalan terbaik untuk menjalin relasi.

 

Keramahan kerap dimanipulasi untuk menjadi alat transaksi. Artinya, melalui tindakan ramah seseorang mempunyai tujuan untuk mendapat kredit tertentu. Bahkan di ujung ekstrimnya, keramahan dapat dipakai sebagai alat untuk menipu dan memperdaya orang lain. Sudah tak terhitung banyaknya orang terlena dengan sikap ramah yang akhirnya tenggelam dalam bujuk rayu. Ketika sadar, sudah terlanjur banyak mengalami kerugian. Atau, kita yang tulus dan ramah, orang lain memanfaatkannya!

 

Keramahan sejatinya datang dari ketulusan hati, tidak untuk bertransaksi apalagi menjadi alat menipu orang lain. Keramahan merupakan sarana membangun relasi luhur yang membuahkan kehangatan, empati, rasa percaya, dan tentunya membuahkan rasa saling memiliki, menjadi bagian satu dengan yang lainnya. 

 

Marta mempunyai caranya sendiri dalam menyambut kehadiran tamu, apalagi tamu istimewa! Keramahannya ditunjukkan dengan menyiapkan hidangan agar para tamu yang sedang dalam perjalanan menuju Yerusalem itu tetap bugar dalam stamina yang baik. Bisa juga Marta melakukannya sebagai sebuah ungkapan syukur dan hormat. Apa pun itu, ada sesuatu yang mendorongnya. Marta mempunyai cara terbaik menurut versinya untuk menampilkan keramahan. Sayangnya, versi terbaik ini menuntut orang lain, dalam hal ini saudara perempuannya untuk melakukan hal yang sama. Perhatikan, Marta punya konsep sendiri tentang keramahan. Ketika, orang lain tidak sesuai dengan idealismenya, yang terjadi keramahan itu berubah menjadi kemarahan. Ia marah terhadap saudara perempuannya. Dalam kemarahannya, Marta mengajak Yesus dalam tarian amarah itu dengan cara meminta-Nya untuk menegur Maria. Kemarahan Marta sebenarnya bukan berasal dari orang lain, bukan dari Maria yang sedang bersimpuh di kaki Yesus. Namun, dari idealisme yang dia ciptakan sendiri!

 

Kejengkelan, kekecewaan, kemarahan dan sakit hati pertama-tama bukan berasal dari orang atau pihak lain. Ini diciptakan oleh kita sendiri. Bukankah keramahan yang berubah menjadi kemarahan itu berasal dari keinginan kita yang tidak tercapai, dan untuk itu kita menuntut orang lain mengerti tentang diri kita? Kalau mau jujur dengan diri sendiri, kita dapat bertanya, “Apakah yang aku lakukan ini benar-benar keramahan? Ataukah aku sedang memakai topeng keramahan itu untuk tujuan validasi diri? Ya, di sadari atau tidak, banyak orang yang lapar validasi, dan untuk mengenyangkannya perlu tindakan kesalehan, salah satunya adalah keramahan!

 

Sayang, Yesus enggan mengikuti tarian Marta, alih-alih mengoyak tirai keramahan yang dipinjam Marta dalam tradisi di kampungnya itu, seraya berujar: “Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak hal, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian terbaik yang tidak akan diambil dari dia” (Lukas 10:42). Jelas, Marta tidak mengharapkan jawaban seperti itu!

 

Injil Lukas sering mengungkap narasi tentang ketakutan dan kekhawatiran. Ini tidak boleh dibiarkan berkembang dalam hati para pengikut Yesus. Kita bisa terhimpit oleh pelbagai kekhawatiran. Khawatir tentang makanan, minuman, pakaian; khawatir tidak diakui dan dihargai orang lain, khawatir ditolak dan dicampakkan. Tahukah dampaknya? Ya, seperti benih yang terhimpit oleh bebatuan, sabda Tuhan tidak akan menghasilkan buah! Bukankah sebelum singgah di rumah Marta dan Maria, Yesus memanggil dan mengutus tujuh puluh murid-Nya. Masih ingat pesan-Nya kepada mereka? Mereka diminta untuk tidak mengkhawatirkan tentang apa yang akan mereka makan dan pakai; tentang diterima dan ditolak! Yang diperlukan dan hal itu sudah dilakukan oleh Maria – ini yang dicela oleh Marta – ialah mendengarkan perkataan sambil duduk di dekat Yesus.

 

Maria sama sekali tidak merasa repot. Maria juga tidak mengharapkan validasi pujian. Ia hanya pendengar yang baik. Jarang sekali orang mengucapkan pujian kepada orang yang duduk diam mendengarkan. Sebaliknya, banyak orang bisa berdecak kagum ketika melihat kesibukan seseorang melakukan ini dan itu. Tidak ada salahnya orang sibuk mengerjakan ini dan itu dalam pelayanan, sebab ketika tidak ada orang yang mengerjakannya semua tampak mati. Tidak ada denyut pelayanan. Namun, hal ini menjadi sumber konflik apabila diniatkan untuk mencari validasi dan merasa paling benar!

 

Seperti Abraham yang menyimak dengan baik berita gembira dari tamunya tentang janji keturunan itu, demikian juga Maria. Maria menyimak, memberikan telinga dan hatinya untuk setiap perkataan Yesus. Inilah bentuk keramahan yang paling sederhana. Tidak usah merepotkan diri dengan perkara-perkara yang akhirnya tidak perlu. Tindakan keramahan seperti ini justru akan menangkap pesan dengan baik, bukan marah-marah atau menertawakan. Kita bisa menjadi seperti Sara, tidak menyimak dan mengintip di balik tirai, nguping pembicaraan dan akhirnya tidak menangkap kebenaran, lalu menertawakan pesan yang berharga itu. Jelas, ini bukan keramahan tetapi lelucon yang tidak pada tempatnya!

 

Mulailah berlatih keramahan bukan dengan cara merepotkan diri melalui macam-macam kesibukan. Sederhana, pasang kedua telinga kita untuk suami, istri, anak, orang tua, atau siapa saja lawan bicara kita. Hadirlah penuh, simak dan jangan memotong pembicaraan. Perhatikan dengan baik isi pesan yang disampaikan – jangan sibuk dengan ponsel – berilah tanggapan antusias yang tidak dibuat-buat. Inilah cara kita menghadirkan keramahan. Bukankah hadir, mendengar, menyimak, merespons dengan antusias adalah perkara yang sederhana tetapi bernilai cinta yang besar!

 

Jakarta, 17 Juli 2025. Minggu Biasa XVI Tahun C

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar