Jumat, 13 Oktober 2017

MENYAMBUT UNDANGAN TUHAN DENGAN SUKACITA



Raja berpesta, sudah tentu yang diundang adalah kerabat kerajaan, kaum ningrat dan orang-orang terhormat. Namun, ada kalanya juga raja ingin berpesta bersama dengan rakyatnya. Membaur bersama mereka agar si jelata dapat menikmati kegembiraan. Siapa sih yang tidak antusias bila diundang pesta oleh raja?

Pasti pada umumnya orang merespon positif undangan itu. Bahkan jauh-jauh hari menyiapkan pakaian, sepatu dan tak lupa kamera siapa tahu punya kesempatan berswaphoto bersama raja atau tamu undangan terhormat lainnya. Pastilah momen itu sangat dinantikan.

Yesus pernah bercerita tentang seorang raja yang hendak menggelar pesta pernikahan buat anaknya (Matius 22:1-14). Tentu, segalanya disiapkan dengan baik termasuk menyebar undangan kepada banyak orang. Namun, alih-alih antusias, dengan pelbagai alasan, orang-orang yang diundang itu menolaknya. Raja tampaknya tidak berputus asa, ia kembali mengutus para hambanya untuk mengingatkan mereka yang telah diundang itu dengan mengatakan bahwa hidangan telah disediakan, lembu jantan dan ternak piaraan telah dipotong dan pastinya acara yang disajikan sangat-sangat  meriah. Lagi-lagi, para undangan tidak mau datang. Mereka menolak dengan alasan mengurus kepentingannya masing-masing. Ada yang pergi ke ladang dan ada juga yang mengurus usahanya. Yang mengherankan malah ada yang menangkap dan menyiksa utusan raja itu kemudian membunuhnya. Entah kenapa anomali ini terjadi?

Tentu raja sangat marah dengan penolakan dan perlakuan mereka yang diundang itu terhadap hamba-hambanya. Dalam kemurkaannya, sang raja menyuruh pasukannya untuk membinasakan para penganiaya itu dan kemudian membakar kotanya. Setelah itu sang raja mengundang semua orang yang dijumpai di persimpangan-persimpangan jalan. Para utusan raja diminta untuk memberikan undangan itu kepada semua orang yang dijumpai; orang jahat maupun orang baik sehingga ruang pesta itu menjadi penuh dengan tamu.

Ketika raja bergabung dengan para tamu, ia melihat ada seorang yang tidak mengenakan pakaian pesta. Lalu raja itu berkata kepada para hambanya, "Ikat kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratapan dan kertak gigi."(Matius 22:13).

Dalam konteks kita hari ini, cerita ini banyak kejanggalan. Bisa saja kita bertanya, "Masa iya sih, raja mengadakan pesta tetapi rakyatnya menolak." Atau, "Apakah mungkin persiapan pesta sudah begitu optimal, hidangan pesta telah tersedia di meja tapi kemudian raja keluar untuk berperang dan membakar semua kota?" dan "Mana mungkin gelandangan di pinggir jalan mempunyai pakaian pesta? Koq tampaknya kejam amat, orang yang tidak punya gaun pesta ini harus dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap dan siksaan abadi?"

Ingatlah ini adalah cerita perumpamaan. Dalam tradisi budaya Yahudi, perjamuan sering digunakan sebagai metafor Kerajaan Allah atau Kerajaan Sorga. Perjamuan yang indah mengungkapkan kebersamaan, kegembiraan dan damai sejahtera umat dalam Kerajaan Allah. Jadi memang benar terasa mengherankan atau janggal, mengapa banyak orang yang diundang dalam "pesta" itu justeru menolaknya. Penolakan itu biasanya terjadi kalau seseorang dipanggil untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya di depan pengadilan. Seorang koruptor atau penjahat politik selalu saja punya alasan untuk tidak hadir di pengadilan. Namun, jarang sekali mereka mangkir dalam acara-acara hajatan orang-orang terhormat. Tidak diundang pun mencari celah bagaimana cara bisa berada di tengah-tengah orang terpandang.

Namun, inilah realita yang terjadi dengan orang-orang Israel, mereka yang lebih dahulu dipilih Allah untuk menjadi bangsa yang istimewa. Mereka dikhususkan agar melalui mereka bangsa-bangsa lain mendapatkan berkat. Dalam perumpamaan ini, merekalah yang dimaksud dengan penerima undangan itu untuk yang pertama kalinya. Namun, justeru mereka menolak untuk datang. Mereka kehilangan antusiasme terhadap undangan itu karena tenggelam dalam urusan dan kepentingan sendiri. Mereka mengenal Taurat dan penjabarannya secara detil. Mereka asyik memakainya untuk mendandani diri agar kesalehan mereka terlihat anggun dan mentereng. Kesenangan pribadi itu mengalahkan orang akan panggilan yang maha penting untuk merayakan kehidupan bersama yang membahagiakan.

Hal serupa bisa terjadi dengan kita. Menolak undangan Sang Raja - yang sebenarnya untuk kebaikan kita sendiri - karena kita sibuk dengan "kebun anggur" kita. Kita sibuk dan kuatir terhadap makanan dan pakaian serta masa depan kita sehingga tidak ada lagi waktu tersisa untuk bersekutu dengan-Nya. Kita sibuk dengan "ladang" dan "lembu" kita, dengan bisnis kita. Padahal, bisa jadi bisnis yang sedang dijalani kini adalah buah doa di masa lalu. Banyak cerita tentang hal ini: Seseorang ketika kesulitan ekonomi berdoa dan memohon agar Tuhan memberikan pekerjaan yang layak. Eh ternyata, setelah kariernya bagus, usahanya lancar, kini ia tenggelam di sana. Ada yang menegur dan mengingatkan dipandangnya sebelah mata. Satu dua kali ia mengabaikan "undangan" atau teguran itu. Lama-kelamaan ia memusuhi orang yang mengingatkannya dan berusaha memutus kontak.

Tidak hanya mereka mengabaikan panggilan Sang Raja. Namun lebih jauh dari itu mereka menganiaya dan membunuh orang-orang yang diutus oleh Sang Raja itu. Tentu saja Raja akan membuat perhitungan dengan orang-orang ini. Dalam kehidupan masa kini, mungkin saja jarang terjadi seseorang menganiaya atau membunuh karena mengingatkan "menyampaikan undangan Sang Raja". Namun, bukankah dalam batas-batas tertentu kita bisa lepas kontrol. Kita menjadi tidak suka dan akhirnya menyebarkan hal-hal yang tidak benar, dan itu berarti membunuh karakter orang baik lantaran kita tidak suka!

Kini, sangat mungkin kita menjadi bagian dari yang akhirnya "diundang Sang Raja" itu. Undangan Perjamuan Sang Raja ditolak Israel dan akhirnya disebar untuk semua orang. Umat Allah yang lama dapat menolak tetapi tidak dapat menggagalkan rencana keselamatan Allah. Semua orang dari segala bangsa dipanggil melalui misi gereja. Sampailah undangan itu kepada kita sebagai orang yang dulunya oleh umat Israel dipandang sebagai bagian dari bangsa kafir. Kita merespon undangan itu dan pergi ke Pesta Perjamuan Raja. Dalam perumpamaan itu, sayangnya ada seorang yang tidak mengenakan pakaian pesta. Sungguh malang nasib orang ini. Ia dicampakkan ke dalam siksaan yang mengerikan!

Orang yang datang ke dalam Pesta Perjamuan Raja namun tidak mengenakan pakaian pesta seumpama anak dalam cerita perumpamaan sebelumnya yang menjawab "Ya" untuk bekerja di ladang ayahnya namun ternyata tidak melakukannya. Lewat perumpamaan ini, Injil Matius mau menyampaikan kepada mereka yang sudah menerima Injil, yaitu komunitas pengikut Yesus. Mereka harus waspada supaya jangan berpikir sama seperti pola pikir orang-orang Israel pada masa itu, yakni bahwa karena mereka sudah dipanggil maka otomatis mereka akan selamat. Ternyata masih ada seleksi. Tidak cukup mengakui nama Yesus untuk dapat password masuk ke dalam komunitas-Nya. Pengikut Yesus harus mengenakan "pakaian pesta" atau dalam bahasa Wahyu 7 disebut dengan "jubah putih", artinya melaksanakan dengan sepenuh hati karya yang diajarkan dan dicontohkan oleh Yesus. Jadi tepatlah apa yang dikatakan Yesus, "Bukan orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga."(Matius 7:21).

Jika saja untuk sebuah kenduri dari kerabat kita, beberapa waktu lamanya kita akan disibukkan dengan pelbagai persiapan termasuk gaun atau pakaian pesta yang akan dikenakan nanti. Tentunya, sesuai dengan anggaran, kita memilih bahan dan penjahit yang terbaik. Sehingga pada saatnya pesta nanti kita akan tampil dengan baik. Sekarang, melalui kisah perumpamaan ini kita diingatkan. Apakah kita sudah menyiapkan gaun atau "pakaian pesta" kita? Apakah kita sudah merancang dan mengerjakannya? Jangan-jangan kita abai dengan itu semua!

Jakarta, Okt - Friday The 13th' 2017

Kamis, 05 Oktober 2017

STATUS PALSU



Lama sudah tidak bertemu dengan kawan yang satu ini. Namun, saya dapat memantaunya lewat dunia maya, Facebook. Saya ikut gembira, usahanya maju pesat. Ia mempekerjakan banyak karyawan dan menjadi berkat bagi keluarga mereka. Dalam pertemuan itu ia bercerita bahwa kini perusahaannya tidak lagi seperti dulu. "Semula kami memercayakan seluruh aktivitas produksi, pemasaran dan keuangan kepada seorang saudara," Ia mengenang kisahnya ketika berusaha menolong saudaranya untuk ikut maju bersama dalam bisnisnya. "Semua rahasia-rahasia perusahaan sudah kami percayakan kepadanya. Mulai dari mencari bahan baku, resep membuat produk, merekrut karyawan, mengelola keuangan dan perpajakan, sampai jaringan pemasaran. Eh, ternyata, akhirnya dia ambil alih. Maksudnya, dia mendirikan perusahaan yang percis sama dengan saya. Dan semua; dari hulu sampai hilir dia kuasai. Ya, sudahlah ini sebuah risiko terlalu percaya orang sekalipun dia adalah saudara sendiri!" Ungkap sang kawan dengan mencoba menghibur diri.

Tidak sedikit kisah seperti ini. Orang kepercayaan di kemudian hari berbalik dan "memakan" habis ladang usaha yang dirintis mulai dari nol. Sudah barang tentu sang pengusaha atau pemilik modal merasa kecewa atau sakit hati. Pada pihak lain, sering kali orang kepercayaan tergoda untuk semakin jauh melewati batas: menguasai apa yang bukan miliknya itu. Ia dapat merasakan betapa nikmatnya punya banyak aset, perusahaan besar, relasi luas dan disanjung banyak orang sebagai pengusaha sukses! Goadaan ini mengalahkan moralitas dan nurani.

Yesus memakai cerita perumpamaan dunia usaha, dalam hal ini pengusaha kebun anggur untuk menegur kaum klerus dan pemimpin Yahudi yang tidak hidup dalam moralitas sebagai umat TUHAN (Matius  21:33-46). Pengusaha anggur Palestina pada masa Romawi biasanya punya banyak tanah atau kebun. Para pengusaha ini tinggal di kota dan mereka menyewakan tanah atau kebunnya itu kepada para penggarap. Para penggarap dan pengusaha atau tuan tanah itu mengikat perjanjian. Si tuan tanah memberi kepercayaan kepada para penggarap untuk jangka waktu tertentu. Sedangkan para penggarap itu boleh melakukan usahannya dengan imbang bagi hasil. Setiap periode tertentu para penggarap ini harus menyerahkan hasil dari kebun anggur itu. Namun apa yang terjadi dalam kisah perumpamaan ini? Para penggarap menikmati hasil kebun anggur itu. Mereka terlena dan enggan untuk menyerahkan apa yang menjadi bagian dari tuannya. Kini, mereka merasa bahwa lahan kebun itu sepertinya sudah menjadi milik mereka sendiri dan kemudian berniat untuk menguasai sepenuhnya. Tentu, sang tuan tidak tinggal diam. Dia mengirim utusan-utusannya untuk menagih hasil kebun anggur itu sesuai dengan kesepakatan semula. Hasilnya? Tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan sang tuan! Para hamba utusan itu dipukul, dilempari dengan batu bahkan dibunuhnya.

Dalam kejengkelan dan kemarahannya maka kini sang tuan mengutus anaknya sendiri. Sang tuan berpikir, dengan mengutus anaknya para penggarap ini akan segan dan akhirnya menyerahkan hasil kebun anggur itu. Meleset, alih-alih takut terhadap anak sang tuan tanah ini, mereka menangkap, menyeretnya ke luar kebun anggur itu dan akhirnya membunuh si anak itu. Mereka berpikir kini tidak ada lagi pewaris dari kebun anggur itu. Merekalah yang akan menjadi pemiliknya kemudian! Di luar dugaan, sang tuan murka dan akhirnya membinasakan para penggarap kebun anggur itu.

Perumpamaan kebun anggur ini mengingatkan kebun anggur Israel dalam Yesaya 5:1-7. Kebun anggur itu melambangkan Israel sendiri yang tidak menghasilkan buah. Tetapi dalam Injil Matius ini, kebun anggur diartikan secara positif sebagai Kerajaan Allah (ay.43). Sang tuan mengutus hamba-hambanya untuk menyerahkan buah-buah (tous karpous). Buah-buah yang dimaksud adalah melakukan kehendak Allah. Para hamba sang tuan ini jelas mengacu kepada utusan-utusan TUHAN untuk menegur umat-Nya supaya melakukan kehendak-Nya. Mereka diutus berulang kali, terus-menerus (Yer.&:25; 25:4), tetapi ditolak dan dipukul bahkan dirajam dan dibunuh (Yer.20:2; 26:21-23; Mat. 23:37). Berbeda dengan Yesaya 5, Matius tidak mendakwa kebun anggur, tetapi para penggarap yang diberi kepercayaan tetapi tidak menyerahkan hasil kepada tuannya. Dalam hal ini mereka disamakan dengan para pendengar perumpamaan, yakni para imam kepala, tua-tua Yahudi, kaum Farisi dan elite umat Yahudi.

Akhirnya Si Tuan mengutus anaknya sendiri, anggapannya bahwa anak itu akan disegani oleh para penggarap kebun anggur. Bukannya menyegani sang anak, malah mereka membunuhnya dengan perhitungan yang bodoh bahwa mereka akan segera mewarisi kebun anggur itu. Sebutan "anaknya" (bnd. Mat.3:17; 17:5 "anaknya yang kekasih" dalam Mrk.12:6) beserta kata keterangan "akhirnya" dan tempat pembunuhan di "luar kebun anggur" tak terbantahkan hanya dapat merujuk kepada Yesus Kristus, Anak Allah yang segera sesudah itu akan dibunuh di luar kota Yerusalem (Mat.27:31-32; Ibr.13:12-13). Secara inplisit Yesus telah memperkenalkan diri-Nya sebagai Anak Allah kepada para pemimpin Yahudi. Dengan demikian pastilah maksud perumpamaan ini telah dimengerti oleh mereka.

Dalam dialog dengan para pemimpin Yahudi itu, mereka mengakui bahwa perhitungan para penggarap kebun anggur dengan membunuh anak sang tuan itu sama sekali meleset. Bukannya menjadi ahli waris, orang-orang jahat itu akan dibinasakan oleh tuan mereka. Satu generasi setelah perumpamaan ini mereka mengalami tragedi itu.  Yerusalem ditaklukan dan penduduknya dibantai oleh pasukan Romawi sekitar tahun 70 M. Sedangkan Sang Tuan akan mempercayakan kebun anggur (Kerajaan Allah) itu kepada orang lain! Kerajaan itu diambil dari para pemimpin bangsa Yahudi dan diberikan (bukan disewakan) kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan (bukan menyerahkan) buah-buah Kerajaan. Tidak dikatakan : "diberikan kepada bangsa-bangsa lain", sebab orang Yahudi pun tetap dipanggil untuk menjadi bagian dari bangsa baru yang adalah pengikut Kristus yang menyambut Kerajaan Allah dengan buah, yakni dengan melakukan kehendak-Nya. Jadi jelas, apa yang dimaksudkan Yesus bukan lagi primordial sebuah ras atau bangsa secara harfiah yang layak di hadapan-Nya, melainkan mereka yang mau tunduk dan setia serta menghasilkan buah-buah Kerajaan Allah itu. Apa pun bangsanya mereka layak di hadapan-Nya. Status yang asli dari sebuah umat TUHAN bukanlah semata-mata diukur berasal dari keturunan mana atau siapa melainkan dari tekadnya dalam melakukan kehendak Allah.

TUHAN memberikan kepada kita masing-masing "kebun anggurnya" sendiri-sendiri. Kita dimintanya untuk menggarap, memelihara dengan baik dan hasilnya tentu bisa kita nikmati tetapi jangan lupa yang utama adalah menyerahkannya kepada Sang Pemilik Kebun Anggur itu. Katakanlah "kebun anggur" itu adalah ladang pekerjaan kita. Kita bangun dari hari masih gelap, bersiap-siap pergi ke ladang itu dan pulang pun sudah kembali gelap. Kita merasa merintis "kebun anggur" itu. Lama-kelamaan kita merasa memilikinya. Padahal itu adalah sebuah kepercayaan dari Sang Tuan. Kita terlalu sibuk di "kebun anggur" itu dan akhirnya all out. Kita merasa "kebun anggur" itu adalah segalanya. Sehingga kita melakukan apa pun termasuk yang bertentangan dengan moralitas dan panggilan sebagai anak TUHAN di "kebun anggur" itu. Dan kini hidup kita adalah "kebun anggur" itu.  

Ada hamba-hamba TUHAN yang mengingatkan untuk kembali ke jati diri yang benar. Namun, sering kita menolak dan memusuhi. Dianggapnya menyinggung dan mau ikut campur. Alih-alih kembali mengoreksi kehidupan kita, kita sibuk mencari-cari kesalahan oerang yang menegur kita, bahkan tak segan-segan menfitnah dan menyingkirkannya. Ingatlah apa yang diajarkan Yesus. Kesempatan yang Allah berikan kepada setiap kita ada batasnya. "Kebun anggur" kita bukanlah segalanya. Namun, dari sana kita dapat memberi arti bagi kehidupan yang kekal. Jadi hasilkanlah "buah anggur yang baik" dan serahkanlah bagi kemuliaan Bapa di sorga!

Jakarta, 10 Oktober 2017