Rabu, 24 Mei 2017

JANJI-NYA DIBERIKAN PADAMU

Pemilihan Umum Kepala Daerah sudah berakhir. Namun,  masih menyisakan banyak hal, khususnya di DKI Jakarta. Persaingan politik yang begitu hebat sempat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa belum sepenuhnya mereda. Meski banyak tokoh menghimbau untuk tidak menggunakan isu-isu suku, agama, ras dan dan antar golongan (SARA) dalam kompetisi politik, nyatanya hal itu tetap saja terjadi. Kini, mestinya kita semua kembali bersatu sebagai warga untuk membangun peradaban yang lebih baik. Kita menanti pemenuhan janji-janji politik pada masa kampanye itu.

“Janji adalah hutang,” demikian pepatah orang tua kita, “kalau tidak mampu melunasinya maka sebaiknya jangan mudah berjanji!” Manusia mudah mengucapkan bahkan mengumbar janji meski belum tentu dapat memenuhinya. Bisa saja, ketika seseorang berjanji, ia berniat untuk memenuhi janjinya. Namun, belum tentu ia mempunyai kapasitas dalam memenuhi janjinya. Berbeda dari manusia, ketika Tuhan berjanji, itu berarti tidak hanya ia mau menepatinya tetapi juga Ia mampu dan berkuasa untuk memenuhi janji-Nya!

Kenaikkan Yesus Kristus kembali dalam kemuliaan menjadi pembuktian atas janji yang pernah diucapkan oleh Yesus sendiri. Semasa berkarya bersama para murid, Yesus pernah mengatakan bahwa sebagai Mesias, Ia harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari ketiga. Ada unsur baru dalam perkataan Yesus, Ia menyatakan bahwa dalam nama-Nya berita pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa mulai dari Yerusalem. Yesus juga berjanji bahwa kepergian-Nya kembali kepada Bapa di Sorga bukan berarti membiarkan para murid bergumul sendiri. Ia menjanjikan Roh Kudus  yang akan menyertai para murid dalam meneruskan karya Yesus. Untuk itu para murid harus tetap berada di Yerusalem sampai dilengkapi oleh kekuasaan dari tempat tinggi.

Pada saat pemenuhan janji itulah orang-orang yang dahulu hidup bersama-sama dengan Yesus diberi kepercayaan menjadi saksi kehidupan baru. Itulah yang ditegaskan dalam Lukas 24:49, “Aku akan mengirimkan kepadamu apa yang dijanjikan Bapa-Ku. Tetapi kamu harus tinggal di dalam kota ini sampai kamu dilengkapi dengan kekuasaan dari tempat tinggi.”

Jangan meninggalkan Yerusalem, nantikan apa yeng dijanjikan Bapa! Pernyataan ini diulang karena memang menjadi penting bagi masa depan para murid. Perintah Yesus agar para murid tetap berada di Yerusalem merupakan hal khusus bagi penulis Injil Lukas. Bagi Lukas, kota Yerusalem mempunyai makna dalam dimensi karya keselamatan Allah. Pengalaman di Yerusalem bersama Yesus akan menjadi titik tolak pemberitaan keyakinan iman para murid. Pelayanan Yesus berpusat dan berakhir di Yerusalem. Dan dari Yerusalemlah para murid diutus untuk menjadi saksi Tuhan sampai ke ujung-ujung bumi. Untuk memahami karya itulah, para murid membutuhkan apa yang dijanjikan Bapa. Janji Bapa itu menunjuk pada Roh Kudus. Roh Kudus adalah karunia ilahi yang memampukan para murid melakukan tugas perutusan.

Rupanya, para murid belum sepenuhnya mengerti apa yang akan terjadi bila mereka sudah dilengkapi dengan kekuasaan dari tempat tinggi. Mereka mengira – dengan Yesus kembali ada bersama mereka seperti dulu – inilah saatnya Yesus bersama-sama dengan mereka akan mewujudkan harapan mereka yakni, memulihkan kerajaan Israel (Kis.1:6). Mereka berpikir Yesus bersama mereka yang telah dilengkapi “kuasa” itu akan segera dapat menaklukan kekuasaan penindas dan mereka dapat mengembalikan takhta kerajaan Daud.

Dalam jawaban Yesus kepada mereka menjadi jelas bahwa mereka tinggal di Yerusalem bukan untuk memersiapkan pemulihan kerajaan Daud – sebagaimana diharapkan oleh sebagian besar orang Yahudi! Mereka diharapkan membangun Kerajaan Allah yang baru, kerajaan yang bukan bersifat politis tetapi kerajaan yang bersendi pada pengalaman kebangkitan dari kematian. Yesus yang bangkit merupakan tanda pembaruan kerajaan tersebut. Dalam jawabannya, Yesus tidak menekankan waktu pemulihan oleh Mesias, melainkan menekankan saat, momen yang dikehendaki oleh Bapa-Nya di mana kapan waktunya tidak ada seorang pun yang tahu selain Bapa. Namun, para murid Yesus diharapkan mengarahkan pandang kepada Bapa yang akan memercayakan kemampuan dan kekuatan untuk menyongsong kedatangan-Nya.

Kamu akan menerima kekuatan bila Roh Kudus datang kepada kamu.” Itulah yang mesti dipegang oleh para murid. Dengan kekuatan itu, mereka akan dimampukan memahami apa yang menjadi rencana Bapa. Berkat kehadiran Roh Kudus itu maka para murid bukan hanya menjadi orang percaya, melainkan juga bisa dipercaya untuk mengerjakan keselamatan Allah dalam perjuangan hidup mereka, baik secara pribadi maupun bersama-sama.

Janji Tuhan kepada para murid untuk memberikan kekuasaan dari tempat tinggi bukan janji kosong. Kuasa dari tempat tinggi itu bukanlah kuasa untuk mewujudkan segala angan dan impian mereka tentang Mesias. Kuasa itu adalah kemampuan untuk meneruskan karya Kristus dan sekaligus menjadi saksi nyata dalam berita Injil. Janji itu menuntut kesetiaan para murid untuk menanggapinya. Mereka diminta untuk menyiapkan diri, bertekun, dan sehati sepikir.

Pada pihak lain, dengan selesainya karya Kristus secara kasat mata dan Dia kembali kepada Bapa-Nya di Sorga dan diberikan-Nya janji Allah itu menandakan kepercayaan Allah kepada para murid untuk meneruskan tugas mulia. Di sinilah manusia harus menyiapkan diri untuk dapat menerima kepercayaan itu dengan sungguh-sungguh. Kita sering menuntut, “mengklaim” janji Tuhan. Namun, sadarkah pada saat yang sama kita pun harus memeriksa diri-sendiri akan kesungguhan kita dalam menyiapkan diri dengan bertekun, sehati, sepikir dalam menerima janji Tuhan itu?    

Jakarta, Hari Kenaikan Yesus Kristus 2017

Sabtu, 20 Mei 2017

TERUSLAH BERBUAT BAIK, JANGAN GENTAR

Lazimnya, ketika kita berbuat baik maka kita akan menerima buahnya, yakni kebaikan juga. Bukankah demikian hukum tabur tuai? “Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik?” Demikian kata Rasul Petrus (1 Petrus 3:13). Normalnya, orang tidak akan berbuat jahat terhadap orang yang selalu berbuat baik. Cobalah kita berada pada posisi orang yang selalu menerima kebaikan dari seseorang. Nah, apakah kita tega membenci, melukai dan berbuat jahat kepada orang itu? Mestinya tidak! Namun, nyatanya ada saja: perlakuan baik dibalas dengan kebencian dan tindakan tidak menyenangkan. Katanya seperti pribahasa: “Air susu dibalas dengan air tuba.” Perbuatan baik yang kita lakukan dibalas dengan perbuatan jahat sampai kita menderita. Jangan tanya mengapa orang tidak tahu berterimakasih!

Dalam konteks Surat Pastoral Petrus, bisa jadi mereka dibenci – meskipun rajin berbuat baik – oleh karena dianggap sebagai orang-orang asing. Ingat, surat pastoral Petrus ini ditujukan kepada orang-orang pendatang, yang tersebar di Pontous, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia (1 Petrus 1:1). Mereka ini adalah orang-orang Yahudi dan non Yahudi yang telah percaya kepada Kristus. Namun, meskipun mungkin saja mereka telah sekian lama tinggal di daerah itu dan bahkan ada juga orang-orang “pribumi” atau lokal di tempat-tempat itu, tetap saja mereka dianggap sebagai pendatang atau orang asing. Hampir mirip kondisi ini dengan orang Kristen di Indonesia. Walau banyak melakukan sumbangsih kebaikan bagi bumi pertiwi dan bahkan tak terhitung jumlah pejuang yang berkorban untuk kemerdekaan Republik Indonesia, sering kali orang-orang Kristen dipandang sebagai “pendatang” dan “orang asing” di tanah air tumpah darahnya sendiri. Apakah dengan demikian menyurutkan kita untuk berhenti mengasihi dan mencintai Indonesia?

Dalam kondisi seperti ini wajar kalau orang-orang yang disebut “pendatang” atau keturunan menjadi marah, kecewa, frustasi dan merasa sia-sia melakukan perbuatan baik dan hidup dalam kebenaran. Sebagian mereka berniat hijrah ke luar negeri, memindahkan aset-aset mereka dan melarang anak-anaknya yang sekolah di luar negeri untuk kembali ke Indonesia. Tahun lalu Presiden Jokowi mengadakan kunjungan ke beberapa negara dan mengajak agar putra-putri Indonesia yang sekolah di negara-negara itu kembali ke Indonesia untuk membangun dan berkarya kemajuan peradaan Indonesia. Mereka menyambut dengan atusias ajakan sang presiden. Namun, peristiwa beberapa bulan terakhir menimbulkan kondisi yang terbalik. Mereka meragukan kondisi tanah airnya, negara dianggap gagal memertahankan dan membela kebenaran. Sebaliknya, radikalisme, premanisme berjubah agama dan segala macam tindakan kemunafikan semakin mendapat panggung!

Seseorang pernah curhat kepada saya, bahwa kini ia tidak mau menolong saudaranya lagi. Mengapa? Oleh karena kebaikan yang ia berikan ternyata dimanfaatkan tidak dengan semestinya. Sang saudara itu memasang muka memelas, penuh dengan derita, tujuannya supaya ia dikasihani dan diberi bantuan. Pada tataran ini saja, kebanyakan dari kita enggan untuk memberikan bantuan lagi karena merasa diri telah dimanfaatkan. Apalagi jika kebaikan yang kita berikan justeru dibalas dengan kebencian dan kejahatan, saya tidak tahu seberapa banyak yang dapat tahan untuk terus berbuat baik? Seberapa banyak di antara kita yang tidak gentar untuk terus berbuat baik dan menyatakan kebenaran bila berhadapan dengan fitnah, dengki dan aniaya?

Mengapa kebanyakan orang – mungkin termasuk kita – enggan atau berhenti berbuat baik mana kala kebaikan kita disalah mengerti atau bahkan dibalas dengan perlakuan jahat? Bisa jadi dalam setiap perbuatan baik kita terselip harapan untuk menerima kembali kebaikan itu. Rasul Petrus mengingatkan bila kita telah melakukan perbuatan bahkan rajin berbuat baik namun toh kita harus menderita, maka berbahagialah! Loh koq bisa? Petrus menegaskan apabila kita menderita, dibenci, dimusuhi karena melakukan perbuatan baik dalam kebenaran, kita harus memandang kepada Kristus. Ia pun menderita karena dosa umat manusia, termasuk kita di dalamnya. Ia mendapatkan perlakuan tidak adil meski Ia berlaku adil. Ia dibenci padahal Ia tidak pernah membenci. Ia ditolak padahal Ia merangkul semua. Ia dianiaya padahal Ia begitu mencintai mereka!

Ketika kita memandang Kristus, mestinya kita lebih siap meninggalkan cara pandang kita selama ini, yakni merasa berjasa dan harus menerima kembali setiap kebaikan yang kita berikan. Sikap pamrih mestinya sudah bukan lagi menjadi mentalitas kristiani. Kita berbuat baik bukan supaya rumah kita aman, atau supaya gereja kita tidak diganggu, atau sebagai alat untuk mengkritenkan orang lain bahkan menjaring popularitas. Ketika Yesus mengetahui motivasi kebaikan kita adalah untuk itu, saya yakin Dia akan sedih dan kecewa. Bukan itu! Melainkan meneladani Kristus. Dengan meneladani Kristus seharusnya lambat-laun karakteristik kasih Kristus itu menjadi bagian dari sikap mental kita. Berbuat baik semata-mata karena kita telah lebih dahulu dikasihi dan dicintai Tuhan, berbuat baik untuk menyalurkan kasih Allah. Melakukan kebenaran bukan karena takut dihukum melainkan oleh karena Tuhan menghendakinya. Melakukan kebenaran adalah cara hidup kudus kita di dunia yang penuh cemar. Begitulah cara kita mencintai-Nya. Menderita karena kebenaran tidak lagi disesali, melainkan disyukuri sebagai sebuah berkat. Menderita karena kebenaran jauh lebih mulia dibandingkan menderita akibat melakukan tindakan kejahatan.

Benar, dengan kekuatan sendiri mustahil kita dapat terus berbuat baik di dalam kebenaran. Kita membutuhkan pertolongan Adikuat! Sebelum perpisahan dengan murid-murid-Nya, Yesus menjanjikan Roh Penolong bagi para murid agar mereka mampu melakukan tugas kesaksian di dunia ini. Sang Penolong ini adalah Roh Kebenaran (Yoh. 14:17) atau Roh Kudus. Apa yang dimaksud dengan Penolong? Kata Yunani paraklētos dari kata dasar parakaleō yang berarti menghibur dan meneguhkan. Penolong itu adalah Sang Penghibur. Apa peran Penolong itu? Apakah Dia yang menghibur para murid dalam kedukaan? Yang dimaksud Yesus dalam Yohanes 14:16 bukan menghibur dalam kedukaan, tetapi yang memberikan peneguhan dan kekuatan bagi para murid untuk hidup dalam kebenaran. Orang yang setia melakukan kebenaran pasti akan menghadapi banyak tantangan, ancaman, kebencian dan tindakan kejahatan. Ia adalah Roh Kebenaran! Ia meneguhkan para murid dalam menghadapi tantangan dan kesulitan iman, agar mereka terus berjalan dalam kebenaran, bertahan dalam kesaksian mereka, bertahan dalam pertentangan mereka!

Apa yang dialami oleh Penolong ini dalam kehadiran-Nya di dunia akan serupa dengan apa yang dialami Yesus. “Dunia tidak dapat menerima Dia sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia.” Berbeda dengan dunia yang tidak melihat dan tidak mengenal Penolong itu, para murid melihat dan mengenal-Nya. Penolong itu akan menyertai para murid dan akan diam di dalam diri mereka.

Tidak salah, Tuhan menghadirkan Anda dan saya di bumi Indonesia ini. Bukan pula hal keliru, apabila setiap perbuatan baik dan ketaatan kita pada kebenaran justeru memperhadapkan kita dengan kecemburuan, fitnah dan ancaman. Di sinilah Tuhan membentuk kita, Ia tidak tinggal diam. Dulu Ia menyertai Petrus, Stefanus, Paulus dan yang lainnya dalam pemberitaan Injil dan menyatakan kebenaran di hadapan para lawannya, Roh Kudus itu memberi hikmat untuk berkata-kata, menguatkan mereka dalam berbagai bentuk aniaya dan penjara. Maka Roh yang sama juga tentunya akan memampukan kita untuk melakukan segala kebaikan.

Di lain pihak, justeru dengan kehadiran Anda dan saya, Tuhan sedang mengasihi bangsa ini. Kebaikan-Nya ingin terus mengalir terhadap bangsa ini. Bayangkan, andai saja bangsa ini sudah tidak ada lagi yang peduli dengan keutuhan semua ciptaan, keadilan bagi semua orang, penghormatan terhadap kebhinekaan dan kebenaran yang terus-menerus dinyatakan, mungkin hanya tinggal menunggu hari saja bangsa ini hanya tercatat dalam sejarah. Ya, ada sebuah bangsa yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi keragaman dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, ternyata telah hilang dari peta dunia!


Jakarta, Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2017