Sabtu, 20 Mei 2017

TERUSLAH BERBUAT BAIK, JANGAN GENTAR

Lazimnya, ketika kita berbuat baik maka kita akan menerima buahnya, yakni kebaikan juga. Bukankah demikian hukum tabur tuai? “Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik?” Demikian kata Rasul Petrus (1 Petrus 3:13). Normalnya, orang tidak akan berbuat jahat terhadap orang yang selalu berbuat baik. Cobalah kita berada pada posisi orang yang selalu menerima kebaikan dari seseorang. Nah, apakah kita tega membenci, melukai dan berbuat jahat kepada orang itu? Mestinya tidak! Namun, nyatanya ada saja: perlakuan baik dibalas dengan kebencian dan tindakan tidak menyenangkan. Katanya seperti pribahasa: “Air susu dibalas dengan air tuba.” Perbuatan baik yang kita lakukan dibalas dengan perbuatan jahat sampai kita menderita. Jangan tanya mengapa orang tidak tahu berterimakasih!

Dalam konteks Surat Pastoral Petrus, bisa jadi mereka dibenci – meskipun rajin berbuat baik – oleh karena dianggap sebagai orang-orang asing. Ingat, surat pastoral Petrus ini ditujukan kepada orang-orang pendatang, yang tersebar di Pontous, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia (1 Petrus 1:1). Mereka ini adalah orang-orang Yahudi dan non Yahudi yang telah percaya kepada Kristus. Namun, meskipun mungkin saja mereka telah sekian lama tinggal di daerah itu dan bahkan ada juga orang-orang “pribumi” atau lokal di tempat-tempat itu, tetap saja mereka dianggap sebagai pendatang atau orang asing. Hampir mirip kondisi ini dengan orang Kristen di Indonesia. Walau banyak melakukan sumbangsih kebaikan bagi bumi pertiwi dan bahkan tak terhitung jumlah pejuang yang berkorban untuk kemerdekaan Republik Indonesia, sering kali orang-orang Kristen dipandang sebagai “pendatang” dan “orang asing” di tanah air tumpah darahnya sendiri. Apakah dengan demikian menyurutkan kita untuk berhenti mengasihi dan mencintai Indonesia?

Dalam kondisi seperti ini wajar kalau orang-orang yang disebut “pendatang” atau keturunan menjadi marah, kecewa, frustasi dan merasa sia-sia melakukan perbuatan baik dan hidup dalam kebenaran. Sebagian mereka berniat hijrah ke luar negeri, memindahkan aset-aset mereka dan melarang anak-anaknya yang sekolah di luar negeri untuk kembali ke Indonesia. Tahun lalu Presiden Jokowi mengadakan kunjungan ke beberapa negara dan mengajak agar putra-putri Indonesia yang sekolah di negara-negara itu kembali ke Indonesia untuk membangun dan berkarya kemajuan peradaan Indonesia. Mereka menyambut dengan atusias ajakan sang presiden. Namun, peristiwa beberapa bulan terakhir menimbulkan kondisi yang terbalik. Mereka meragukan kondisi tanah airnya, negara dianggap gagal memertahankan dan membela kebenaran. Sebaliknya, radikalisme, premanisme berjubah agama dan segala macam tindakan kemunafikan semakin mendapat panggung!

Seseorang pernah curhat kepada saya, bahwa kini ia tidak mau menolong saudaranya lagi. Mengapa? Oleh karena kebaikan yang ia berikan ternyata dimanfaatkan tidak dengan semestinya. Sang saudara itu memasang muka memelas, penuh dengan derita, tujuannya supaya ia dikasihani dan diberi bantuan. Pada tataran ini saja, kebanyakan dari kita enggan untuk memberikan bantuan lagi karena merasa diri telah dimanfaatkan. Apalagi jika kebaikan yang kita berikan justeru dibalas dengan kebencian dan kejahatan, saya tidak tahu seberapa banyak yang dapat tahan untuk terus berbuat baik? Seberapa banyak di antara kita yang tidak gentar untuk terus berbuat baik dan menyatakan kebenaran bila berhadapan dengan fitnah, dengki dan aniaya?

Mengapa kebanyakan orang – mungkin termasuk kita – enggan atau berhenti berbuat baik mana kala kebaikan kita disalah mengerti atau bahkan dibalas dengan perlakuan jahat? Bisa jadi dalam setiap perbuatan baik kita terselip harapan untuk menerima kembali kebaikan itu. Rasul Petrus mengingatkan bila kita telah melakukan perbuatan bahkan rajin berbuat baik namun toh kita harus menderita, maka berbahagialah! Loh koq bisa? Petrus menegaskan apabila kita menderita, dibenci, dimusuhi karena melakukan perbuatan baik dalam kebenaran, kita harus memandang kepada Kristus. Ia pun menderita karena dosa umat manusia, termasuk kita di dalamnya. Ia mendapatkan perlakuan tidak adil meski Ia berlaku adil. Ia dibenci padahal Ia tidak pernah membenci. Ia ditolak padahal Ia merangkul semua. Ia dianiaya padahal Ia begitu mencintai mereka!

Ketika kita memandang Kristus, mestinya kita lebih siap meninggalkan cara pandang kita selama ini, yakni merasa berjasa dan harus menerima kembali setiap kebaikan yang kita berikan. Sikap pamrih mestinya sudah bukan lagi menjadi mentalitas kristiani. Kita berbuat baik bukan supaya rumah kita aman, atau supaya gereja kita tidak diganggu, atau sebagai alat untuk mengkritenkan orang lain bahkan menjaring popularitas. Ketika Yesus mengetahui motivasi kebaikan kita adalah untuk itu, saya yakin Dia akan sedih dan kecewa. Bukan itu! Melainkan meneladani Kristus. Dengan meneladani Kristus seharusnya lambat-laun karakteristik kasih Kristus itu menjadi bagian dari sikap mental kita. Berbuat baik semata-mata karena kita telah lebih dahulu dikasihi dan dicintai Tuhan, berbuat baik untuk menyalurkan kasih Allah. Melakukan kebenaran bukan karena takut dihukum melainkan oleh karena Tuhan menghendakinya. Melakukan kebenaran adalah cara hidup kudus kita di dunia yang penuh cemar. Begitulah cara kita mencintai-Nya. Menderita karena kebenaran tidak lagi disesali, melainkan disyukuri sebagai sebuah berkat. Menderita karena kebenaran jauh lebih mulia dibandingkan menderita akibat melakukan tindakan kejahatan.

Benar, dengan kekuatan sendiri mustahil kita dapat terus berbuat baik di dalam kebenaran. Kita membutuhkan pertolongan Adikuat! Sebelum perpisahan dengan murid-murid-Nya, Yesus menjanjikan Roh Penolong bagi para murid agar mereka mampu melakukan tugas kesaksian di dunia ini. Sang Penolong ini adalah Roh Kebenaran (Yoh. 14:17) atau Roh Kudus. Apa yang dimaksud dengan Penolong? Kata Yunani paraklētos dari kata dasar parakaleō yang berarti menghibur dan meneguhkan. Penolong itu adalah Sang Penghibur. Apa peran Penolong itu? Apakah Dia yang menghibur para murid dalam kedukaan? Yang dimaksud Yesus dalam Yohanes 14:16 bukan menghibur dalam kedukaan, tetapi yang memberikan peneguhan dan kekuatan bagi para murid untuk hidup dalam kebenaran. Orang yang setia melakukan kebenaran pasti akan menghadapi banyak tantangan, ancaman, kebencian dan tindakan kejahatan. Ia adalah Roh Kebenaran! Ia meneguhkan para murid dalam menghadapi tantangan dan kesulitan iman, agar mereka terus berjalan dalam kebenaran, bertahan dalam kesaksian mereka, bertahan dalam pertentangan mereka!

Apa yang dialami oleh Penolong ini dalam kehadiran-Nya di dunia akan serupa dengan apa yang dialami Yesus. “Dunia tidak dapat menerima Dia sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia.” Berbeda dengan dunia yang tidak melihat dan tidak mengenal Penolong itu, para murid melihat dan mengenal-Nya. Penolong itu akan menyertai para murid dan akan diam di dalam diri mereka.

Tidak salah, Tuhan menghadirkan Anda dan saya di bumi Indonesia ini. Bukan pula hal keliru, apabila setiap perbuatan baik dan ketaatan kita pada kebenaran justeru memperhadapkan kita dengan kecemburuan, fitnah dan ancaman. Di sinilah Tuhan membentuk kita, Ia tidak tinggal diam. Dulu Ia menyertai Petrus, Stefanus, Paulus dan yang lainnya dalam pemberitaan Injil dan menyatakan kebenaran di hadapan para lawannya, Roh Kudus itu memberi hikmat untuk berkata-kata, menguatkan mereka dalam berbagai bentuk aniaya dan penjara. Maka Roh yang sama juga tentunya akan memampukan kita untuk melakukan segala kebaikan.

Di lain pihak, justeru dengan kehadiran Anda dan saya, Tuhan sedang mengasihi bangsa ini. Kebaikan-Nya ingin terus mengalir terhadap bangsa ini. Bayangkan, andai saja bangsa ini sudah tidak ada lagi yang peduli dengan keutuhan semua ciptaan, keadilan bagi semua orang, penghormatan terhadap kebhinekaan dan kebenaran yang terus-menerus dinyatakan, mungkin hanya tinggal menunggu hari saja bangsa ini hanya tercatat dalam sejarah. Ya, ada sebuah bangsa yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi keragaman dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, ternyata telah hilang dari peta dunia!


Jakarta, Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2017

Jumat, 12 Mei 2017

PERGI DALAM DAMAI

Stefanus, satu dari tujuh orang yang dipilih untuk pelayanan sosial (Kisah Para Rasul 6:1-7). Mereka diutus untuk memberikan bantuan kepada para janda, yatim dan orang-orang miskin yang terabaikan, karena beriman bukan berarti hanya sekedar percaya saja lalu mengabaikan kebutuhan perut dan tempat bernaung. Sudah pasti Stefanus bekerja dengan gigih dan cinta karena ia seorang yang penuh dengan iman. Iman yang membuatnya tidak tahan melihat saudara-saudaranya hidup dalam penderitaan. Iman yang menggerakkan seluruh akan budinya untuk mengasihi sesama dengan setulus-tulusnya. Imannya nyata melalui tindakan dan dalam pemberitaan Injil.

Namun, sayang kerja keras dan kepeduliaan serta pelbagai mukjizat yang dilakukan Stefanus harus dibungkam oleh orang-orang yang menganggapnya menghujat dan menista agama Yahudi. Tampillah orang-orang yang disebut jemaat Yahudi Libertini (Kis.6:9) yang sengaja berdebat untuk menjatuhkan Stefanus. Namun sayang, mereka tidak dapat mengungguli hikmat Stefanus. Stefanus selalu dapat menepis tuduhan mereka. Ketika mereka tak sanggup mengungkapkan lagi cacat cela apa yang dikerjakan Stefanus, mulailah mereka menebarkan isu, menghasut dan memprovokasi orang banyak bahwa Stefanus telah menghujat Allah dan melanggar hukum Musa. Tidak hanya itu, bersama dengan lembaga ulama, para pemimpin Yahudi mengadakan gerakan untuk menyergap Stefanus dan menyeretnya ke Mahkamah Agama!

Sudah dapat diduga persidangan macam apa yang mereka gelar. Yup, persidangan rekayasa! Mereka menghadirkan saksi-saksi palsu yang sepakat mengatakan, “Orang ini terus-menerus  mengucapkan perkataan yang menghina tempat kudus ini dan hukum Taurat.” (Kis. 7:13). Stefanus memandang penghakimannya ini justeru sebagai peluang emas untuk menyaksikan Injil Yesus Kristus. Ia tidak gentar dengan ancaman maut di depan mata. Ia bersuara lantang dan menyatakan kebenaran meski harus dirajam batu! Stefanus menjadi martir bukan karena melanggar Taurat dan menghujat Allah, melainkan karena pengakuan imannya yang jernih pada Yesus Kristus. Pengakuan imannya yang tegas dan jelas itu mengungkapkan kembali sejarah kehidupan Yesus Kristus. Yesus, yang mati disalibkan dengan tuduhan yang hampir sama seperti pasal yang dituduhkan kepadanya, yakni menghujat Allah. Namun, kini Ia dimuliakan Allah.

Menurut tradisi Yahudi, saksi utama dalam peristiwa penodaan agama itu haruslah melempar batu yang pertama bagi terdakwa. Para saksi melepaskan pakaian mereka sebagai kesaksian bagi Stefanus. Pakaian itu dijaga oleh seorang pemuda, namanya Saulus. Pelemparan batu sampai mati terhadap Stefanus ini rupanya menjadi pengalaman menentukan bagi Saulus. Ia mendapatkan kesan mendalam dari Stefanus. Setelah dua puluh tahun berselang, kelak Saulus bertemu dengan tokoh mulia yang saat ini memberikan kekuatan istimewa kepada Stefanus, yakni Yesus. Peristiwa itu terjadi dalam perjalanan Saulus menuju Damsyik untuk mengejar orang-orang Kristen. Tokoh itu ternyata mengisi seluruh hidupnya, sehingga kemudian Saulus yang telah berganti nama menjadi Paulus berani bersaksi “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan”(Fil.1:21).

Menjelang ajalnya, ada suatu yang menarik, yakni :”Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.” (Kis.7:56). Apakah karena begitu berat penderitaan menghadapi sakaratul maut lalu Stefanus berhalusinasi melihat Yesus? Ataukah benar-benar ia telah melihat “surga” di ujung kematiaannya? Boleh-boleh saja orang berpendapat demikian. Namun, satu hal yang pasti detik-detik terakhir menjelang ajalnya ada dua kalimat yang meluncur dari mulutnya: “Ya, Tuhan Yesus, terimalah rohku, “ dan “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” setelah perkataan itu meninggallah Stefanus. Ia pergi dalam damai bersama Tuhannya!

Ketika Stefanus melihat Yesus, oh…itu bukan halusinasi! Ia melihat Yesus sebagai firman yang hidup. Pastilah ia mengingat apa yang dilakukan Yesus selama hidup-Nya, secara khusus ketika Yesus meregang nyawa di atas kayu salib di bukit Golgota. Ia mengingat ucapan Yesus yang meminta kepada Bapa-Nya agar mengampuni dosa mereka yang telah menolak dan menyalibkan-Nya. Dan Yesus juga menyerahkan nyawa-Nya ke dalam tangan Bapa. Bagi Stefanus, melihat Yesus berarti menjalani dan melakukan apa yang Yesus jalani dan apa yang Yesus lakukan!

Stefanus berhasil melihat  apa yang sulit dilihat oleh Filipus dan para murid yang lainnya. Kemudian ia meminta Yesus menunjukkan Bapa kepadanya (Yoh.14:8). Lalu Yesus mengatakan, “Barangsiapa telah melihat Aku ia telah melihat Bapa”. Di dalam Taurat dan kitab para nabi, tidak ada orang yang bisa mengatakan bahwa barangsiapa mengenal dirinya, ia mengenal Allah. Hanya Yesus yang mengatakan hal ini. Sekarang, Filipus harus melangkah ke pengenalan yang lebih mendalam akan Yesus. Yesus, bukan saja apa yang tertulis dalam Taurat dan kitab para nabi, melainkan juga tentang apa yang ia dengar, lihat dan alami bersama dengan Yesus. Seluruh apa yang Yesus peragakan merupakan firman Allah. Maka Yesus mengatakan, “Barangsiapa telah melihat Aku ia telah melihat Bapa.” Setelah itu, Yesus melanjutkan perkataan-Nya bahwa barangsiapa percaya kepada-Nya, maka ia juga akan melakukan apa yang dikerjakan-Nya.

Stefanus adalah salah seorang yang berhasil “melihat” Yesus. Maka ia mengerjakan segala apa yang pernah Yesus ajarkan dan lakukan. Keprihatinannya kepada yang miskin dan terabaikan, bukankah itu juga yang Yesus lakukan? Keberaniannya dalam menghadapi para pemimpin agama dalam persidangan rekayasa, bukankah itu juga yang dialaminya? Bahkan sampai akhir kehidupannya, ia melihat Yesus yang sesungguhnya itu sehingga ia pergi dalam damai walau kematian yang menjemputnya begitu mengerikan!

Setiap orang mengharapkan “pergi dalam damai”, rest in peace (RIP); mengakhiri kehidupan ini menuju kepada kedamaian abadi. Namun, seringkali tidak tahu bagaimana menempuh jalan untuk pergi ke sama. Yesus menyatakan diri-Nya Jalan, Kebenaran, dan Hidup! Ia adalah jalan yang membawa orang kepada Bapa. Yesus tidak menunjukkan jalan tertentu yang harus dilewati. Ia menunjuk diri-Nya sendiri adalah Jalan itu. Dialah satu-satunya jalan menuju Bapa. Oleh karena itu Ia menyebut diri-Nya Sang Jalan (hē hodos; the way). Dalam kapasitas-Nya sebagai Jalan itulah, Ia juga Kebenaran dan Hidup. Jalan itu menjadi kebenaran karena Ia menghantar kepada tujuan yang sejati. Dia bisa dipercaya dan orang dapat memercayakan diri kepada-Nya. Dia melakukan apa saja yang dikatakan-Nya. Jalan itu adalah Hidup, karena membawa orang kepada kehidupan. Dialah yang membawa orang kepada pengenalan akan satu-satunya Allah sebagai sumber kehidupan yang baka.

Ketika kita menginginkan pergi dalam damai, maka tidak ada jalan lain kecuali melalui Dia yang tersalib itu!

Paskah V 2017