Jumat, 30 Juni 2017

KERAMAHAN KEPADA ORANG KECIL

Hari-hari dalam minggu ini sudah dipastikan di kota-kota besar tanah air menjadi lengang lantaran sebagian penduduknya mudik. Mudik sudah menjadi tradisi tahunan di negeri ini. Pulang kampung merupakan dambaan bagi banyak orang setelah setahun mereka bekerja. Apa pun akan ditempuh seperti kemacetan di jalan raya sampai menghadapi pelbagai risiko dalam perjalanan. Sebaliknya, masyarakat di Ibu Kota atau kota-kota besar sebagian merasakan nyamannya berkendara, nyaris tidak ada lagi kemacetan. Namun, banyak pula yang merasakan kehilangan tenaga-tenaga yang membantu meringankan beban pekerjaan rumah tangga. Bagi sebagian orang hal ini dijadikan peluang bisnis. Mereka menyalurkan pekerja rumah tangga sementara atau infal dengan bayaran berlipat ganda dari biasanya. Kegiatan-kegiatan di gereja untuk sementara waktu dikurangi dengan alasan tidak ada orang di rumah yang membereskan pekerjaan rumah. Di sinilah orang-orang yang terbiasa dilayani menjadi kerepotan!

Banyak orang menjadi kehilangan orang-orang “kecil” mana kala mereka tidak ada. Namun, ketika mereka ada, seringkali kehadirannya tidak dianggap. Jangankan bercengkrama mendengar isi hati dan pergumulan mereka, lewat di depan kita pun seolah tidak terlihat. Mereka dipanggil dan diajak bicara ketika diminta mengerjakan ini dan itu. Dalam dunia bisnis dan industri, nasib orang-orang “kecil” tidak lebih baik, dimanfaatkan ketika tenaga dan pikirannya diperlukan. Hal yang lebih tragis terjadi dalam dunia politik. Mereka didekati, dibujuk dan diiming-imingi janji-janji surga ketika musim kampanye dan pemilihan umum. Selanjutnya, setelah pesta demokrasi usai, alih-alih memenuhi janji, mereka dihianati. Sangat mungkin dalam hati orang-orang “kecil” ini, mereka akan mengatakan, “mau enaknya sendiri!”

Kebiasaan hidup hanya mau enaknya sendiri nyaris menembus semua aspek kehidupan manusia. Mulai dari dalam rumah sampai pada sistem birokrasi pemerintahan. Mulai dari sekolah sampai ke dunia kerja. Di rumah, ada begitu banyak keluhan kaum ibu yang merasa tugas tanggungjawab rumah tangga harus diselesaikan sendiri, belum lagi tugas untuk merawat dan mendampingi anak. Sehingga banyak kaum ibu berkeluh-kesah, protes dan ngedumel, namun tak mampu diungkapkan secara langsung, “Dasar lelaki hanya mau enaknya sendiri!”

Bagaimana dengan kehidupan beragama? Apakah bebas dari budaya mau enaknya sendiri? Oh, ternyata tidak. Nggak percaya? Mari kita periksa doa-doa kita. Apa doa yang kita ucapkan dalam doa makan ketika ada kenduri atau ucapan syukur. Yup, pasti ada ucapan syukur bahwa Tuhan menyediakan makanan untuk kita! Lalu, kita minta Tuhan berkat lagi, agar makanan itu menjadi kesehatan dan kekuatan bagi tubuh kita. Selanjutnya, biar kedengaran saleh, tak lupa meminta Tuhan memerhatikan mereka yang miskin dan kekurangan makan untuk diperhatikan oleh Tuhan. Nah, apakah ini bukan praktek mau enaknya sendiri. Lah, kita yang sedang makan masih nyuruh Tuhan juga untuk memberi makan bagi yang kekurangan, bukankah Tuhan memercayakan kepada kita untuk berbagi makanan dengan mereka. Bukan hanya itu saja seringkali kita pandai menggugat janji-janji Tuhan. Bahkan ada ajaran tertentu yang mengharuskan kepada pengikutnya untuk tidak segan-segan mengklaim /menggugat janji Tuhan. Seolah Tuhan sudah melupakan janji-janjiNya. Sebaliknya, kita jarang menggugat diri-sendiri, seberapa jauh menaati atau berkomitmen mengikut Tuhan dan memberlakukan ajaran-Nya. Yang ini juga mau enaknya sendiri!

Jika kita menelusuri lebih jauh, maka praktek hidup mau uenake dewe sudah lama ada dalam kehidupan umat Tuhan di Perjanjian Lama. Kehidupan Israel, sering digambarkan sebagai umat yang hanya mau enaknya sendiri. Sejak mereka keluar dari perbudakan di Mesir. Mereka ogah menderita, ada kesulitan sedikit saja mereka ngomel kepada Musa. Selanjutnya, dalam bacaan kita hari ini (Yeremia 28:5-9), sebagian umat Israel lebih suka mendengar pemberitaan yang disampaikan oleh Hananya, yang mereka angkat sebagai nabi ketimbang mendengar suara Nabi Yeremia. Mengapa? Sebab apa yang disampaikan oleh Hananya adalah berita-berita yang menyenangkan. Berita yang menghibur! Yakni, bahwa damai sejahtera dari Allah itu akan tetap menyertai bangsa itu, oleh karena mereka adalah umat pilihan, umat yang istimewa. Perbuatan mereka tidak berpengaruh terhadap kasih karunia yang Allah berikan kepada mereka. Sebaliknya Yeremia menekankan pertanggungjawaban etis, artinya perbuatan dan prilaku yang pantas sebagai umat Tuhan. Bagi Yeremia simpel saja, waktu akan membuktikan mana yang berasal dari Allah dan yang bukan.

Bukankah gaya pemberitaan yang disampaikan Hananya sampai saat ini masih laku? Para pengkhotbah macam ini akan selalu menekankan keberhasilan, kesuksesan, perlakuan istimewa dari TUHAN oleh karena kita semua adalah anak-anak-Nya, anak Raja! Dan jarang sekali mengingatkan bagaimana seorang anak Tuhan itu harus dengan setia, meskipun menderita memberdayakan semua kekuatannya untuk melakukan kehendakNya.

Paulus mengajarkan kepada jemaat di kota Roma (Roma 6:12-23), bahwa setiap orang yang percaya kepada Kristus, ia sudah diselamatkan dari dosa-dosanya kini jangan lagi menghambakan diri pada dosa, melainkan berusaha sedemikian rupa memuliakan nama Tuhan. Mendayagunakan seluruh anggota tubuhnya sebagai senjata di tangan Allah untuk kebenaran. Nah, jelas hidup yang seperti ini tidak mudah, tidak enak! Bayangkan sekarang apa artinya bahwa setiap anggota-anggota tubuhmu diserahkan kepada Allah (Rm.6:13b). Dalam tafsiran saya yang sederhana, begini: Tuhan sudah menciptakan kita dengan berbagai macam anggota tubuh dan panca indra. Dulu, ketika dosa masih menguasai kita maka kita mengeksploitasi anggota tubuh atau panca indra kita untuk memuaskan hawa nafsu kita. Namun, sekarang mestinya kebalikan dari itu. Tuhan menciptakan kita dengan mata untuk melihat. Dulu kita melihat hal-hal yang menyenangkan dan memanjakan nafsu kita. Nah, sekarang bisakah mata itu kita pakai seperti matanya Kristus, yang melihat penderitaan manusia kemudian bertindak dan menolongnya. Tuhan menciptakan kita dengan telinga untuk mendengar. Nah, sekarang bisakah telinga kita dipakai sama seperti telinga Kristus, yang dengan tajam mampu mendengar suara BapaNya, mendengar derita di sekelilingNya, lalu bertindak menolong. Demikian juga dengan seluruh anggota tubuh kita yang lain.  

Tuhan Yesus sudah mempercayakan tugas untuk meneruskan karyaNya itu kepada semua pengikutNya, termasuk Anda dan saya. Maka ia menegaskan, “Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku.”(Matius 10:40) Dapatkah kita menjadi utusan yang baik jika pola hidup kita hanya mau enaknya saja? Tentu saja mustahil. Kehadiran kita dapat menjadi berkat apabila tutur kata dan cara kita hidup benar-benar belajarlah seperti Kristus. Dia Anak Allah tetapi tidak menggunakan hak itu untuk kepentinganNya sendiri, melainkan untuk kebaikan dunia ini. Jadi pergunakanlah seluruh anggota tubuhmu untuk kemuliaan namaNya, sebab kita semua sudah ditebus olehNya. Sambutlah orang-orang yang mungkin kita anggap remeh atau kecil dengan sebaik-baiknya. Perlakukan mereka sebagai sesama dan anggota keluarga kita sendiri.


Lebaran, 2017

Kamis, 22 Juni 2017

PENGHARAPAN DI TENGAH RATAPAN

Pernahkah Anda menyesali mengapa harus dilahirkan ke dunia ini? Jawabnya bisa “Ya” dan bisa juga “tidak”, semua tergantung kepada pada yang kita alami dan memaknai setiap peristiwa itu. Ketika hidup kita diwarnai oleh kegembiraan dan “anggur sukacita” rasanya penyesalan atas hidup tidak mungkin terucap. Alih-alih mengutuki hari kelahiran, seperti Nabi Yeremia, kita akan merasakan waktu ini berjalan dengan sangat singkat! Ya, benar ketika kita merasakan kebahagiaan waktu terasa berjalan begitu cepat. Berbeda ketika penderitaan menerpa kita, sang waktu rasanya begitu amat lambat. 


Yeremia meratapi hari kelahirannya. Seolah ia menyesali keterpanggilan-Nya dalam misi Allah untuk menyelamatkan Israel. Yeremia dituduh sebagai orang yang melemahkan rasa nasionalisme bangsanya karena ia – tentu atas dasar firman TUHAN yang ia dengar – menyarankan agar bangsanya tunduk pada raja Babel. Ia menjadi bahan cemoohan, sudah tentu pula ada yang mendakwanya sebagai antek-antek asing dan penghianat bangsa. “Mestinya dia memotivasi setiap orang Israel untuk mengangkat senjata, berperang memertahankan kehormatan mereka, tetapi mengapa dia mengajak kita menyerah?” Begitu mungkin orang-orang Israel bergumam tentang aktivitas Yeremia. Tidak hanya sekedar cemooh, tuduhan, tetapi tindakan kekerasan fisik diterimanya. Yeremia pernah dipukul dan dimasukkan dalam perigi. Beberapa kali ia mengalami bahaya maut. Bukankah hal yang wajar kalau Yeremia menyesali dan berkelu- kesah atas tugas yang ia emban? Ternyata menjadi hamba-Nya justeru membawa Yeremia menjadi sulit. Namun, betul-betulkah Yeremia kecewa atas panggilannya, lalu meragukan dan menyesali hari kelahirannya?

Coba simak perkatan Yeremia setelah mengungkapkan semua kekecewaannya, Tetapi TUHAN menyertai aku seperti pahlawan yang gagah,…” (Yer.20:11). Boleh saja dalam prosesnya – sama seperti semua orang yang punya asa dan perasaan –  Yeremia kecewa, berkelu-kesah dan menyesali hari kelahirannya. Namun, dalam perjalannya bersama dengan TUHAN, ia merasakan bahwa TUHAN menyertai, memberi kekuatan bahkan kemenangan. Keyakinan dan pengharapan inilah yang membuat Nabi Yeremia tetap setia menyuarakan suara TUHAN di tengah segala ancaman dan bahaya maut sekalipun. Seberapa beratnya  tantangan, penderitaan dan aniaya ketika seseorang memiliki keyakinan dan pengharapan bahwa ia tidak sendiri dan mempunyai kekuatan maka ia akan tetap teguh berdiri untuk menyelesaikan tugasnya itu sampai tuntas! Seorang pelaut betapa pun ia melihat kelombang besar di hadapannya, namun ketika ia mempunyai keyakinan bahwa kapalnya itu mampu melewati badai dan ia mempunyai pengharapan akan adanya pelabuhan di balik badai itu maka ia tidak akan menyerah terhadap segala ketakutannya itu, melainkan ia akan terus berusaha menghadapi badai. Seorang petani akan terus menanam dan merawat tanamannya dengan baik meskipun di tengah cuaca yang tidak menentu oleh karena ia yakin di ujungnya nanti akan menuai hasil dari jeri lelahnya!

Selain kemampuan dan kepandaian, keyakinan dan pengharapan mutlak dibutuhkan oleh setiap orang dalam mengerjakan sebuah misi. Murid-murid Yesus diutus untuk sebuah misi, yakni meneruskan pemberitaan bahwa Kerajaan Sorga sudah dekat (Mat.10:7). Sebagai tandanya, mereka akan menyembuhkan orang sakit, mentahirkan orang kusta, mengusir Setan-setan, bahkan membangkitkan orang mati (Mat.10:8). Mereka telah menerima kuasa itu dari Yesus, kini mereka harus segera melaksanakan mandat itu!

Namun ternyata ladang tempat mereka diutus itu bukanlah tempat yang menyenangkan. “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala,…” (Mat.10:16). Sejak dari awal Yesus mengingatkan sebuah kondisi yang sangat tidak aman apalagi nyaman bagi para murid untuk mereka bekerja. Mereka akan masuk dalam dunia “serigala”. Serigala-serigala itu bisa melukai, mencabik-cabik, bahkan memangsa! Untuk itu Yesus menguatkan mereka, “Jadi, janganlah kamu takut kepada mereka,…” (Mat.10:26). Berkarya sebagai utusan Tuhan itu sesungguhnya mengerikan, lihat saja pengalaman Yeremia. Namun toh akhirnya dia bisa mengatasinya. Rasa ngeri, takut dan gentar hanya bisa diatasi dengan keyakinan penuh bahwa Sang Pengutus itu pastilah tidak tinggal diam. Sang Pengutus itu mengatakan bahwa si penganiaya itu paling banter hanya dapat membinasakan tubuh tetapi tidak berkuasa membunuh jiwa.

Janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.” (Mat.10:28). Terdapat kontras yang tajam antara apa yang dapat dilakukan oleh manusia “ia hanya dapat membunuh” dan apa yang dapat dilakukan oleh Allah, yakni: “dapat membinasakan!” Kata tubuh biasa dipakai oleh orang-orang Yahudi dalam arti manusia seluruhnya sebagai makhluk fisik. Sedangkan kata jiwa diterapkan pada manusia seluruhnya sebagai makhluk yang hidup dan dapat diterjemahkan dengan “jati diri”. Bagi orang Yahudi dan juga rumpun bangsa Semit pada umumnya, tubuh dan jiwa bukanlah dua bagian dari manusia yang dapat terpisah satu sama lain. Dalam konteks ungkapan Yesus kalimat itu dapat berarti, “Manusia yang engkau takuti tidak dapat membunuh hidup  itu sendiri, yaitu hidup dalam arti sesungguhnya, mereka tidak dapat membunuh semangat, keyakinan dan pandangan hidupmu!”

Setelah Yesus menyatakan bahwa Allah lebih berkuasa dibandingkan dengan para penganiaya itu, Ia kemudian menjamin bahwa setiap utusan Allah itu sangat berharga di hadapan-Nya. Yesus membandingkan dengan burung pipit yang dijual dengan harga murah sekali, namun tidak ada seekorpun yang jatuh ke bumi dan mati luput dari perhatian-Nya. Di sini Yesus mau mengatakan bahwa sekecil atau semurah apa pun dihargainya makhluk hidup oleh manusia tetap diperhatikan Allah. Allah tidak meninggalkan makhluk apa pun di saat kematiaannya, apalagi  manusia yang menjadi utusan-Nya. Jaminan itu nyata dalam ungkapan, “Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung semuanya. Karena itu janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga daripada banyak burung pipit.” (Mat.10:30-31).

Setelah Yesus membekali para murid dengan kuasa, kemudian Ia juga memberikan jaminan bahwa Allah begitu menyayangi mereka dan tentunya juga akan memelihara dan melindungi mereka. Kini, yang harus diperlihatkan oleh para murid itu adalah ketulusan, keyakinan, dan keberanian dalam menjalankan semua mandat Tuhan. Di tengah ancaman bahkan aniaya, mereka diminta untuk setia dan tidak menyangkal. Konsekuensinya jelas menyangkal berarti akan disangkal juga!

Dalam kenyataannya tetap saja tidak mudah untuk menjalankan misi itu. Kita bisa melihat bagaimana Yudas yang memilih kompromi dengan para srigala yang memusuhi Yesus. Petrus yang gentar dan terpaksa tiga kali menyangkal Yesus. Meskipun murid-murid seperti itu, namun Yesus terus menyertai dan memulihkan mereka. Sayang, Yudas memilih untuk terus sebagai penghianat sampai akhir hidupnya sedangkan Petrus menyambut pemulihan dari Tuhan. Betul, para murid jatuh bangun dalam menjalankan misi Allah, namun lihatlah  walaupun tubuh mereka mati dengan penganiayaan berat, ada yang dirajam batu, disalibkan terbalik, dibantai dan seterusnya namun semangat atau jiwa mereka terus hidup. Injil terus tersebar sampai ke ujung-ujung bumi. Terbukti, para srigala itu hanya dapat membunuh tubuh tetapi tidak dapat membunuh jiwa mereka!

Kini, Tuhan juga mengutus kita dalam konteks dunia kita masing-masing. Ia menginginkan kita menyuarakan kebenaran seperti yang disuarakan Yeremia. Tuhan menghendaki kita tidak hanya mampu bersuara tetapi juga mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Sorga, yakni dengan memulihkan kelemahan-kelemahan manusia, meneruskan cinta kasih Bapa yang berbelarasa kepada yang lemah dan tertindas serta memperagakan apa yang telah diajarkan dan dilakukan oleh Yesus Kristus. Dia menghendaki supaya dalam kehidupan kita, orang-orang melihat cinta kasih Yesus!


Jakarta, 22 Juni 2017