Jumat, 25 Agustus 2017

GKI BERKARYA DALAM KEBERAGAMAN


Kaisarea Filipi, dulu kota ini terletak di sebelah timur laut lereng Gunung Hermon. Nama sebenarnya adalah Banias. Banias didirikan oleh Ptolomeus sebagai pusat penyembahan dewa Pan. Kota yang berada di kaki gunung Hermon ini memiliki tebing besar yang diberi nama "Gunung Batu Para Dewa"  di situ terdapat kuil pemujaan Pan dan dewa-dewa lainnya. Di tengah tebing batu terdapat gua besar yang dari dalamnya mengalir air. Gua ini diberi nama "Pintu Gerbang Hades", karena di tempat inilah diyakini Baal keluar dari dunia orang mati melalui aliran air menuju ke jagat raya. Kaisarea di bangun menjadi sebuah "kota" di hilir  Sungai Yordan pada sekitar tahun 3 atau 2 SM oleh Herodes Filipus sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Kaisar Augustus. Kaisarea Filipi, demikian nama yang diberikan Herodes Filipus.

Di Kaisarea inilah Yesus membawa serta murid-murid-Nya menjauh dari pusat Yudaisme, Yerusalem. Itu berarti bukan hanya di perbatasan secara geografis, melainkan juga di perbatasan spiritual, Yesus bertanya tentang jati diri-Nya kepada para murid. Dalam pertanyaan pertama Ia menanyakan pendapat orang banyak tentang siapa diri-Nya. Besar kemungkinan, di depan Gunung Batu Para Dewa itulah Ia bertanya, "Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?" (Matius 16:13). Dalam Injil Matius, sebutan Anak Manusia tidak hanya dipahami sebagai kata ganti pribadi saja (Aku), tetapi merupakan gelar kristologis penting. Anak Manusia bukan sekedar gelar nabi. Beta pun besarnya Elia, sehingga kedatangannya dinantikan pada akhir zaman (17:10), atau nabi Yohanes Pembaptis yang dikira telah bangkit dari antara orang mati (14:2), gelar Anak Manusia melebih mereka. Anak Manusia adalah Sang Mesias (ho khristos): Yang Diurapi! Namun, sayangnya dari semua jawaban tentang identitas Yesus dapat disimpulkan bahwa orang-orang Yahudi tidak cukup menangkap ajaran dan jati diri Yesus yang sebenarnya sehingga mereka hanya mengakui Yesus sebatas seorang nabi yang diutus Allah.

"Apa katamu, siapakah Aku ini? Pertanyaan ini menginginkan jawaban yang bukan ikut-ikutan apa yang dikatakan orang banyak. Sebagaimana biasa Petrus bereaksi dan memberi jawba, "Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup!" Pengakuan Simon ditanggapi Yesus dengan tiga hal. Pertama, ucapan selamat berbahagia kepada Simon. Dalam tanggapan ini, meski Yesus tidak secara eksplisit menegaskan bahwa diri-Nya Mesias, namun jelas Yesus menyatakan bahwa gelar Mesias itu diberikan Allah kepada-Nya. Simon disebut berbahagia oleh karena pengakuannya bukan buah pikiran manusia. Simon telah menerima penyataan itu dari Bapa. Tepatlah apa yang dulu dikatakan Yesus bahwa bukan kepada orang bijak (sebutan yang mengacu kepada ahli Taurat dan orang Farisi) Bapa menyatakan rahasia Kerajaan Allah, melainkan kepada orang-orang kecil (Mat.11:25-27), yakni para murid dari latar belakang orang-orang sederhana bahkan terpinggirkan. Kepada mereka itulah tabir rahasia ilahi dibuka.

Kedua, atas dasar pernyataan Simon, Yesus kini memberi gelar Petrus; batu karang. Sebuah pengakuan yang segera diiringi dengan janji bahwa di atas petra (batu karang) itu Yesus akan mendirikan jemaat-Nya. Karena didirikan di atas batu karang - dan bukan di atas pasir - jemaat tidak akan runtuh meskipun dirongrong oleh kuasa maut, harafiah : pintu gerbang Hades. Kita dapat membanyangkan pernyataan Yesus ini diucapkan tepat di depan Gunung Batu Para Dewa  dan di depan Pintu Gerbang Hades!

"Di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku..." Apa yang sesungguhnya dimaksudkan Yesus dengan batu karang itu? Banyak energi telah dikeluarkan untuk menjawab teka-teki batu karang ini. Semula, orang meragukan apakah Petrus benar-benar layak di sebut "batu karang", mengapa? Ya, Petrus dinilai kurang stabil (Mat.16:22-23). Tafsiran abad pertengahan cenderung menegaskan bahwa batu karang itu tak lain adalah Kristus. Ini didukung oleh pernyataan Paulus dalam 1 Kor.10:4, "batu karang itu ialah Kristus". Sebelum itu, kebanyakan para Bapa gereja mengartikan batu karang itu adalah iman. Iman Petrus dan termasuk di dalamnya iman para penggantinya. Pada zaman reformasi, batu karang identik dengan iman Petrus dan iman semua orang yang percaya bahwa Yesus adalah Mesias.

Eksegese ekumenis terakhir sepakat bahwa yang dimaksud batu karang yang di atasnya Yesus akan mendirikan jemaat-Nya adalah Petrus sendiri (Martin Harun). Petruslah yang menerima pernyataan dari Yesus, meski benar Petrus sering telihat tidak stabil khususnya dalam peristiwa salib di mana dia tiga kali menyangkal Sang Mesias yang diakuinya itu. Namun, faktanya dialah yang memimpin para murid setelah peristiwa kebangkitan Yesus. Setelah Yesus memulihkan imannya, Petrus tampil setelah peristiwa Pentakosta. Selanjutnya setengah dari Kisah Para Rasul berisikan kesaksian Petrus tentang Sang Mesias. Tak pelak lagi Petrus menjadi orang pertama yang mewartakan Injil kepada orang Yahudi maupun bukan orang Yahudi!

Pernyataan ketiga Yesus kepada Petrus adalah tentang janji diberikannya kunci Kerajaan Allah. Banyak orang menyangkan "kunci" yang dimaksud adalah seperti anak kunci untuk membuka benar-benar pintu secara rafiah. Apakah begitu? Apakah Surga itu berpintu seperti pintu kamar atau pintu kantor? Jelas bukan seperti itu. Surga adalah idiom Yahudi untuk Kerajaan Allah yang diprakarsai oleh Yesus sendiri di dunia ini. Dalam mewujudkan Kerajaan Allah di bumi ini, Yesus yang kelak akan bangkit mendelagasikan-Nya kepada Petrus. Hal ini ada kemiripannya dengan Elyakim yang diserahi kuasa eksekutif dinasti Daud dengan kata-kata, "Aku akan menaruh kunci rumah Daud ke atas bahunya; apabila ia membuka tidak ada yang dapat menutup; apabila ia menutup, tidak ada yang dapat membuka" (Yes.22:22). Petrus diberi wewenang untuk membuka pintu, itu berarti kepadanya diberi mandat untuk menunjukkan jalan ke dalam Kerajaan Allah. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh para imam dan ahli Taurat. Namun apa lacur, para imam, ahli Taurat dan orang Farisi itu menutup rapat akses orang mengenal dan merasakan Kerasaan Allah (Mat.23:13, "Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Surga di depan orang,...). Ahli-ahli Taurat memegang "kuasa kunci"dalam arti bahwa mereka memutuskan apa yang sesungguhnya menjadi kehendak Allah dalam kitab-kitab suci.

Sebagai gereja, Gereja Kristen Indonesia (GKI) tentu sadar dan mengimani bahwa ia lahir, hadir, tumbuh kembang dan berkarya didirikan bukan di atas pasir, melainkan batu karang! Keyakinan ini menuntut konsekuensi. Petra, "batu karang" selalu dihubungkan dengan Simon Petrus. Ia memiliki pelbagai kelemahan manusia namun bukan untuk diratapi, melainkan terus-menerus dibarui. GKI juga menyadari pelbagai kelemahan baik personal maupun lembaga, namun mestinya siap dan mau terus mengalami pembaruan (tidak serupa dengan dunia ini Roma 12). Bukan untuk diratapi, disesali dan dicela.

Petrus diberi otoritas "memegang kunci" Kerajaan Surga", yang semula dipegangi oleh para gembala Yahudi yang justeru menutupnya rapat-rapat dengan ekslusifisme mereka. GKI secara spiritualitas meneruskan apa yang dipercayakan kepada Petrus. GKI harus mampu menunjukkan jalan ke dalam Kerajaan Allah bahkan seharusnya GKI bukan sekedar menunjuk tetapi melalui persekutuan, pelayanan dan kesaksian orang merasakan bahwa di sinilah Kerajaan Allah sedang membumi! Petrus adalah orang pertama yang memberitakan Injil baik kepada orang Yahudi maupun non Yahudi. Kisah pertobatan Kornelius (Kis.10) sangat fenomenal, Petrus benar-benar menjadi pembuka kunci agar segala bangsa mengenal dan mengalam Kerajaan Allah. Sikap ekslusif hanya akan memperpanjang daftar orang-orang yang tertolak dalam Kerajaan Allah. GKI harus seluas-luasnya membuka diri agar sebanyak-banyaknya orang merasakan Kerajaan Allah. GKI harus memberi ruang kepada setiap orang untuk berpartisipasi menghadirkan Kerajaan Allah di bumi ini! Namun, GKI tetap mempunyai identitas, sebagaimana Yesus bertanya kepada para murid di depan Gunung Batu Para Dewa dan di depan Pintu Gerbang Hades, GKI tidak boleh gamang, Yesus adalah Mesias! Selamat Hari Penyatuan GKI ke-29!

Jakarta, 25 Agustus 2017

Jumat, 18 Agustus 2017

KASIH ALLAH UNTUK SEMUA



"Indonesia banget!" Begitulah komentar sebagian besar rakyat Indonesia ketika menyaksikan perayaan detik-detik proklamasi di Istana Merdeka, Jakarta 17 Agustus yang lalu. Meski demikian tetap saja ada satu dua orang yang nyinyir dan masih menganggapnya sebagai politik pencitraan rezim Jokowi.
                          
Boleh saja orang berpendapat pesta rakyat yang di gelar di Istana Negara itu sebagai bagian dari politik sang penguasa. Namun cobalah kita berpikir, bukankah tidak ada penguasa yang tidak berpolitik? Semua kegiatan berbangsa dan bernegara tidak mungkin dipisahkan dari ranah politik! Politik di tangan orang-orang baik akan menjadi maslahat bagi sebuah komunitas bangsa. Sebaliknya, politik dan kekuasaan bisa menjadi petaka bila berada di tangan orang-orang jahat. Apa pun pendapat orang, fakta menunjukkan jelas ada yang berbeda dalam pesta kemerdekaan kemarin itu. Getaran di episentrum istana itu mau menegaskan bahwa inilah Indonesia dengan pelbagai keragaman budaya yang disajikan lewat balutan busana adat yang ditampilkan oleh para undangan pesta rakyat itu!

Joko Widodo bersama Nyonya bersedia untuk sejenak menanggalkan kejawaannya yang selama ini dipandang superior di bumi Nusantara. Mereka berdua mengenakan pakaian adat Kalimantan Selatan. Sang Presiden memberi ruang kepada semua suku-suku bangsa di tanah air. Ia menyapa semua undangan dan berbaur bersama rakyat biasa. Semua mendapat tempat, inilah Indonesia! "Inilah jati diri bangsa kita dalam bernegara. Inilah kekuatan bangsa kita dalam menghadapi setiap tantangan," kata sang presiden sehari sebelumnya di gedung parlemen.

Dalam hari yang sama, beda tempat tetapi berbanding terbalik. Di Negara yang katanya embahnya demokrasi, Amerika Serikat. Presiden Donald Trump kembali dihujani kecaman lantaran ucapannya yang membela kaum kulit putih dalam peristiwa kekerasan di Charlottesville. Unjuk rasa kaum kulit hitam yang menuntut keadilan berujung bentrok. Pada akhir unjuk raja, seorang simpatisan pendukung supremasi kulit putih menabrakkan mobilnya ke arah kerumunan pengunjuk rasa. Insiden itu menewaskan Heather Heyer, aktivis penentang neo-Nazi, dan mencederai 19 orang lainnya. Arogansi Trump memicu mundurnya sederet CEO yang tergabung dalam Forum Kebijakan dan Strategi serta Dewan Manufaktur pendukung rezim Trump.

Supremasi, superioritas, triumpalistik dan sejenisnya telah memakan begitu banyak korban. Lihat saja apa yang telah dilakukan oleh Nazi, politik aparthaid di Afrika Selatan, pemusnahan etnis atau genosida di Bosnia Herzegovina, Ruwanda, Somalia, dan banyak lagi yang lainnya. Sudah tak terhitung nyawa dan penderitaan manusia maupun bumi ini akibat arogansi diri dan kelompok yang berlebihan.

Masing-masing kelompok atau suku bangsa tentu punya apa yang menjadi kebanggaan mereka. Tak terkecuali umat Yahudi. Mereka bangga dengan predikat sebagai bangsa pilihan Allah. Mereka merasa jauh lebih mulia dibanding dengan bangsa-bangsa lain. Taurat yang diberikan Allah kepada Musa merupakan bukti bahwa hanya merekalah yang dikhususkan Allah sebagai umat kesayangan-Nya. Di satu sisi, benar bahwa Allah memilih dan mengkhususkan umat Israel sebagai umat pilihan. Namun, pada pihak lain bukan berarti Allah tidak sayang kepada umat atau bangsa lain, apalagi menganggapnya sampah. Allah memilih Israel agar melalui mereka kasih Allah menjangkau semua orang di segala bangsa.

Taurat merupakan pegangan hidup umat pilihan Allah. Namun sayangnya, tidak semua aspek kehidupan dengan jelas diatur oleh Taurat. Maka apa yang belum jelas itu diperjelas melalui tafsir para rabi, hasilnya ditetapkan sebagai aturan. Aturan ini turun-temurun dipraktikan dan menjadi adat istiadat. Orang-orang Farisi dikenal sebagai kelompok yang memelihara ketat adat istiadat ini. Adat istiadat nenek moyang ini sering disebut sebagai Taurat Lisan. Tentu, semula penafsiran Taurat yang telah berakar menjadi adat istiadat adalah baik, yakni memudahkan dan mendorong orang untuk menaati Taurat TUHAN dan tujuan mulianya adalah menghasilkan orang-orang yang saleh. Namun celakanya, seringkali Taurat Lisan itu menjadi tempat berkelit dan topeng dari apa yang seharusnya dikerjakan.

Dalam bacaan Injil Minggu ini (Matius 15: 10-28, lebih baik dibaca dari ayat 1) beberapa ahli Taurat dan orang Farisi berdebat dengan Yesus. Perdebatan diawali dengan pertanyaan mengenai mengapa para murid makan tanpa membasuh tangan terlebih dulu. Bagi mereka apa yang dilakukan oleh para murid itu melanggar adat istiadat nenek moyang. Yesus tidak menjawab soal cuci tangan. Namun dalam kesempatan ini, Ia mau membuka kebusukan mereka yang berlindung dalam kedok Taurat dan tradisinya.

Yesus mengecam mereka dengan contoh dari salah satu ketentuan Taurat tentang menghormati ayah dan ibu. Yesus tahu percis bahwa mereka sering melanggar hukum ini. Tradisi nenek moyang mereka mengajarkan bahwa seorang anak yang sudah memberikan sejumlah hartanya untuk dipersembahankan kepada Tuhan - yang sebenarnya harta itu untuk merawat orangtuanya - tidak lagi wajib untuk mengurusi orang tuanya. Inilah yang disebut sebagai tradisi kurban: kalau sesuatu telah dikurbankan bagi Allah, orang yang sebenarnya berhak atas sesuatu itu tidak lagi bisa menuntut haknya kalau hal itu sudah dikurbankan untuk Allah. Bagi Yesus, praktik ini tidak dapat dibenarkan bahkan jahat dan busuk. Jelas-jelas mereka telah melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyang. Mereka tidak menaati perintah Allah, yakni menghormati ayah dan ibu hanya untuk memenuhi tradisi kurban. Ada kalanya tradisi ini dilakukan untuk melepaskan tanggung jawab mereka dalam memelihara orang tua. Yesus melihat praktik ini adalah sebuah kemunafikan!

Yesus lagi-lagi tidak membahas persoalan cuci tangan. Namun, lebih jauh dari itu tentang makanan yang halal dan haram. Tujuan dari mencuci tangan sebelum makan adalah menjaga kebersihan. Sekarang Yesus mengatakan bahwa bukan hal-hal luar yang menaziskan atau menghalalkan seseorang. Bukan tangan kotor yang menaziskan makana yang dimakan. Bukan yang masuk melalui mulut yang menaziskan, melainkan yang keluar. Tentu perkataan Yesus ini tidak mudah dimengerti sekalipun oleh para murid-Nya sendiri. Yesus menjelaskan bahwa apa yang keluar dari mulut itu berasal dari dalam, dari hati. Dari hatilah timbul segala pikiran yang jahat, pembunuhan, perzinahan, pencurian, sumpah palsu, hujat dan sebagainya. Itu semua bukan bersumber dari makanan! Maka bukanlah mananan yang harus dibereskan, melainkan hati!

Pelajaran untuk tidak terjebak dalam primordial dan berlindung dalam kebanggaan palsu mestinya sudah selesai buat para murid. Namun nyatanya ketika Yesus menyingkir keluar dari wilayah "umat istimewa" daerah itu adalah Tirus dan Sidon, pelajaran itu belum selesai. Kini, Yesus berjumpa dengan seorang perempuan Kanaan  yang anaknya sedang sakit kerasukan. Ia memohon dengan sangat agar Yesus memulihkan anaknya itu. Perempuan Kanaan ini menyembah Yesus dan mengakui-Nya sebagai Tuhan. Namun, para murid merasa terganggu dengan kedatangan perempuan itu.

Dalam catatan Injil Matius, para murid telah beberapa kali menyuruh pergi orang-orang tanpa memenuhi kebutuhan mereka (Mat. 14:15; 15:32-33). Sikap tak peduli murid-murid terhadap perempuan asing ini merupakan cerminan jemaat Matius yang dominan Yahudi. Atas dasar itu, maka jawaban Yesus terhadap permohonan si perempuan tersebut merupakan refleksi dari superioritas Yahudi-Kristen pada zaman Matius. Tidaklah mengherankan kalau kata-kata Yesus terlihat kasar dan rasis, "Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel. (Mat. 15:24)", "Tidak patut mengambil roti bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.(Mat. 14:26).

Apakah Yesus rasis dan diskriminatif? Tujuan cerita ini bukanlah menggambarkan Yesus sebagai Yahudi diskriminatif - sebab kalau hal ini benar, buat apa kisah sebelumnya Yesus mendobrak adat istiadat primordial Yahudi. Kisah ini, mau mengajarkan bahwa Allah peduli kepada semua orang, termasuk orang yang dianggap kafir dan tidak mungkin mendapat berkat dari sudut pandang superioritas Yudaisme. Kisah ini mau mengoreksi kebanggaan jemaat Matius akan tradisi dan eklusifisme mereka. Kisah ini mau bicara tentang iman yang otentik. Dalam diri perempuan Kanaan iman dan kerendahan hati berkelindan sama seperti sang perwira di Kapernaun.

Kalau di awal saya mengutip kalimat "Indonesia banget!" Bisakah setiap pengikut Yesus membuka diri, membagi ruang bagi sesama, merangkul mereka dan mengasihi tanpa bertanya sukumu apa? Agamamu apa? Kalau itu dapat kita lakukan maka yang seperti ini, "Kristen banget!"

Independent day '2017