Sabtu, 22 Juli 2017

POLA HIDUP KERAJAAN ALLAH


Apa yang kita fahami tentang “pola”? Secara umum orang memahaminya sebagai bentuk atau model yang biasa dipakai atau ditiru untuk menghasilkan produk yang sama. Contohnya pola dalam membuat busana, motif batik, barang kerajinan, dan produk-produk lainnya. Mungkin mirip-mirip “cetak biru”. Selanjutnya, pola juga tidak hanya berkaitan dengan benda tetapi juga dalam perilaku. Pola hidup Kerajaan Allah mengandung pemahaman bahwa orang yang mengetahui rahasia Kerajaan Allah akan menerapkan apa yang diinginkan Sang Raja, yakni Allah sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Pola hidup Kerajaan Allah bukanlah wacana melainkan kehidupan praksis kini dan di sini sambil berharap kesempurnaannya pada masa depan.

Dalam Injil, Yesus tidak hanya menyatakan Kerajaan Allah itu sebagai perkara rumit di masa depan sebagai realitas eskatologis yang kelak akan tiba pada kedatangan-Nya kembali. Tetapi Ia menyatakan bahwa Kerajaan Allah sudah hadir di dalam diri dan melalui pewartaan-Nya, “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Mat.12;28). Bahkan kehadiran Kerajaan Allah itu tidak hanya melalui karya dan karsa Yesus sendiri. Injil Lukas 10:17-18 menunjukkan bahwa Yesus ingin agar para murid mengerjakan pelbagai pekerjaan dan pelayanan yang bersumber pada kuasa Kerajaan Allah.

Sejatinya Kerajaan Allah lebih dari sekedar kata, wacana atau doktrin, melainkan moralitas yang sama sekali baru, berbeda dari tatanan umum duniawi. Mengapa? Berbeda dan baru, oleh karena sebelumnya kebanyakan orang Yahudi memahami bahwa Allah hanya memilih bangsa Israel dalam Kerajaan-Nya, hanya mereka yang Yahudilah yang mempunyai hubungan istimewa dengan Allah. Mereka yang ada dalam Kerajaan Allah adalah mereka yang setia memelihara Taurat. Mereka kudus dan tak bercacat dalam melakukan ritual. Kerajaan Allah tidak akan diberikan kepada mereka yang tidak memakan kosher atau tidak mengindahkan hari sabat. Kerajaan Allah tidak mungkin dinikmati oleh para pendosa: pelacur, pezinah atau pemungut cukai. Kerajaan Allah hanya akan dimasuki oleh mereka yang sehat dan utuh secara fisik. Sakit penyakit merupakan tanda kutukan dari Allah atas dosa yang mereka lakukan. Kerajaan Allah tidak tersedia bagi mereka yang sakit, buta atau cacat. Orang miskin adalah orang yang ditinggalkan oleh Allah! Oleh karena itu sulit bagi mereka untuk melihat Kerajaan Allah dalam diri Yesus yang menjungkirbalikkan pemahaman Yudaisme ini.

Kerajaan Surga yang dihadirkan Yesus bukanlah semangat triumpalistik yang ingin menguasai dan menaklukkan orang lain. Melainkan moralitas keprihatinan dan keberpihakan kepada mereka yang selama ini memikul kuk yang berat serta tersisih: miskin, papa, sakit, dan penyandang stigma pendosa. Selain dalam karya dan karsa, Yesus menggunakan pengajaran dalam bentuk banyak perumpamaan untuk menjelaskan Kerajaan Surga.

Beberapa perumpamaan dalam bacaan Injil yang kita baca hari ini (Matius 13 :31—33, 44-52) menyajikan suatu paradoks: di satu pihak, Kerajaan Surga itu sangat kecil, seperti biji sesawi namun ia dapat tumbuh menjadi pohon yang besar sehingga burung-burung dapat hinggap pada dahannya. Kerajaan Allah yang diwujudkan dalam diri Yesus Kristus memang kecil. Bukankah mula-mula Yesus hanya memanggil 12 orang murid saja. Bandingkan dengan tradisi keagamaan Yahudi yang telah mapan; tidak ada apa-apanya! Namun, yang kecil ini kelak menjadi besar, terus bertumbuh. Kebesarannya bukan terletak dalam penaklukkan kelompok lain. Tetapi dengan menampilkan gaya hidup, atau pola kehidupan Kerajaan Allah. Setidaknya kehidupan jemaat mula-mula mencerminkan hal ini.

Paradok selanjutnya, Kerajaan Surga digambarkan sebagai mutiara dan harta karun yang amat berharga, namun di pihak lain seseorang yang menemukannya harus mengorbankan segalanya untuk mendapatkannya. Dari perumpamaan ganda tentang harta dan mutiara sering orang menarik kesimpulan bahwa untuk mendapatkan Kerajaan Allah seseorang harus mengorbankan segala-galanya. Namun, makna sesungguhnya bukan seperti itu. Kedua perumpamaan ini hendak menekankan begitu tinggi dan mulianya Kerajaan Surga yang dibaratkan seperti mutiara dan harta karun yang tidak ada bandingnya. Perhatikan ini : dalam kedua perumpamaan itu dikisahkan bahwa mereka yang terlebih dahulu mengetahui dan mendapatkan mutiara dan harta karun. Selanjutnya apa yang mereka miliki terasa tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan apa yang kini mereka temui. Nah, untuk itu mereka bersedia melepaskan apa pun yang ada pada mereka demi “harta yang tak ternilai itu”. Jelas karena mereka tahu bahwa nilainya jauh lebih tinggi. Nilai tinggi itulah yang menjelaskan mengapa orang menaruh Kerajaan itu di atas segalanya, lalu memberikan atau menanggalkan segalanya untuk memperoleh anugerah itu.

Sulit bagi para pemuka Yahudi, orang Farisi dan ahli Taurat untuk melihat bahwa di dalam diri Yesus itulah sesungguhnya “mutiara” dan “harta karun” yang tak ternilai dapat mereka jumpai. Sehingga tidak mudah bagi mereka untuk melepaskan segala sesuatu yang terkait dengan “harta” mereka yakni kebanggaan dan superioritas. Sebaliknya, bagi si pemungut cukai dan si penzinah, tanpa kesulitan mereka menemukan “mutiara” dan “harta karun” itu. Dampaknya, bagi si pemungut cukai tidak merasa rugi apa pun ketika ia menjual setengah dari hartanya dan membagikannya kepada orang miskin serta mengembalikan empat kali lipat kepada mereka yang pernah diperasnya. Dan perempuan penzinah itu tidak menyayangkan setengah kati minyak narwastu murni dituangkan untuk membasuh kaki Yesus dan menyeka dengan rambutnya! Itulah juga yang terjadi dengan Paulus, sejak perjumpaan dengan Yesus, apa yang menjadi kebanggaannya selama ini: sebagai orang Farisi, murid Gamaliel, tak bercacat dalam melakukan dan memelihara Taurat, kini - itu semua - menjadi tidak berarti dibanding kekayaan kasih karunia di dalam Yesus. Bahkan, Paulus menganggap semua kebanggaannya yang lalu itu hanya sampah belaka! Mengapa? Karena semua orang telah menemukan “harta yang tak ternilai” itu, telah berjumpa dengan Kerajaan Surga!

Aneka macam orang bisa masuk dalam Kerajaan Surga, bukan hanya yang miskin dan yang kaya, tetapi juga yang baik dan yang jahat. Mereka berkumpul di dalam Kerajaan itu ibarat aneka macam ikan yang terjaring di dalam pukat. Ada yang berguna, dan ada yang nantinya harus dibuang. Selama pukat masih ditarik, nelayan membiarkan itu terjadi. Begitu juga dalam Kerajaan Allah pada masa sekarang, campuran orang baik dan buruk diterima dalam sebuah kenyataan. Mereka sama-sama disebut umat Tuhan. Namun, barulah ketika pukat itu sudah penuh, Kerajaan Surga sudah mencapai kepenuhannya, Tuhan sendiri akan memisahkan yang baik dari yang jahat dan membuang yang jahat itu ke dalam kerajaan kelam.

Ingatlah ketika Yesus menyampaikan ajaran-Nya tentang Kerajaan Surga hal ini bukan semata teori atau doktrin. Melainkan sangat praktis dan etis. Bagaimana dengan kita? Ketika kita mengalami kesulitan untuk menanggalkan apa yang menjadi kebanggaan kita, masih arogan dengan kepandaian, hikmat dan apa pun yang kita miliki, itu artinya: kita belum bertemu apalagi memiliki “harta” yang sesungguhnya! Hanya orang yang telah berjumpa dengan “mutiara” atau “harta karun” itulah yang dapat menghadirkan Kerajaan Allah. Hanya orang yang telah mengalami perjumpaan dengan Kerajaan Surga akan dapat menghadirkan pola “Surga” itu dalam kehidupan nyata kini dan di sini!

Jakarta 22 Juli 2017 

Kamis, 20 Juli 2017

ALLAH SANG PENYABAR

Apa yang ada dalam benak kita ketika seseorang melakukan hal keliru? Naluri kita akan segera memberi sinyal untuk mengingatkan atau menegur. Tidak salah! Kita tergoda untuk ingin segera “memperbaiki” orang lain. Selangkah lagi kita menghakimi orang itu. Kita berpikir bahwa teguran akan membuat mereka segera berubah. Kita menduga bahwa, “jika saya menegur mereka, mereka akan segera berubah.” Teguran adalah senjata terbaik. Bagaimana kira-kira reaksi orang yang ditegur? Bisa saja takut, marah, balik melawan dengan pelbagai argumen pembelaan, atau menangis dan menyesali.

Pada umumnya kita akan suka bahkan menikmati “sensasi” manakala orang yang kita tegur menampakkan perubahan. Ini yang kemudian akan menjadi kenikmatan kita dalam menegur. Selanjutnya, perlahan tapi pasti teguran itu berubah menjadi penghakiman. Pada zaman Yesus, penyakit ini rupanya menghinggapi sebagian besar ahli orang-orang Farisi, ahli Taurat dan pemuka Yahudi. Mereka sering menegur dan memberi label “pendosa” bagi mereka yang melanggar ketentuan Taurat dan tradisi Yudaisme.  Barangkali ada benarnya bahwa orang-orang yang mereka hakimi itu telah berbuat dosa: pezinah, pembunuh, pemungut cukai, orang-orang lalim dan lain sebagainya. Apakah salah jika menunjuk “hidung” bahwa mereka berdosa?

Masih segar dalam ingatan kita, atau bahkan sampai hari ini bangsa kita terus gaduh dengan wacana saling menghakimi dan mengkafirkan kelompok lain yang tidak sepaham. Tampaknya semakin intens orang atau kelompok-kelompok yang ingin sesegera mungkin menghukum, memenjarakan bahkan melenyapkan orang yang dianggap melanggar norma-norma yang dipandang mereka sebagai kebenaran.

James Bryan Smith dalam bukunya “The goog and beautiful live” mejelaskan bahwa walaupun teguran atau penghakiman tampaknya dapat mengubah seseorang atau minimal mengusik kenyamanan mereka, tetapi sebenarnya ada empat alasan yang membuat penghakiman malah tidak benar-benar mengubah seseorang.

1.  Penghakiman tidaklah berasal dari hati yang mengasihi. Orang yang menghakimi tidak mengasihi orang lain. Bunda Teresa pernah mengatakan, “Jika kamu menghakimi orang lain, kamu tidak akan punya waktu untuk mengasihi mereka.” Inilah mengapa orang tidak suka dihakimi. Secara alamiah, mereka tidak merasa dikasihi.

2.    Sekalipun kita benar, penghakiman adalah langkah yang salah. Ketika seseorang melakukan kesalahan, orang tersebut harus mengakui atau memahami kesalahannya sendiri terlebih dahulu. Ketika kita menghakimi orang lain, kita sedang memaksa mereka untuk mengakui kesalahan mereka. Terkadang cara ini berhasil – pada masalah ekstrim. Sayangnya, pada kebanyakan kasus sikap ini tidak bisa diterima. Mereka yang dihakimi merasa sedang diserang dan mudah diterka, reaksi mereka akan balas menyerang!

3.   Penghakiman adalah dekonstruksi tanpa rekonstrusi. Kita menghancurkan sebuah rumah, tetapi tidak membangunnya kembali. Orang-orang yang kita hakimi mempunyai latar belakang yang berbeda-beda yang membuat mereka bertindak seperti itu. Penghakiman akan gagal mengubah seseorang karena penghakiman bukanlah faktor kunci dari cara untuk berubah. Perubahan diri harus dimulai dengan perubahan konsep, latihan rohani, lingkungan yang mendukung dan pertolongan Allah. Proses perubahan itu panjang dan sulit.

4.   Penghakiman yang kita berikan bisa saja salah. Pepatah lama menunjukkan kesalahan ini, “Jangan menghakimi orang lain sebelum kamu berjalan satu mil bersama mereka.” Apa yang kita ketahui tentang orang lain sangatlah terbatas. Kita tidak tahu apa yang mereka rasakan dan apa yang mereka alami. Philo dari Aleksandria pernah mengatakan, “Berbuat baiklah, karena semua orang yang kamu temui menghadapi pergumulan besar.”

Ketika kita merasa berada di pihak yang benar, berusaha mengerjakan kehendak Allah, dan kemudian menyaksikan banyak kelaliman di sekitar kita, rasanya ingin agar Tuhan segera menghukum dan melenyapkan orang-orang durjana itu. Namun, cerita perumpamaan yang disampaikan Yesus tentang “Lalang di tengah gandum” (Matius 13:24-30, 36-43) berbicara sebaliknya. Bukan segera membinasakan si jahat, melainkan bagaima harus terus bertumbuh sampai berbuah di tengah-tengah pelbagai tindakan kelaliman.

Perumpamaan Yesus ini menanamkan kesabaran kepada setiap kita yang hidup di lingkungan yang jahat. Kerajaan Allah yang hadir dalam diri orang-orang benar, selalu berada di tengah masyarakat yang mengabaikan Allah dan kehendak-Nya. Dalam kondisi ini, bisa saja timbul niat untuk membasmi, memerangi “mencabut sampai ke akar-akarnya” segala kejahatan dan pelakunya, karena ketakutan yang jadi pepatah, “Tanam lalang tidak akan tumbuh padi” Jadi, sebelum menjadi besar, cabut saja lalangnya!

Apakah mereka harus mencabut lalang itu? Yesus melarangnya dengan alasan demi keamanan “gandum”, lalu disusul dengan perintah untuk membiarkan keduanya sama-sama tumbuh sampai masa panen tiba. Yesus menghendaki orang benar hidup bersama dengan orang tidak benar dalam kesabaran dan belaskasihan, baik dalam persekutuan murid-murid maupun di tengah masyarakat umum, sampai saatnya Tuhan sendiri yang benar-benar menghakimi.

Yesus menghendaki agar orang-orang yang melakukan kehendak Allah tidak menghakimi, lalu atas nama penegakan kebenaran menjadi jahat dengan membasmi mereka yang gagal atau menolak melakukannya. Mereka diajar untuk sabar hidup berdampingan. Yesus meminta kesabaran sampai pada waktu menuai, yakni hari penghakiman Tuhan sendiri. Sebelum hari  itu tiba, lazimnya diberi kesempatan untuk bertobat. Jika Tuhan saja begitu sabar sampai “menanti musim menuai” di akhir zaman, maka mestinya setiap pengikut Tuhan haruslah bersikap seperti itu. Sabar! Hendaklah kita benar-benar percaya dan beriman pada kuasa Tuhan dan keadilan-Nya. Perumpamaan ini, selain memberi peringatan keras dan gamblang terhadap orang-orang yang terus berbuat jahat, pengadilan Tuhan juga memberi pengharapan kepada umat-Nya yang tetap sabar dan setia, sebab mereka akan dikumpulkan Allah dalam kemuliaan-Nya.

Sebuah pertanyaan muncul, “Apakah dengan begitu kita melakukan pembiaran terhadap pelbagai tindakan kejahatan?” Sepintas terasa seperti itu. Namun, kita harus mengingat kata kunci “sabar”. Sabar, bukan berarti pasrah dan tidak melakukan apa pun! Ingat ketika kita mengatakan bahwa Tuhan itu panjang sabar, hal ini tidak berarti Tuhan tidak melakukan apa pun dan membiarkan orang berdosa terus melakukan kejahatan mereka. Tidak! Kesabaran Allah adalah kesabaran “aktif”. Ia tidak segera menghukum dan membinasakan orang berdosa. Ingatlah pesan para nabi dalam Perjanjian Lama, sebelum memberitakan murka Allah selalu ada peringatan untuk bertobat, berbalik kepada Allah.  selalu memberi peringatan dan kesempatan untuk bertobat. Kesabaran-Nya membuat Ia mengutus para nabi menyampaikan pesan pertobatan. Kesabaran-Nya ditunjukkan dengan merelakan Anak-Nya yang Tunggal untuk menebus dosa manusia. Kesabaran-Nya terus berlangsung melalui Roh Kudus yang mengetuk setiap pintu hati manusia untuk mengingatkan akan kekeliruan langkah. Pendeknya, kesabaran-Nya bukan kesabaran pasif!

Ketika kita mengenakan cerita perumpamaan ini, saya yakin tak satu pun kita mengidentikkan diri dengan ilalang. Pasti maunya kita disebut “gandum”. Sebagai gandum tugas kita adalah berbuah, bukan menghakimi dan mengutuki mengapa di sekitar kita banyak lalang. Lalang sepintas tumbuh seperti gandum, nyaris sama. Mungkin saja sepintas prilaku orang-orang baik dan orang-orang jahat sulit dibedakan. Namun, ingatlah bahwa “pohon” itu dikenal dari buahnya. Kesabaran kita harus disertai dengan kejelian dalam berprilaku. Tidak terjebak dalam cara-cara mereka bertindak. Dan di atas semua itu, dalam kesabaran kita harus menghasilkan buah. Jangan hanya pandai mengkritik, menghakimi, mengutuk, mencaci maki dan menyesali kejahatan; berikan contoh bagaimana seharusnya kita berprilaku. Ingatlah bahwa kita tidak mungkin mengubah dunia, yang paling memungkinkan adalah bahwa terlebih dahulu kita berubah, selanjutnya perubahan itu akan menghasilkan buah…

Jakarta 20 Juli 2017