Selasa, 23 Januari 2024

KUASA-NYA MELEBIHI SEGALANYA

Suatu hari seorang ulama mengundang Nasrudin untuk makan malam bersama di rumahnya. Sepanjang hari itu Nasrudin hanya makan sedikit sehingga ia merasa kelaparan ketika sampai di rumah sang ulama. Tidak mengherankan apabila ia terlihat gelisah tidak sabar menanti makanan yang dihidangkan sang empunya rumah.

 

Sial, setelah dua jam lebih, sang ulama belum juga menawarkan makanan kepada Nasrudin. Sebaliknya, ia terus berbicara non stop mengenai kaidah-kaidah agama, syareat-syareat yang tidak boleh dilanggar oleh umat. Waktu terus berjalan dan perut Nasrudin semakin menggeliat, protes. Nasrudin mulai hilang kesabarannya dan akhirnya memberanikan diri memotong pembicaraan ulama tersebut.

 

“Bolehkah aku bertanya, wahai ulama?” Ucap Nasrudin lirih.

“Apakah gerangan pertanyaanmu?” Sang ulama itu bersiap-siap menjawab pertanyaan Nasrudin yang bernuansa keagamaan agar ia bisa meneruskan kisahnya lagi.

 

“Saya penasaran,” kata Nasrudin, “apakah orang-orang dalam kisah yang engkau ceritakan itu tidak pernah kelaparan?”

 

Empati dan mengerti kebutuhan orang merupakan hal yang penting. Ajaran, kisah dan akidah keagamaan tentu saja penting tetapi itu semua tidak banyak gunanya bila mengabaikan empati dan kepedulian terhadap orang yang benar-benar membutuhkannya. Ajaran, kisah religious atau syareat agama akan kehilangan tuahnya ketika tidak berpijak pada solusi pembebasan persoalan yang sedang dihadapi umat.

 

Yesus mengajar penuh dengan tuah atau kuasa. Ia berbeda dari kebanyakan rabi Israel pada zaman-Nya. Mengapa? Ya, karena ajaran-Nya berpijak pada bumi meski menjunjung tinggi “langit”. Ia tahu benar apa yang dibutuhkan para pendengar-Nya. Ia tidak hanya berbicara tentang dogma dan standar ajaran yang berlaku bagi seorang rabi pada masa itu. Pengajaran yang disampaikan-Nya tidak melulu mengutip ulang apa yang telah tertulis tetapi memberi makna baru.

 

Pada hari itu, Yesus ditemani empat orang murid-Nya sampai di Kapernaum pada Hari Sabat. Ia bersama keempat murid-Nya masuk ke rumah ibadat itu dan mulai mengajar. Penulis Injil Markus tidak mencatat ajaran apa yang disampaikan oleh Yesus pada Hari Sabat itu. Rupanya Markus lebih tertarik pada reaksi atau kesan orang-orang yang mendengar pengajaran Yesus itu. “Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya,…” (Markus 1:21a). 

 

Dari cara dan sikap seseorang mengajar, para pendengar dapat mengenali dan menilainya. Isi atau konten dan bagaimana menyampaikan sebuah pengajaran dapat membuat orang-orang yang mendengarkannya menjadi yakin atau sebaliknya menyangsikan pada kebenaran kata-katanya. Dalam pandangan orang-orang di Sinagoge itu, Yesus mengajar sebagai seorang yang berkuasa: “… sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat.” (Markus 1:21b). 

 

Kesimpulan bahwa Yesus mengajar dengan penuh kuasa didasari pada pembanding, yakni ahli-ahli Taurat. Jadi, Yesus mengajar berbeda dari pada ahli-ahli Taurat. Yesus berbicara dari diri-Nya sendiri, tidak seperti para ahli Taurat yang harus selalu mengutip tradisi dan ajaran para rabi pendahulu mereka. Isi pengajaran Yesus sering kali bertentangan dengan pengajaran mereka, tetapi kebenaran ajaran-Nya tidak dapat dibantah!

 

Di Sinagoge itu Yesus mengajar tentang Kerajaan Allah yang sudah dekat, ajaran-Nya bukan semata-mata kaidah dogma, Ia dapat membuktikan-Nya bahwa ketika Kerajaan Allah itu datang, kuasa-kuasa jahat tidak akan tahan menghadapi-Nya. Pada Hari Sabat itu, Yesus dapat membuktikan dan meyakinkan orang-orang yang mendengar dan menyaksikan pengajaran-Nya itu. Pengajaran Yesus bukan perkataan yang hampa, tetapi berisi, punya kuasa dan terwujud secara nyata. 

 

Ada seorang yang kerasukan roh jahat dalam rumah ibadat itu. Kata Yunani untuk “roh jahat” adalah akathartos yang berarti “kotor” atau “nazis”. Disebut demikian karena roh itu berlawanan dengan kekudusan Allah. Kata ganti orang pertama jamak, “kami” menunjukkan bahwa roh nazis itu banyak. Roh-roh jahat ini segera mengenali siapa yang mereka hadapi. Mereka merasakan kekuatan kuasa Yesus, karena itu mereka berkata, “Apa urusan-Mu dengan kami, hai Yesus orang Nazaret? Apakah Engkau datang untuk membinasakan kami?

 

Roh-roh kotor itu berusaha untuk meluputkan diri dengan membuka identitas Yesus yang sebenarnya, “Yang kudus dari Allah”. Perhatikan, sebelum Yesus melakukan pengusiran, mereka telah tahu siapa Yesus. Mereka tahu kuasa Yesus. Penyebutan “Yang kudus dari Allah” tidak dimaksudkan untuk mengakui kekudusan dan kuasa yang ada pada diri Yesus, apalagi tunduk menyembah-Nya. Penyebutan identitas Yesus adalah upaya mereka untuk menangkis kuasa Yesus. Hal ini mencerminkan pemahaman bahwa ketika roh-roh jahat itu menyebutkan jati diri Yesus, mereka ingin berada di atas kuasa Yesus. Sayangnya tidak berhasil! Yesus menghentikan teriakan roh-roh kotor itu dan mengusirnya dari orang tersebut. Roh-roh jahat itu menuruti perkataan Yesus. Mereka mengguncang-guncang orang itu lalu keluar dari tubuh orang itu sambil bersuara nyaring. Hal ini menunjukkan bahwa roh-roh itu benar-benar telah pergi karena tidak tahan menghadapi kuasa Yesus.

 

Tidak mustahil, ada orang-orang yang menyebut identitas Yesus sama seperti roh-roh jahat ini. Mereka menggunakannya bukan untuk tunduk, melainkan untuk mengatur Yesus memenuhi keinginan mereka. Tampaknya saleh dan tahu siapa Yesus. Namun, di balik itu ada hal keji: mengendalikan Yesus!

 

Orang-orang yang ada di Sinagoge itu takjub dan memperbincangkannya. Mereka melihat Yesus bukan sebagai rabi biasa, karena Ia tidak hanya mengajar. Ajaran-Nya disertai dengan kuasa yang kasat mata sehingga roh-roh jahat pun taat kepada-Nya. Peristiwa ini berperan sebagai kuasa yang terlihat pada pengajaran Yesus. Dalam diri Yesus tampil epifani penampakkan Allah sendiri. Kekudusan Allah membuat segala yang bertentangan, dalam peristiwa ini roh-roh kotor, terpental. Roh-roh jahat (kotor dan nazis) tidak mungkin bertahan berhadapan dengan kekudusan Allah yang tampak bertindak dalam diri Yesus Kristus!

 

Injil Markus tentu saja ingin menggambarkan epifani ini dalam diri kuasa Yesus sebagai pengajar. Yang paling penting sebenarnya bukan tindakan sebagai si pengusir roh-roh jahat, melainkan kuasa pengajaran-Nya. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan bahwa mereka takjub mendengar pengajaran-Nya. Jadi, pengajaran Yesus telah berhasil membuka selubung misteri Yesus sendiri. Namun, tampaknya epifani  itu belum cukup jelas. Maka peristiwa pengusiran roh-roh jahat itu harus dilihat sebagai tanda yang menguatkan tentang pengajaran yang penuh kuasa itu.

 

Melalui kisah ini, penulis Injil Markus ingin menyadarkan para pembacanya akan identitas Yesus yang dulu pernah dikatakan Musa dalam Ulangan 18:15-20, supaya mereka mendengarkan-Nya. Yesus adalah epifaniyang penuh kuasa baik dalam pengajaran maupun kewenangan akan kuasa roh-roh jahat. Ia mampu menghardik mereka. Ia bertindak seperti majikan terhadap hamba-hambanya atau raja terhadap bawahannya.

 

Dari kisah ini kita dihantar pertama, untuk melihat bahwa kuasa Yesus dalam mengajar tentang Kerajaan Allah penuh dengan kuasa. Ajaran-Nya adalah perkataan dan penampakan Allah sendiri (epifani). Ketika kita menyadari dan percaya pada kuasa pengajaran Yesus, maka apa yang diajarkan Yesus itu seharusnya menjadi pedoman dalam kehidupan kita. Kita dan roh-roh jahat sama-sama tahu bahwa kuasa yang dimiliki Yesus adalah setara dengan kuasa Allah. Namun, ada satu hal yang tidak dapat dilakukan oleh roh-roh jahat itu, yakni: tunduk dan taat kepada-Nya. Jika kita tahu tentang kebenaran ajaran Yesus namun tidak mau tunduk, lalu apa bedanya dengan roh-roh jahat itu? Pengakuan dan percaya saja tidak ada gunanya kalau tidak ada keinginan untuk tunduk dan taat kepada-Nya.

 

Kedua, dalam peristiwa di Sinagoge Kapernaum, penegasan kuasa ajaran Yesus itu dibuktikan dengan takluknya roh-roh jahat di hadapan Yesus. Kisah ini seharusnya membawa kita percaya atau tepatnya mempercayakan diri kepada kuasa-Nya, lalu tidak gentar ketika berhadapan dengan kuasa-kuasa jahat!

 

Jakarta, 23 Januari 2024 Minggu IV Setelah Epifani tahun B

 

  

Kamis, 18 Januari 2024

MENANGKAP MOMENTUM HIDUP

Dalam catatan pelayanannya, Tramp for the Lord, Corrie Ten Boom mengenang kembali ketika Tuhan memakainya untuk memperkenalkan seorang ibu kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.

 

Usia Corrie tidak muda lagi. Delapan puluh tahun! Selesai memberikan khotbah di sebuah gereja di Copenhagen, Denmark, dua perawat muda menghampiri dan mengundangnya untuk minum kopi di apartemen mereka. Corrie sudah sangat lelah, tetapi minum kopi terdengar menyenangkan. Jadi, ia menerima undangan itu.

 

Namun, ketika tiba di gedung apartemen, tempat tinggal dua perawat itu, betapa terkejutnya Corrie. Bangunan itu sudah tua seperti dirinya, tinggi dan sialnya tidak ada lift! Dua orang perawat itu tinggal di lantai sepuluh. Kini, Corrie bersama dengan dua perawat yang mengundangnya itu harus merayap menyusuri tangga agar bisa sampai di lantai sepuluh! Corrie tidak berpikir apakah ia sanggup atau tidak. Tetapi ia setuju untuk mencobanya.

 

Satu per satu anak tangga dilewati, sampailah mereka di lantai lima. Jantung Oma Corrie kini berdebar hebat dan kakinya begitu lelah, ia berpikir tidak bisa melangkah lagi. Oma itu ambruk ke sebuah kursi di koridor, ia mengeluh di dalam gantinya, “Mengapa ya, Tuhan, saya harus menaiki tangga ini setelah seharian sibuk memberitakan firman-Mu?” Setelah beristirahat, ia kembali mulai berjalan dengan susah payah menaiki tangga yang panjang dan tinggi dengan satu perawat di depannya dan yang lain di belakangnya.

 

Perjuangan susah payah menghantarkan mereka di lantai sepuluh. Makan siang sederhana menunggu mereka di meja makan dan orang tua salah satu perawat telah siap melayani mereka. Corrie tahu tidak banyak waktu yang dapat ia luangkan bersama dengan tuan rumah, jadi setelah perkenalan singkat ia bertanya kepada ibu dari si perawat itu, “Apakah engkau telah mengenal dan bertemu Yesus Kristus sebagai Juruselamat?”

 

“Belum, saya belum bertemu dan mengenal-Nya,” Jawab Wanita itu terkejut mendengar pertanyaan Corrie. 

 

“Apakah kau bersedia mengenal dan datang kepada-Nya?” Corrie bertanya lebih lanjut. Ia kemudian membuka Alkitab dan membacakan beberapa ayat tentang keselamatan di dalam Yesus Kristus. Sang ibu mendengarkan dengan seksama. “Dapatkah kita sekarang berbicara dengan Tuhan? Corrie bertanya pada kelompok kecil itu.

 

Setelah ia dan dua dua perawat berdoa, ibu itu melipat tangannya dan berkata, “Tuhan Yesus, aku sudah tahu tentang Engkau. Aku telah membaca dalam Alkitab. Namun, sekarang aku berdoa agar Engkau masuk ke hatiku. Aku perlu pembersihan dan keselamatan. Aku tahu bahwa Engkau telah mati di salib untuk dosa seluruh dunia, juga untuk aku. Tolong, Tuhan, masuklah ke hatiku dan jadikanku anak Allah. Amin!

 

Corrie terkejut dan mendongak. Ia melihat air mata kebahagiaan di wajah perawat muda, yang bersama temannya, telah banyak berdoa bagi pertobatan orabg tuanya. Matanya kini tertuju kepada sang ayah yang duduk dengan tenang mengamati semua yang berlangsung itu. Corrie bertanya, “Bagaimana denganmu?” Ia menjawab dengan serius, “Aku belum pernah membuat keputusan bagi Yesus Kristus. Namun, aku telah mendengar semua yang kau katakan kepada istriku, dan sekarang aku tahu jalan itu. Aku juga ingin berdoa agar Yesus menyelamatkan aku.” Lalu ia menundukan kepada dan berdoa, menyerahkan hidupnya kepada Kristus!

 

Ketika menuruni tangga menuju lantai dasar, Corrie berdoa, “Terima kasih Tuhan, karena Engkau telah membuat saya berjalan di tangga ini. Dan, lain kali, Tuhan, tolonglah Corrie ten Boom mendengar khotbahnya sendiri tentang kesediaan pergi ke mana saja yang Engkau kehendaki – sekalipun sampai ke lantai sepuluh!”

 

Momentum! Kedua orang tua perawat dan Oma Corrie sama-sama menemukannya. Bayangkan, ayah dan ibu dari perawat itu tentu saja sudah pernah mendengar Injil, anaknya sekian lama mendoakan mereka. Namun, hal itu biasa saja, tidak berpengaruh pada diri mereka. Kini, melalui Corrie, Tuhan menyapa dan menyentuh mereka sehingga kesempatan itu dapat mereka tangkap. Bisa jadi dalam kehidupan kita ada banyak momen, ada banyak peristiwa di mana Tuhan memanggil, mengajak dan memperlihatkan kepada kita kasih dan kedamaian-Nya. Namun, kita mengabaikannya!

 

Momentum! Terjadi pada diri Corrie, pengalaman yang semula melelahkan dan menyebalkan ternyata menolongnya untuk kembali menyadarkan akan tugas panggilan dirinya sebagai hamba Tuhan, khususnya menghidupi firman itu, menerjemahkan khotbah sendiri menjadi peragaan hidup – bagian ini yang paling sulit dilakukan oleh para pendeta!

 

Momentum! Terjadi dalam awal pelayanan Yesus. Momentum itu terkait dari pemenjaraan Yohanes Pembaptis. Peristiwa itu menjadi tanda bahwa pekerjaan Yohanes telah selesai, karena itu telah tiba saatnya bagi Yesus untuk memulai mewartakan Injil Kerajaan Allah. Galilea merupakan tempat pertama bagi Yesus memberitakan Injil. Yang dimaksudkan tidak hanya kabar baik dari Allah, tetapi juga kabar baik tentang Allah yang sedang bekerja di dalam diri-Nya. Ia menyerukan datangnya Kerajaan Allah, sebagai kabar baik dari Allah yang disampaikan kepada umat manusia.

 

Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Markus 1:15). Telah tiba saatnya bagi Allah untuk menggenapi janji-janji-Nya, yakni penyelamatan umat manusia. Ia memenuhi janji itu dengan menghadirkan Kerajaan Allah di dalam diri Yesus Kristus. Menanggapi datangnya Kerajaan Allah, orang harus bertobat dan percaya kepada kabar baik itu. Datangnya Kerajaan Allah mendahului pertobatan: Allah datang untuk mewujudkan Kerajaan-Nya dan mengingat hai itu orang-orang dipanggil untuk bertobat.

 

Lalu, apa bedanya dengan pertobatan yang diserukan oleh Yohanes Pembaptis? Makna pertobatan yang diserukan oleh Yesus menjadi lebih jelas jika dibandingkan dengan apa yang diserukan oleh Yohanes. Seruan Yohanes dikaitkan dengan pengampunan dosa bagi orang yang bertobat. Jika tidak, Allah akan menghukum orang berdosa. Pertobatan bagi Yohanes adalah berpaling, lalu membelakangi dosa-dosa yang sudah dilakukan. Seruan pertobatan Yohanes mirip dengan apa yang diserukan oleh Yunus terhadap penduduk kota Niniwe, “Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan!” (Yunus 3:4). Ngeri kali!

  

Kendatiu unsur-unsur meninggalkan dosa-dosa yang telah dilakukan, seruan Yesus bukan berkonotasi ketakutan dengan penghukuman Allah, melainkan lebih kepada merasakan kebaikan Allah yang sudah menyatakan diri serta mendekati manusia. Kegembiraan dan rasa syukur akan kebaikan hati Allah inilah yang mendorong orang untuk bertobat. Dengan bertobat, orang kembali kepada Bapa yang baik hati dan penuh rahmat seperti yang tampak dalam perumpamaan tentang anak yang hilang (Lukas. 15:22-24, 32). Di sinilah kita memahami bahwa kebaikan Allah itu mendahului pertobatan yang berupa tanggapan terhadap tindakan penyelamatan Allah. Dengan kata lain, pertobatan bukanlah prasyarat bagi kebaikan Allah melalui perwujudan Kerajaan-Nya, melainkan hasil dari pemerintahan Allah yang sudah mulai membayangi manusia melalui pemberitaan dan tindakan Yesus Kristus.

 

Momentum inilah yang ditangkap oleh para murid Yesus yang pertama sehingga mereka rela meninggalkan segala-galanya demi mengikut Yesus. Mereka yang tadinya para penjala ikan, Yesus membuat mereka menjadi penjala manusia. Apa yang harus mereka lalukan dalam pekerjaan baru ini? Mereka harus memberitakan kabar baik tentang Kerajaan Allah seperti yang dilakukan oleh Yesus Kristus sendiri. Para murid harus ikut dalam arus dahsyat kasih Allah yang melanda manusia, sehingga ada banyak orang yang menerima dan mengalami kasih karunia ini. Benar, untuk tugas baru itu mereka harus belajar, tinggal dan melakukan pekerjaan bersama-sama dengan Yesus.

 

Momentum! Apakah Anda mengalaminya? Bertobat bukan karena ancaman atau takut dihukum. Namun, rindukanlah dekapan kasih sayang Bapa yang luar biasa itu!

 

Jakarta, 18 Januari 2024, Minggu Ke-3 Sesudah Epifani