Jumat, 25 September 2015

DOSA PENGHALANG KEBAIKAN


“Simsalabim” Ciliwung demikian judul rubrik “Kata Kota”, Kompas 25 September 2015. Rubrik itu memuat ulasan foto-foto dan komentarnya tentang Sungai Ciliwung yang belakangan ini berseliweran baik di jejaring media sosial elektronik maupun dalam media cetak. Foto-foto yang beredar menggambarkan sungai tersebut seperti sungai-sungai di negeri beradab: bersih, bening, dan tidak ada selembar sampah pun. Tidak lupa di berbagai medsos tersebut disebutkan kata-kata provokatif, “Ke mana aja gubernur DKI sebelumnya?” Sejumlah media cetak pun melaporkan perubahan Sungai CIliwung tersebut. Apakah semua setuju? Ternyata tidak, bahkan ada yang muak dengan berita dan tayangan Sungai Ciliwung yang katanya sudah berubah 180 derajat itu.

Mereka yang muak, mengatakan bahwa penayangan foto-foto, komentar dan berita Sungai Ciliwung yang kini telah bersih, kinclong dan bebas dari sampah menuduh bahwa Ahok dan pasukannya sedang curi start kampanye untuk pemilihan Gubernur yang akan datang. Kelompok ini kemudian mengunggah foto-foto, opini, dan berita tandingan. Seorang pengguna jejaring sosial mengunggah foto kondisi Sungai Ciliwung di Kampung Pulo, Bukit Duri, Jakarta Selatan. Berbeda dengan foto Ciliwung yang sudah beralih rupa, fotonya menggambarkan air sungai masih cokelat kehitaman, sampah menumpuk, dan masyarakat setempat masih menggunakannnya sebagai tempat mandi, cuci, kakus, alias MCK.

Bisa jadi kondisi Sungai CIliwung yang beredar di berbagai media sosial itu demikian adanya: Ada bagian-bagian yang memang sudah mengalami perbaikan, bersih dan rapi. Namun, ada bagian lain di sepanjang sungai 117 kilometer tersebut masih kotor dan bersampah, memang demikian adanya.

Ketika seseorang jatuh cinta pada Ahok, segala yang dilakukannya adalah baik. Ia akan menyebarkan berita-berita baik. Foto-foto yang diunggah ke jejaring sosial juga menggambarkan hal-hal yang baik. Bahkan tidak segan-segan memoles dan mengedit foto-foto itu supaya dapat dengan sungguh meyakinkan orang lain akan hasil kerja Ahok. Hal ini dapat terjadi pada siapa pun ketika menyukai seseorang, sulit melihat dengan obyektif kekurangan, kekeliruan, dan hal-hal negatif lainnya. Bahkan, ketika ada orang lain, dengan fakta nyata menunjukkan ada yang keliru atau salah, alih-alih bersyukur atas teguran itu, eh… malah menjadikannya sebagai lawan!

Namun, sebaliknya ketika seseorang benci pada Ahok, maka segala apa yang dilakukannya adalah negatif. Ia akan mengatakan bahwa di balik kerja kerasnya itu sesungguhnya ia sedang melakukan pencitraan, kampanye dan lain sebagainya. Hal ini pun berlaku bagi hampir semua orang. Ketika kita membenci seseorang, apa pun yang dilakukan orang tersebut adalah jelek, jahat, salah dan seterusnya. Meskipun, nyata-nyata orang tersebut melakukan apa yang baik. Biasanya, kebencian ini terus berkembang, apa saja yang berhubungan dengan Ahok, ras, suku, agama, dan lainnya dipandang buruk.

Ketika Haman tersinggung lantaran Mordekhai tidak mau sujud menyembahnya ketia ia lewat. Saat itu juga hatinya meradang. Ia tidak senang. Haman tidak hanya merencanakan melenyapkan Mordekhai, tetapi juga ia ingin membinasakan seluruh orang Yahudi. Ia lupa bahwa Mordekhai dan Ester pernah menyelamatkan nyawa Ahasyweros, sang raja yang memberinya kehormatan besar kepadanya.

Lain lagi dengan kisah seorang yang bukan murid Yesus dapat mengusir setan (Markus 9:38-41). Para murid tidak bisa melihat hal positif yang diperbuat oleh orang di luar komunitas mereka meskipun apa ia memakai nama Yesus dan yang dikerjakannya itu pun membawa dampak kebaikan bagi orang yang sedang kerasukan setan. Gambaran dari ketidaksenangan itu disampaikan dalam bentuk pencegahan terhadap orang itu untuk melakukan pengusiran setan (Markus 9:38).

Apa yang membuat seseorang tidak mampu melihat kekurangan dan keburukan dari orang yang disenanginya dan yang membuat seseorang tidak mampu melihat kelebihan dan kebaikan dari orang yang dibencinya? Barangkali pengaruh orang tersebut yang terinternalisasi sedemikian dalam sehingga dirinya tidak lagi bisa membedakan fakta dari opini; kenyataan dari kabar burung. Yang kemudian lama-kelamaan tercipta sekat; ini kelompok kami dan yang lain bukan. Apa yang ada pada kami adalah baik dan di luar kami buruk. Atau bisa juga, ada keuntungan tertentu yang didapatkan dari sikapnya; entah itu positif atau negatif.

Namun, bagaimana pun sikap yang berlebihan ini: baik positif atau negatif, pada akhirnya  akan merugikan diri kita sendiri dan orang lain. Di sinilah terdapat faktor penghalang yang membuat kita sulit melihat kondisi sebenarnya. Pada akhirnya disadari atau tidak, sifat berlebihan merupakan bagian dari dosa. Mengapa? Kita terjebak untuk tidak lagi dapat melihat kebenaran. Dapat kita bayangkan apa tindakan selanjutnya bila kebenaran tidak terlihat. Kita dapat mendukung membabibuta terhadap orang yang kita senangi dan sebaliknya, membenci membabibuta terhadap orang yang tidak kita senangi.

Dosa tidak hanya menghalangi kebaikan antara kita  dengan sesama, tetapi juga menjadi faktor utama yang menghalangi kasih karunia dan seluruh kebaikan dari Allah. Yesaya pernah mengingatkan hal itu kepada umat Israel, “Sesungguhnya, tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Na tidak kurang tajam untuk mendengar; tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu.” (Yesaya 59:1-2).

Lalu, apa yang harus dilakukan agar dosa tidak menjadi lagi penghalang hubungan kita dengan Allah dan dengan sesama? Ya, sederhana sekali. Buanglah dosa itu! Di sini, masalahnya: Bagaimana membuang dosa itu? Yesus mengatakan begini: “Dan jika tanganmu menyesatkan engkau, penggalah…Dan jika kakimu menyesatkan engkau, penggalah….Dan jika matamu menyesatkan engkau, penggalah…” (Markus 9:43,45,47). Apa reaksi Anda ketika membaca perintah Yesus seperti ini? Apakah Anda langsung melakukannya? Atau Anda bertanya, “Seriuskah perintah Tuhan ini?”  Untuk sikap dan pertanyaan terakhir, saya pastikan: Apa yang Yesus ucapkan itu 100% serius! Lalu kemudian kita bertanya, “Mengapa kalau serius, tidak ada gereja yang memberlakukan perintah seperti ini?”

Apa yang disampakan Yesus inilah yang disebut retorika "reductio ad absurdum", yakni menelaah sebuah argumen hingga pijakan logika yang salah hingga terlihat ke permukaan. Pada masa Yesus melayani – bisa jadi hal ini berlangsung sampai saat ini – dosa itu ada penyebabnya. Apa? Bagian tubuh tertentu yang bisa menyebabkan orang berdosa. Dosa mencuri, misalnya hal itu berasal dari dosa yang bersarang dalam tangan orang yang mencuri, dosa berzinah bermula dari kuasa jahat yang bersarang di mata. Maka penyelesaiannya mudah, penggal tangan atau hilangkan anggota tubuh yang berdosa itu.  Yesus menggugat logika keliru itu:  dosa itu tidak bersarang di tangan, kaki, mata dan organ tubuh yang lainnya. Jadi, apakah selesai kalua anggota tubuh yang dianggap berdosa itu telah dihilangkan dan kemudian manusia itu tidak berdosa lagi..?

Sekali lagi ini retorika, yang tidak membutuhkan jawaban lisan, tapi setiap orang yang mendengarnya akan mengakuai kebenaran bahwa bukan di situ masalahnya. Bukan di tangan, kaki, mata, mulut, dan seterusnya. Organ tubuh pasti ada yang mengendalikan. Pengendali utamanya adalah hati dan pikiran manusia. Jiwa manusia!

Selanjutnya, Yesus berbicara tentang garam, “Karena setiap orang akan digarami dengan api” (Markus 9:49-50). Garam lazim dipakai dalam tradisi Yahudi. Setiap kurban harus digarami sebelum dipersembahkan kepada Allah. Garam untuk kurban ini disebut sebagai garam perjanjian  (Bilangan 18:19; 2 Tawarikh 13:5). Sebelum kehidupan seorang pengikut Tuhan diterima oleh Allah (bnd. persembahan yang hidup; Roma 12:1), kehidupan itu haruslah ditangani lebih dulu dengan api, sama setiap kurban harus digarami terlebih dulu.

Dalam budaya Yunani dipahami bahwa garam berfungsi seperti jiwa dalam tubuh yang mati. Daging mati akan membusuk, tetapi jika digarami, daging itu akan tetap awet sampai batas waktu tertentu.Anggota tubuh kita, akan rusak, dalam perkataan Yesus dapat liar dan menyesatkan. Itulah anggota tubuh yang tidak “digarami”. Masalahnya tidak cukup dengan memotong, atau mencungkilnya. Melainkan harus punya cukup “garam” (artinya jiwa yang bersih) untuk menggarami seluruh anggota tubuh kita! 

Siapakah yang dapat memberikannya? Persembahan yang sempurnya sudah Yesus berikan. Hiduplah di dalam Kristus, niscaya jiwa kita disegarkan sehingga kesegaran itu akan memancar ke seluruh tubuh: mata, telinga, mulut, hidung, kaki, tangan dan seterusnya. Sehingga hidup kita menjadi persembahan yang harus di hadapan Allah!

Kamis, 17 September 2015

DI ANTARA DUA PILIHAN : ALLAH ATAU DUNIA

Kita sering dibuat terkaget-kaget oleh berita di media masa. Pasalnya orang-orang yang justeru kepada mereka kita letakan kepercayaan, kehormatan dan tanggungjawab, pada akhirnya terbukti melakukan hal-hal yang jauh dari harapan kita. Mereka membuat kegaduhan, berbuat asusila, melawan hukum, menimbulkan perpecahan, melakukan penghasutan, korupsi dan sederet lagi prilaku yang tidak pantas disebutkan. Apa yang kurang? Dalam pendidikan pasti mereka lebih dari rata-rata pendidikan anak bangsa ini, gelarnya hebat-hebat; dalam status sosial, jangan ditanyakan lagi mereka berasal dari kalangan terpandang; kehidupan beragama, mereka menyebut pakarnya! Pasti ada yang keliru. Ilmu dan hikmat serta kedudukan mereka ternyata tidak sinkron dengan kenyatan hidup sehari-hari.

Predikat, gelar atau apa pun yang disandang seseorang seharusnya menyatu dengan prilaku sehari-hari. Yakobus pernah menantang kehidupan orang-orang Kristen pada zamannya yang seringkali tidak menjadi contoh yang baik. Banyak yang mengaku diri beriman kepada Kristus namun prilaku mereka jauh dari figur dan teladan Yesus, maka Yakobus mengatakan,”tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku” (Yak.2:18). Sebab dalam pemikiran Yakobus, iman yang benar itu pasti akan tercermin dalam keseharian hidup orang itu. Perkara iman bukan sekedar pengakuan atau teori. Demikian juga dengan orang yang meganggap diri pandai dan berhikmat, logikanya  pastilah akan tampak dalam perbuatan dan tutur katanya.

Yakobus menantang orang yang mengaku diri bijak, berhikmat dan pandai, mereka ingin selalu didengar dan dihormati, katanya,  Siapa di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan” (Yak. 3:13). Mengapa Yakobus menantang mereka untuk membuktikan hikmat dan kepandaian itu dalam kehidupan perilaku sehari-hari? Oleh karena pada kenyataannya mereka yang menyatakan diri berhikmat dan pandai itu justeru, dengan perkataan (lidah) mereka sering menimbulkan perpecahan, fitnah dan provokator, dan akhirnya menimbulkan onar serta perpecahan dalam jemaat. Di samping itu sikap hidup mereka yang mementingkan diri sendiri, iri hati yang sangat tidak sedap dipandang mata. Nah, apakah pantas orang-orang seperti ini disebut berhikmat?

Yakobus menantang orang bijak untuk menunjukkan bahwa mereka telah menerima karunia kebijaksanaan, “Let him show by his good behavior his deeds!” Yakobus menggunakan kata kerja imperatif δείκνυμι - deiknumi yang secara literal berarti “as drawing attention to something point out, show, cause to see.” Supaya mereka yang bijak dan berpengertian menegaskan hal tersebut melalui perilaku sehari-hari. Apa yang dimaksudkan Yakobus dengan mendemonstrasikan hikmat dalam kehidupan sehari-hari? Penekanan dalam Yakobus 3:13 adalah “hikmat yang lahir dari kelemahlembutan”. Kelemahlembutan yang dimaksudkan Yakobus adalah sikap rendah hati yang muncul bukan dari keterpaksaan karena tidak ada pilihan. Lemah lembut bukan berarti sikap orang lemah.  Lemah lembut adalah sikap rendah hati mau melakukan apa yang Allah inginkan karena hikmatnya itu. αὐτοῦ ἐν πραΰτητι σοφίας (in the gentleness of wisdom). Dalam hal ini mungkin lebih tepat “kelemahlembutan yang lahir dari hikmat” dengan demikian, mereka yang mengaku memiliki sophia seharusnya juga sanggup menunjukkan prateutes dalam kehidupan sehari-hari! Tidak heran kalau banyak orang mengakui bahwa lemah-lembut dan rendah hati hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang “kuat dan tangguh”.

Alih-alih dapat menjunjukkan prateutes, “bijak/berhikmat” (σοφός) dan “berpengertian” (ἐπιστήμων), justeru sebaliknya: mereka arogan karena merasa memilki hikmat. Tidak hanya berhenti di situ, mereka juga iri hati dan mementingkan diri sendiri. Pertanyaannya, koq bisa? Bagi Yakobus hal ini sagat jelas bahwa sumber hikmat itu bukanlah dari atas. Bukan dari Allah melainkan dari tabiat manusia lama – yang kata Paulus dalam Galatia 5 :22, tabiat manusia yang menuruti keinginan daging – yang selalu melayani nafsunya. Ketika manusia berfokus pada kehendak dan emosinya, maka ia mudah dikuasai oleh iri hati, selanjutkan akan terjadi persaingan yang destruktif dan dosa mengingini kepunyaan orang lain. Iri hati merupakan sikap ingin meniru – sampai di sini sebenarnya ada nilai positif, kalau kita ingin meniru keberhasilan dan prestasi orang lain. Namun, masalahnya tidak berhenti di situ melainkan ingin meniru dan kemudian melebihi dan menguasai orang lian sehingga dampaknya bisa saja menghalalkan segala bentuk cara untuk mendapatkannya. Yakobus mengingatkan bahwa sikap yang demikian ini akan membawa kehancuran dalam sebuah komunitas untuk itu Yakobus menimta mereka agar berhenti mempraktekan gaya hidup yang seperti ini, jika tidak menginginkan kehancuran.

Selain memprediksi kehancuran, Yakobus mengingatkan bahwa gaya hidup arogan, iri hati dan egois bukanlah berasal dari Allah, “Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan” (Yak.3 :15). Jadi, dalam pemahaman Yakobus, meskipun orang itu mengaku beriman, berhikmat, pandai, dan bijaksana. Namun, dalam kehidup sehari-hari menunjukkan sikap arogansi, iri hati dan pementingan diri sendiri, pada hakekatnya hikmatnya itu bukanlah berasal dari Allah. Betapa bagus perkataanya sekalipun tetap hidkmatnya buakan dari Allah dan karenanya perbuatanya pun pasti tidak menunjukkan perbuatan yang melayani dan memuliakan Allah. Dengan hikmatnya yang demikian itu sebenarnya ia sedang melayani dirinya sendiri, hawa nafsunya dan egoismenya sendiri! Jadi Yakobus sebenarnya mengaja kita untuk dengan mudah melihat bahwa ada dua pilihan yang berkaitan dengan hikmat:

1.   Hikamat itu berasal dari Allah, maka ia akan menghasilkan buah yang kasat mata dalam kehidupan sehari-hari: Orientasinya bukan pada diri sendiri, dengan segala kerendahan hati fokus pelayanan dan arah hidupnya hanya tertuju kepada kemuliaan Allah. Sehingga seluruh prilakunya merupakan referensi bahwa ia mengasihi Allah. Yakobus menunjukkan hikmat dari atas itu, “Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik” (Yak.3:17)

2.   Hikmat itu berasal dari hawa nafsu, sehingga ia akan berusaha mencari teori, melakukan banyak penafsiran Alkitab dan tak segan-segan menggunakan dan mengatasnamakan Tuhan, padahal yang sedang dikerjakannya adalah memenuhi nafsu, arogansi dan egoisme sendiri. Hikmat seperti ini sejatinya bukanlah hikmat, melainkan sikap pemuasan diri dengan bungkus hikmat. Itulah kemunafikan! Orang dengan hikmat yang seperti ini sesungguhnya ia adalah lawan Allah karena ia dengan sadar menolak kehendak-Nya tetapi juga memakai nama-Nya untuk melayani hawa nafsunya! Maka tidaklah mengherankan kalau Yakobus menyejajarkan hikmat ini datang dar setan-setan (3:15).

Jika kita meminjam cermin Yakobus ini, hikmat apa yang telah dan sedang membentuk karakter kita? Apakah benar-benar hikmat yang berasal dari Allah sehingga tanpa banyak bicara orang di sekeliling kita akan merasakan aora bahwa kita sangat dekat dengan sumber hikat itu, yakni Allah? Ataukah kita sebenarnya sedang melayani diri sendiri dengan meminjam dan mengatasnamakan nama-Nya? Sehingga bukan benih damai sejahtera yang sedang kita taburkan melainkan benih-benih kekacauan dan perpecahan.

Bisa jadi pada mulanya fokus hidup dan pelayanan kita pada diri sendiri seperti yang terjadi dengan para murid yang menginginkan posisi paling terhormat (Markus 9:33-37). Namun, Tuhan Yesus menegur mereka dengan mengatakan, “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya” (Mrk.9:35). Yesus yang sama ingin kita pun tidak keliru memilih.