Dalam percakapan Pemahaman Alkitab (PA), seorang peserta bertanya,
“Mengapa Alkitab mencatat kebobrokan moral, seperti 1 Raja-raja 11:1-13?
Bagaimana mungkin, Salomo yang terkenal dengan kebijaksanaannya, ia yang
menulis banyak Amsal, koq bisa-bisanya
mengumbar hawa nafsunya? Saya sulit membayangkan Salomo punya 700 isteri dan
300 selir. Tidak hanya berhenti di situ, bahkan ia membangun kuil-kuil berhara
untuk setiap isterinya dan akhirnya turut dalam penyembahan berhala. Mestinya,
kisah begini tidak usah ada dalam Alkitab!.”
Saya dapat merasakan getaran suara si penanya dengan segala
ketidakmengertian bercampur kecewa. Baginya, tokoh Alkitab itu harus sempurna,
tanpa cacat dosa, apalagi dosa yang begitu mengerikan, supayanya dengan
demikian tokoh-tokoh dalam Alkitab itu mudah untuk diteladani.
Tampaknya, Alkitab tidak tegoda untuk menciptakan sosok manusia ideal
yang bebas dari dosa, yang sudah disetting
dari sononya dengan akhlaq mulia,
bebas dari dosa dan selalu menjadi penurut-penurut Allah. Alih-alih menciptakan
sosok ideal itu, Alkitab merekam dengan baik tokoh-tokoh itu apa adanya. Sejak
semula Allah menciptakan manusia dengan kebebasannya. Adam dan Hawa tidak
diprogram dengan otak dan hati yang tidak bisa melenceng dari kehendak Allah.
Allah memberikan akal budi dan manusia ciptaan-Nya itu dapat menggunakannya
untuk menentukan sikap: memilih taat dan menjadi penurut Allah atau dengan
kesadaran yang sama memilih menuruti hawa nafsunya dan membelakangi Allah.
Tentunya masing-masing pilihan itu punya konsekuensinya.
Dengan mengungkapkan sosok manusia apa adanya, Alkitab memudahkan kita
untuk belajar bahwa manusia dapat menggunakan akal budinya, menentukan pilihan,
bersikap atau bertindak. Manusia dapat keliru, berdosa, murtad dan membelakangi
Allah. Namun, manusia juga dapat bangkit dari masa lalu, bertobat dan
memperbaiki kekeliruan dan kemudian merancangkan hidup baru.
Anda, saya, siapa pun dapat jatuh dalam dosa, bahkan dosa yang sangat
keji. Masalahnya, ada orang yang segera menyadari dan kemudian kembali pada
jalan Tuhan. Ada yang harus ditegur, diingatkan baru kemudian sadar dan
bertobat. Namun, ada banyak yang terus tenggelam dalam dosa. Tentu, yang Tuhan
kehendaki adalah pertobatan. Firman-Nya mengajarkan kepada kita, “…Sekalipun dosamu mereah seperti kirmizi,
akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain
kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.”(Yesaya 1:18). Namun
demikian, pengampunan yang paripurna ini hanya berlaku bagi orang yang
sungguh-sungguh menyadari dosanya dan mau bertobat. Mazmur 130 merupakan contoh
orang yang mau mengakui kesalahannya dan bertobat.
Pemazmur menyadari akan keterpurukan dalam dosanya, “dari jurang yang dalam aku berseru...!”
Istilah ini biasanya dipakai untuk gambaran lautan, rawa atau air yang dalam.
Dosa telah memisahkan hubungan yang baik dengan Allah. Orang yang sadar akan dosanya ini, berdoa dari
tempat yang rendah, penuh ancaman maut itu, kepada Allah yang bersemayam di
tempat yang paling tinggi. Pemazmur menyadari telah memilih jalan yang sesat
yang disebabkan oleh kebodohan dan kebebalannya. Seandainya Tuhan mengingat dan
memperhitungkan segala macam kesalahan itu, lalu kemudian menempatkannya di
hadapan-Nya. Dan kemudian Dia menghindari suara permohonan si pendoa untuk
sampai pada telinga-Nya. Siapakah yang
dapat tahan? Tidak ada! Kecuali Tuhan sendiri yang menjauhkan
pelanggaran-pelanggaran itu dan membuka kesempatan agar orang dapat lagi hidup
di hadapan-Nya dengan benar. Allah mengambil prakarsa dan resiko memulihkan
hubungan supaya Ia ditakuti orang,
yaitu supaya orang mengerti bahwa dosa dapat mengakibatkan ia jauh dari Tuhan
dengan segala ancaman maut, namun kini ia kagum pada Tuhan sendiri, bersyukur
dan ingin hidup menurut kehendak-Nya. Meninggalkan yang lama dan memulai
kehidupan yang baru!
Persoalannya sekarang, menjadi manusia baru seperti apa? Ya, tentu hidup
menjadi penurut-penurut Allah! Penurut yang bagaimana? Manusia baru, penurut
Allah jelas bukan hanya kulitnya saja. Bukan hanya soal ibadah yang bertambah
rajin, ucapan yang berubah menjadi sering keluar kata-kata yang “berbau rohani”,
megenakan atribut atau aksesoris “rohani”. Bukan itu! Itu hanya kulit luarnya
saja. Pembaruan yang sesungguhnya terjadi harus mulai dari dalam hati dan
pikiran, dalam jiwa dan roh kita.
Dalam Efesus 4:25-5:2, Paulus memberi semacam panduan tentang manusia
berdosa yang kemudian bertobat dan membarui kehidupannya:
1.
Buanglah dusta dan berkata benar: Menjadi manusia baru bukan sekedar berusaha
untuk berhenti berkata-kata dusta, bohong, menipu, gosip dan semacamnya. Ini baru
setengah. Yang harusnya terjadi kemudian adalah “berkata benar”, artinya
sekarang kata-katanya selalu mengucapkan kebenaran.
2. Janganlah matahari terbenam, sebelum padam
amarahmu: Salah satu ciri
orang yang sudah diampuni dosanya adalah mau mengampuni orang lain yang
bersalah kepadanya. Dengan kata lain tidak menjadi pendendam. Untuk menguji
kita pendendam atau bukan, ukurannya tidak menyimpan kemarahan itu
berkepanjangan. Bagi Paulus, jika kemarahan itu terus berlarut sampai matahari
tenggelam, hal ini mengindikasikan bahwa kita masih menyimpan dendam dan di sanalah
kita memberi peluang iblis berkuasa lagi dan kemudian kita kembali berbuat
dosa.
3. Orang yang mencuri, jangan mencuri lagi, tetapi
baiklah ia bekerja keras,…supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang
berkurangan..” Kalau seseorang
mencuri, kemudian tertangkap dan dihukum. Ia berhenti mencuri. Hal itu bukanlah
bertobat, melainkan kapok. Bertobat dan menjadi penurut Allah tidak hanya
berhenti melakukan kesalahan. Namun, memerbaiki dan berusaha menjadi berkat
bagi sesama. Hidupnya bukan untuk dirinya lagi tetapi dipersembahkan kepada
Tuhan melalui jalan melayani, memberikan seseuatu yang berarti bagi sesama.
4. Jangan ada perkataan kotor keluar dari mulutmu,
tetapi perkataan yang baik untuk membangun: Ada pepatah, perkataan yang keluar mencerminkan apa yang ada dalam hati
seseorang. Seorang manusia baru pasti akan mengisi pikiran dan hatinya dengan
perkara-perkara yang baik. Akibatnya, perkataan yang keluar pun adalah hal-hal
positif yang membangun kehidupan bersama. Periksalah tutur kata kita, layakkah
kita disebut manusia baru?
5. Tidak mendukakan Roh Kudus: setiap orang percaya menyakini bahwa Roh Kudus
dapat dirasakan kehadirannya dalam diri kita. Ia menguatkan tatkala kita sedih
dan kalut. Ia menegur dan menyatakan kebenaran. Roh Kudus pasti mengingatkan
kita ketika kita melakukan kesalahan dan kembali kepada dosa. Ada sesuatu yang
menggelitik dalam bathin kita, sehingga kita merasa tidak ada damai sejahtera.
Nah, pada saat itu mana yang kita pilih? Kebenarankah? Atau nafsu dan keinginan
kita. Roh Kudus akan berduka tatkala suara-Nya tidak kita dengar.
6. Buanglah segala kejahatan, kepahitan,
kegeraman, kemarahan, pertikaian, fitnah: Berdoa emohon pembaruan hidup dan menjadi penurut Allah itu penting.
Namun, tidak kalah pentingnya adalah usaha kita untuk membuang indentitas lama
itu. Barang-barang lama yang usang tidak lagi bisa menghiasi kehidupan manusia
baru. Isilah sekarang dengan:
7. Ramah, penuh kasih mesra, saling mengampuni. Inilah ciri-ciri manusia baru di mana kasih
Kristus menjadi dasarnya. Paulus merangkumnya dengan:
8. Sebab itu, jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih
dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi
kamu..: Kasih Kristus merupakan dasar kehidupan manusia baru. Karena kasih-Nya
itu, kita dimampukan menjadi manusia baru. Allah mengampuni dosa dan
pelanggaran kita melalui pengorbanan-Nya.
Kristus adalah cara Allah
mengulurkan pertolongan dari tempat Yang Mahatinggi ke jurang maut. Kristus
adalah jawaban doa pemazmur yang berteriak dalam jurang keberdosaannya. Kristus
juga merupakan contoh dan teladan manusia yang menjadi penurut-penurut Allah.