Kamis, 28 Januari 2016

MENGHADIRKAN KRISTUS DAN KASIH-NYA BERSAMA-SAMA

Negeri ini tidak kurang amunisi kegaduhan. Setelah beberapa bulan polemik “papa minta saham” yang menyita perhatian masyarakat. Kini, genderang kegaduhan itu berbunyi kembali. Kegaduhan itu dipicu ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah ruang kerja tersangka Dhamayanti Wisnu Putranti, anggota DPR dari Komisi V. Penggeledahan itu memicu protes dan kemarahan Fahri Hamzah, wakil ketua DPR. Ia marah lantaran KPK membawa pasukan Brigade Mobil (Brimob) lengkap dengan senjata laras panjang. Tindakan KPK dianggap berlebihan dan tidak menghormati Lembaga Negara yang mulia, yakni DPR. Sebaliknya, KPK bersih keras bahwa apa yang dilakukan mereka adalah upaya mengumpulkan bukti-bukti terkait kasus suap dari salah satu anggota DPR. Sebagaimana penggeledahan terhadap siapa pun, KPK memandang penting penjagaan untuk mengamankan proses penggeledahan. KPK mengacu kepada UU No.8 tahun 1981 tentang KUHP. Pasal 127 yang menyatakan, “Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan.” Atas ketidakpuasan itu, DPR memanggil pimpinan KPK dan Polri. Banyak pakar hukum, salah satunya Indriyanto Seno Adji menyayangkan sikap pimpinan DPR yang dinilainya esprit de corps (setia kawan) berlebihan. Sehingga DPR terkesan melindungi koruptor. Akibatnya timbul pembenaran atas persepsi bahwa korupsi telah menyebar dan merata di kalangan institusi pemerintah, kenegaraan atau pun swasta. Bahkan, korupsi sudah dianggap sebagai bagian hidup bangsa ini. Korupsi individu sebagai bentuk konvensional sudah tertinggal (Seno Adji, Kompas 28 Jan 2016).

Dari dua kegaduhan yang akhir-akhir ini mengusik lembaga negara kita dapat menunjukkan bahwa yang dipentingkan bukannya menyeret orang yang bersalah ke ranah hukum melainkan hal-hal yang remeh-temeh, seperti legal standing saksi: siapa yang menyampaikan, sah tidaknya rekaman menjadi alat bukti, dan kali ini ketersinggungan Dewan yang terhormat lantaran digeledah dengan membawa senjata laras panjang. Di sinilah kita menyadari bahwa orang-orang yang berjuang menegakkan hukum akan berhadapan dengan kekuatan-kekuatan besar. Mereka akan merusaha membukam, memberangus dan membinasakan orang-orang yang dengan setia menegakkan hukum dan kebenaran. Maka tidak cukup hanya nyali dan niat saja untuk membongkar segala bentuk kejahatan. Kepandaian, strategi, dan yang terutama keyakinan bahwa Tuhan pasti menyertainya, mutlak diperlukan.

Yeremia, anak muda dari Anatot, sebelah Utara Yerusalem tidak segan-segan mengeritik rezim korup dan penindas, raja Yoyakhim. Yeremia 7 dan 26 menggambarkan bagaimana ia membuat gaduh Israel. Yeremia mengatakan bahwa tidak ada gunanya percaya kepada Allah yang melindungi, bahkan ia berani mengatakan bahwa Bait Allah pantas dihancurkan. Sama seperti kemah suci di Silo, tempat tabut perjanjian disimpan pada zaman Samuel kalau cara ibadah mereka munafik! Apa reaksi dari kecaman Yeremia? Umat dan para pembesar marah. Mereka berusaha menangkap dan mengancamna (Yer 26:8). Para pemimpin berkumpul di gerbang kota, di mana soal hukum biasanya dibicarakan dan mereka siap mengadili sang nabi itu. Para imam dan pemimpin mengancam nabi untuk dihukum mati! Peristiwa itu tentu membawa membuat Yeremia takut. Tetapi ia tidak melarikan diri dari tugasnya. Nabi berbicara lagi (Yer.20-23), kali ini ucapannya ditujukan khusus kepada para pemimpin, para imam dan nabi-nabi palsu. Intinya, ia mengingatkan bahwa pelanggaran dan kejahatan yang mereka lakukan akan membawa bangsanya kepada kehancuran. Atas kiprahnya itu, Yeremia ditahan beberapa kali, ia dimasukkan dalam penjara bahkan dalam sebuah sumur (Yer. 37-39). Tantangan berat tidak menyurutkan Yeremia untuk berkarnya. Mengapa? Setidaknya ia memahami bahwa TUHAN sendirilah yang telah membentuknya sejak dari rahim ibunya. TUHAN sendirilah yang telah mengkhususkan dirinya menjadi utusan-Nya. TUHAN sendirilah yang menaruh firman-Nya pada mulut Yeremia dan Ia berjanji akan selalu menyertai Yeremia (Yeremia 1:4-10).


Bak pribahasa mengatakan, “buruk rupa, cermin dibelah”. Yeremia, ia hadir bagaikan cermin yang memberitahukan rupa sebenarnya dari bangsa Yehuda itu. Alih-alih, memperbaiki kesalahan justeru mereka berusaha melenyapkan orang yang memberitahukannya. Tidak ada sedikit pun upaya membenahi diri, mereka lebih suka mendengar senandung nina bobo Hananya, nabi palsu itu. Bukankah hal ini juga terjadi dalam kehidupan negeri ini. Kisah Munir yang disingkirkan dengan racun sianida. Para komisioner dan penyidik KPK yang justeru kompeten malah dicari-cari kesalahannya agar dapat dibungkam dan dijebloskan ke dalam penjara. Tidak terhitung lagi para wartawan dan jurnalis yang mengungkap fakta dan kebenaran harus berakhir dengan tragis!

Mempermasalahkan yang bukan esensi rupanya itu juga yang dihadapi Yesus. Lukas 4 mencatat, setelah Yesus dicobai di padang gurun lalu Ia kembali ke Galilea. Kedatangan-Nya disambut dan semua orang memuji-Nya (Luk. 4:14). Namun, pemandangan ini berbeda. Ketika Yesus tiba di Nazaret, pada hari Sabat itu Ia masuk ke rumah ibadat dan membacakan kitab nabi Yesaya (Yesaya 61:1-2). Pada akhir pembacaan Yesus mengatakan, “Pada hari ini genaplah nas ini pada waktu kamu mendengarnya.”(Luk.4:21). Semula orang-orang yang mendengar-Nya membenarkan Yesus. Mereka kagum dengan kata-kata Yesus. Namun, sejurus kemudian mereka mulai bertanya, “Bukankah, Ia ini anak Yusuf?” Seakan mereka lupa apa yang baru saja diajarkan Yesus. Bagi mereka yang penting itu bukan apa isi ajaran dan semua tanda-tanda yang menyertai Yesus, melainkan siapa yang berbicara! Orang-orang itu menuntut legal standing dari Yesus. Mereka tidak puas hanya karena orang yang berbicara itu adalah anak seorang tukang kayu yang masa kecil-Nya mereka tahu. Bukankah seringkali kita berpandangan sama seperti orang-orang Nazaret itu. Kita kurang menaruh minat apalagi menghargai dan bersyukur kepada orang-orang yang telah menyampaikan teguran dan kebenaran oleh karena kita memandang orang tersebut di bawah level kita. Sebaliknya, kita menjadi antusia dan mengapresiasi apabila yang menyampaikan itu orang terpandang, dan bependidikan tinggi.

Seperti halnya Yeremia, walaupun Yesus hendak dihakimi dan dijerumuskan dari tebing yang tinggi. Namun, Ia tidak menyerah atau trauma dan kemudian meninggalkan misi-Nya. Ia pergi dari Nazaret menuju ke Kapernaum dan terus berkeliling dari kampung ke kampung untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah sampai akhir hidup-Nya.

Sebagai orang-orang yang mengenal Allah melalui cinta kasih Kristus mestinya dapat meneruskan kepedulian Allah terhadap dunia ini dengan “Menghadirkan Kristus dan kasih-Nya bersama-sama” pada konteks di mana saat ini kita berada tentu bukan perkara mudah. Kemunafikan terus terjadi, sandiwara dan pencitraan menjadi jualan yang terus-menerus dijajakan. Hedonisme dan keserakahan semakin dipuja. Kejahatan semakin berebak baik varian, intensitas dan “kualitasnya”. Menghadirkan Kristus dan kasih-Nya bersama-sama tidak cukup hanya dengan ngomong doang! Tidak pula pas dengan sekedar membeberkan kisah kesaksian. Bukan pula dengan doktrin-doktrin klasik yang jlimet. Menghadirkan Kristus berarti membuat Dia bisa dikenali dan disapa. Identitas paling kuat yang melekat pada diri-Nya adalah kasih! Menghadirkan Yesus tanpa kualitas kasih yang ada pada diri-Nya adalah omong kosong. Paulus mengingatkan sekali pun ia bisa ini dan itu tetapi tanpa kasih ibarat gong yang berkumandang dan canang yang bergemerincing.

Kini dan di sinilah peran kita. Membuat cinta kasih Yesus itu hidup kembali. Tidak ada cara lain, kecuali kita memperagakannya. Bagi kebanyakan orang, kasih hanyalah sebuah perasaan emosional. Bagi pengikut Yesus, tidak! Kata Yunani agapao mengacu bukan kepada perasaan melainkan kepada sebuah tindakan. Mengasihi (agapau) berarti “menghendaki sesuatu yang baik buat orang lain”. Kasih yang sesungguhnya tidak melibatkan emosi dalam hal ini rasa suka (contohnya: kalau aku suka, maka aku memberi) . Agape selalu menginginkan kebaikan bagi orang lain tanpa mengambil keuntungan buat diri sendiri dan memperlihatkan keinginan itu dengan sebuah tindakan nyata. Inilah poin pentingnya. Jika kita menggunakan emosi, mengasihi musuh menjadi tindakan yang mustahil. Mengapa? Karena saya tidak akan pernah merasakan cinta atau suka kepada orang yang menyakiti saya. Yesus tidak pernah meminta para murid untuk merasakan cinta tetapi untuk melakukan tindakan kasih kepada semua orang, termasuk musuh sekalipun. Mudah bagi kita untuk mengasihi orang yang mencintai kita, bahkan pemungut cukai pun bisa. Tetapi sulit bagi kita untuk mengasihi orang yang telah melukai kita. Mudah bagi kita untuk mendoakan orang yang mengasihi kita, tetapi sulit jika mereka menyakiti kita. Akan tetapi ini dapat kita lakukan. Jika kita dapat melakukannya, maka kita dapat menghadirkan Yesus kini dan di sini!

Kamis, 21 Januari 2016

BACALAH DAN DENGARLAH

Saya dapat membayangkan apa yang terjadi dalam peristiwa pembacaan Taurat pada Hari Raya Pondok Daun ( Nehemia 8:1-19) dan membandingkannya dengan kisah-kisah film silat pada era kekaisaran Tiongkok. Adegan ini di setiap film silat Mandarin hampir sama. Jika seorang pembesar diiringi para pengawal tiba di sebuah rumah atau kerumunan orang banyak, ia turun dari kudanya lalu memerlihatkan meterai kerajaan dan menunjukkan sebuah gulungan surat dan berkata, “Titah Kaisar!” Maka reaksinya semua orang dengan gemetar akan sujud menyembah sampai ke tanah, mereka berteriak, “Hidup tuan ku kaisar, panjang umur, ribuan tahun usia!” Lalu sang utusan itu membuka gulungan titah Kaisar dan membacakan isinya. Mereka yang mendengarnya gemetar oleh karena kehadiran utusan yang membacakan dan titah itu merupakan kehadiran dan suara kaisar itu sendiri. Mereka serius dan gemetar mendengat titah itu oleh karena isinya menentukan hidup dan mati, baik dan buruknya nasib mereka.

Pemandangan serupa terjadi ketika Ezra membacakan beberapa bagian dari Taurat di depan pintu gerbang air dari pagi sampai tengah hari (Nehemia 8:4). Umat Israel memandang Ezra yang membawa Taurat merupakan tanda kehadiran Allah sendiri. Pada waktu Ezra membuka kitab itu, semua orang bangkit berdiri. Berbeda cara penghormatan rakyat Tiongkok terhadap kaisarnya, umat Israel menghormati Allah dengan berdiri. Mereka siap mendengar titah TUHAN. Mereka begitu antusias, serius dan gentar ketika berhadapan dengan Sabda Illahi yang sedang dibacakan itu.  Sebab Sabda Illahi itu menentukan baik-buruk, hidup-matinya mereka.

Selama kita memandang Kitab Suci adalah sarana Allah yang menyatakan diri-Nya dan menentukan baik-buruk, hidup-matinya kita maka otomatis kita akan memerlakukannya dengan serius dan hormat. Tidak sembarangan tetapi juga tidak memberhalakannya. Sama seperti dokter bedah syaraf membaca MRI (Magnetic Resonance Imaging) ketika akan membedah pasiennya, pasti MRI itu akan menjadi panduan utama dalam melakukan tindakannya. Seorang pelaut pasti tidak akan main-main dan memperlakukan kompas sembarangan, karena kompas itulah yang menentukan sampai tidaknya ia mengemudikan kapal untuk tiba di pelabuhan tujuan! Sayang, banyak di antara kita tidak serius memberlakukan Kitab Suci padahal rahasia keberhasilan hidup seseorang terdapat di dalamnya. Ketidakseriusan itu bisa terlihat bahwa kita jarang sekali memersiapkan dan menyisihkan waktu dan tempat yang baik. Kita sering membaca Kitab Suci itu secara multitasking, sambil mengerjakan ini dan itu! Berbeda sekali dengan Daud. Daud sangat serius dengan Taurat TUHAN karena ia menyakini bahwa Taurat TUHAN itu segalanya, “Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang-orang yang tidak berpengalaman. Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya.” (Mzm.19:8,9).

Rupanya Ezra adalah seorang imam yang mengerti banyak tentang Taurat. Taurat itu dibacakannya dengan jelas, ia diberi keterangan-keterangan seperlunya, sehingga apa yang dibacanya dimengerti pendengarnya (Neh.8:9). Ezra tidak seperti kebanyakan pengkhotbah sekarang. Yang ia utamakan adalah membaca bagian Taurat dengan jelas dan hanya sedikit saja memberi keterangan untuk memperjelas dari teks yang dibacanya. Pengkhotbah masa kini cenderung kebalikannya, hanya membaca satu dua ayat, itu pun loncat sini loncat sana dan kemudian memberikan uraian dengan panjang lebar. Syukur kalau tidak ngelantur ke mana-mana. Umat masa kini pun lebih menyukai bacaan Alkitab pendek saja, gak usah panjang-panjang, membosankan dan memakan waktu lama, padahal masih ada acara lain menunggu! Kita lupa, bahkan enggan untuk membandingkan dengan Ezra ketika membacakan Taurat itu. Pembacaan itu dari pagi sampai siang namun umat tetap setia dan serius: Dengan penuh perhatian seluruh umat mendengarkan pembacaan kitab Taurat itu (8:4) dan semua orang itu menangis ketika mendengar kalimat-kalimat Taurat itu (8:10)! Bahkan selanjutnya mereka memelaah Taurat itu berhari-hari. Mengapa mereka bisa bertahan mendengarkannya? Saya yakin bukan karena Ezra membumbui pembacaan Taurat itu dengan dagelan dan lelucon atau pake multimedia yang bisa memutar film. Tetapi mereka mendengar suara TUHAN dan itu adalah mahapenting!

Melalui Taurat itu, TUHAN mencelikkan mata, menjernihkan hati, meringankan tangan, menguatkan kaki, mengangkat mereka dari kerendahan, mengampuni dosa mereka dan memberikan pengharapan. Mereka bukan sedang mendengarkan suara Ezra, melainkan mendengarkan suara Allah sendiri. Mereka bukan sedang mendengarkan tafsir dan pengajaran dari rekan-rekan Ezra, melainkan mendengarkan pengajaran dari Allah sendiri (Kuntadi, RK.21).

Firman Allah begitu penting dalam kehidupan manusia. Kita tidak asing lagi dengan ungkapan Yesus yang terkenal, “Manusia hidup bukan dari roti saja.” Roti, tentu penting. Tanpa roti atau makanan kita mati. Tetapi kematian yang mengerikan adalah bahwa manusia tidak tahu kehendak sang penciptanya. Tampaknya ia hidup, tubuhnya bergerak tapi spiritualnya mati. Ia tidak hanya membawa dirinya pada kematian kekal tetapi juga dapat menyengsarakan, menindas dan membinasakan manusia lainnya. Jadi Firman itu penting! Dalam pencobaan-Nya di padang gurun, membuktikan bahwa Yesus adalah orang yang membaca, tahu, mengerti dan bergantung kepada Firman Allah. Tiga kali Yesus dicobai dan tiga kali pula Yesus dapat mengatasi pencobaan itu dengan mengatakan, “ada tertulis” atau “Ada Firman:…”  Bagi Yesus Firman itu tepat guna, berdaya guna dan berhasil guna. Firman itu bukan sebagai “ayat hafalan” dalam benak-Nya.

Firman itu mendarah daging dalam diri-Nya. Sehingga ketika Yesus tampil sesudah dicobai dan membacakan Yesaya 61:18-19, Ia mengatakan, “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” (Luk.4:21). Tidak mungkin Yesus berani mengatakan itu kalau Ia sendiri tidak mengerti makna-Nya. Kini, Ia tampil (epifani) sebagai Firman hidup yang diperagakan sepanjang kehidupan-Nya. Kini, tidak hanya Ia tampil memproklamasikan diri sebagai orang yang diurapi yang membawa kabar baik bagi orang miskin, pembebasan bagi orang-orang tawanan, penglihatan bagi orang buta, pembebas orang tertindas dan untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang. Tetapi diri dan hidup-Nyalah yang akan memberi bukti bahwa untuk itulah Ia telah datang.

Jika Firman itu penting, maka membaca dan mendengarnya juga penting. Dalam kosa kata Yahudi, syema, “mendengar” mempunyai arti tidak mengizinkan adanya pemisahan tindakan dengan persepsi. Jika kita benar-benar mendengar perintah TUHAN, maka artinya tidak cukup gestur tubuh kita saja yang merespon memberi hormat, melainkan kita akan menaati, melaksanakannya dengan tepat. Jika tidak, berarti kita tidak mendengar. Mendengar firman berarti menjadikan firman itu “darah” dan “daging” dalam kehidupan kita.

Apa yang kita baca dan dengar itulah sebenarnya yang menjadi watak, karakter, cara kerja, visi, misi dan semua tindakan yang kita lakukan. Apa yang kita baca dan dengarkan itulah yang membuat kita jadi seperti sekarang ini. Jika yang kita baca dan dengarkan adalah ajaran-ajaran radikal dan kekerasan untuk mencapai tujuan maka kita akan tumbuh menjadi seorang teroris, sebaliknya ketika kita membaca dan mendengar cinta kasih dan pengampunan-Nya yang begitu dasyat maka kita akan tumbuh menjadi manusia yang penuh cinta kasih dan pembawa damai!