Sudah dapat diduga, gereja dan kita sebagai orang Kristen tidak menaruh
bobot yang sama pada semua hari raya gerejawi. Hari ini (14 Mei 2015), kita
merayakan Hari Kenaikan Yesus Kristus ke sorga. Tidak ada panitia khusus
seperti panitia Natal. Kalau pun ada, biasanya kepanitiaan digabung ke dalam
panitia Paskah. Benarkah Kenaikan Yesus ke sorga kurang berbobot dibanding
Natal atau Paskah? Tidak benar! Semua hari raya gerejawi sama pentingnya. Hari
Kenaikan Yesus menjadi penting oleh karena itulah momen terakhir sebelum Yesus
kembali pada kemuliaan, tempat Dia berada sebelumnya. Alasan yang lain adalah,
saat Ia kembali ke sorga – seolah seperti komamdan yang telah paripurna
menunaikan tugasnya – Ia menyerahkan tongkat estapet kepada para pengikut-Nya.
Yesus Kristus memuliakan, memberi kepercayaan kepada para murid-Nya agar dapat
meneruskan apa yang sudah dikerjakan-Nya, yakni mewujudnyatakan Kerajaan Allah
tidak hanya di Yerusalem, melainkan Yudea, Samaria bahkan sampai ke ujung-ujung
bumi!
Pusat berita yang dibawa Yesus adalah Kerajaan Allah. Tema ini sering
disalahpahami. Dulu, sesudah kebangkitan, para murid mendesak Yesus untuk
mewujudnyatakan cita-cita mesianik mereka, “Maukah
Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?” (Kisah Rasul 1:6).
Sampai penampakkan Yesus yang terakhir, para murid ini keukeuh dengan ide semula tentang konsep pengharapan mesianik yang
akan memulihkan kembali kedigdayaan Israel. Sang Mesias harus segera menaklukan
penguasa asing yang sedang menjajah Israel. Mesias ideal adalah mesias sang
penakluk musuh dan menjadikan mereka penguasa baru yang mendominasi dunia. Seluruh
bagian sejarah Israel membuktikan, bahwa secara logika nalar, ide menjadi
penguasa yang mendominasi dunia ini tidaklah mungkin terjadi. Mengapa? Palestina
adalah sebuah negara kecil. Tidak lebih dari 120 mil panjangnya dan 40 mil
lebarnya. Negeri ini merdeka tetapi kemudian telah menjadi bagian dari kerajaan
Bebel, Persia, Yunani dan Romawi. Oleh karenanya, orang Yahudi mengharapkan
suatu “mujizat”, suatu saat nanti, di mana Allah akan memasuki sejarah manusia
secara langsung dan saat itulah dengan kekuatan-Nya akan menciptakan kedaulatan
dunia yang mereka impikan. Mereka memahami kerajaan itu secara politis. Jelas,
hal ini berbeda dengan konsen dan keprihatinan Yesus.
Andaikan benar, apa yang menjadi impian setiap orang Yahudi, termasuk di
dalamnya murid-murid Yesus, yakni Israel dipulihkan dan menjadi kerajaan yang
mendominasi dunia, pastilah prilaku manusia sebagai penindas tidak akan terhindarkan.
Israel akan sama seperti Babel, Persia, Yunani, dan Romawi! Mereka kan
memperlakukan bangsa-bangsa asing (qoyyim)
sebagai manusia-manusia kelas dua. Cita-cita Kerajaan Allah yang memuliakan
martabat manusia hanya akan dirasakan oleh sekelompok orang yang merasa dirinya
umat pilihan saja. Tidak untuk semua manusia! Ternyata, bukan saja Yesus tidak
setuju dengan konsep itu, tetapi juga Ia menolaknya!
Bagaimana pemahaman Yesus tentang Kerajaan itu? William Barclay,
mengajak kita melihat dari “Doa Bapa Kami”. Dalam doa ini ada dua petisi yang
berdampingan: “Datanglah Kerajaan-Mu; Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di
sorga.” Menurut karakteristik Ibrani, sama seperti syair-syair dalam Mazmur,
bila ada dua syair yang mengambil bentuk paralel, maka yang kedua akan
menguatkan syair yang pertama. Demikian juga dengan dua petisi dalam Doa Bapa
Kami ini. Petisi atau kalimat kedua merupakan arti dari kalimat pertama. Dengan
demikian kita dapat memahami bahwa yang dimaksudkan Yesus dengan Kerajaan Allah
ialah suatu masyarakat di dunia ini, di mana kehendak Allah akan terjadi secara
sempurna, seperti di sorga. Oleh karena itu, nyata sekali bahwa Kerajaan itu
bukan didasari oleh kekuasaan atau kekuatan militer, melainkan oleh kasih. Nah,
jalan satu-satunya mewujudkan itu telah Yesus mulai dengan hidup, pelayanan,
bahkan pengorbanan nyawa-Nya sendiri di kayu salib. Kini, tugas-Nya telah
selesai dan Ia mempercayakan kelanjutan-Nya kepada semua orang yang percaya dan
mengikuti-Nya.
Sama seperti dulu Yesus menjalaninya. Tidak mudah! Maka untuk mencapai
hal itu manusia membutuhkan pertolongan Roh Kudus. Yesus meminta mereka untuk
tetap tinggal di Yerusalem sampai mereka semua dilengkapi dengan kekuasan dari
tempat tinggi (Lukas 24:49). Barulah setelah mereka menerima kuasa Roh Kudus
itu mereka akan dimampukan menjalani dan melanjutkan apa yang telah dirintis
Yesus.
Roh Kudus mengambil peran penting dalam menopan kesaksian para murid.
Kita sering menyebut Roh Kudus sebagai Penghibur (Comforter). Konon kata itu berasal dari Wycliff; tetapi pada jaman
Wycliff kata comforter mempunyai
pengertian berbeda. Kata itu berasal dari kata Latin fortis, yang berati “berani”; Comforter
adalah figur yang mengisi manusia dengan keberanian dan kekuatan. Dengan
demikian Roh Kudus berperan bukan hanya ketika ada orang yang sedih, berduka,
kehilangan kemudian dihibur. Melainkan jauh di atas itu, yakni: seseorang yang
dalam keadaan terpuruk diberikan
keberanian dan kekuatan untuk melanjutkan kehidupan ini. Jika peran itu
diterapkan pada konteks kesaksian para murid dalam meneruskan karya Yesus,
berarti: Roh Kudus memberikan keberanian dan kekuatan kepada para murid dalam
menjalankan dan meneruskan misi Kristus di dunia ini.
Kita sering mendengar kata “menjadi saksi Kristus”, apa sebenarnya yang
diinginkan Kristus? Apakah hanya bermakna membuat sebanyak-banyaknya orang
menjadi Kristen, sehingga dunia ini didominasi oleh orang Kristen? Koq, kalau seperti ini mirip dengan
perjuangan triumpalistik Israel yang ingin mendominasi dunia. Dan untuk maksud
itu Yesus sudah menolaknya. Mestinya, ada yang lebih mendasar dan mendalam dari
itu. Mari kita mencatat beberapa hal yang pasti tentang saksi Kristen:
Pertama, saksi adalah seseorang yang mengatakan, “Saya tahu ini adalah
benar.” Di pengadilan seseorang tidak boleh memberikan bukti atau kesaksian
hanya dengan suatu cerita saja. Bukti kesaksian haruslah merupakan mengalaman
pribadinya. Banyak orang-orang yang ingin bersaksi tentang Kristus yang hanya
meneruskan cerita-cerita orang lain dan sangat disayangkan bahwa cerita-cerita
itu sering kali jauh dari fakta. Kita yang mendengarnya cenderung menganggukkan
kepala tanda setuju, ketimbang mau menelusuri kebenarannya. Orang yang menjadi
saksi Kristus harus orang yang mengalami perjumapaan dengan-Nya, mengalami
sentuhan kasih-Nya sehingga kesaksiannya menjadi otentik dan bukan karangan
saja.
Kedua, seorang saksi yang benar
tidak hanya melalui perkataannya saja, melainkan dengan perbuatannya. Ada dua
orang murid katekisasi yang bukan dari keluarga Kristen. Mereka bekerja pada sebuah keluarga, lalu suatu hari
memutuskan untuk mau mengikut Yesus. Sebelum kelas katekisasi dimulai, saya
bertanya kepada mereka, “Apa yang membuat Anda mau menjadi pengikut Tuhan?”
Mereka menjawab, “Kami bekerja pada sebuah keluarga Kristen. Mereka tidak
pernah mengajak apalagi memaksa kami menjadi Kristen. Namun, kehidupan mereka
begitu indah, tutur kata dan prilakunya benar-benar membuat kami dihargai dan
kami dicintai. Kami ingin seperti mereka: hidup damai, tidak memandang rendah
orang lain dan mengasihi dengan tulus. Jelas, keluarga Kristen ini telah
mengangkat harkat pegawainya sebagai manusia yang layak dikasihi dan menerima
cinta kasih Tuhan. Begituah sebenarnya Tuhan mau kita menjadi saksi dalam meneruskan
berita Kerajaan Allah dengan cara meneruskan cinta kasih dan kepedulian Yesus.
Selamat Hari Kenaikan Tuhan Yesus Ke Sorga, dan Selamat melanjutkan misi Yesus
di dunia ini!