Kamis, 08 Februari 2024

KEMULIAAN DALAM SOLIDARITAS TANPA BATAS

Tumbuhan tahu bahwa ia harus mati untuk hidup. Harus berpisah untuk bertemu, harus membuang untuk mendapatkan, dan harus meninggalkan untuk bisa kembali. Ia juga tahu bahwa sebelum musim dingin tiba, ia harus melepaskan daun-daun yang disukai tanpa tersisa, dan setelah pergantian begitu lama, kelopak-kelopak bunga akan mekar, memesona! Namun, ia juga harus rela bahwa dalam sekejap kelopak-kelopak itu diterbangkan angin yang bertiup. Hari-hari yang bersinar pun mempunyai akhir. Sejumput rumput yang pendek pun tahu akan hal ini. Mereka lebih baik ketimbang kita yang kerap melewatkan kesempatan karena keraguan dan kebimbangan.

 

Tumbuhan mengajarkan kepada kita, bahwa untuk mendapatkan momen indah dengan kelopak-kelopak bunga mekar memesona, mereka melewati pelbagai ritme kehidupan yang tidak mudah. Sang fotografer lebih suka menangkap dan mengabadikan momen memesona itu lalu membagikannya sebagai karya yang pantas diacungi jempol! Andai bunga itu dapat bicara, mungkin ia akan menyapa sang fotografer, “Tunggu, untuk citra yang mengagumkan ini mestinya engkau tahu pelbagai tahapan yang harus aku lalui. Di situ engkau tidak hanya berhenti mengagumi aku yang sedang mekar ini, melainkan takjub dengan seluruh siklus hidup yang aku jalani.”

 

Kira-kira begitu mengapa Yesus melarang para murid-Nya menceritakan kemuliaan yang baru saja terjadi di atas gunung itu. Mari kita telusuri kisahnya. Saat itu, penampakan Yesus benar-benar memesona bak bunga dengan kelopak-kelopaknya yang sedang merekah memerlihatkan kombinasi warna kontras tetapi juga lembut sehingga memaksa mata berkata, “ini keren, luar biasa!” Saking takjubnya, Petrus yang mewakili dua temannya mengusulkan agar ia diperbolehkan mendirikan tenda untuk tiga sosok mulia di depan mata mereka: Yesus didampingi Musa dan Elia.

 

Di atas gunung itu, Yesus menampakkan kemulian-Nya. Ia berubah rupa dan pakaian-Nya menjadi putih berkilauan. Begitu putih dan berkilauannya sehingga tidak ada seorang penatu pun di dunia ini yang sanggup memutihkan pakaian seperti itu. Tak pelak lagi, mereka yang melihat-Nya akan merasakan kedahsyatan kemuliaan itu. Inilah Mesias dalam kemuliaan-Nya!

 

Musa dan Elia, dua tokoh yang sangat dihormati dalam Perjanjian Lama menambah semarak kemuliaan itu. Dalam perspektif Markus tentu saja ini bukan sebuah kebetulan. Ada penegasan makna! Musa adalah orang yang membawa hukum Allah, Taurat sedangkan Elia seorang nabi yang mengingatkan umat untuk menaati hukum itu: sang penegak hukum Allah. Sedangkan Yesus adalah sosok yang menggenapi janji Allah. Melalui Musa, Allah berkarya membelah Laut Merah yang merupakan simbol batas Mesir sebagai wilayah perbudakan, menuju tanah perjanjian, tanah kebebasan. Elia, membelah sungai Yordan simbol batas umat memasuki negeri perjanjian. Sementara Yesus kelak membelah tabir Bait Allah ketika penyaliban-Nya terjadi yang merupakan simbol batas kekudusan Allah dengan manusia. Musa adalah tokoh yang tidak diketahui kuburannya, Elia diangkat ke surga, dan Yesus naik ke surga setelah dikubur dan dibangkitkan pada hari ketiga. Selama empat puluh tahun umat Allah berada di padang gurun dan di gunung Sinai kemuliaan Allah dinyatakan kepada Musa. Elia berada di gunung Horeb dan TUHAN berbicara kepada-Nya sesudah empat puluh hari ia tinggal di sana. Sementara Yesus empat puluh hari tinggal di padang gurun dan berpuasa. Musa dan Elia diyakini akan datang kembali menjelang hari TUHAN, dan Yesus akan datang kembali sebagai hakim. Ada begitu banyak kesejajaran, sekali lagi ini bukan kebetulan tetapi menunjukkan kontinuitas rancangan ilahi dalam ketiga tokoh yang tampil di atas gunung itu. Dalam peristiwa transfigurasi, Yesus memancarkan cahaya kemuliaan yang dapat diartikan sebagai puncak dari spiritualitas.

 

Meski berada dalam puncak kemuliaan, Yesus tidak menghendaki murid-murid terdekat-Nya kagum apalagi “mengabadikannya” untuk diri mereka sendiri. Jelas, para murid belum dapat menangkap dengan utuh kemuliaan yang sesungguhnya itu. Akibatnya, alih-alih Yesus menyetujui permintaan mereka yang hendak mendirikan tiga kemah itu, ada suara langit yang berseru, “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia!”(Markus 9:7). Tiba-tiba suasana kembali seperti semula. Ketiga murid itu memandang sekeliling mereka dan hanya melihat Yesus seorang diri. Musa dan Elia telah menyelesaikan tugas masing-masing, sekarang Yesus harus melanjutkan dan menyelesaikan tugas yang diserahkan Bapa-Nya.

 

Yesus tidak dapat terus tinggal dalam kemuliaan-Nya, Ia harus turun dari gunung itu untuk kemudian naik ke gunung yang lain, yakni Golgota! Waktu Yesus turun gunung itulah Ia berpesan dengan sangat agar ketiga orang murid-Nya itu tidak menceritakan apa yang terjadi di atas gunung itu, “sebelum Anak Manusia bangkit dari antara orang mati.” Mengapa baru setelah Anak Manusia bangkit dari antara orang mati, mereka boleh menceritakan peristiwa itu? Benar, Yesus adalah Mesias, sosok yang mulia itu. Tetapi kemuliaan yang sesungguhnya baru akan tampak sepenuhnya setelah Ia bangkit dari antara orang mati. Para murid hanya dapat mengerti secara lengkap apabila seluruh rangkaian mandat yang diberikan Sang Bapa kepada-Nya telah paripurna dijalani. 

 

Walaupun bagi para murid, peristiwa transfigurasi itu begitu memesona dan mengagumkan, tetapi ketika mereka tidak utuh menjalaninya bersama-sama dengan Yesus maka dampaknya pemberitaan dan kesaksian mereka akan membuat orang yang mendengarnya melewatkan aspek penting dari kemuliaan Yesus, yakni penderitaan bahkan kematian-Nya! Transfigurasi bisa berdampak mengubur salib; hanya memandang sisi Yesus yang mulia dan dahsyat! Sementara bagi Yesus, orang dapat mengerti kemuliaan-Nya ketika memahami terlebih dahulu penderitaan dan salib yang harus ditanggung-Nya. Menuntaskanmandat Bapa orang akan benar-benar menjadi yakin bahwa Yesus adalah Mesias yang mulia itu. Ingatlah, tidak ada kisah happy ending tanpa pergumulan dan penderitaan di dalamnya; tidak ada mahkota tanpa salib!

 

Yesus tidak ingin murid-murid-Nya terpesona dan memberitakan mahkota-Nya saja, Ia ingin para murid tahu bagaimana cinta kasih Bapa itu diterjemahkan melalui diri-Nya. Melalui penderitaan yang harus Ia jalani. Jalan cinta yang tidak mudah dan bukan murahan. Ia sering disalah pahami, tidak dihargai dan disejajarkan dengan penghujat Allah. Tetapi, dengan setia Yesus menjalaninya. Melalui-Nya, Ia menggemakan kasih Bapa yang tanpa batas, berlaku bagi semua orang. Melalui jalan penderitaan yang demikian, kasih Allah diterima, dirasakan dan dirayakan oleh semesta. Itulah kemuliaan yang sesungguhnya!

 

Peristiwa transfigurasi mengajarkan kepada kita untuk dapat dengan utuh menangkap hakikat kemuliaan itu. Kemuliaan bukan perkara sebuah momen, melainkan rangkaian peristiwa yang dengan tekun dan setia dijalani. Memberitakan kemuliaan Yesus tidak cukup dengan menceritakan kehebatan kuasa-Nya saja dan melupakan pergumulan dalam derita yang hebat. Ingatlah tidak ada mahkota tanpa salib. Ketika kita menyelami transfigurasi Yesus, jalan kemuliaan itu terbuka dengan cara: Pertama, mencontoh apa yang dilakukan Yesus. Kemuliaan yang sesungguhnya itu diperoleh ketika kita taat dan setia meskipun harus berhadapan dengan pelbagai kesulitan dan penderitaan. 

 

Kedua, seperti suara dari langit yang bergema, “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia!” Dengan jalan mendengarkan Dia, kita akan berjumpa dengan kemuliaan yang sesungguhnya. Mendengarkan Yesus berarti bersedia menyimak dan mengindahkan setiap perkataan-Nya. Menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja!

 

Jakarta, 8 Februari 2024, Minggu Transfigurasi tahun B

Jumat, 02 Februari 2024

SENTUHAN KASIH ALLAH

Mereka semua takjub, sehingga mereka memperbincangkannya, katanya, Apa ini?...” (Markus 1:27a). 

 

Setelah pengusiran roh jahat itu, Yesus keluar dari sinagoga. Ini bukan karena pintunya mau ditutup, melainkan karena para pendengar belum memahami-Nya. Mereka bertanya-tanya, “Apa gerangan yang telah terjadi?” Mereka tidak menemukan jawabannya. Maka ketika Yesus keluar, dapat diartikan secara simbolis: Selama manusia tinggal di “sinagoga”, dalam dinding-dinding ruang ibadah, ia tidak dapat memahami Yesus secara utuh. Untuk menemukannya, ia harus “meninggalkan sinagoga” dan mulai semacam Keluaran baru.

 

Setelah meninggalkan sinagoga itu, tempat berkuasanya para guru Yahudi dan tokoh setempat lainnya, Yesus mengunjungi rumah Simon dan Andreas. Lihat, meski pada awal pemanggilan para murid pertama, mereka meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan, ayah dan keluarganya lalu mengikut Yesus, itu tidak berarti memutus kekerabatan atau melupakan segala-galanya. Tidak! Buktinya, kini Yesus berada di tengah-tengah keluarga Simon dan Andreas. Nama istri dan ibu mertua Simon tidak dicatat. Namun, mereka tentu saja sangat mendukung pelayanan yang dilakukan oleh Yesus bersama murid-murid-Nya. Bahkan, dalam catatan Paulus, Simon di kemudian hari membawa serta istrinya dalam pelayanan (1 Korintus 9:5).

 

Di luar sinagoga, di luar tempat sakral ibadah itulah Yesus menerjemahkan ajaran-Nya menjadi hidup. Dia tidak hanya pandai bicara dan mengusir setan di rumah ibadah itu. Lebih jauh bahasa kasih yang kemudian hari dirumuskan oleh Garry Chapman terjadi di rumah Simon. Di rumah itu ada kata-kata cinta, ada quality time, ada tindakan pelayanan dan tentunya ada sentuhan kasih!

 

Bisa jadi Simonlah yang mengajak Yesus untuk singgah di rumahnya. Simon telah menyaksikan bagaimana dahsyatnya kuasa Yesus mengusir setan dan menyembuhkan orang sakit. Pastilah  Yesus juga dapat memulihkan ibu mertuanya yang sedang demam. Demam dalam ilmu kedokteran bukanlah penyakit melainkan meningkatnya suhu tubuh. Demam umumnya terjadi sebagai reaksi dari sistem imun dalam melawan infeksi kuman penyebab penyakit. Demam bisa juga terjadi akibat paparan cuaca dan suhu panas yang berlebihan. Sayangnya, pengetahuan medis pada saat itu tidak sebaik sekarang. Bagaimana pun juga demam menurut pemikiran orang Yahudi pada zaman itu terjadi karena gangguan roh jahat atau karena hukuman Allah. Menurut Ulangan 28:22, demam termasuk kutukan yang ditimpakan Allah atas orang Israel yang tidak setia dalam perjanjian. Maka peristiwa Yesus menyembuhkan penyakit demam ibu mertua Simon dapat dipahami sebagai pengukuhan bahwa Yesus mengangkat segala macam kutuk!

 

Yang menarik dari kisah penyembuhan mertua Simon terjadi pada hari Sabat, yang oleh kebanyakan orang Yahudi ditentang. Yesus masuk ke dalam kamar ibu mertua Simon. Ia memegang tangan perempuan itu dan membangunkannya. Yesus  membangunkan dan memulihkan perempuan itu dengan cara menyentuhnya. Perhatikan, meskipun Yesus memiliki kuasa untuk mengusir setan, perkataan-Nya penuh dengan tuah, namun kali ini Ia datang, menyentuh tangan perempuan itu. Sentuhan itu menyembuhkan, sentuhan itu egeirw  (to lift up) membangunkan atau membangkitkan, sebuah kata yang sama untuk merujuk pada kebangkitan Yesus. 

 

Demam perempuan itu reda. Sentuhan Yesus itu memberikan kelegaan dan pemulihan. Lalu, perempuan itu bangkit dan melayani mereka! Benar, bisa saja ibu mertua Simon ketika ia sehat akan tetap melayani dengan memberikan tempat dan hidangan kepada mereka yang datang ke rumahnya karena memang demikian tradisi Yahudi. Tamu akan disambut dan diperlakukan dengan terhormat. Namun, pasti ada yang berbeda dari perempuan yang sudah dipulihkan ini. Ia merasakan jamahan kasih Allah itu. Kasih itu mengalir dalam dirinya dan membuatnya tidak bisa diam. Ia melakukannya dengan sukacita dan bukan semata-mata tradisi yang mewajibkan orang melayani tamu. Hanya orang yang merasakan sentuhan kasih Allah itulah yang akan sungguh-sungguh melayani dengan tulus, bukan karena terpaksa atau mencari popularitas.

 

Perempuan itu merasakan langsung sentuhan Yesus yang memegang tangannya. Haruskah kita juga mengalami pengalaman serupa? Tentu saja tidak! Ada banyak cara Tuhan menyentuh kita. Sentuhan yang tidak harus diartikan harfiah. Ia bisa menyentuh kita dengan memakai orang lain. Tuhan bisa menyentuh kita dengan kehadiran pasangan kita, anak, saudara, teman, karyawan, bahkan siapa saja termasuk orang-orang yang tidak kita kenal. Allah juga dapat menyentuh kita lewat pelbagai peristiwa-peristiwa yang kita alami. Lalu, bagaimana kita menanggapinya? Apakah kita merasakan sentuhan-Nya, kemudian melalui sentuhan, kita juga membagikan kasih-Nya terhadap orang lain? Ataukah kita enggan meneruskan kasih itu lewat sentuhan kita lantaran ada risiko yang harus kita bayar? 

 

Pada 1854 di London terjangkit wabah kolera. Gereja di mana Charles Spurgeon melayani, dijadikan semacam posko perawatan. Banyak orang dari pelbagai kalangan datang untuk mendapat perawatan. Anggota jemaat sendiri menderita epidemi itu. Dahsyat! Setiap hari Spurgeon berdoa di sisi tempat tidur orang sakit, dan hampir setiap hari ia dipanggil untuk melayani di samping kuburan. Memakamkan orang karena wabah kolera! Saya jadi teringat beberapa tahun yang telah kita lewati: pandemi Covid-19! Tentu saja Spurgeon harus berhati-hati dengan wabah ini. Berhati-hati dengan sentuhan, alih-alih bisa membawa maut bagi dirinya!

 

Sebagai mana kekuatan fisiknya yang berada di bawah tekanan, ia sangat berkecil hati dan takut kalau-kalau penyakit itu menularinya. Jujur, ia takut pada kondisi buruk dan kematian itu sendiri! Suatu hari setelah kelelahannya begitu memuncak dan nyaris putus asa, tidak sengaja ia melihat pamflet yang ditempel di jendela sebuah toko sepatu. Penasaran, ia berhenti untuk memeriksanya. Alih-alih sebuah iklan, ternyata Mazmur 91:9-10: “Sebab TUHAN ialah tempat perlindunganmu, Yang Mahatinggi telah kaubuat tempat perteduhanmu, malapetaka tidak akan menimpa kamu, dan tulah tidak akan mendekat kepadamu.”

 

Dalam catatan hariannya Fullerton (hlm. 65-66), Charles Spurgeon mengatakan, “Efeknya langsung ke hati saya!” Hatinya tersentuh dengan Mazmur itu. Lebih lanjut Spurgeon mengatakan, “Iman dinyatakan dari ayat itu. Saya merasa aman, segar, dan diingatkan akan keabadian. Lalu, saya melanjutkan kunjungan saya pada mereka yang sekarat dengan semangat tenang dan damai, saya merasa tidak takut akan kejahatan dan saya tidak menderita apa-apa!”

 

Benar, selalu ada risiko, khawatir dan takut. Namun, bukankah Dia telah lebih dahulu menyentuh kita dengan kasih sayang-Nya? Lagi pula, bukankah seperti yang dinyatakan dalam Yesaya 40:26, bahwa Dia adalah yang berkuasa dan dahsyat, “Arahkanlah matamu ke langit dan lihatlah: siapa yang menciptakan semua bintang itu dan menyuruh segenap tentara mereka keluar, sambil memanggil nama mereka sekaliannya? Satu pun tiada yang tak hadir, oleh sebab Ia maha kuasa dan maha kuat.”

 

Di dalam kekuatan dan kedahsyatannya Ia menyentuh kita. Seperti Spurgeon yang tersentuh dengan Mazmur 91, bukankah firman-Nya setiap hari, setiap saat mengetuk pintu hati kita? Melalui sentuhan-Nya, Dia ingin kita meneruskan kasih-Nya itu terhadap sebanyak mungkin orang yang kita jumpai. Ingatlah sebagaimana kita merindukan sentuhan kasih sayang, di luar sana masih banyak orang yang mendambakannya.

 

Jakarta, 2 Februari 2024. Minggu V Sesudah Epifani, tahun B