Selasa, 09 Juli 2019

BELAS KASIHAN, BUKAN ABAI

Bagaimana cara kerja resleting? Gambarkan di selembar kertas bagaimana sebenarnya cara kerja resleting! Tambahkan sedikit penjelasan, seolah-olah Anda sedang berusaha memberi penjelasan kepada seseorang yang belum pernah melihat resleting. Ambil waktu beberapa menit. Apakah mudah bagi Anda menjelaskannya?

Leonid Rozenblit dan Frank Keil, peneliti di Universitas Yale, mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti itu kepada ratusan orang. Bagaimana cara kerja toilet? Bagaimana cara kerja baterai? Hasilnya selalu sama: kita pikir, kita memahami hal-hal itu dengan baik, sebelum akhirnya dipaksa atau terpaksa  untuk menjelaskannya. Hanya setelah itulah kita menyadari betapa minimnya pengetahuan kita. Itulah ilusi pengetahuan!

Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”Tanya seorang ahli Taurat kepada Yesus. Pertanyaan ini bisa masuk dalam ranah ilusi pengetahuan. Ilusi, oleh karena ia merasa sudah begitu tahu. Ahli Taurat merasa diri sudah menguasai jawaban yang standar menurut kaidah hukum yang selama ini dianutnya. Namun, ternyata pengetahuannya itu hanya sekedar ilusi. Tidak benar-benar menuntunnya menjadi orang yang berhikmat. Pengetahuan itu dipakai hanya untuk menguji dan menjatuhkan orang. Maka Yesus meminta orang itu untuk melakukan apa yang ia ketahui. 

Untuk pembenarannya – dan ini sekaligus mengukuhkan dirinya terjebak dalam ilusi pengetahuannya sendiri – ahli Taurat itu mengajukan pertanyaan lain, “Dan siapakah sesamaku manusia?”Sepertinya pertanyaan ini begitu naif. Namun, tidaklah sesederhana itu ketika kita meletakkannya pada konteks sosial zaman itu. “Sesama manusia”, dipahami sebagai orang-orang yang berada dalam ikatan keluarga, saudara, bangsa dan paling banter adalah mereka yang berasal dari bangsa lain yang menyatakan diri untuk mengikuti ajaran-ajaran Yahudi (proselit). Di luar itu sulit menganggap orang lain sebagai sesama yang harus dihormati, dicintai dan dikasihi. Orang-orang Yahudi menganggap orang-orang Samaria sebagai musuh. Kalau demikian pemahamannya, maka bisa jadi ahli Taurat ini telah melakukannya. Ia merasa bahwa dirinya telah mengasihi “sesamanya”, dalam hal ini keluarganya, saudaranya, teman sebangsanya atau orang lain yang mengikuti ajarannya. Jadi, apa lagi yang kurang?

Yesus membuka cakrawala berpikir tentang sesama manusia itu menggunakan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati. Yesus mengisahkan tentang seseorang yang mengalami musibah. Dirampok dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yeriko. Jalan ini dikenal sering menjadi ajang perampokan. Jalan ini merupakan jalan berbukit-bukit cadas yang memiliki banyak dinding gua yang sering kali dipakai sebagai tempat persembunyian para penyamun. 

Orang yang dirampok itu dipukuli, dan ditinggalkan pergi begitu saja dengan sekujur tubuh penuh luka. Ia sekarat,setengah mati. Dalam kondisi inilah, Yesus menggambarkan ada tiga orang dengan tiga sikap yang berbeda terhadap korban perampokan ini.

Orang pertama adalah seorang imam. Imam adalah seorang pelayan di Bait Allah. Tentu banyak orang yang menghormati karena ia adalah abdi Allah. Bagaimana sikap sang imam ini terhadap korban? Imam itu melihat orang yang terluka setengah mati itu, tetapi melewatinya dari seberang jalan. Orang kedua adalah seorang Lewi. Suku Lewi sangat dihormati oleh komunitas Yahudi karena dari suku itulah para imam ditahbiskan. Apa yang dilakukan orang Lewi ini? Percis sama seperti apa yang dilakukan sang imam. Ia lewat begitu saja di seberang jalan. Tidak dijelaskan oleh Yesus apa alasannya sang imam dan orang Lewi tidak mau menolong korban perampokan itu. Yang lebih penting ditonjolkan adalah pilihan bahwa kedua petinggi Yahudi itu melewati orang malang itu di seberang jalan. Entah apa pun alasan yang mereka miliki, yang jelas mereka tidak menolong orang yang sedang sekarat itu. 

Kemudian datanglah seorang Samaria. Kita masih ingat, bacaan Injil Minggu lalu tentang sebuah desa yang dihuni oleh orang-orang Samaria. Penduduk desa itu menolak Yesus yang ingin melewati daerah mereka untuk menuju Yerusalem. Yohanes dan Yakobus menawarkan untuk meminta api turun dari langit untuk membinasakan desa mereka itu. Artinya, dalam diri para murid pun sudah tertanam gambaran negative terhadap orang Samaria. Bagi kebanyakan orang Yahudi, orang Samaria bukanlah orang yang pantas untuk dihormati. Mereka melakukan kawin campur dengan bangsa asing, tidak memelihara hukum Taurat dengan baik. Pendek kata mereka tidak bersih dan harus dihindari. Ahli Taurat yang bertanya kepada Yesus pastilah sangat tahu akan situasi sosial seperti ini. Tetapi sekarang ia harus mendengar kisah tentang kebaikan orang Samaria! Tentu ini bukan soal main-main karena dua petinggi Yahudi tidak melakukan apa-apa untuk membantu orang yang sedang sekarat itu. Si ahli Taurat juga tentu penasaran – jika petinggi Yahudi tidak melakukan tindakan apa pun, apalagi orang Samaria!

Sekarang, fokus perhatian terarah seluruhnya kepada orang Samaria ini. Hal pertama yang dikatakan Yesus adalah tergeraklah hatinya oleh belas kasihan(Lukas 10:33). Bukankah ini yang sering kali menggerakkan Yesus untuk melakukan tindakan pemulihan? Hati-Nya diliputi oleh belas kasihan; belarasa! Ketika melihat anak janda Nain yang mati, hati Yesus tergerak oleh belas kasihan (Lukas 7:13). Hal yang sama dinyatakan Yesus dalam kisah mengenai bapa yang menyambut anak bungsunya kembali pulang (Lukas 15:20). Melalui Nabi Hosea, Allah menyatakan bahwa yang Ia kehendaki adalah belas kasihan dan bukan persembahan (Hosea 6:6). Belarasa merupakan inti dari semangat hidup sebagai sesama. Belarasa atau belas kasihan berarti peka untuk melihat kebutuhan sesamadan melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan itu.

Belas kasihan itu yang membuat seseorang bertindak. Orang Samaria itu membalut luka-luka korban perampokan itu. Ia menyiraminya dengan minyak, menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri. Ia membawanya ke tempat penginapan, merawatnya. Ketika meninggalkan penginapan, ia menyerahkan uang kepada pemilik penginapan itu dan memintanya untuk merawat si korban yang malang itu. Semuanya itu adalah tindakan konkrit yang menegaskan sikap belarasa. Belarasa bukan sekedar sentimental, perasaan, tetapi juga ungkapan nyata dalam tindakan.

Setelah menyelesaikan cerita-Nya, Yesus bertanya dengan pertanyaan serupa, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?”(Lukas 10:36). Kali ini pun ahli Taurat itu menjawab dengan benar,Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.”(Lukas 10:37). Yesus menutup perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati itu dengan pesan agar ahli Taurat itu – tentu juga para pendengar-Nya – untuk melakukan seperti apa yang dilakukan oleh orang Samaria itu. 

Melalui kisah perumpamaan ini, Yesus menunjukkan sikap seperti apa yang harus dibangun dan dimiliki oleh para murid dalam hubungan mereka dengan orang-orang yang hidup di sekitar mereka. Yang harus dibangun adalah sikap kepedulian, bukan sikapabai,seperti sang imam dan orang Lewi, yang melihat orang susah dari seberang jalan. Orang Samaria yang selama ini mempunyai stigma buruk, ternyata mampu menampilkan karakter dan sikap yang sama seperti sikap Kristus. 

Dari kisah perumpamaan ini kita juga belajar. Bisa jadi kebanggaan, kehormatan, kedudukan, pengetahuan kita justru menjadi penghalang untuk kita dapat mengembangkan kepedulian dan menjadikan semua orang itu sebagai sesama. Sangat mungkin jugakedudukan sebagai imam atau orang Lewi, itu menghalangi mereka untuk menyentuh orang yang sedang sekarat. Dengan menyentuh orang yang mungkin saja dari pandangan mereka sudah mati dan tidak dikenal, syareat agama mereka membentengi untuk bersentuhan. Sebaliknya, orang Samaria tidak ada batasan, bahkan mereka sudah kadung dianggap orang-orang yang najis. Tidak ada penghalang buat mereka bersentuhan dengan orang yang nyaris mati itu. Tidak ada hukum yang menghalangi bahkan menyentuh mayat sekalipun.

Mestinya, hukum-hukum Tuhan itu bukan menjadi pembatas apalagi membangun dinding pemisah dan menara kebanggaan, melainkan justru untuk mengembangkan kepedulian dan belarasa khususnya kepada mereka yang tertindas, tersisih dan menderita.

Jakarta, 9 Juli 2019

Rabu, 03 Juli 2019

DILATIH UNTUK MELATIH

Ayah sahabat baiknya berkata, “Mulai hari ini kamu tidak boleh lagi bermain dengan anakku!” 
Kaget dan tak percaya, “Mengapa tidak boleh?” 
Dengan gelisah, ayah sang sahabat itu menjawab, “Karena kami berkulit putih dan engkau memiliki kulit berwarna!” 
Demikian sekilas dialog Martin Luther King Jr. kecil ketika ia tidak lagi diperbolehkan bergaul dengan sahabatnya.

“Aku mempunyai mimpi. Mimpiku adalah suatu hari, pemerintah, anak-anak kulit hitam, dan anak-anak kulit putih di Kota Alabama tempat para rasis menjijikkan, dapat menjadi saudara dan saling berjabat tangan. Ini adalah harapan kita semua. Karena memiliki harapan inilah aku kembali ke Selatan. Jika kita memiliki keyakinan, suatu saat pasti akan diperoleh kebebasan asalkan mau berusaha, berdoa, masuk penjara, dan juga berjuang Bersama demi kebebasan. Hari ketika mimpiku menjadi kenyataan pasti akan segera datang.” 

Itulah pidato terkenal dari Martin Luther King Jr. Pada tanggal 23 Agustus 1963 di depan Lincoln Memorial Hall, Washington yang dihadiri lebih dari dua ratus ribu orang. “Di dunia ini, semua hal terwujud karena adanya harapan.” Itulah pesan Martin Luther King, pelopor gerakan “tidak melawan dan tidak melakukan kekerasan” dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan hak. Ia menghadapinya dengan cinta kasih. Bukan dengan kekerasan! 

Pada masa King Jr. berjuang, di kota Montgomery diberlakukan peraturan pemisahan tempat duduk di bus berdasarkan ras. Lambat laun, menjadi terbiasa mengkhususkan tempat duduk hanya untuk orang kulit putih dan penumpang kulit hitam diminta untuk bediri jika tempat duduknya dibutuhkan. Kemudian, pada suatu hari, Rosa Parks, seorang perempuan kulit hitam, menolak berdiri untuk memberikan tempat duduknya sehingga ia ditangkap dan harus membayar denda. Setelah kejadian itu, selama lebih dari satu tahun Martin Luther King menggalakkan aksi “tidak naik bus”. Dampaknya? Tentu saja orang-orang kulit hitam yang tidak mempunyai kendaraan harus berjalan kaki. Sebaliknya, untuk sementara orang kulit putih puas karena tidak lagi menjumpai orang kulit hitam di dalam bus.

Namun, di luar dugaan solidaritas orang kulit hitam meningkat. Mereka yang mempunyai kendaraan berpartisipasi memberikan tumpangan. Ada juga di antara mereka yang rela menemani berjalan, sampai naik kuda untuk pergi ke mana-mana. Martin Luther King mendapat ancaman pembunuhan. Namun, ia tidak gentar dan sampai akhir melakukan aksi itu. Akhirnya, diskriminasi ras di dalam bus dihapuskan.

Tak pelak lagi, aksinya memperjuangkan keadilan tanpa kekerasan terinspirasi oleh Mahatma Gandhi. Gandhi tidak pernah menggunakan kekerasan. Kekerasan hanya akan membawa kebencian dan mengundang lebih banyak kekerasan. Gandhi mengatakan kepada masyarakat India untuk melawan musuh dengan kekuatan jiwa. Gandhi mengatakan kepada mereka untuk membalas benci dengan cinta. Gandhi menyebutnya “perang tanpa kekerasan”. Dan itu terbukti membawa India pada kebebasan. 

Martin Luther King Jr. berpikir bahwa Black Americandapat menggunakan cara Gandhi untuk memenangkan kebebasan mereka. Bukankah cara Gandhi juga adalah cara Yesus Kristus? Bukankah Kristus juga mengatakan kepada para murid-Nya untuk, ”memberikan pipi yang lain manakala seseorang menampar mereka?” Bukankah Yesus mengajarkan untuk, “mendoakan dan memberkati mereka yang menganiaya kamu?” Gagasan menggunakan cara-cara damai dan kasih untuk melawan kejahatan disebut anti-kekerasan. Apakah itu cara pengecut? “Tidak!”, kata King. Butuh keberanian dan kekuatan lebih untuk tidak memukul balik bila dipukul!

King Jr. banyak belajar dari Gandhi dan Gandhi, meski bukan seorang Kristen, ia belajar dari Injil, khususnya “Khotbah di Bukit”. Mereka menemukan Mutiara indah dan air surgawi penyegar padang gurun dunia yang penuh dengan ketidak-adilan. Mereka berhasil membumikan ajaran-ajaran Yesus dalam konteksnya masing-masing meski sama seperti Kristus, harus membayar dengan nyawanya masing-masing. Bukankah di sini kita dapat menemukan dan belajar arti dari sebuah pengutusan? Diutus bukan untuk menaklukkan, bukan juga untuk mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya. Melainkan menyebarkan cinta-Nya, menyemai benih-benih perdamaian dan keadilan, serta hidup berdampingan rangkulan cinta kasih.

Pada mulanya para murid dipanggil untuk mengikut Yesus. Mereka hidup Bersama, melihat, mengamati, bergumul dan merasakan apa yang dirasakan Yesus. Mereka melihat firman yag diperagakan itu. Ya, Yesus adalah contoh pertama dan utama dari pengajaran-Nya! Kini, Yesus menginginkan mereka juga dapat meneruskan kepada orang-orang lain agar kasih itu tidak hanya menjadi milik mereka. Mereka sudah dilatih, kini mereka harus juga dapat melatih orang lain.

Yesus menyatakan konteks tugas perutusan itu. Gambaran yang dipergunakan Yesus adalah gambaran tentang panen yang melimpah. “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit”(Lukas 10:2). Pemberitaan yang dilakukan Yesus sampai saat itu sudah menarik begitu banyak orang yang datang kepada-Nya. Namun, rupanya mereka tidak mencukupi untuk melayani sekian banyak orang yang datang kepada Yesus.

Oleh karena itu Yesus meminta agar mereka minta kepada Tuan yang empunya tuaian supaya mengirim pekerja-pekerja untuk tuaian itu. Tetapi meminta saja tidaklah cukup. Maka selanjutnya, Yesus mengatakan, “Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala” (Lukas 10.3). Ada dua hal yang dikatakan Yesus. Pertama, Ia mengutus mereka dan yang kedua, gambaran tentang mereka dan ke mana mereka diutus, yakni: seperti domba diutus ke tengah-tengah serigala.

Sekali lagi Yesus menunjukkan bahwa tugas pengutusan itu bukanlah tanpa risiko. Gambaran yang dipergunakan Yesus sangatlah mengena. Para utusan itu akan seperti domba di tengah-tengah serigala. Artinya, ancaman yang harus mereka hadapi sangatlah besar. Mereka bisa berhadapan dengan para penguasa yang haus darah. Atau seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther King Jr. Bisa juga berhadapan dengan kemunafikan, penganiayaan, dan lain sebagainya. Di tengah-tengah kondisi itu domba tidak boleh berubah menjadi serigala. Domba harus taat dan setia, mendengar suara Sang Gembala.

Apakah ancaman hebat itu harus membuat mereka gentar? Tidak! Apakah mereka harus melengkapi diri dengan segala hal yang mereka perlukan untuk perjalanan dan tugas pengutusan itu? Tidak juga! Yesus melarang mereka untuk membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut. Mereka tidak boleh berpindah-pindah rumah dan harus makan serta minum apa yang disediakan bagi mereka. Larangan-larangan ini tidak harus diartikan secara harfiah. Makna sesungguhnya sangat dalam. Seorang utusan Yesus belum tentu dipanggil untuk meninggalkan tempat, lalu berjalan tanpa bekal apa pun. Yang terpenting di sini adalah pemutusan dengan pola hidup dunia ini. Manusia yang bukan utusan Yesus, pada umumnya mementingkan “punya” dan “bicara”. Seorang utusan Yesus tidak boleh terperangkap dalam pola mentalitas seperti itu. Dengan tidak mempunyai uang dan dengan tidak menyalami orang sepanjang jalan, relasi para utusan Yesus dengan orang yang akan mereka datangi tidak akan dilandasi atau diukur menurut jenis “pertukaran” atau barter yang berlaku umum (berupa uang atau kata-kata yang umumnya basa-basi).

Kemudian, Yesus menyatakan bahwa para utusan itu harus menjalankan tugas mereka: sembuhkanlah orang-orang sakit dan beritakanlah bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Mereka diutus untuk terlibat dalam inti urusan Yesus sendiri, yakni : untuk menyembuhkan banyak orang dan mewartakan Kerajaan Allah. 

Gereja adalah tempat atau sarana di mana Tuhan memanggil kita menjadi murid-murid-Nya. Di gereja pula kita bersekutu, dilatih untuk mengenal, mengerti dan memahami kehendak Allah. Di gereja kita diajari cinta kasih, pelayanan dan pengampunan. Di gereja kita  berlatih untuk mempraktikan apa yang sudah didengar dan dipahami. Selanjutnya, setiap kita diutus dalam konteks dunia kita masing-masing untuk “menyembuhkan” banyak orang dan mewartakan Kerajaan Allah.  Benar, kita bukan dokter yang ditugasi untuk memulihkan dan menyembuhkan pasien. Namun, bukankah di sekitar kita ada banyak orang-orang yang “sakit” namun mereka tidak menyadari. Mereka yang sakit hati, sakit spiritualitas, lumpuh iman dan pengharapan. Di sanalah Tuhan mengutus kita. Simptom kesakitan itu muncul dalam perilaku hidup egois, serakah, ketidak-adilan, rasisme, kebencian, permusuhan, pendeknya kehidupan menurut daging. Kita semua tahu, unjungnya adalah maut.

Setiap anak Tuhan dipanggil untuk menyatakan damai sejahtera. Tentu bukan sekedar ucapan bibir saja, melainkan harus berani mewujudkannya. Ya, tidak mudah – itulah sebabnya Yesus mengatakan seperti domba di tengah-tengah serigala – namun, kita harus mewujudkannya. Biarlah, kita tidak hanya sibuk melayani di gereja, melainkan menindak-lanjutinya dalam dunia kita masing-masing.

Jakarta, 3 Juli 2019