Jumat, 11 Agustus 2017

ALLAH HADIR UNTUKMU

Percakapan dengan Pak Helmy, seorang penduduk Saleman yang memutuskan tinggal di hutan dan terpanggil untuk melestarikan alam, antara lain kupu-kupu asli Maluku dan kunang-kunang membuat saya nekat untuk melihat apa yang ada di tengah hutan itu.

Setelah menyusur pantai, kami harus masuk hutan selama hampir satu jam. Wow, sungguh tak terduga di tengah hutan ada beberapa jenis bunga, dan pohon-pohon lain - yang katanya untuk makanan kupu-kupu dan tempat bermain kunang-kunang ketika malam tiba. Ia menunjukkan beberapa jenis kupu-kupu dari spesies langka. Dengan mata yang berbinar-binar ia juga memperkenalkan beberapa jenis anggrek hutan khas Maluku. Ketakjuban saya belum lagi sirna ketika melihat beberapa elang, puluhan burung kakatua jambul kuning dan kawanan burung nuri. Mereka bersautan. Ya, tepat itu seperti suara di kebun binatang. Namun, ini di alam liar! 

Gelap mulai tiba. Benar saja, kunang-kunang datang di sekitar kebun bunga milik Pak Helmy itu. Yang mengherankan, mereka berkelap-kelip bergerombol hanya di pohon tertentu saja. Ya, pohon yang sengaja ditanam oleh Pak Helmy. Waw...indah sekali pohon itu di kegelapan malam, kelap-kelip berhiaskan koloni kunang-kunang. Seperti pohon natal! Semakin gelap semakin indah!
Lalu saya mulai berpikir, "Hari semakin gelap dan rintik hujan. Bagaimana pulang lewat hutan yang gelap pekat ini?" 

Dalam perjalanan pulang kami banyak bercerita. Pak Helmy berbagi pengalaman tentang mengapa ia sanggup bahkan menikmati berhari-hari tinggal di hutan itu seorang diri tanpa listrik, tanpa sinyal HP, hanya sebuah gubuk dengan kamar tidur kecil, tanpa wc (yang ada sungai kecil, mck alam!)

Menurutnya, ia bukan manusia super yang tidak punya rasa takut. Sebulan pertama merupakan godaan yang sangat berat. Terdengar suara harimau, suara tabuhan gendang, dan pelbagai suara aneh. Ketakutan dan kesepian luar biasa begitu mencekam! Dalam situasi itu ia berdoa, "Tuhan, ajar aku takut hanya kepadamu dan bukan pada makluk-makluk ciptaanmu." Selesaikah ia mengatasinya? Ternyata tidak! Setiap malam tiba ia dicekam rasa takut luar biasa. Ia menangis! Namun, suara-suara menakutkan itu pun terus terdengar. Sampai akhirnya suatu ketika ia bisa mengatasi semuanya itu. Caranya? Memusatkan keyakinan kepada Sang Pencipta bahwa Dialah Sang Pemilik dan Pemelihara kehidupan, kemudian berdamai dengan diri sendiri dan alam!

Ia melanjutkan ceritanya, "Sekarang saya tahu bahwa, suara harimau sebenarnya pantulan dari ketakutan saya, karena di hutan ini tidak ada harimau! Begitu pula dengan suara gendang, dan suara-suara aneh menyeramkan yang datang di tengah malam merupakan kegaduhan batin saya sendiri, yang memantul menjadi seolah suara lain. Hanya kepasrahan kepada-Nya yang dapat membuat saya menikmati semuanya ini dan niatan baik untuk bersahabat dengan alam." Sekarang, semua orang di Negeri Saleman mengenal Pak Helmy Lattutuapraya sebagai seorang pemberani dan perawat lingkungan.

Dalam ketakutannya, Pak Helmy mendengar suara-suara aneh yang menakutkan. Suara aneh itu pun mungkin saja saat ini sedang didengar oleh banyak orang. Bahkan ada orang dalam ketakutannya mendengar suara itu begitu jelas, suara itu memintanya untuk mengakhiri hidupnya karena beban hidup yang begitu menekan. Sangat mungkin saat ini kita pun sedang “diganggu” oleh suara-suara itu.

Pada umumnya setiap manusia mempunyai rasa takut, cemas dan bimbang. Bacaan Injil kali ini memerlihatkan kondisi itu. Para murid Yesus baru saja menyaksikan mukzijat luar biasa. Yesus memberi makan lima ribu orang laki-laki ditambah kaum perempuan dan anak-anak hanya dengan lima roti dan dua ekor ikan, itu pun masih menyisakan dua belas bakul makanan. Kini, Yesus mendesak para murid untuk naik ke atas perahu, mendahului-Nya ke seberang (Matius 14;22).

Ke mana Yesus? Ia memisahkan diri, naik ke atas gunung untuk berdoa sepanjang malam sendirian. Bagaimana nasib para murid? Sepanjang malam itu mereka diserang badai. Semua kehebatan Sang Guru yang baru saja mereka nikmati bersama orang banyak seolah habis dilumat oleh badai sakal di danau itu. Bahkan ketika Yesus menghampiri, mereka menyangsikan-Nya. Mereka mengira yang datang itu adalah hantu! Yesus menenangkan mereka dan menyatakan diri-Nya, ego eimi (Aku ada!) sebuah pernyataan yang sama dalam terjemahan Yunani Septuaginta ketika Allah memerkenalkan diri-Nya kepada Musa (Kel.3:14; Ul.32:39). Rahasia jati diri Yesus yang “disembunyikan” bagi orang bijak dan pandai (Matius 11:25, 13:12-16, namun di danau ini dinyatakan kepada murid-murid, orang-orang kecil (13:11).

Petrus tampil mewakili para murid yang lain. Pernyataan diri Yesus, “Aku ada” ditanggapi Petrus, “…apabila Engkau itu…” (apabila Engkau ada, suemi). Untuk apa Petrus menanggapi demikian? Petrus perlu bukti kepastian tentang identitas Yesus. Yesus menjawab tantangan Petrus. Ia meminta Petrus untuk datang kepada-Nya. Petrus percaya! Matanya tertuju kepada Yesus dan ia mulai berjalan di atas air menuju Yesus. Tetapi ketika mata Petrus beralih dari Yesus kepada angin yang memukul-mukul permukaan laut, saat itulah ketakutan menguasai Petrus. Ia dikuasai oleh kuasa alam maut lalu berteriak, “Tuhan, tolonglah aku!” Permohonan Petrus dikabulkan oleh Yesus yang mengulurkan tangan-Nya dan memegangnya, di sinilah Yesus menggenapi doa pemazmur yang memohon Allah mengulurkan tangan-Nya dan memegang diri-Nya (Mzm. 144:7; 18:16). Bagaimana reaksi Yesus terhadap ketakutan Petrus, apakah dibiarkan saja? Tidak!. Ia dicela karena kurang percaya. Celaan ini berulang kali dipakai dalam Injil Matius untuk melukiskan kerapuhan iman para murid (Mat.6:30; 8:26; 16:8; 17:20). Iman mereka ada, namun sering kali tidak memadai untuk menghadapi pelbagai kemelut kehidupan. Seperti benih yang jatuh di bebatuan, Petrus segera percaya dan meletup-letup tetapi tidak bertahan ketika kesulitan datang. Petrus adalah gambaran tentang semangat dan kemauan mengikut Yesus dan sekaligus juga kekurangan dan kerapuhan iman. Pada pihak lain, Yesus dengan setia tetap membimbingnya. Petrus adalah potret tentang iman semua murid dan jemaat yang masih mudah terombang-ambing. Petrus adalah kita!  

Narasi ini sarat unsur simbolis. Perahu (bukan “murid-murid” seperti yang dicatat Markus 6:48) yang diancam ombak dan angin, dalam Injil Matius mengacu kepada gereja Tuhan yang terancam kuasa alam maut ketika terpisah dari Yesus. Ia datang menjelang pagi, sebuah petunjuk waktu yang berlatar belakang Perjanjian Lama: “Allah akan menolongnya menjelang pagi” (Mzm.46:6; 30:6; Yes.17:14). Dengan berjalan di atas air, apa yang hanya dilakukan Allah, “Ia melangkah di atas gelombang-gelombang laut” (Ayb. 9:8; Mzm. 77:20; Yes 43:16). Pernyataan diri dan pertolongan Yesus ini menjadikan jemaat kembali percaya, dan sampai pada tujuannya di tengah perlawanan dan ancaman. Yesus tetap ADA  bagi jemat yang masih bimbang dan kurang percaya. Ia menumbuhkan iman kepercayaan gereja dengan memberi pertolongan maupun teguran. Ia membangunkan mereka dari ketakutan, dan menolong mereka untuk mengimani dan menyembah-Nya sebagai Anak Allah. Kisah ini hendak mengatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah yang menaklukkan kuasa maut, “Sesungguhnya Engkau Anak Allah.” (Matius 14:33)

Yesus telah membuktikan bahwa Ia adalah Anak Allah. Hanya Dialah –baik melalui pernyataan, ucapan dan tindakkan-Nya – menyerupai pernyataan, ucapan dan tindakkan Allah. Dia tidak pernah membiarkan orang percaya bergulat sendiri berhadapan dengan ancaman kuasa maut. Ego eimi, Ini Aku! Aku ada untukmu, hadir dan bertindak! Namun mengapa seringkali kita “kalah” dengan ancaman dan tantangan? Kita mengeluh dan suara-suara menakutkan itu terus mengusik kita?

Masalahnya bukan kuasa Tuhan yang kurang, melainkan suara-suara itu – seperti pengalaman Pak Helmy – berasal dari ketakutan dan kecemasan diri kita sendiri! Kita sering kali menyangsikan kuasa Tuhan yang menolong, akibatnya mata hati kita tidak fokus kepada-Nya. Saat itulah kita mulai tenggelam dan ditelan oleh kuasa maut! Bagaimana mengatasinya? Arahkanlah hati kita sepenuhnya kepada-Nya! Ancaman akan tetap ada, benar. Namun kita akan menjadi lebih tenang dan damai karena kita merasakan kuasa dan kehadiran-Nya.

Jakarta, 11 Agustus 2017

Jumat, 04 Agustus 2017

BELARASA DENGAN UCAPAN SYUKUR

Pesta digelar meriah di istana. Pelbagai menu lezat dihidangkan, bukan pengganjal perut yang lapar melainkan untuk memanjakan lidah. Sebab, setelah perut kenyang, mereka akan mengorek langit-langit mulut agar dapat memuntahkan kembali makanan yang sudah mereka telan. Selanjutnya mereka dapat makan kembali dan pesta dilanjutkan! Anggur dan pelbagai minuman keras menjadi pelengkap mesta mereka sebab, tanpa itu bukanlah pesta. Menu selanjutnya tarian! Bukan tarian biasa melainkan tarian erotis. Salome, anak Herodias itu menari luar biasa, liak-liuk tubuhnya begitu memesona sang raja. “Aku bersumpah, apa pun yang kau minta, hai sang penari, akan kukabulkan!” demikian sesumbar sang raja.

“Kepala Yohanes Pembatis, ya…kepala Yohanes Pembaptis!” Pinta sang gadis penari itu. Sabda kadung terucap, pantang ditarik kembali. Kepala Yohanes Pembaptis dalam talam menjadi hiasan pesta syukuran ulang tahun raja Herodes Antipas. Pesta berdarah!

Setelah mendengar tentang pembunuhan Yohanes Pembaptis, Yesus memutuskan menyingkir dan mengasingkan diri ke tempat yang sunyi. Namun ternyata orang banyak terus mengikuti-Nya. Ia menyembuhkan mereka dari pelbagai penyakit dan kelemahan, memberi mereka makan (Matius 14:13-21). Perjamuan di tempat yang sunyi itu diwarnai kepedulian, perhatian, pelayanan, pembagian, dan hidup dalam kelimpahan sangat kontras dengan pesta kemabukan, dendam dan pembunuhan dalam istana Herodes.

Dalam Injil Matius, Yesus berulang kali ditampilkan sebagai orang terancam dan harus menyingkir. Kita ingat ketika masa kanak-kanak, Yesus bersama orang tuanya harus menyingkir ke Mesir karena ancaman Herodes. Kali ini pun sama ancaman datang dari Herodes Antipas yang menyamakan Yesus dengan Yohanes Pembaptis yang telah bangkit. “Setelah mendengar berita itu (maksudnya berita tentang pembunuhan Yohanes) menyingkirlah Ia dari situ, hendak mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mendengarnya dan mengikuti Dia dengan mengambil jalan darat dari kota-kota mereka.” (Matius 14:13).

Dalam narasi Matius sangat jelas, Yesus menghindari ancaman Herodes. Namun, tujuan penyeberangan untuk mengungsi mengalami perubahan dengan kedatangan orang banyak. Orang banyak ini dalam Injil Matius tidak disamakan dengan bangsa Israel yang sesat dan menolak-Nya, sebaliknya mereka mendengar serta mengikuti Yesus dan akan menerima roti dari tangan murid-murid Yesus (ay.19). Yesus memandang mereka dengan belas kasihan sehingga mendorong-Nya untuk bertindak: memulihkan, menyembuhkan penyakit mereka dan kemudian memberi mereka makan.

Sebelum Yesus memberi mereka makan ada dialog dengan para murid yang cukup panjang (Mat. 14:15-18). Dalam percakapan itu dilukiskan keadaan darurat: sudah malam, tempat terpencil, dan orang banyak tanpa bekal makanan. Kondisi ini menuntut tindakan segera. Para murid mengusulkan agar orang banyak itu disuruh pulang saja, mengurusi diri mereka masing-masing mencari makanan di desa-desa terdekat. Yesus menjawab, “tidak,…kamu harus memberi mereka makanan!” Murid-murid-Nya menolak. Ini mustahil: tidak ada uang dan juga tidak ada penjual makanan apalagi dalam skala besar!

Mustahil! Itulah kata yang ada dalam benak para murid. Mereka sendiri – bersama Yesus – sebagai pengungsi yang menghindari kebengisan Herodes Antipas, tidak ada uang dan tidak ada makanan. Maka yang paling logis adalah menyuruh mereka mengurus sendiri kebutuhannya masing-masing. Namun, sayangnya dalam situasi krisis ini mereka lupa bahwa mereka telah menerima kuasa dari Yesus sendiri (Matius 10:1). “
Dalam keadaan sebagai pengungsi yang terancam penguasa, Yesus tetap memikirkan orang lain. “Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit.” (Matius 14:14) Kata “belas kasihan” berasal dari kata splagchnizomai menunjukkan kepedulian mendalam yang dilandasi oleh empati yang kemudian diwujudkan melalui tindakan pertolongan dan pemulihan, itulah belarasa!

Tindakan Yesus yang mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkan roti, dan memberikannya kepada orang yang dijamu, sama dengan tindakan tuan rumah pada setiap perjamuan Yahudi. Tetapi, Yesus melakukannya hanya dengan beberapa roti dan ikan untuk mengenyangkan orang banyak di tempat sunyi. Ia mengingatkan kita akan Musa serta pemberian manna di padang gurun, dan akan Elisa dengan dua puluh roti jelai mengenyangkan seratus orang, dan masih ada sisanya. Yesus melampaui kedua nabi besar itu. Yesus menunjukkan Allah yang peduli kepada kebutuhan manusia.

Roti yang diberikan kepada para murid tidak untuk dimakan oleh mereka, melainkan supaya mereka bagikan kepada orang banyak, seperti yang kelak akan menjadi tugas mereka pada perjamuan Tuhan dalam jemaat. Merekalah yang membagikan roti yang disediakan Yesus dan orang banyak makan sampai kenyang. Murid-murid yang pada awalnya kurang percaya, akhirnya diyakinkan oleh kuasa Yesus yang dibagikan-Nya juga dengan mereka. Hasilnya luar biasa: mereka kenyang, sisa dua belas keranjang dan yang makan tidak kurang dari lima ribu keluarga!

Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa belarasa atau kepedulian itu bukan hanya sebuah perasaan. Merasa iba terhadap kesulitan atau penderitaan orang lain. Bukan itu! Melainkan, lebih jauh dari itu. Merasakan, berada pada posisi orang yang dalam kesulitan dan kemudian mengambil langkah konkrit untuk mengatasi setiap kesulitan itu. Tindakan menolong dan memberdayakan orang lain tidak selalu menunggu diri sendiri hidup berkelebihan. Bukan ini kuncinya! Lihat saja, pesta pora Herodes Antipas. Bukankah mereka telah hidup berkelimpahan secara materi? Tidak ada jaminan seseorang dapat peduli kepada sesamanya kalau ia sudah kaya atau berkelimpahan. Ada banyak cerita – termasuk Herodes – tentang orang kaya, berkuasa dan mempunyai segalanya namun sangat sulit mempunyai sikap belarasa.

Secara materi dan kondisi, Yesus tidak berada pada posisi menguntungkan. Ia terancam Herodes, berada di tempat sunyi, dan tidak banyak makanan! Namun, situasi ini bukanlah alasan untuk tidak peduli dengan kesulitan orang lain. Bagaimana dengan kita? Apakah tidur kita tetap nyenyak ketika mendengar rintihan orang lain? Apakah masih nikmat menelan makanan, sementara di samping kiri-kanan kita ada orang-orang yang mengais makanannya di tempat sampah?

Seperti Yesus memakai tangan para murid untuk menyalurkan makanan kepada setiap orang yang membutuhkan. Demikian juga sampai hari ini, Dia ingin memakai tangan kita untuk menyampaikan makanan kepada orang lain. Apakah kita menggunakan tangan ini dengan semestinya? Ataukah kita mengenggamnya untuk diri sendiri? Bersyukurlah kalau tangan kita masih berfungsi dengan baik.

Jakarta, 4 Agustus 2017