Jumat, 02 Juni 2017

ROH KUDUS MEMULIHKAN DAN MEMPERSATUKAN

Hari Minggu yang lalu kita menghayati tema, “Tetap Menyatu di Tengah Tekanan.” Kemarin, 1 Juni kita merayakan hari lahir Pancasila sebagai dasar kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Hari Minggu ini, 4 Juni 2017 bertepatan dengan perayaan Pentakosta, tema perenungan kita “Roh Kudus Memulihkan dan Mempersatukan.” Sepertinya bukan sebuah kebetulan, di tengah perbagai kemelut, maraknya ujaran kebencian dan gugatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, beberapa minggu ini, kita diingatkan kembali akan pentingnya kesehatian dan persatuan baik sebagai sesama anak bangsa maupun persekutuan sebagai saudara seiman.

Jauh sebelum terjadinya perpecahan dalam jemaat Tuhan, Paulus mengingatkan pentingnya kebersamaan dan kesatuan sebagai umat Tuhan. Mengapa? Karana, “Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang….Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Krisrus. Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dalam satu Roh.” (1 Korintus 12:4-6, 12-13). Sebelumnya dalam 1 Korintus 1:10, Paulus mengingatkan, “tetapi aku mengingatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir.

Paulus menyadari betapa mudahnya orang bermusuhan karena perbedaan ras, kelompok, golongan, kelas sosial dan juga karena perbedaan pengajaran, ideologi dan doktrin. Paulus meminta mereka untuk “seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu.” Kalimat ini mudah diucapkan namun pertanyaanya, “Bagaimana mungkin bisa seia sekata dengan orang yang berbeda pendapat? Bagaimana mungkin kita dapat bersatu dan sehati sepikir dengan orang yang jelas-jelas punya pendirian yang berbeda? Haruskah kita membuang konsep, opini, atau ajaran kita sendiri demi tidak persatuan itu?

Benar, kita tidak mungkin bisa setuju dan selalu mengiayakan pendapat, keinginan apalagi doktrin dan ajaran yang berbeda dengan kita. Kita tifak pernah dapat saling setuju, namun kita dapat dan harus setuju, seia-sekata dengan satu hal, yakni: bahwa Yesus adalah Tuhan. Satu-satunya cara untuk kita dapat “seia-sekata dengan orang lain” – sebagaimana Paulus menasehati jemaat Korintus – adalah dengan membedakan hal yang sesensial dengan yang bukan esensial. Kemudian mencari cara untuk mengasihi orang lain yang berselisih pendapat dengan kita dalam hal yang tidak esensi itu. Hal-hal yang tidak esensi itu bukannya tidak penting. Namun, tidak cukup penting untuk memisahkan diri atau bahkan memusuhi satu dengan yang lain. Esensi baptisan adalam pengakuan percaya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Yang bukan esensi adalah metode dan cara pembaptisan. Jadi, metode dan cara baptisan jelas penting. Namun, tidak cukup penting untuk kita bertengkar apalagi saling membenci! Tidak cukup alasan yang kuat buat saya membenci Anda lantaran Anda dibaptis dengan cara diselam, sementara saya dibaptis dengan cara percik!

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama dan keyakinan iman kita adalah penting dan mutlak untuk kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, tidak cukup alasan itu untuk kita membenci bahkan memusuhi orang yang berbeda dengan kita! Justeru agama dan keyakinan iman diuji dalam mengasihi dan merangkul orang yang berbeda bahkan yang memusuhi sekalipun!

Dalam keyakinan iman kita, Roh Kuduslah yang memunculkan kesadaran baru, memulihkan pesimisme menjadi optimis. Dialah yang menyadarkan untuk kita dapat bergandengan tangan dengan orang yang berbeda, dari berbagai kelompok, golongan, suku, ras dan status sosial. Roh Kuduslah yang menghimpun orang percaya dari pelbagai penjuru dunia untuk mengerti dan mengenal karya kasih Allah. Peristiwa Pentakosta menegaskan itu.

Pentakosta merupakan suatu pesta iman. Dirayakan pada hari kelima puluh setelah Paskah. Sering juga disebut pesta tujuh pekan. Awalnya pesta itu adalah pesta syukur atas panen raya. Tetapi lambat-laun pesta itu dijadikan kesempatan perayaan iman untuk mengenangkan kembali peristiwa Sinai, ketika Allah menyampaikan hukum-hukum-Nya (Taurat) kepada Musa. Pesta Pentakosta berkembang menjadi pembaruan janji setia akan hukum Musa. Mereka mau setia karena Allah memenuhi janji-Nya, bukan hanya dengan keberhasilan panen, melainkan juga dengan menganugerahkan Roh-Nya.

Dalam peristiwa Sinai itu perwahyuan hukum-hukum Allah disertai oleh gejala-gejala alam yang menakutkan: api, asap dan gempa  (Kel.19: 18 dst.). Kini, Pentakosta dalam Perjanjian Baru juga disertai dengan tanda-tanda luar biasa. Tanda-tanda itu adalah lidah-lidah api dan angin yang memampukan para murid menjadi saksi kekaguman dan kegembiraan iman. Mereka juga dimampukan memahami segala yang dipesankan Yesus untuk keselamatan umat manusia. Dengan cara itu, Lukas menerjemahkan kembali tradisi Pentakosta yang menunjukkan bahwa penatua Israel akhirnya juga mampu memahami apa yang menjadi pesan Allah kepada Musa agar mereka setia kepada perjanjian dengan Allah. Kesetiaan itu tampak dalam ketertiban dalam melaksanakan hukum-hukum Allah yang diwartakan oleh Musa kepada Israel. Kini “Musa Baru”, yakni Yesus Kristus, mengutus Roh-Nya untuk mendampingi para murid-Nya mengenali apa yang menjadi pesan dan perintah-Nya bagi kehidupan. Mereka berhasil “menerjemahkan” dalam bahasa yang dimengerti oleh setiap orang yang datang dari pelbagai peloksok negeri.

Pada waktu itu banyak peziarah datang dari berbagai peloksok daerah pada perayaan itu (ingat peristiwa Pentakosta dalam Perjanjian Lama mewajibkan orang-orang Yahudi yang tinggal dipelbagai wilayah untuk datang ke Yerusalem untuk mengucap syukur pada pesta panen dan sekaligus merayakan turunnya Taurat Tuhan kepada Musa). Para peziarah inilah yang ikut hanyut dalam saksi kegembiraan dan gairah baru yang dianugerahkan Roh Kudus terhadap segala bangsa. Itulah yang kemudian akan menjadi “ladang” para murid Yesus menyampaikan Injil sampai ke ujung-ujung bumi. Berita itu menjadi berita sukacita antar lintas bangsa.

Daftar bangsa-bangsa yang dicatat Lukas ini menunjukkan bahwa Injil bukan hanya diperuntukkan satu bangsa dengan satu bahasa saja. Kisah ini menegaskan keanekaragaman dan kebhinekaan saksi peristiwa Pentakosta yang baru tersebut. Ayat-ayat ini menyebutkan 15 bangsa dan negeri. Dari wilayah-wilayah itu hadir orang-orang Yahudi dan proselit. Daftar itu mula-mula menyebutkan bangsa-bangsa yang diam di sebelah timur Palestina, di wilayah Efrat dan Tigris, kemudian wilayah sebelah barat dan di provinsi koloni Romawi, Asia Kecil dan menyusul di daerah-daerah Selatan (Mesir dan Libia) dan akhirnya disebut pusat Kerajaan Romawi. Pada masa itu di setiap daerah yang disebutkan terdapat pemukiman-pemukiman Yahudi. Mereka yang sudah berdiam turun-temurun di luar Palestina, tentu sudah terbiasa menggunakan bahasa di mana mereka tinggal. DI samping orang Yahudi dan keturunan Yahudi, ada juga dari pelbagai wilayah itu orang-orang lokal yang menganut Yudaisme atau proselit. Terakhir, disebutkan orang-orang Kreta (di Laut Tengah) dan orang-orang Arab. Ini menggambarkan keberagaman manusia seluruh dunia.

Pada saat itu mereka dikejutkan oleh tiupan angin keras dan lidah-lidah api. Kemudian orang-orang Galilea itu berbicara kepada mereka. Semakin besarlah keheranan orang-orang yang berkumpul di Yerusalem yang berasal dari pelbagai peloksok negeri itu karena ternyata mereka mendengar orang-orang Galilea itu berbicara menggunakan bahasa mereka sendiri! Kita dapat membayangkan, mereka adalah peziarah dari pelbagai negeri, mereka ada di Yerusalem sebagai “orang asing”. Namun kini, mereka diajak bicara dengan bahasa ibu mereka masing-masing. Hal tersebut pastinya memberi kesan yang mendalam. Apalagi, yang mereka dengar adalah berita yang teramat dasyat. Berita tentang keselamatan!

Isi dari warta gembira dirumuskan dengan singkat, yakni karya Allah yang menakjubkan. Pentakosta adalah pesta kegembiraan yang membebaskan orang untuk menyerukan karya-karya agung Allah dalam kehidupan, terutama tentang peristiwa Yesus Kristus dalam bahasa yang dapat dimengerti. Dalam pesta ini kesempatan untuk mewartakan kegembiraan itu secara penuh sudah tiba, dan para rasul mendapatkan tugas meneruskan warta gembira itu kepada segala bangsa. Roh Kudus menolong menjamin bahwa mereka yang mendengarnya mengerti dan memahami pesan yang disampaikan para rasul  itu.

Jelaslah Alkitab menyatakan bahwa bahasa mereka bisa dimengerti oleh orang-orang yang datang dari pelbagai peloksok itu bukan karena mereka sebelumnya ahli atau telah fasih menggunakan bahasa-bahasa itu. Allahlah, melalui kuasa Roh Kudus yang telah dicurahkan itu yang memampukan mereka untuk berbicara dan dimengerti oleh para pendengarnya. Allah yang menyapa dengan perantaraan para murid – orang-orang Galilea itu – tidak menuntut pendengarnya untuk terlebih dahulu belajar atau bisa berkomunikasi dalam bahasa Yahudi. Semenjak dari awal, Allah tidak menuntut manusia untuk mengerti bahasa-Nya. Melainkan Dia sendiri yang merendahkan diri-Nya menjadi manusia agar manusia mengerti bahasa cinta Bapa. Rasanya tidak berlebihan kalau Pentaskosta dipahami sebagai pesta keberagaman atau kebhinekaan yang dihargai dan diakui oleh Allah sendiri.

Selanjutnya para murid Yesus mewartakan iman bukan hanya dengan kata-kata, melainkan juga dengan kegembiraan hidup. Bahasa mereka adalah bahasa kehidupan, yang bisa dipahami dan ditanggapi dengan kehidupan juga. Itulah nantinya yang terwujud dalam kehidupan jemaat mula-mula. Peristiwa Pentakosta menjadi awal sejarah kehidupan baru, yakni Roh Kudus memulihkan para murid untuk berani bersaksi dan Roh Kudus jugalah yang menyatukan setiap bangsa dan bahasa untuk mengenal cinta kasih Allah.


Jakarta, Pentakosta 2017

Jumat, 26 Mei 2017

TETAP MENYATU DI TENGAH TEKANAN

Presiden Joko Widodo akhirnya angkat bicara merespons fenomena yang akhir-akhir ini mendera kesatuan Indonesia. Pernyataan Presiden itu diungkapkan usai menerima sejumlah tokoh lintas agama di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Selasa 16 Mei 2017 (Kompas.com)

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengatakan, “Saya baru saja bersilaturahmi dengan beliau-beliau, tokoh agama dari Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Konferensi Wali Gereja Indonesia, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia, Perwakilan Umat Buddha Indonesia, dari Hindu Dharma Indonesia dari Majelis Tinggi Konghucu Indonesia serta Palima TNI dan Kapolri untuk membicarakan dinamika kebangsaan yang menjadi perhatian kita bersama.

Saya senang mendengar komitmen semua tokoh agama dan umatnya untuk terus menjaga, terus mempertahankan, dan terus memperkokoh Pancasila dan UUD 1945 dalam bingkai NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Saya senang dan berterimakasih atas komitmen semua pihak untuk membangun demokrasi yang sehat dan mendukung penegakan hukum. Saya perlu tegaskan di sini bahwa kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul itu dijamin oleh konstitusi kita. Tapi saya juga perlu tegaskan bahwa kebebasan tersebut harus sejalan dengan koridor hukum. Harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Harus berada dalam bingkai NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Jikalau dalam beberapa waktu terakhir ini ada gesekan antar kelompok di masyarakat. Mulai saat ini saya minta hal-hal tersebut – gesekan-gesekan tersebut – untuk segera dihentikan.

Jangan saling menghujat, karena kita adalah saudara!
Jangan saling menjelekkan, karena kita adalah saudara!
Jangan saling memfitnah, karena kita adalah bersaudara!
Jangan saling menolak, karena kita adalah saudara!
Jangan saling mendemo, habis energi kita untuk hal-hal yang tidak produktif seperti itu!

Kita adalah saudara. Saudara sebangsa dan setanah air! Saya juga telah memerintahkan kepada Kapolri, kepada Panglima TNI untuk tidak ragu-ragu menindak tegas segala bentuk tindakan dan ucapan yang mengganggu persatuan dan persaudaraan. Yang mengganggu NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Yang tidak sesuai Pancasila dan UUD 1945. Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhai usaha kita bersama!

Jelas, Jokowi melihat gesekan atau tepatnya ancaman terhadap keutuhan NKRI tidak main-main. Serius! Pada kesempatan lain Presiden mengungkapkan penyesalannya atas ketertinggalan Indonesia dibanding negara-negara lain, termasuk negara tetangga. Tak bisa ditutupi raut muka kekecewaannya ketika menyatakan bahwa bangsa-bangsa lain sudah maju di depan, sementara Indonesia masih berkutat dengan urusan demo!

Tidak bisa dipungkiri dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa, persatuan dan kesatuan merupakan faktor utama dalam memajukan sebuah bangsa bukan masalah sumber daya alam. Coba tengok negara-negara yang terus dilanda konflik perpecahan, meskipun kaya raya dengan sumber daya alamnya, tetap saja menderita! Sebaliknya, negara-negara yang punya kesehatian, peduli terhadap sesama warganya, menghormati hak-hak sesama dan menjunjung tinggi hukum dan sportifitas, negara itu segera menjadi terkemuka. Lihatlah Singapore, Jepang apakah ada sumber daya alam yang mumpuni, jauh sekali dibandingkan dengan kekayaan Indonesia. Indonesia selamanya akan menjadi negara terkebelakang jika tidak bisa mengelola perbedaan sebagai sebuah kekayaan. Tidak bisa bersatu menghadapi tantangan zaman!

Kesatuan adalah modal utama dalam menghadapi tantangan, apalagi tekanan. Sejak kecil kita selalu diajari hikmat dari sapu lidi. Lidi hanya sebatang, tidak mempunyai fungsi yang berarti. Rapuh dan gampang dipatahkan, sebaliknya ketika diikat bersama-sama dengan yang lain, ia dapat berfungsi sebagai sapu dan tentunya tidak mudah untuk dipatahkan. Hal serupa terjadi dalam kehidupan umat Tuhan. Umat Tuhan dari zaman ke zaman selalu diperhadapkan dengan tantangan, tekanan, penderitaan, aniyaya dan penindasan. Mengapa? Dari doa yang dipanjatkan Yesus, tersirat bahwa, “…dan dunia membenci mereka, karena mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia.” (Yohanes 17:14). Untuk alasan inilah Yesus khusus berdoa untuk para murid-Nya. Ia tidak berdoa bagi dunia!

Mengapa Yesus hanya berdoa bagi murid-murid yang telah menerima dan menuruti Firman Bapa? Bukankah Bapa begitu mangasihi dunia sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal (Yoh.3:16)? “Dunia” yang dimaksud dalam Injil Yohanes adalah mereka yang menolak Anak yang diutus Bapa (Yoh.17:25). Dunia yang menolak ini, pada akhirnya akan diyakinkan tentang kesalahannya (Yoh.16:8-11). Dunia yang menolak dan menindas ini justeru nantinya menjadi “ladang” para murid yang diutus. Di samping itu doa Yesus untuk para murid disebabkan oleh alasan ganda, yakni: Mereka adalah milik Bapa yang diberikan kepada Anak (diri-Nya sendiri), dan mereka kini ditinggalkan di dalam dunia karena Yesus akan mencapai kemuliaan-Nya, disalibkan, mati, dibangkitkan pada hari ketiga lalu naik ke sorga kembali kepada Sang Bapa. Praktis secara fisik sudah tidak lagi bersama-sama mereka! Di saat peralihan ini, Yesus sekaligus berkata: “Aku masih ada di dalam dunia (ay. 13) dan Aku tidak lagi di dalam dunia (ay.11). Seperti sudah dalam perjalanan menuju Bapa. Maka – dengan cinta-Nya yang besar – Yesus memohon kepada Bapa untuk memelihara mereka. Yesus ingin mereka tetap bersatu. Ia pun rindu kesatuan itu seperti Ia dengan Sang Bapa!

Yesus tahu benar tantangan dan tekanan yang akan terjadi pada para murid. Selain kekuatan dan penyertaan Sang Bapa melalui Roh Kudus, tentunya kesehatian dan bersatunya mereka dalam menghadapi pelbagai tantangan merupakan senjata utama.

Pada tahapan awal setelah Yesus naik ke sorga, ternyata benar. Para murid bertekun, sehati, sepikir, mereka bersatu sehingga betapa beratnya pun tantangan, tekanan bahkan aniaya, mereka terus melakukan tugas kesaksian itu. Mereka bahu-membahu. Namun, ketika jumlah orang percaya terus bertambah menjadi besar, bibit-bibit perpecahan itu mulai tampak. Dalam Kisah Rasul 6 mulai ada sungut-sungut lantaran ada orang-orang miskin terabaikan. Bersyukur masalah itu cepat ditangani dengan diangkatnya tujuh orang untuk melayani kebutuhan orang-orang miskin. Demikian pula di jemaat Korintus timbul kelompok-kelompok. Ada yang menyebut golongan Paulus, Apolos, Kefas dan Kristus. Jemaat-jemaat yang lain juga sama. Di Kolose, ada kelompok Yunani dan Yahudi; bersunat dan tidak bersunat, orang Barbar atau orang Skit. Untuk meredamnya, Paulus mengatakan, “Dalam hal ini tidak ada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.” (Kolose 3:11).

Rupanya perpecahan itu seperti virus yang ada dalam gereja, terus menjalar dan menyebar. Ketika gereja sudah sedemikian besar. Kaisar menyatakan Kristen sebagai agama negara maka semakin seringlah konflik berdasarkan cara pandang, tafsir dan doktrin tertentu yang berdampak memecah belah umat Tuhan. Coba amati sekarang di tempat-tempat murid-murid Tuhan dulu berkarya, di tempat-tempat lahirnya bapa-bapa gereja, kekritenan nyaris lenyap. Lihatlah bekas tujuh jemaat yang dikirimi surat Wahyu Yohanes, tempat lahirnya Paulus (Tarsus, Turki), tempat lahirnya Agustinus (Aleksandria, Mesir), Athanasius, Origenes dan lainnya, di tempat-tempat itu kekristnan hanya tinggal puing. Itulah buah dari perpecahan.

Mungkin kita bertanya, “Apakah kalau demikian doa Yesus para pengikutnya tetap bersatu tidak manjur atau tidak didengar Bapa-Nya?” Doa tidak meniadakan upaya manusia untuk berusaha. Doa tidak menggantikan jeri-lelah manusia. Yesus berdoa untuk penyatuan, tentu didengar oleh Bapa-Nya. Namun, manusia, dalam hal ini para pengikut Yesus juga tidak berarti  berpangku tangan, lalu kemudian penyatuan itu terjadi dengan sendirinya. Tidak! Manusia harus berupaya untuk mewujudkan doa Yesus itu. Para pengikut Yesus harus menanggalkan ego mereka masing-masing, mencontoh Yesus. Bukankah sebelum Yesus berdoa, Ia juga telah membasuh kaki para murid? Tidak akan ada kesatuan tanpa menanggalakan ego!

Lalu, apakah kesatuan itu sama dengan keseragaman? Apakah kita tidak boleh berbeda pendapat? Tentu tidak. Kesatuan itu seperti Indonesia, berbeda-beda tetapi satu: Indonesia! Salah satu Bapa gereja, Agustinus mengatakan, ‘Dalam hal esensi, bersatulah; dalam masalah yang tidak dapat dipastikan, jangan kaku; dalam segala sesuatu berbuat baiklah.” John Wesley, menyukai aforisma ini, lalu memodifikasinya sedikit. Wesley percaya bahwa satu-satunya cara agar gereja dapat bersatu adalah dengan cara membedakan hal yang esensi dengan yang bukan esensi, lalu menemukan cara menerima perbedaan dalam hal yang tidak esensi, dan kemudian memastikan bahwa perbedaan itu tidak lebih dominan dari iman kita bersama. Wesley percaya bahwa kasih dan komitmen kepada Yesus adalah hal yang esensi. Segala sesuatu di luar itu tidak esensi. Kita dapat, dan akan terus berbeda dalam cara pikir, dalam gaya ibadah, dalam metode pembaptisan, namun semua perbedaan ini bukanlah esensinya. Satu-satunya esensi adalah: Apakah hati kita bergetar dalam kasih kepada Yesus? Jika ya, maka kita sehati. Maka dari itu kita bisa berkata: Yesus adalah Tuhan! Jika hati Anda bergetar dalam kasih kepada Yesus, maka gandenglah tangan saya dan mari kita berjalan dalam satu persekutuan menghadapi tantangan bahkan tekanan!

Jangan harap gereja dapat mengalahkan tekanan, apalagi memberikan sumbangsih bagi kesatuan Republik Indonesia, kalau antara sesama murid Yesus saja saling sikut dan tidak bisa menyatu!



Jelang Pentakosta 2017