Kamis, 12 Mei 2016

ROH KUDUS PENDUKUNG PARA PEKERJA PELAYANAN KRISTUS

Ada saatnya Yesus tidak lagi bersama dengan para murid. Ia telah menyelesaikan mandate Bapa dan kini, harus kembali kepada Sang Bapa. Namun, para murid harus melanjutkan apa yang sudah Yesus kerjakan bersama-sama dengan mereka. Yesus tahu pekerjaan itu tidak mudah malah cenderung sulit dan mustahil. Oleh karenanya, Ia meminta kepada Bapa seorang Penolong lain yang akan menolong para murid dalam perjalanan mereka di dunia setelah perpisahan itu. Penolong itu akan datang sebagai utusan Bapa dengan peran utmanya: Mengajarkan dan mengingatkan segala sesuatu kepada para murid akan apa yang telah mereka terima dari Yesus dan menolong mereka untuk berani menjadi saksi iman. Peran yang dilakukan oleh Sang Penolong ini adalah kesinambungan dari peran yang selama ini dikerjakan oleh Yesus sendiri. Roh Kudus menjadi cara kehadiran yang baru dari Yesus bagi para murid. Penolong itu adalah Sang Penghibur yang tidak lain dari Roh Kebenaran atau Roh Kudus. Ialah yang meneguhkan para murid untuk menghadapi pelbagai tantangan dan kesulitan iman agar mereka berjalan dalam kebenaran, bertahan dalam kesaksian mereka tentang Yesus Kristus walau menyakitkan, bertahan dalam pertentangan mereka dengan dunia ini. Roh itu jugalah yang melengkapi mereka kelak dengan pelbagai karnuia untuk tugas kesaksian.

Janji Yesus segera digenapi tidak lama setelah kenaikan-Nya ke sorga. Tepat ketika perayaan Pentakosta di mana setiap orang Yahudi dalam radius 20 mil wajib berkumpul dan merayakan pemberian Taurat kepada Musa di Gunung Sinai dan sekaligus juga perayaan pengucapan syukur atas berkat Tuhan melalui hujan dan kesuburan tanah sehingga mereka dapat memetik hasil panen.  Roh Kudus turun ke atas para murid. Dampaknya, mereka mampu berbicara dalam pelbagai bahasa kepada orang-orang yang datang dari pelbagai penjuru untuk menghadiri perayaan itu (Kisah Para Rasul 2 :1-21). Sehingga bahasa tidak lagi menjadi hambatan untuk mereka mendengar Injil. Selanjutnya, sejarah gereja mulai bergulir. Roh Kudus memimpin para murid dan juga orang-orang yang telah menjadi percaya karena kesaksian para murid itu untuk terus menyaksikan Injil Tuhan. Benar, ada banyak kesaksian mujizat yang menyertai pelayanan para murid. Namun, ada banyak juga kesaksian sederhana tentang hidup keseharian mereka yang mau membuka diri, peduli pada penderitaan sesamanya. Kesaksian para murid ini begitu efektif dan pertumbuhan orang percaya begitu pesati. Kuncinya sederhana, selain Roh Kudus yang mendukung pelayanan mereka, yang tidak kalah penting adalah bahwa mereka mau dipimpin oleh Roh Kudus.

“Semua orang yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.” Begitu kata Paulus dalam Roma 8:14.

“Dipimpin Roh Allah” apa maksudnya? Apakah itu berarti, Roh Allah itu menguasai manusia sepenuhnya sehingga manusia itu bagaikan “robot” (pasif) yang menuruti saja apa yang dimaui oleh Roh itu? Atau, apakah manusia yang aktif dan seolah-olah mengatur agar Roh Allah itu mau bekerja di dalam dirinya dengan memberikan pelbagai karunia agar mampu melakukan tugas kesaksian? Atau adakah pemahamnan lain di antara peran manusia yang “pasif” dan “aktif” itu?

“Dipimpin” (agontai), bentuk kata kerja pasif ini ini dapat berarti diartikan secara medial, jadi manusia itu bukan benar-benar pasif seperti robot yang digerakan oleh program dan sumber energy. Atau manusia itu yang aktif mengatur Roh Allah supaya memberikan pelbagai mujizat. Bukan begitu! Kata kerja medial ini berada di tengah-tengah antara pasif dan aktif. Oleh karenanya dapat diartikan “membiarkan diri untuk dipimpin” (bnd. 1 Kor.11:6; Gal.5:12). Maka, yang diutamakan di sini bukan karunia-karunia sesaat  spektakuler yang membuat banyak orang terheran-heran, melainkan bimbingan Roh dalam kehidupan sehari-hari agar manusia yang dipimpin-Nya mampu hidup seperti yang dicontohkan Kristus. Roh itu memimpin manusia agar dapat “mematikan perbuatan-perbuatan tubuh atau nafsu kedagingan”. Perhatikan, bukan Roh itu yang mematikan nafsu kedagingan sehingga manusia hanya menjadi penonton. Pasif! Melainkan manusialah yang menghadapinya dengan kekuatan dari Roh yang memimpin itu.

Kalau seseorang membiarkan diri dipimpin oleh Roh Allah, maka Roh itulah yang merupakan pusat kegiatan di dalam diri orang itu. Peran Roh tidak meniadakan atau menggantikan kegiatan manusia melainkan mencetuskan dan memotivasi kegiatan kita. Itulah yang disebut “membiarkan diri dipimpin oleh Roh Allah.

Pimpinan Roh Allah itu membuat manusia menjadi “anak Allah”. Ya, sudah barang tentu “anak” yang dimaksudkan di sini bukanlah anak biologis. Dalam Alkitab hakikat hubungan anak-ayah ialah bahwa sifat dan tabiat anak ditentukan, dibentuk oleh sifat dan tabiat ayahnya. Menjadi anak seseorang itu berarti: menjadi serupa, memakai ciri-ciri yang sama. Selain itu, antara anak dengan bapaknya terdapat hubungan yang sangat akrab, khusus dan pastinya berbeda dengan hubungan yang lain. Mereka sehati-sepikir, seiya-sekata. Seperti apa yang Yesus katakana dalam Yohanes 14:10, “Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam AKu? Apa yang Kukatakan kepadamu tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.”.

Selanjutnya, tradisi Yudaisme memahami bahwa anak itu bekerja sama dengan bapaknya, kehendak bapak merupakan pedoman bagi kegiatannya. Seorang anak yang baik, pasti mempunyai dorongan batin yang menyebabkan dia tidak bisa tidak bertindak sesuai dengan kemauan bapaknya. Di pihak lain, bapak mengasihi anaknya, membuka pikiran serta rencananyya kepada anak itu, berusaha memenuhi keinginan wajar dari sang anak, dan menjadikannya anak itu sebagai ahli waris dari segala yang ia punya. Manusia yang membiarkan dirinya dipimpin oleh Roh Allah adalah anak Allah, artinya kedudukan mereka sebagai anak Allah menyebabkan mereka hidup dekat dengan Allah dan mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya.

Penerimaan hidup yang dipimpin oleh Roh Allah menurut keyakinan dan pengalaman orang-orang Kristen pada zaman Perjanjian Baru terjadi bersamaan dengan penerimaan baptisan (lih. Kis 10:47; 19:2; 1 Kor. 6:11; 12:13; 2 Kor. 1:22; 1 Pet. 1:2). Dalam baptisan mereka menerima kedudukan sebagai anak, sekaligus menerima Roh yang membuat mereka sanggup hidup sesuai dengan status tersebut. Roh yang kita terima itu bukanlah Roh perhambaan atau perbudakan. Roh perbudakan membuat hubungan kita seperti tuan dan budaknya. Biasanya dalam hubungan seperti ini hamba selalu berada dalam baying-bayang ketakutan. Tetapi Roh Kudus membuat hubungan kita dengan Allah bagaikan ayah dengan anak. Hubungannya berdasarkan cinta kasih, sehingga setiap saat kita bisa menyapa dan berseru “Ya Abba, ya Bapa!”

Dalam kenyataannya, kita yang suka menyebut diri anak-anak Tuhan sering tidak seideal itu. Manakala kita berseru dan memanggil “Ya Abba, ya Bapa”, nyatanya kita tetap sendiri dalam menghadapi pelbagai masalah, konflik, dan nestapa hidup. Barangkali di sinilah kita perlu tafakur, apakah hidup kita benar-benar telah membuka dan membiarkan diri dipimpin seluas-luas oleh Roh Kudus itu. Ataukah ada kalanya dalam bagian-bagian episode tertentu kitalah yang justeru ingin memegang kendali atas hidup kita sendiri. Jika ini yang terjadi, maka barangkali tidak terlalu pas hubungan mesra “ayah-anak” ini dikenakan dalam kehidupan kita. Kalau kenyataaanya demikian, maka kita harus berani mengoreksi diri sendiri!

Jumat, 06 Mei 2016

SEMUA ADALAH SATU

James Bryan Smith pengarang The Good and Beautiful Community pernah punya pengalaman menyakitkan ketika diminta berbicara Spirituality Formation di hadapan enam puluh pemimpin sebuah denominasi gereja yang datang dari pelbagai penjuru Amerika Serikat. Surpise dan antusias mungkin kata itu yang paling tepat menggambarkan respon Jim. Selama enam bulan ia menyiapkan bahan presentasi tentang formasi spiritual.

Lalu ia memulai topiknya dan menyampaikan kalimat, “Allah memberi kita banyak anugerah – baik itu doa, solitude, berdiam diri, membaca Alkitab, berpuasa dan lain sebagainya – untuk dapat memperdalam hubungan kita dengan Allah dan mengembangkan karakter Kristus agar kita dapat hidup secara dinamis bersama-Nya dan berdampak bagi dunia.” Bagaimana respon mereka? Jim baru menyadari bahwa mereka teguh dengan doktrin bahwa Allah hanya memberi  dua anugerah saja bagi gereja, yakni : baptisan dan perjamuan kudus! Semua aspek yang disebutkannya, menurut mereka, bukanlah anugerah.

Sejak kalimat itu meluncur para peserta seminar itu berubah seolah memusuhinya. Tidak ada lagi orang yang memerhatikan pembicaraannya. Lima belas menit berikutnya, ada kepala-kepala yang menggeleng karena tidak setuju. Tiga puluh menit kemudian ada seorang pria memutar kursinya ke belakang dan berbicara dengan orang di belakangnya. Dia bisa saja pergi ke luar ruangan. Namun, tampaknya dia menginginkan agar semua orang tahu akan kejijikkannya terhadap Jim. Pada menit keempat puluh ada tiga orang yang mumutar kursi mereka ke belakang. Akhirnya, pada menit kelima puluh, Jim berkata, “Saya kira ini waktu yang tepat untuk beristirahat.” Pria yang sebelumnya menjeput dirinya di bandara menghampiri dengan wajah sedih berkata, “Presiden merasa sangat bersalah dan dia merasa suasana semakin menjadi rumit, jadi kami harus menghentikannya.” Padahal waktu yang disediakan baginya masi tersisa empat jam lagi!

Atas peristiwa itu James Bryan Smith mengambil kesimpulan bahwa hal yang kecil – tiga kata saja – bisa menciptakan permusuhan. Lalu ia mulai berefleksi: Sebuah kebenaran umum namun menyedihkan bahwa gereja Yesus Kristus terpecah menjadi pelbagai golongan yang menolak untuk bersekutu satu dengan yang lainnya. Meskipun mereka mengklaim memiliki satu Tuhan, satu iman dan satu baptisan, namun mereka berjalan dalam keterpisahan, penghakiman, kecurigaan dan bahkan permusuhan. Saat ini ada lebih dari tiga puluh ribu denomitasi Protestan dan kebanyakan dari mereka menolak demoninasi yang berbeda dengan diri mereka sendiri. Mengapa begitu? Mereka memiliki konsep bahwa mereka harus memisahkan diri mereka jika mereka berbeda dalam hal penampilan, status atau prinsip. “Jika Anda tidak sama dengan kami, bersikap seperti kami, beribadah seperti cara kami, atau berpikir seperti kami, maka kami tidak wajib untuk bergaul dengan Anda.”

Orang Anglo beribadah dengan orang Anglo saja; orang Hispanik beribadah dengan orang Hispanik saja, orang kaya beribadah dengan sesama orang kaya saja, orang miskin beribadah bersama dengan mereka yang miskin. Orang yang percaya bahwa Alkitab itu inheren hanya boleh beribadah dengan mereka yang memiliki doktrin yang sama, orang yang percaya bahwa homoseksualitas adalah gaya hidup yang diperbolehkan hanya akan beribadah dengan mereka yang berpendapat sama. Selanjutnya: Apakah Anda berbicara dalam bahasa lidah? Apakah Anda menyanyikan himne atau lagu kontemporer? Apakah Anda percaya bahwa perempuan diperbolehkan menjadi pendeta? Apakah Anda menggunakan band atau orkestra di gereja? Apakah Anda dibaptis selam atau percik? Pertanyaan-pertanyaan ini sering mengemuka untuk mengetahu prisip bergereja seseorang. Jawaban mereka akan menentukan apakah kita bisa beribadah bersama dengan mereka atau tidak. Beberapa orang bahkan akan bertanya tentang konsep keselamatan apakah sesuai dengan si penanya atau tidak.
Keterpisahan ini bukanlah apa yang diharapkan Yesus. Konsep bahwa, “jika kita berbeda, maka kita harus berpisah,” adalah penyebab dari perpecahan. Dan kita tahu bahwa penghancur terbesar dari kehidupan bergereja bukanlah penderitaan akibat tekanan, penganiayaan dan penindasan. Malah untuk alasan yang terakhir ini justeru semakin dibabat, semakin merambat; semakin dianiaya semakin bertambah banyak orang Kristen. Dalam sejarah gereja, terbukti perpecahan membuat berkeping-kepingnya gereja. Lihat saja di Turki tempat kelahiran Paulus dan jemaat-jemaat yang kepada mereka Wahyu Yohanes ditujukan, di Mesir, Siria, Aljazair, semenanjung Arab, Lebanon dan sekitarnya, adakah kekristenan di sana? Nyaris punah! Ini semua akibat perpecahan.

Banyak orang Kriisten merasa skisma (perpecahan gereja) adalah suatu keniscayaan karena kita harus memisahkan diri dengan mereka yang berbeda dari kita. Namun, setidaknya dalam iman kepada Yesus Kristus yang adalah Tuhan bersama mestinya kita berpikir bahwa krtidaksetujuan boleh terjadi karena kesatuan tidak sama dengan keseragaman, namun mestinya hal itu tidak menimbulkan perpecahan. Kita tidak perlu setuju dengan gaya ibadah, susunan liturgi atau hal-hal minor dalam doktrin, namun kita dapat dan harus bersekutu jika kita memang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Jika hati Anda berdetak dalam kasih kepada Yesus, maka gandenglah tangan saya dan mari kita saling bersekut. Yesus adalah Tuhan bagi mereka yang tidak setuju apabila perempuan boleh melayani. Yesus juga adalah Tuhan bagi mereka yang setuju kalau perempuan dapat menjadi pendeta. Yesus juga adalah Tuhan bagi kaum Baptis dan Episkopal, juga Tuhan bagi mereka yang berbahasa lidah atau tidak!

Sebuah tantangan besar mewujudkan doa Tuhan Yesus dalam Yohanes 17 ketika Ia meminta kepada Bapa-Nya agar para murid hidup dalam kesatuan, saling mengasihi, menopang dan menguatkan. Alih-alih bersatu kini, Protestan saja telah menjadi lebih dari tiga puluh ribu denominasi! Dan tidak dapat dielakan satu dengan lain denominasi bersaing bahkan saling menjatuhkan. Di dalam doanya, Yesus menginginkan kesatuan di dalam diri murid-murid-Nya sama seperti keesaan diri-Nya dengan Sang Bapa. Keesaan itu terjalin sedemikian rupa dan pengikatnya adalah kasih.

Bagaimana kita seharus memertahankan keutuhan kesatuan tubuh Kristus dengan realita yang ada sekarang ini di mana masing-masing orang Kristen menganggap dirinya paling benar? Stanley Hauerwas mengatakan, “Kasih yang merupakan sifat Kerajaan Allah ini hanya dimiliki oleh mereka yang telah diampuni – yakni mereka yang telah belajar untuk tidak perlu takut dengan orang lain yang berbeda…hanya ketika diri kita – yakni karakter diri saya – telah dibentuk oleh kasih Allah, maka pada saat itulah saya tidak memiliki alasan untuk takut dengan orang lain.” Hauerwas menyatakan apa yang menjadi masalah adalah bahwa kita menjadi takut dengan orang lain! (Padahal kasih yang benar membebaskan orang dari ketakutan). Dengan kata lain Hauerwas menengarai bahwa ketiadaan Kristus itulah yang menjadikan manusia terus mengasihani diri sendiri akibatnya selalu takut dan curiga terhadap orang atau kelompok yang berbeda. Rasa takut itu sebenarnya dapat diatasi dengan cara meningkatkan pemahaman kita terhadap orang yang berbeda. Di atas semuanya itu, kita dapat mengatasi rasa takut dengan cara menjadi orang yang telah diampuni dan dibentuk oleh kasih Allah.

Agustinus mengatakan, “Dalam hal-hal esensi, bersatulah; dalam masalah yang tidak bisa dipastikan, jangan kaku; dalam segala sesuatu berbuat baiklah.” Kalimat ini mula-mula dimaksudkan untuk mendinginkan persoalan dalam gereja. Namun, prinsip ini menolong kita untuk tetap dapat bersatu bahkan jika kita mengalami perbedaan pendapat. John Wesley, tokoh Metodis menyarankan bahwa satu-satunya cara agar gereja dapat bersatu adalah dengan cara membedakan hal esensi dengan yang bukan esensi, lalu menemukan cara menerima perbedaan itu tidak lebih dominan dari iman kita bersama. Wesley percaya bahwa kasih dan komitmen kepada Yesus adalah hal esensi. Segala sesuatu di luar itu bersifat tidak esensi. Hal yang tidak esensi tidak harus membuat kita terpecah.

Ingatlah juga apa yang dikatakan Paulus dalam 1 Korintus 12, bahwa perbedaan-perbedaan itu lebih bersifat seperti tubuh Kristus yang menjalankan fungsi yang berbeda-beda tetapi dengan tujuan prisnsip yakni menyatakan kasih Kristus kepada dunia ini.

Daiav0sahv-wb