Kamis, 09 Desember 2021

SPIRITUALITAS PERTOBATAN DAN KEBAIKAN HATI

“Bersorak-sorailah, hai putri Sion, bertempik-soraklah, hai Israel! Bersukacitalah dan beria-rialah dengan segenap hati, hai puteri Yerusalem!” (Zefanya 3:14)

 

Gaudate! Sukacita. Ya, di tengah penantian ada sukacita! Mana mungkin? Biasanya orang akan jemu, penat dan kehilangan pengharapan dalam menanti-nantikan apa yang diharapkan. Kecewa, marah, bahkan putus asa itu pemandangan yang biasa kita lihat dalam masa-masa penantian. Tetapi bukankah ada fenomena lain: orang justru menggunakan kesempatan menunggu ini dengan sukacita. Ibarat seorang gadis menantikan kekasihnya. Menanti baginya adalah kesempatan bersolek agar ia dapat menyambut sang kekasih dengan paras yang elok, tentu saja dengan sukacita. Atau sepasang suami-istri dalam menantikan kelahiran buah cinta mereka. Ada harap-harap cemas, namun mereka terus mempersiapkannya agar kelak sang bayi dapat lahir dengan baik. Persiapan itu dilakukan dengan rutin pemeriksaan kehamilan. Tentu saja ada kesulitan, biaya dan kerepotan bolak-balik klinik kandungan. Namun, semuanya mereka lakukan dengan sukacita.

 

Gaudate, sukacita yang diserukan oleh Zefanya dalam bacaan pertama hari ini bukan tanpa alasan. Sebelum umat bersukacita, ada peringatan mengerikan dari sang nabi. Pewartaan Zefanya dimulai dengan berita penghukuman bahkan pemusnahan, “Aku akan menyapu bersih segala-galanya dari atas muka bumi, demikian firman TUHAN.” (Zafanya 1:2). Mengerikan! Suara itu sangat keras diucapkan karena Israel adalah bangsa yang keras kepala. Kemerosotan moral berada pada titik nadir pada zaman Nabi Zefanya, di mana Manasye, anak Hizkia mulai mendirikan mezbah-mezbah bagi Baal yang dulu telah dimusnahkan oleh Hizkia. Penyembahan berhala marak, diiringi penindasan penguasa atas yang lemah dan moralitas bobrok merupakan pemandangan keseharian. Benar, walau di penghujung hidupnya Manasye bertobat tetapi penyembahan berhala diteruskan oleh anaknya, Amon. Maka tidaklah mengherankan Allah murka atas umat-Nya itu.

 

Tidak seorang pun dapat menghindar dari murka Allah. Mereka yang menyatakan diri sebagai keturunan Abraham pun tidak akan luput dari murka itu. Apakah Allah sedemikian murkanya? Tidakkah ada cara untuk terbebas dari murka Allah itu?

 

Bersemangatlah dan berkumpullah, hai bangsa yang acuh tak acuh, sebelum kamu dihalau seperti sekam yang tertiup, sebelum datang ke atasmu murka TUHAN yang bernyala-nyala itu, sebelum datang ke atasmu hari kemurkaan TUHAN. Carilah TUHAN, hai semua orang yang rendah hati di negeri, yang melakukan hukum-Nya; carilah keadilan, carilah kerendahan hati; mungkin kamu akan terlindung pada hari kemurkaan TUHAN.” (Zefanya 2:1-3)

 

Walau bangsa Israel adalah bangsa yang sedemikian bebal, namun Allah tetap memberikan kesempatan. Bertobat! Kasih-Nya yang tidak menghendaki manusia binasa dalam murka-Nya. Namun, tampaknya seruan sang nabi ini tidak banyak didengar dan diindahkan orang. Enam ratus tahun berlalu setelah Zefanya menyerukan agar umat Israel mencari TUHAN; berbalik dan bertobat, Yohanes Pembaptis menyerukan hal yang sama: “Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api.” (Lukas 3:9). Lagi-lagi ini mengingatkan kita bahwa umat itu benar-benar keras kepala. Bebal!

 

Menghadapi situasi kritis: murka Allah, tidak ada jalan lain kecuali bertobat! Yohanes menyerukan pertobatan bukan hanya kepada kelompok Farisi dan Saduki. Semua orang harus bertobat sebab berdosa. Rupanya seruan Yohanes ditanggapi positif. Mereka yang mendengarnya bertanya, “Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?” Yohanes menjawab: bertobat! Bagi Yohanes pertobatan itu nyata. Pertobatan itu terlihat dari perubahan perilaku sehari-hari. Pertobatan itu bukan hanya kesalehan pribadi, melainkan hidup yang berdampak bagi orang-orang di sekitar mereka.

 

Yohanes tidak menuntut yang bukan-bukan atau yang sulit dikerjakan oleh mereka yang mendengarnya. Tidak! Ia tidak menyuruh orang memberi persembahan atau berpuasa empat puluh hari empat puluh malam. Tidak! Namun, ia menyampaikan pesan Ilahi agar rakyat yang sudah miskin itu tetap peduli dengan mereka yang lebih miskin. Mayoritas pendengar seruan Yohanes adalah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan bukan alasan untuk tidak memerhatikan mereka yang lebih sengsara. Mereka yang mempunyai baju (khiton) - yang dimaksudkan adalah baju yang biasa dipakai di dalam, sedangkan di luarnya semacam jubah (himation). Mereka yang mempunyai dua helai baju hendaklah berbagi dengan yang tidak punya. Supaya orang yang tidak punya baju itu tidak mati kedinginan terutama ketika mereka berada dalam perjalanan. 

 

Bukan hanya baju, tetapi mereka juga harus berbagi makan. Yohanes pasti tahu bahwa sebagian besar dari orang-orang yang datang kepadanya adalah mereka yang miskin, sulit mendapat makanan. Lagi-lagi, bukan alasan untuk tidak dapat berbagi. Dalam teks Yunani, kata “makanan” ditulis dalam bentuk jamak, sehingga dapat diartikan “makanan apa saja”. Ini berarti bahwa pertobatan itu adalah tidak membiarkan saudaramu atau orang yang berada di dekatmu mati karena tidak mempunyai apa yang dapat dimakan! Baik pakaian atau makanan dalam seruan Yohanes ini hanyalah sebagai contoh. Yang penting maknanya ialah: kasihilah sesamamu secara nyata, sebab itulah tandanya bahwa kamu bertobat. Itulah tandanya bahwa kamu tidak hanya mementingkan dirimu sendiri namun mempunyai hati seperti hati Tuhan! Gaudate: bersukacita bagi mereka yang lapar dan telanjang dan tentu lebih bersukacita bagi orang yang dapat memberi!

 

Selanjutnya seruan Yohanes ditujukan kepada para pemungut cukai dan prajurit. Para pemungut cukai yang dimaksud di sini adalah orang-orang Yahudi yang bekerja sebagai pegawai administrasi pemerintahan Romawi. Mereka kaki tangan penjajah dan pada umumnya mereka menggunakan jabatan untuk memeras. Menurut pendapat umum orang Yahudi, mereka itu adalah pendosa tulen, sebab terus-menerus berurusan dengan uang bangsa kafir yang menaziskan mereka dan yang menindas sesama anak Abraham.

 

Sistem penagihan pajak yang dipakai penguasa Romawi sangat memberatkan rakyat. Pemerasan dan korupsi terjadi di mana-mana dan ujung-ujungnya rakyat yang sudah menderita semakin menderita. Ditambah dengan perilaku prajurit yang sering digunakan sebagai pengawal dari para pemungut pajak. Para prajurit ini sebenarnya adalah orang-orang Yahudi juga yang dipekerjakan oleh Herodes Antipas untuk menjaga ketertiban dan mengawasi orang-orang Yahudi agar tidak memberontak. Bagi Yohanes, pertobatan adalah tidak menyalahgunakan wewenang. Pertobatan adalah tidak menindas dan memeras sesama demi kenyamanan diri sendiri. Pertobatan adalah mencukupkan dengan gaji yang diterima. Pertobatan adalah bersyukur atas apa yang wajar diterima. Gaudate! Bersukacitalah dengan apa yang ada padamu, sebab keserakahan hanya membuahkan derita!

 

Menarik, Yohanes mengartikan pertobatan tidak ekstrim. Ia tidak menyerukan agar pemungut cukai dan para prajurit itu berhenti bekerja pada pemerintahan kolonial. Meski pandangan umum Yahudi bahwa mereka itu berdosa sebab mereka bekerja sama dengan penjajah. Yohanes tidak memerintahkan mereka untuk menjadi pengabdi-pengabdi imam besar atau menghasut mereka agar memberontak terhadap kaisar. Tidak! Yohanes hanya meminta mereka bekerja sesuai dengan ketentuan yang ada. Tidak memeras dan mencukupkan dengan gaji yang mereka terima.

 

Jelas, pertobatan adalah membagi pakaian dengan yang telanjang. Membagi makanan dengan mereka yang kelaparan. Tidak mengambil lebih banyak dari apa yang seharusnya. Tidak merampas dan memeras, serta mencukupkan diri dengan upah yang diterima. Sederhana!

 

Penantian seperti inilah yang mendatangkan sukacita, yakni: kesempatan untuk peduli dan bersyukur. 

 

Gaudate, Adven 3 Tahun C 2021

 

              

Kamis, 02 Desember 2021

PERSIAPKAN DIRI UNTUK TUHAN

Tersebutlah sebuah kisah di lereng gunung tenang yang selalu di selimuti kabut. Sebuah padepokan dipimpin seorang tua bijak. Murid-muridnya selalu bertambah setiap tahunnya. Sang tua bijak merasa sudah waktunya undur. Posisinya harus diganti oleh penerus yang ia persiapkan. Dari sekian banyak muridnya, ada dua orang yang dinilainya pantas untuk menggantikannya. Dari pengamatannya, kedua orang murid unggulan ini sulit membedakan mana yang terbaik dan pantas menggantikan dirinya.

 

Suatu hari sang tua bijak memanggil kedua murid kesayangannya itu. Ia mengungkapkan sebuah rahasia. Kedua murid itu terkejut ketika guru yang mereka hormati akan undur diri dan mereka harus siap untuk menggantikannya. “Tak usah terkejut, segala sesuatu ada masanya. Aku sudah tua dan tidak mungkin lagi dapat memimpin perguruan kita. Kini, salah satu di antara kalian harus menerima tonggak kepemimpinan. Pada dasarnya kalian berdua layak. Namun, tidak mungkin keduanya memimpin. Kini, aku akan memberikan tugas pada kalian. Perguruan kita semakin berkembang, kita membutuhkan lahan untuk membangun padepokan kita. Nah, besok pagi-pagi buta kalian harus bertanding membersihkan lahan. Kalian harus membuka sedikit hutan, menebang pohon dan meratakan tanahnya. Siapa di antara kalian yang lebih luas menyiapkan lahan, dialah yang akan menjadi penerusku!

 

Sang guru kemudian membuka tempat pusakanya. Ia mengambil sepasang senjata. Dua golok kembar! “Ini, senjata buat kalian. Silakan ambil seorang satu, setelah itu silakan kalian mempersiapkan diri dengan baik!”

 

Setelah masing-masing murid itu mengambil golok, mereka kembali ke pondoknya masing-masing. Murid pertama berpikir: saya harus punya strategi. Saya akan mempersiapkan diri dengan baik. Besok saya membutuhkan tenaga yang besar, maka mala mini setelah makan, saya akan cepat-cepat tidur agar besok bisa bangun dengan stamina prima!

 

Berbeda dari murid pertama, murid kedua menatap golok pemberian sang guru. Ia berpikir: “Ya, golok ini bukan sembarang golok. Pasti guruku merawat, menyimpannya dengan baik. Namun, sudah sekian lama saya tidak melihat guru berlatih dan mengeluarkan golok ini. Pastinya golok ini sudah lama tidak diasah.” Murid ini kemudian mengeluarkan golok dari sarungnya. Dan, benar saja di sana-sini golok itu mulai ada karatnya. Tidak tajam lagi! 

 

Semalaman murid kedua ini mengasah golok. Tidak hanya itu, ia juga mencoba berkali-kali ketajaman golok itu sambil berlatih gerakan-gerakan yang diajarkan sang guru. Setelah merasa cukup, ia pun beristirahat.

 

Pagi-pagi benar mereka berdua menghadap sang guru. “Waktu yang diberikan untuk kalian membersihkan lahan ini adalah sampai menjelang matahari tenggelam. Silakan sekarang dimulai!” Dengan staminanya yang prima, murid pertama mulai memakai goloknya membabat tanaman apa saja yang ada di sekitarnya. Seolah tenaga yang dimilikinya tidak ada habisnya. Menjelang tengah hari, mulailah ia merasakan keletihan. Golok yang digunakannya sulit untuk membabat pohon atau tanaman. Tumpul! Butuh waktu berkali-kali mengayunkan golok untuk menebas sebuah ranting. 

 

Berbeda dengan murid pertama, murid kedua dengan mudahnya mengayunkan golok dan menebas ranting, dahan bahkan pohon. Ia tidak perlu mengayunkan berkali-kali. Cukup dengan sedikit tenaga, karena golok itu tajam sekali maka ranting, dahan dan pohon cepat sekali dibersihkan. Singkat cerita, murid kedua inilah yang kemudian berhasil memenangkan kompetisi tersebut.

 

Keberhasilan erat kaitannya dengan persiapan! Persiapan bukan asal persiapan. Dalam kisah ilustrasi tadi, kedua murid itu mempersiapkan diri. Keduanya tidak menganggap enteng kompetisi yang harus mereka jalani. Namun, persiapan yang cerdaslah yang pada akhirnya membuahkan hasil terbaik. Hal ini juga akan sangat terasa ketika Anda dan saya memasuki dunia usaha, ekonomi, politik, hukum dan seterusnya. Persiapan yang matang dan cerdas menentukan hasil yang terbaik!

 

“Persiapkan diri untuk Tuhan!” Setelah hampir lima abad di Israel tidak muncul seorang pun nabi. Kini, Yohanes yang meninggalkan padang gurun, pergi ke kawasan sekitar sungai Yordan. Yohanes tampil sebagai pembawa berita. Ia mirip seperti bentara yang menyampaikan kabar penting kepada khalayak. Yohanes tampil di depan publik, ia hadir dalam sejarah manusia: “Dalam tahun kelima belas pemerintahan Kaisar Teberius, ketika Pontius Pilatus menjadi gubernur Yudea, dan Herodes menjadi raja wilayah Galilea, Filipus, saudaranya, raja wilayah Iturea dan Trakhonitis, dan Lisanias raja wilayah Abilene” (Lukas 3:1). 

 

Tidak berbeda seperti nabi-nabi dalam Perjanjian Lama ia menyerukan pertobatan. Injil Lukas tak pelak lagi mengidentikkan Yohanes sebagai sosok yang dahulu dinubuatkan oleh Nabi Yesaya, “…Seperti ada tertulis dalam kitab nubuat-nubuat Yesaya:…” (Lukas 3:4). Yohanes adalah orang yang dipersiapkan Allah untuk menyiapkan kedatangan Tuhan. Pertobatan adalah cara manusia menyiapkan diri menyambut kedatangan Tuhan. Tuhan akan datang kepada umat-Nya yang bertobat. Manusia bertobat bila ia berbalik kepada Allah. Bertobat berarti kembali menjadikan kehendak Allah sebagai arahan utama dalam kehidupannya.  

 

Bila pertobatan merupakan cara kita menyiapkan diri menyambut Tuhan, lalu pertobatan seperti apa?

 

Luruskanlah jalan bagi-Nya…”

Jelaslah apa yang disampaikan Injil Lukas dalam mengutip nubuat Nabi Yesaya bukanlah harafiah. Kata-kata ini simbolik. Jika saja raja yang akan melewati sebuah wilayah, katakanlah padang gurun yang jalannya berkelok-kelok harus diluruskan, maka menyambut kedatangan Mesias itu harus disambut dengan hati yang lurus. Hati yang bengkok menggambarkan kemunafikan, hati yang tidak tulus penuh dengan intrik dan rancangan-rancangan yang jahat. Maka “luruskan jalan bagi-Nya” berarti  pertobatan itu harus dimulai dari membersihkan hati sehingga layak menjadi palungan (tempat kediaman) Sang Mesias yang Mahakudus itu.

 

Lembah ditimbun, gunung… bukit menjadi rata…”

Lembah melambangkan masyarakat kelas rendah atau bisa diartikan apa saja yang sering dinilai tidak berarti. Sedangkan gunung atau bukit melambangkan para tokoh masyarakat, pembesar, pemimpin, orang kaya atau apa saja yang dapat dinilai hebat. Yang “rendah” selalu diremehkan dan ditindas, sedangkan yang “tinggi” selalu disanjung dan diagungkan. Inilah pola penilaian dunia. Menanggapi seruan bertobat dalam hal ini berarti menanggalkan pola pikir dunia dan membuka diri terhadap cara penilaian baru. Bertobat berarti menghargai dan mengangkat derajat siapa pun yang dianggap remeh dan tidak penting, menjadi penting dan dihargai. Bertobat berarti membuang segala kecongkakan dan tinggi hati. Bertobat berarti memanusiakan manusia sebagai gambar Allah; menghargai semua derajat manusia adalah sama!

 

“Yang berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan…”

Kedua ungkapan ini berhubungan dengan mulus tidaknya jalan yang akan dilalui Tuhan. Jelas yang dimaksud bukan jalanan fisik. Tuhan datang bukan dengan menempuh jalan ini atau jalan itu, melainkan manusia. Manusialah jalan bagi kedatangan Tuhan!

 

Bila manusia adalah jalan bagi kedatangan Tuhan; bila Anda dan saya adalah jalan bagi orang lain melihat datangnya Tuhan maka betapa kita harus “lurus” dan “rata”. Manusia yang perilakunya “berliku-liku” atau “berlekuk-lekuk” akan membuat Tuhan tidak mau lewat. Manusia yang banyak akal “bulus”, penuh ambisi, dan munafik tidak mungkin menjadi sarana untuk orang lain melihat kedatangan-Nya! Kebengkokan tidak hanya menyangkut kehidupan moralitas saja, melainkan keseluruhan hidup manusia. Bertobat dalam hal ini berarti membenahi segala sesuatu yang menyangkut kebusukan hati kita.

 

Dengan pertobatanlah kita menyiapkan kedatangan Tuhan. Melalui pertobatanlah maka “semua orang akan melihat keselamatan yang dari Tuhan…” (Lukas 3:6)

 

Jakarta, Adven ke-2 Tahun C, 2021