Kamis, 21 Desember 2023

MERAYAKAN KEPEDULIAAN ALLAH PADA MANUSIA

Di Tepi Barat dan jalur Gaja, setiap hari mesin-mesin perang memuntahkan mesiu dan rudal-rudal mematikan. Rumah-rumah sakit menjadi sasaran rudal-rudal itu. Ada alasan kuat mengapa rumah sakit diserang. Sebabnya, bangunan sakral untuk pemulihan orang sekarat itu dijadikan markas musuh. Berita-berita berseliweran di portal resmi maupun abal-abal. Tergantung berpihak ke mana, fakta bisa menjadi bias bahkan dipelintir. Di Afrika TImur, kelaparan demi kelaparan telah menyengsarakan jutaan orang. Di seluruh dunia, bayi dilahirkan dengan AIDS, dikutuk dengan hidup yang singkat dan pahit. Di negeri kita, tak terhitung banyaknya cerita tragis, penindasan, ketidakadilan dan bencana termasuk di dalamnya kekerasan domestik di balik banyak pintu yang tertutup rapat. Dunia penuh dengan kekejaman. Dan Anda membaca sebuah buku tentang hidup tentram. Bagaimana bisa cocok? Demikian pertanyaan Rolf Dobelli.                                                                                                            

Siapa pun yang masih memiliki empati, walau hanya secuil, tentu akan marah dengan ketidakadilan. Hati mereka akan terkoyak. Betapa tidak, setiap kisah nestafa itu adalah jeritan minta tolong. "Ada yang merintih, nyenyakkah tidurmu?" demikian Franky Sahilatua menggambarkan dengan tepat tragedi dan nurani manusia.

Siapa pun masih memiliki empati, walau hanya secuil akan bertanya, di manakah Tuhan. Di manakah cinta dan kepedulian-Nya? Apakah hanya terpenjara dalam kitab-kitab suci sehingga kuasa-Nya tidak lagi bertuah menghadapi tragedi dan penderitaan? Apakah kesaktian-Nya hanya dongeng menjelang tidur? Benarkah Tuhan telah mati seperti yang dikatakan Friedrich Nietzsche atau Dia tertidur dan tidak lagi peduli terhadap kehidupan umat manusia dan alam raya yang menuju kebinasaan ini? 

Bila menelusuri sejarah peradaban manusia. Sepertinya Tuhan tidak tidur apalagi mati! Dalam peradaban manapun selalu saja ada tokoh-tokoh yang terpanggil menyuarakan kebenaran, membela dan memperjuangkan keadilan dan berpihak kepada yang lemah dan menderita. Jelas, suara dan perjuangan itu merupakan anti tesis dari kebrutalan, monster yang merajai dan mengangkangi dunia. Selalu saja tampil sosok yang sama sekali tidak diperhitungkan yang membawa pesan dan kepedulian ilahi. 

Agustus, adalah Kaisar yang sedang mengangkangi dunia ketika Yesus Kristus lahir. Nama aslinya Gaius Yulius Kaisar Octavianus (23 September 63 SM - 19 Agustus 14), ia menggunakan gelar divi filius sebuah frase latin yang berarti "anak allah" atau "putra tuhan setelah Senat Romawi menetapkan status ilahi kepada sang kaisarsejak 1 Januari 42 SM. Dialah kaisar yang berhasil mengakhiri perang saudara berkepanjangan dan dianggap sebagai raja yang menghadirkan kedamaian, kesejahteraan dan kemegahan dalam wilayah kekuasaan Romawi. Pax Romana! Injil Lukas berkisah, pada masa inilah Yesus Kristus lahir di Betlehem dalam palungan yang dibungkus dengan kain lampin. 

Bukankah lebih realistis kalau kepedulian Allah itu diwujudkan dalam sosok sang Kaisar itu? Bukankah dia yang telah mewujudkan perdamaian, kesejahteraan dan tentunya kemegahan Romawi? Mengapa harus ada lagi Raja Damai dan Anak Allah yang lain? Sepintas masuk akal, apalagi bagi para penguasa dan pendukungnya. Tidak usah repot, tinggal mengaminkan saja setiap kemauan sang penguasa, pasti segalanya akan lebih baik. 

Tunggu dulu! Mari kita telisik apakah Pax Romano itu seperti impian banyak orang tentang damai sejahtera atau hanya sekedar kedamaian semu seperti kosmetik yang menghiasi wajah dan bukan kecantikan yang terpancar dari dalam keluar? Lukas memberi laporan bahwa menjelang Yesus Kristus lahir, Sang Kaisar memerintahkan semua orang di wilayah kekuasaannya untuk mendaftarkan diri. Inilah pendaftaran yang pertama kali diadakan sewaktu Kirenius menjadi wali negeri di Siria. Inilah sesus yang pertama. Inilah hal yang merepotkan Yusuf dan Maria yang sedang hamil besar harus kembali ke tanah kampung halaman leluhur mereka. Betlehem!

Bayangkan, perempuan hamil tua ditemani suami yang setia melakukan perjalanan jauh: Nazaret ke Betlehem, lebih dari 150 Km. Yusuf dan Maria tentu tidak sendiri, banyak orang dipaksa untuk mudik ke kota leluhurnya hanya untuk memenuhi perintah sang kaisar itu. Barangkali ada juga kondisi yang lebih parah ketimbang Maria. Mereka yang hamil, tua renta dan sakit harus melakukan kewajiban yang sama. Sesus di kampung leluhurnya!

Lalu untuk apa Kaisar Agustus mengeluarkan dekrit itu? Tentu saja ada kepentingan politis dan ekonomi. Secara politis sang penguasa dapat melihat kekuatan orang-orang yang dapat dijadikan pasukan untuk mempertahankan dan memperluas wilayah kekuasaannya. Di samping itu, penguasa akan melihat seberapa kuat sebuah wilayah yang berpotensi memberontak terhadap pemerintah. Mengenai ini, jelas sang kaisar akan meredam sejak dari awal. Maka tidak heran umur kekuasan Agustus cukup panjang, 51 tahun! Kepentingan ekonomis, sang penguasa dapat melihat potensi ekonomi. Melalui sensus itu mereka akan memetakan berapa potensi pajak yang dapat ditarik!  Jelaslah pada zaman Kaisar Agustus keadaan tidak sedang baik-baik saja, alih-alih banyak orang yang tidak berdaya, mereka dibungkam dan dipaksa untuk mengatakan damai sejahtera. Pax Romana!

Kepedulian Allah bukan melalui Kaisar Agustus. Namun, sosok lain yang teramat sederhana. Sosok itu yang dikandung seorang perempuan dari Nazaret yang memenuhi keinginan kaisar. Namun, tanpa disadari justru mengenapi rancangan kepedulian Allah itu. Bukankah di Betlehem, kota mungil itulah Sang Mesias dilahirkan?

Kepedulian Allah itu nyata dalam menjawab kebutuhan hakiki manusia. "Jangan takut!" Itulah berita yang disampaikan dahulu kepada Abraham, Ishak, Yakub, Musa, Daud, para nabi, Yusuf, Maria dan para gembala. "Jangan takut", bukan kalimat politis atau isapan jempol belaka. Allah menjawab ketakutan manusia dengan tindakan nyata. Ia menghadirkan jawaban namun sekaligus juga menuntut manusia untuk menanggapinya. "Jangan takut, sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan di kota Daud." (Lukas 2:10,11), Kata Malaikat itu kepada para gembala. Jangan takut! TUHAN tahu ketakutan para gembala bahkan ketakutan seluruh bangsa. TUHAN menjawab ketakutan itu dengan: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat! Kelahiran Juruselamat merupakan jawaban dari ketakutan manusia. Itu artinya, Sang Bayi yang baru lahir itu membawa pengharapan yang besar bagi umat manusia. Bagi dunia ini! Harapan itulah yang harus dipegang oleh setiap umat manusia. 

Para gembala memegang pengharapan itu dengan mereka setia pada petunjuk dari para malaikat. Malaikat itu menyuruh mereka pergi untuk menjumpai bayi Yesus yang baru lahir lengkap dengan tanda-tandanya: Berbaring di palungan dengan dibungkus kain lamping. Mereka, berjalan dan mencari di mana Yesus dilahirkan. Dan akhirnya, mereka berjumpa dengan Sang Bayi itu. Mereka bersukacita, mereka bercerita dan bersaksi tentang berita Malaikat itu. Semua orang yang mendengarkan mereka menjadi takjub. 

Para gembala itu adalah orang-orang sederhana. Kepada mereka TUHAN telah memberikan anugerah yakni: tentang kesaksian Sang Juruselamat. Kepada mereka TUHAN menjawab ketakutan. Kepada mereka TUHAN mengangkat menjadi orang-orang yang benar-benar mengalami sukacita. Mereka kembali dengan sebuah perubahan besar: ada sukacita dan kegembiraan luar biasa. Perubahan itu tidak menjadikan mereka berubah menjadi orang kaya atau pengusaha domba-domba itu. Mereka tetap gembala. tetapi gembala yang penuh sukacita, penuh kedamaian. Gembala yang menjadi saksi Sang Juruselamat!

TUHAN telah memberitakan kelahiran Sang Mesias. Jawaban terbesar dari kebutuhan umat manusia, jawaban dari rasa takut! Inilah kepedulian dari Allah kepada kita. Nah, sekarang sama seperti para gembala berjalan mencari dan menemukan bayi Yesus. Kini, kita berusaha membuka hati kita agar kita juga tidak hanya berjumpa dengan Dia, tetapi memberi tempat di hati kita agar Dia bertakhta menjadi Raja Damai di hati kita!

Sama seperti para gembala, mereka pulang dan tetap menjadi gembala, tetapi gembala yang penuh sukacita dan memuliakan Tuhan. Bisa jadi, kita pun masih dalam keadaan sakit, mungkin juga tetap sendiri atau masih banyak kebutuhan yang belum terpenuhi. Tetapi ketika kita berjumpa dengan Sang Mesias, mestinya ada yang berubah. Hidup kita diliputi damai sejahtera, sukacita. Kita akan merasakan kehadiran Sang Raja damai yang begitu peduli terhadap kita.

Kalau Allah begitu peduli terhadap manusia dan dunia ini, apa yang harus kita lalukan. Jawabannya jelas: meneruskan kepedulian Allah itu agar kehidupan menjadi lebih baik. Dengan cara apa? Ya, seperti yang pernah dikatakan oleh John von Neumann ahli matematika hebat sekaligus "Bapak Komputasi", "Anda tidak harus bertanggung jawab terhadap dunia tempat Anda berada, maksudnya adalah jangan merasa bersalah karena berkonsentrasi pada pekerjaan Anda, atau tidak membangun rumah sakit di Afrika, atau tidak menjadi relawan perang di Timur Tengah. Tidak ada alasan untuk merasa bersalah karena Anda kebetulan bernasib baik. Jalani saja hidup ini dengan jujur dan produktif, dan jangan jadi seorang monster dengan demikian Anda sudah menjadi kontributor bagi dunia yang lebih baik!" Melalui kalimat ini bukan berarti kita menjadi orang yang tidak bertanggung jawab. Bukan! Tetapi lakukanlah setiap pekerjaan kita sebaik mungkin hingga berdampak bagi orang lain. Saya kira, para gembala itu juga bukan menjadi saksi kelahiran Sang Mesias bagi seantero dunia. Mereka bicara hanya kepada orang-orang yang mereka jumpai di sekitar palungan itu!

Jadi, memang ada banyak alasan untuk kita mengeluh dan menjadi takut. Namun, percayalah bahwa Tuhan telah memberikan jawaban kepeduliaanya. Maka, sekarang ada alasan di tengah-tengah keterbatasan kita untuk bersukacita, untuk memberitakan kemuliaan Tuhan dan dengan begitu, kita dapat menjadi saksi-saksi yang seungguhnya tentang Allah yang peduli itu.

Selamat Hari Natal, Selamat merayakan kepedulian TUHAN bagi kita, dan bagi dunia ini!

 

Jakarta, Natal Pertama 2023, Tahun B

 

Rabu, 20 Desember 2023

NANTIKANLAH DIA DALAM KETAATAN

Senin, 19 September 1853, Amelia Taylor berada di dermaga Liverpool untuk melepas putranya yang baru berusia 21 tahun memenuhi panggilannya sebagai misionaris. Hudson muda menjawab panggilan Tuhan menuju Tiongkok. Baik ibu maupun anak, sama sekali tidak yakin apakah mereka kelak akan bertemu lagi atau tidak. Tiba saatnya Dumfries, kapal kecil itu mulai menjauh dari tepi dermaga, ibu itu dengan bingung duduk di dermaga dan seluruh tubuhnya mulai gemetar.

Melompati pantai, misionaris muda itu memeluk sang ibu dan berusaha menghiburnya, "Ibu tersayang, jangan menangis. Kita akan bertemu kembali. Pikirkan tentang tujuan mulia yang saya datangi dengan meninggalkanmu! Ini bukan demi kekayaan dan ketenaran, tetapi untuk mencoba membawa Tiongkok mengenal Yesus. 

Hudson Taylor kembali melompat ke seberang, dan ketika kapal menuju ke laut lepas, ibunya berdiri di dermaga sambil melambaikan saputangan. Naik kembali ke tali-temali, Hudson mengangkat topinya dan penuh semangat membalas lambaian perpisahan sang bunda sampai sosoknya menghilang dari pandangan.

Tibalah Dumfries itu menuju Laut Irlandia. Kapal itu menghadapi badai dahsyat dan hanya dapat melaju sedikit saja dalam beberapa hari. Pada Hari Minggu, angin kencang begitu dahsyat. Berjuang menuju dek dari kamarnya pada tengah sore hari, Taylor disambut oleh pemandangan yang tidak pernah ia lupakan. Laut berbuih putih dan gelombang menjulang tinggi di atas kapal di kedua sisinya, sepertinya gelombang itu hendak menggulung kapal itu. Meskipun para kru berupaya sekuat tenaga, angin membawa  kapal ke arah pantai yang berbatu.

"Saya belum pernah melihat laut seganas ini," seru Kapten Morris. "Jika Allah tidak menolng kita, mustahil ada harapan!" Ketika malam datang, bulan terang muncul, tetapi bukan berarti badai reda. Angin tidak henti-hentinya menghantam. Kapal mereka terus-menerus didorong ke arah pantai berbatuan itu. "Mungkinkah skoci bertahan pada laut seperti ini?" Tanya Taylor kepada sang kapten. Ketika Morris menjawab, "tidak bisa!" Taylor bertanya lagi, "Bisakah kita memukul tiang-tiang longgar dan merobohkannya untuk membuat semacam rakit?"

"Kita mungkin tidak akan punya waktu," jawab sang kapten. "Kita mungkin akan bertahan hidup hanya setengah jam saja." Kemudian sang kapten bertanya kepada misionaris muda itu, "Bagaimana panggilanmu untuk bekerja bagi Tuhan di Tiongkok sekarang?"

"Aku tidak ingin berada dalam posisi lain, " sahut Taylor jujur. "Aku masih berharap sampai di Tiongkok. Namun, jika tidak, Tuhanku akan mengatakan itu baik jika aku ditemukan sedang berusaha menaati perintah-Nya!" 

".... Namun, jika tidak, Tuhanku akan mengatakan itu baik jika aku ditemukan sedang berusaha menaati perintah-Nya!" Sebuah kalimat yang menggambarkan ketaatan sesungguhnya. Hudson Taylor meninggalkan ibunya, kampung halaman tempat ia dibesarkan demi sebuah panggilan mengenalkan Yesus kepada orang-orang di Tiongkok. Padahal, bisa saja bersama sang ibu, keluarganya, dan gerejanya ia hidup dan melayani dengan baik-baik saja. Taylor menanggapi panggilan itu dengan kesungguhan dan ketaatan!

Maria, gadis muda belia tentu saja punya impian ketika dilamar oleh sang kekasih, Yusuf. Sangat mungkin ia ingin membangun keluarga kecil yang sederhana. Suaminya kelak akan menjadi seorang tukang kayu kampium. Ia akan menjaga buah hati dari cintanya itu. Membesarkan bersama dan, ah... tentu bahagia!

Betapa terkejutnya kini, tiba-tiba Gabriel, Sang Malaikat itu menyampaikan salam yang tidak biasa. Kehadiranya saja sudah mengejutkan, apalagi berita yang dibawa oleh Sang Malaikat itu. Bagaikan petir di siang bolong yang menghancurkan mimpi-mimpi indah bersama dengan sang kekasih. Mungkin itulah kira-kira ketika kita mencoba menyelami perasaan si gadis desa yang lugu itu.

"Bersukacitalah, selamatlah engkau hai Maria! Engkau memperoleh kasih karunia dari Allah!" Begitu kurang-lebih salam yang disampaikan Gabriel kepada Maria. Salam itu dilanjutkan dengan alasan mengapa Maria bersukacita dan diberkati Tuhan. Maria akan mengandung seorang anak laki-laki yang akan menjadi Juruselamat dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan. "Benar, berita itu sangat agung dan mulia. Tetapi bagimana dengan mimpi-mimpiku bersama Yusuf orang yang kucintai itu?" Dan, bagaimana pula aku harus bercerita kepadanya tentang kehamilanku yang bukan dari darah dagingnya? Tentu ini akan menyakitkan baginya!" Barang kali itu yang berkecamuk di benaknya, dan itulah juga yang menjadi kekalutannya! "Jangan takut!" Malaikat Tuhan itu mengerti gejolak yang terjadi dalam diri Maria. Gabriel meyakinkan bahwa itu semua dalam kendali Tuhan.

Gabriel berusaha meyakinkan Maria bahwa segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah. Gabriel seolah menunjukkan kepada Maria bahwa ada perkara yang jauh lebih penting, jauh lebih besar dan dahsyat ketimbang mimpi-mimpinya bersama dengan Yusuf. Gabriel membuka cakrawala baru buat Maria untuk berjalan bersama dengan rancangan Allah bagi dunia ini. Maka tidak salah kalau Maria disapa dengan salam sukacita. Inilah yang pada akhirnya, dengan kesadaran Maria menjawab panggilan itu, "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." (Lukas 1:38).

Hudson Taylor, Maria dan masih banyak lagi orang-orang yang terpanggil dalam rencana-Nya. Jelas, mereka bukan orang-orang tidak punya rencana. Mereka menjawab panggilan itu. Mereka bersedia menanggalkan mimpin-mimpi mereka untuk sebuah perkara yang jauh lebih mulia, jauh lebih besar. Mereka menyambutnya dengan ketaatan di dalam kasih, bukan karena terpaksa dan dipaksa. Mereka menantikan buahnya dengan sabar.

Tidak mustahil, Tuhan juga sedang merancangkan sesuatu yang indah dan itu melibatkan diri kita. Kita yang sekarang ini sedang berjuang mewujudkan mimpi dan angan kita. Yang mungkin saja sangat logis dan masuk akal untuk kehidupan yang lebih baik. Nah, apakah kita bersedia menyambut rancangan-Nya itu?

Lima bulan kemudian, setelah pelbagai bahaya dan keganasan gelora laut, Hudson Taylor tiba dengan selamat di Tiongkok dan ia memulai lima puluh tahun karyanya dalam misi Allah itu banyak orang menjadi percaya kepada Kristus. Demikian pula dengan Maria, ia setia menantikan kelahiran Sang Imanuel itu bersama dengan kekasihnya, Yusuf.  Sehingga kemudia dia dapat menyanyikan Magnifikat, "Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku..." (Lukas 1:46).

Tidak mustahil ketika Anda dan saya menyambut karya Tuhan dengan ketaatan, maka penantian kita tidak akan sia-sia. Ia akan menghadirkan kebahagiaan yang lebih dahsyat dari pada yang bisa diberikan oleh mimpi-mimpi kita sekarang. Jadi, jangan takut berjalanlah bersama dengan Dia yang memanggilmu!

 

Jakarta, 20 Desember 2023, Minggu Adven IV. Tahun B