Jumat, 09 Januari 2015

MENGENAL JABATAN GEREJAWI, PENATUA.

Kata “jabatan”, banyak orang alergi dengan kata jabatan atau pejabat. Apakah gereja sudah sama seperti pemerintah yang harus punya pejabat? Hal tersebut sering kali ditanyakan ketika saya membawakan sesi-sesi tentang jabatan gerejawi. Konotasi jabatan itu memang sering cenderung negetaif, saya tidak tahu bagaimana pandangan Saudara tentang jabatan gerejawi, apakah Saudara memandangnya secara positif? Tetapi sangat mungkin juga kita memandangnya secara negatif. Apa sebenarnya yang dimaksudkan di sini dengan  “pejabat gerejawi”. Mungkin ada di sana-sini persamaan dengan jabatan public lainnya. Namun, tentu ketika kita bicara tentang pejabat gerejawi ada hal-hal khusus. Berbeda dari jabatan public lainnya. Yang dimaksudkan dengan jabatan gerejawi  adalah untuk menekankan bahwa ada orang atau orang-orang yang dipercayai oleh gereja untuk mengatur, mengelolah, mengarahkan, melayani dan memimpin jemaatnya atau gereja. Gereja Kristen Indonesia (GKI) mengenal dua macam pejabat gerejawi, yaitu Penatua dan Pendeta. Penatua dan Pendeta adalah anggota-anggota Majelis Jemaat.

Terkadang istilah Majelis Jemaat itu menjadi rancuh, seorang anggota Majelis Jemaat ketika suatu saat berada dipasar Kopro, lalu ada anggota gereja yang mengenal dia, maka orang itu mengatakan “itu ada ibu Majelis sedang belanja”. Ketika ada kebaktian komisi dan tidak ada seorang pun anggota Majelis maka orang mengatakan “Majelisnya tidak ada”. Terkadang kita rancuh dengan istilah itu, Ibu Titin, Bapak Matius, Bapak Lukas yang hadir disini, itu adalah seorang Penatua, dia adalah anggota Majelis Jemaat. Jadi Majelis itu adalah lembaganya, orang-orangnya adalah para Penatua dan Pendeta. Kerancuan itu juga terlihat ketika orang-orang membedakan antara Pendeta dan Penatua. Pendeta seakan terpisah, berbeda dari Majelis. Memang benar berbeda dalam fungsi dan tugas, tetapi pendeta sebenarnya adalah bagian dari Majelis Jemaat, maka pendeta juga adalah anggota dari Majelis Jemaat.

Sekarang kita memfokuskan pada bahasan tentang jabatan Penatua, Pdt Em. Andar Ismail menulis satu artikel yang sangat sederhana dan mudah sekali dicerna, dalam bukunya “Selamat melayani” tentang jabatan Penatua ini. Pdt Em. Andar Ismail memulai tulisannya dengan suatu kisah tentang kelas katekisasi, seorang murid katekisan diuji secara lisan tentang pengetahuannya mengenai jabatan pelayanan yang ada di gerejanya, terjadilah tanya-jawab seperti ini.

Penguji bertanya “coba sebutkan apa tugas seorang Pendeta?” Sang murid mengatakan “tugas seorang pendeta adalah berkhotbah dan mengunjungi serta mendoakan orang sakit”. Penguji mengatakan, “Bagus, nah sekarang sebutkan tugas seorang Diaken?” muridnya menjawab “Mengumpulkan persembahan dan membantu orang-orang miskin”. Penguji mengatakan “Bagus sekali jawaban itu, sekarang sebutkan apa tugas Penatua?” Si murid langsung menjawab pertanyaan itu, “Tugas seorang Penatua adalah duduk di bangku paling depan dalam setiap kebaktian hari Minggu”. 

Cerita itu hanya sekedar karikatur, namun ada juga kebenaran yang ada didalamnya, yaitu bahwa ada beberapa orang yang mengira bahwa fungsi seorang Penatua dalam gereja cukup sekedar berpakaian rapih, yang laki-laki memakai dasi, yang perempuan memakai rok dan duduk di bangku paling depan yang telah tersedia di dalam setiap kebaktian. Nampak dari pandangan ini adalah, bila ada Penatua yang berani berpenampilan santai, maka kita akan berkata “Penatua itu tidak menjalankan fungsi dan tugasnya”. Kenapa seperti itu? Karena cara pandang kita tugasnya Penatua hanya seperti itu. Apakah hanya itu tugas Penatua? Duduk di kursi depan yang telah disediakan, membacakan warta jemaat menjelang kebaktian dimulai, lalu menyerahkan Alkitab kepada Pendeta, kemudian memimpin pengakuan iman dan doa persembahan. Apakah Cuma itu tugas Penatua? Kalau hanya itu, buat apa GKI  harus repot-repot membahas, menggumuli dan kemudian menuangkan syarat-sayarat dan sejumlah ketentuan di dalam tata gerejanya, bahkan melalui perdebatan-perdebatan yang tidak mudah. Mengapa gereja harus repot-repot memilih seorang Penatua kalau hanya untuk itu? Pilih saja orang yang pede, yang berani tampil di depan umum, yang pandai berbicara.

Sebenarnya semenjak awal, yaitu gereja abad pertama, jabatan Penatua sudah bermuatan fungsi yang sangat berat, salah satu sebutannya adalah “presbuteros”. (Dari situ kita mengenal ada gereja presbiterian). Dari kata ini, yang kata bendanya “presbutes” yang berarti “orang yang tua, atau orang yang lebih tua”. Rupanya semenjak awal diharapkan seorang Penatua adalah sikap seorang sesepuh, sikap yang sudah matang, yaitu orang yang dituakan atau dipandang tua karena sifat-sifatnya yang bijak. Tetapi kemudian dari arti harafiah ini banyak orang yang terjebak di dalam definisi yang salah, yaitu seorang Penatua haruslah seorang yang sudah tua, kalau bisa seseorang yang sudah berusia limapuluh tahun keatas. Maka kalau ada orang yang berusia tigapuluh tahunan, banyak orang yang merasa bahwa orang ini tidak tepat, kurang pantas menjadi Penatua. Sebenarnya yang lebih dipentingkan dari kata presbutes itu adalah sifat atau sikap bijak, sehingga ia bisa menjadi panutan, menjadi contoh, menjadi teladan didalam hidup berjemaat.

Pada jaman Paulus sendiri pun ternyata orang sudah menekankan pada usia lanjut atau usia tua, sehingga Timotius menjadi sedikit agak minder ketika ia dipercayakan untuk memimpin jemaat, (pada saat itu diperkirakan menurut buku-buku tafsir, ia masih berusia tigapuluh tahunan) Paulus meyakinkan Timotius, dia mengatakan “Janganlah seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda, jadilah teladan bagi orang-orang percaya dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu, dan dalam kesucianmu (1Timotius 4:12)”.

Terkadang usia yang sudah tua pun, dalam sikap imanya,  belum tentu dapat memperlihatkan kematangan imannya. Tetapi di sisi lain kita melihat ada orang-orang yang secara fisik usianya masih muda namun menunjukan karakter yang sudah matang, ia menampakan sikap-sikap yang diharapkan seperti dalam surat Timotius, ia pun bisa menjadi seorang panutan.

Dalam Kisah Rasul dan beberapa surat-surat Rasuli yang menggambarkan kehidupan gereja abad-abad pertama, tampak ada  tiga tugas utama dalam diri para Penatua. Yang pertama, Penatua terpanggil untuk memelihara, menggembalakan anggota-anggota jemaat. Kepada para Penatua di Efesus Paulus berkata “Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus untuk menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperolehnya dengan darah anak-Nya sendiri (Kisah Rasul 20:28)”.

Kata penilik di sini diterjemahkan dari kata “episkopos” yang kata kerjanya berarti memperdulikan, mengindahkan, atau memelihara, sama seperti orang yang memelihara tanaman. Jadi seorang Penatua pertama-tama dipanggil sebagai orang yang harus memperdulikan, harus mengindahkan, harus memelihara, sama seperti seseorang yang merawat tanaman. Dia akan menyiapkan ladangnya, dia akan mencangkul, dia akan memilih benih yang terbaik, dia akan menanam, lalu menyiram, menjaga dari hama dan lain sebagainya.

Tugas yang kedua, adalah memimpin dan mengatur jemaat. Dalam surat Paulus kepada Titus (Titus 1:7), digunakan istilah mengatur rumah Allah, kata Yunaninya “oikunomon” ini berarti mengelolah atau mengusahakan. Para Penatua berfungsi untuk mengelolah jemaat supaya menjadi hidup dan dinamis, berkembang, tertib dan teratur, tidak hidup semau-maunya. Karena Alkitab juga menyadari bahwa setiap gereja, rumah Tuhan, akan dipenuhi oleh orang-orang dari berbagai kalangan, latar belakang dan lain sebagainya, dan ini tidak bisa membawa semau-mau nya sendiri. Gereja harus berkembang tetapi juga harus tertib dan teratur.

Tugas ketiga adalah menjaga kemurnian ajaran gereja. Dalam Kisah Rasul 20:29-31 Paulus mengingatkan kemungkinan adanya orang-orang di dalam atau pun di luar gereja yang berusaha menarik murid-murid dari jalan yang benar. Dalam rangka menjaga ajaran ini nampaknya di gereja mula-mula diadakan pembagian tugas (presbiter), pembagian tugas Penatua, ada Penatua yang bertugas mengatur, tetapi ada juga penatua yang bertugas mengajar. Coba perhatikan sebutan mereka yang dengan berjeri payah berkhotbah dan mengajar (1Timotius 5:17).

Dari jabatan Penatua yang mengajar ini kemudian berkembang jabatan yang kita sebut kini sebagai Pendeta. Kalau kita mencari bolak-balik dalam Alkitab, kita tidak akan temui kata Pendeta di sana, tetapi kemudian direfleksikan dari ayat ini, Penatua yang bertugas mengajar, berkhotbah itu adalah Pendeta. Kemudian di jaman abad-abad reformasi, ini menjadi tekanan yang sangat kuat, oleh karena itu toga Pendeta adalah toga sarjana, ini bukan toga imam (menurut Imamat, toga imam itu akan sangat berbeda dengan toga Pendeta, namanya baju Efod). Toga ini adalah pakaian untuk mengajar, sehingga dalam ajaran Calvinis itu sangat kental sekali bahwa orang yang mengajar itu diberi gelar doktor Teologi.

Fungsi Penatua yang mengajar, yang kemudian kita terjemahkan saat ini dengan istilah Pendeta. Ketika tugas utama Penatua itu kemudian oleh gereja GKI dirumuskan dalam tata gereja (tata laksana bab 20, pasal 68 ayat pertama) tugasnya ada empat, yang pertama, melaksanakan pengembalaan. Yang kedua, melaksanakan pendidikan dan pembinaan. Ketiga, memelihara ajaran. Keempat, melaksanakan kegiatan-kegiatan lain yang membantu, mendukung, memberikan inspirasi dan menyediakan fasilitas-fasilitas.

Jadi tugas Penatua bukan hanya duduk di depan saja, dan tugasnya memang tidak mudah alias berat. Beratnya tanggung jawab seorang Penatua menyebabkan beratnya pula syarat yang harus dikenakan bagi seorang calon Penatua. Dalam 1Timotius 3 ada daftar yang rinci tentang perilaku yang dijadikan syarat Penatua, yaitu pertama tak bercacat. Tentu yang dipakai dalam syarat yang pertama ini bukan cacat fisik, bukan cacat tubuh. Tak bercacat yang dimaksudkan adalah bahwa di dalam kehidupannya, dia  tidak menjadi batu sandungan buat orang lain.

Yang kedua, suami dari satu istri, dapat menahan diri meskipun mungkin ia punya kebenaran. dia harus bisa melihat konteksnya, dia harus bisa pandai mengutarakan, dia harus bisa bijaksana. Harus sopan. Harus suka memberi tumpangan. Cakap mengajar orang. Bukan peminum. Bukan pemarah, melainkan peramah. Pendamai. Bukan hamba uang. Seorang kepala keluarga yang baik, dan Paulus menjelaskan mengapa ini penting, karena jelas rumah tangga juga merupakan faktor yang utama dalam kesaksian hidup beriman, bagaimana mungkin ia bisa mengurus rumah Tuhan dengan baik kalau rumah nya sendiri tidak diurusnya dengan sebaik-baiknya. Lalu kemudian Paulus mengatakan, jangan ia seorang yang baru bertobat. Mengapa? Supaya jangan menjadi sombong rohani.

Dia harus mempunyai nama baik di dalam maupun di luar jemaatnya. Ayat-ayat ini yang kemudian diadaptasi oleh gereja kita, yang dituangkan pada pasal 68 ayat 2. syaratnya yang pertama, Menghayati pelayanan Penatua sebagai panggilan spiritualitas. Jadi Penatua bukan menjadi suatu prestasi diri, apalagi untuk menyombongkan diri, tetapi harus dipahami sebagai suatu panggilan spiritual. Kedua, sekurang-kurangnya sudah dua tahun menjadi anggota sidi. Ketiga, sekurang-kurangnya sudah dua tahun menjadi anggota jemaat terkait dan telah aktif melayani di jemaat itu. Keempat, memegang ajaran dan menunjukan kelakuan yang sesuai dengan firman Allah dan ajaran gereja GKI. Kelima, memahami, menyetujui dan menaati tata gereja GKI. Keenam, tidak mempunyai hubungan suami-istri, atau menantu-mertua, orangtua-anak atau saudara sekandung dengan pejabat gereja dari jemaat yang sama. Seterusnya, bersedia dan mampu memegang rahasia jabatan. Mau dan mampu bekerjasama dengan orang lain. suami atau istrinya tidak menjadi batu sandungan. 

Daftar tadi dapat membuat kita kecil hati, siapa orang nya yang mau memenuhi semua persyaratan itu? Kalau itu syaratnya, ada tidak dari kita yang mampu melakukan tugas itu? Dalam prakteknya mungkin tidak ada seorangpun yang mampu memenuhi semua persyaratan itu. Sayapun harus jujur mengatakan kalau diukur dengan semua itu maka saya tidak layak. Namun itu bukan berarti semua persyaratan itu boleh diabaikan, persyaratan itu dicantumkan di situ untuk mengingatkan bahwa jabatan Penatua bukan jabatan sembarangan, bukan jabatan main-main, apalagi hanya sekedar jabatan mengisi waktu luang. Untuk melaksanakan jabatan sebagai seorang Penatua dituntut perilaku yang bisa dijadikan teladan, teladan panutan bagi orang lain. syarat-syarat yang diajukan sebagai pejabat gerejawi bukan dimaksudkan agar kita menyerah, dan kemudian kita berkata “saya tidak layak, saya tidak pantas”.

Jabatan gerejawi adalah sebuah anugerah Tuhan kepada gerejaNya yang diberikan atas dasar kemurahan hatiNya. Memang kita semua tidak layak, tetapi Tuhan mempercayakan itu, oleh karena itu sebagai orang yang dipercayai kita harus berusaha sebaik-baiknya untuk memenuhi semua tugas panggilan itu. Bagi diri orang yang terpanggil, kita harus memenuhi, menyiapkan hati dan diri kita untuk memenuhi panggilan itu. Dan bagi kita semua, kita pun kalau diukur dengan ukuran seperti itu, mungkin kita tidak layak, dan sangat mungkin memang kita tidak layak. Oleh karena itu biarlah kita juga bisa mendukung saudara-saudara kita yang menjawab panggilan itu, dukungan kita bisa kita nyatakan dalam bentuk doa. Kita tahu ini tugas yang berat, tidak mudah, kita harus menopang mereka yang bersedia melayani itu dengan doa-doa kita.

Berapa banyak di antara kita yang menyediakan waktu kita untuk mendoakan para Penatua, Majelis Jemaat, agar mereka cakap dan mampu melakukan tugas-tugas itu? Doa orang benar akan besar kuasanya. Yang kedua, dukungan itu bisa kita berikan dalam bentuk kesempatan, kita memberikan kesempatan kepada mereka yang terpanggil itu untuk berani tampil, untuk berani mencoba kepemimpinan, berani mencoba menerapkan aspek-aspek pengembalaan itu. Ada banyak orang yang tidak mau lagi menjadi Penatua karena trauma, “Ketika saya diminta untuk berdiri di mimbar lalu memimpin pengakuan iman, saya grogi dan hilang semua, lalu yang terjadi adalah cercaan- celaan, “Dia tidak pantas berdiri di belakang mimbar Tuhan”, sesudah itu dia tidak pernah lagi mau menjadi Penatua”. Di sinilah aspek dukungan itu tidak ada, kita harusnya memberikan kesempatan seluas-luasnya.

Saya pun tidak akan bisa dan berani berdiri dibelakang mimbar, berkhotbah dan mengajar banyak orang tanpa melalui proses jatuh-bangun, saya ingat sekali waktu pertama kali harus mengajar anak-anak sekolah minggu, sudah mempersiapkan dengan sedemikian rupa, bahkan sampai tidak bisa tidur untuk mempersiapkan bahan materi cerita, dan ketika berdiri didepan anak-anak, saya grogi, saya tidak bisa menguasai, saya tidak bisa menyampaikan apa yang harusnya saya sampaikan, tetapi teman-teman menopang dan mendukung “kamu bisa melakukanya”, bekal itu menjadi semangat yang baru. Demikian pula ketika saya melalui proses kependetaan, mulai masa orientasi, masa perkenalan, sungguh sangat tidak mudah, apa yang saya siapkan sebagai materi khotbah sering kali saya mengalami kesulitan untuk dapat mengkomunikasikannya, namun saya beruntung ada banyak jemaat, ada gereja yang bersedia untuk dapat memberi kesempatan bagi saya. Demikian pula dengan para Penatua, mungkin yang baru pertama kali tahu tugas dan tanggung jawabnya, dia akan minder, dia akan grogi, tapi seberapa jauh kita bisa memberikan kesempatan peluang yang kondisif?. 

Dukungan yang ketiga, jelas kita pun harus mengkritisi, memberikan arahan dan masukan kalau ternyata apa yang dilakukannya keliru dan salah. berikanlah pengarahan, masukan-masukan yang berarti, yang membangun tapi tidak menjatuhkan dan mempermalukan. Di sinilah kita berada dalam komunitas jemaat yang saling membangun, saling mendukung. Beratnya tanggung jawab pelayanan gerejawi tidak boleh juga menjadikan kita berkata “saya tidak mampu”, mungkin saja tidak semua tugas itu bisa dilaksanakan, melainkan hanya sebagian kecil saja, pelayanan kepada Tuhan tidak diukur dengan banyaknya apa yang sudah kita perbuat, apa yang sudah kita lakukan, melainkan dari kesungguhan, dari kesetiaan kita, dari komitmen kita melakukan tugas-tugas pelayanan itu. Johanes Calvin, tokoh reformasi kita pernah berkata “yang penting bukanlah apa yang kita kerjakan dengan kekuatan kita, melainkan apa yang dikerjakan Allah melalui kita”. Jabatan Penatua atau pelayanan apa pun adalah alat ditangan Tuhan, sebagai alat kita semua terpanggil untuk dapat mengerjakannya dengan sebaik-baiknya. Komitmen itulah yang sangat diperlukan sebagai jawaban kita kepada Tuhan dalam panggilan pelayananNya. Tuhan memberkati. Amin 

Selasa, 06 Januari 2015

DIKASIHI DAN DIPERKENAN ALLAH

Ada banyak upaya seseorang agar dapat dikasihi dan diterima dengan baik. Sering ada cerita, seorang karyawan supaya dikasihi atasannya sibuk mencari muka. Mengerjakan ini dan itu di hadapan atasnya supaya terkesan rajin dan kompeten. Lain lagi ceritanya dengan seorang pejabat publik. Biar terkesan bagus kinerjanya, maka sedikit saja mengerjakan apa yang baik, segera diekspose ke publik melalui corong pemberitaan. Kalau politisi? Ya, segala sesuatu yang dapat menguntungkan nama baiknya akan selalu diperjuangkan. Kadang harus tega membungkam nurani demi pencitraan. Tujuannya sejalas supaya banyak orang berkenan dan kemudian hari memilihnya entah jadi anggota DPR, kepala daerah atau presiden.

Rupanya, kebiasaan “cari muka” ini berlaku juga ketika manusia beribadah kepada TUHAN. Ibadah digunakan sebagai cara atau jalan TUHAN mengasihi dan memberkatinya. Tidak berhenti di situ saja, dampak lainnya juga tidak kalah menguntungkan bahwa dirinya dikenal sebagai seorang yang agamis, taat beribadah. Pendek kata orang saleh! Satu hal sering dilupakan manusia, bahwa TUHAN itu Mahatahu. Ia mengerti dan tahu benar niat seseorang beribadah kepada-Nya.

Suatu masa kehidupan umat TUHAN diwarnai dengan kebanggaan. Kaum Yudaisme sangat bangga dengan keyakinannya bahwa mereka adalah umat istimewa di hadapan TUHAN. Mereka mengklaim sebagai umat yang paling “bersih”. Bayangkan, mereka menerjemahkan Imamat 11-15 dengan begitu gamlang, harafiah! Sehigga kelak Tertullianus, salah seorang bapa gereja mengatakan, “Orang Yahudi membersihkan dirinya setiap hari, sebab setiap hari ia bisa cemar.” Pembersihan dan penyucian simbolis telah masuk dalam struktur kepercayaan Yahudi. Sampai di sini, tentu baik. Tidak ada salahnya perbuatan simbolis dipakai sebagai sarana penghayatan untuk kehidupan yang terus-menerus lebih baik, lebih bersih. Namun, apa lacur mereka memandang bahwa orang-orang di luar mereka – yang tidak melakukan ritual seperti mereka – dianggap tidak bersih, najis. Oleh karena itu, apabila seorang bukan Yahudi hendak menjadi pengikut Yudaisme (proselit) mereka harus bertobat. Caranya, ia harus menjalani tiga hal: Pertama, ia harus disunat. Ini wajib, oleh karena dengan itu ia terhisap menjadi umat perjanjian. Kedua, kurban harus dibuat untuknya, oleh karena darah hewan harus mengalir sebagai lambang penebusan dosa. Ketiga, ia harus dibaptis yang melambangkan pembersihannya dari semua kotoran pada masa lalu.

Ketika praktek formalitas ritual ini begitu rupa menjadi kebanggaan umat Yahudi ini, tampilah Yohanes Pembaptis. Ia seorang Yahudi dan menyerukan pertobatan. Sampai di sini dapat dimengerti oleh para pemuka Yahudi, kalau itu ditujukan untuk orang-orang di luar Yahudi. Mengapa? Karena sesuai dengan keyakinan mereka, baptisan pertobatan hanya berlaku bagi mereka yang non Yahudi sedangkan untuk kalangan mereka berlaku Imamat 11-15 itu. Namun, masalahnya Yohanes menuntut pertobatan itu untuk semua orang dan dalam konteks pewartaannya, tentu saja mayoritas umat Yahudi. Kita dapat bayangkan Yohanes menuntut pertobatan kepada mereka yang merasa diri sudah bersih dari dosa dan mereka merasa diri bahwa TUHAN sudah berkenan kepada mereka!

Tak pelak lagi, Yohanes telah melakukan sebuah terobosan yang luar biasa yakni, bahwa menjadi seorang Yahudi secara ras bukanlah berarti otomatis Allah berkenan dan kemudian mempunyai hak-hak istimewa dibandingkan dengan non Yahudi. Seorang Yahudi, di hadapan Allah, bisa saja ditolak dan tidak punya hak istimewa sama sekali! Oleh karena itu, seruan bertobat berlaku bagi semua orang tanpa kecuali.

William Barcklay menegaskan bahwa baptisan itu diiringi dengan pengakuan. Untuk bertobat, berbalik kepada Allah, pengakuan harus dilakukan kepada tiga pihak berbeda.

1.  Seseorang harus membuat pengakuan kepada dirinya sendiri. Konon, di dunia ini ada satu hal yang paling sulit untuk dihadapi, yakni diri sendiri. Langkah pertama untuk bertobat dan menjalin hubungan yang benar dengan Allah adalah mengakui dosa kita kepada diri sendiri. Banyak orang mengakui dan menyadari kekeliruannya namun hanya berhenti di situ. Buktinya, ketika peristiwanya telah berlalu sekian lama, ia kembali melakukannya.

2.   Seseorang harus membuat pengakuan kepada orang-orang yang kepadanya ia telah berbuat salah. Tidak banyak gunanya kita berkata kepada Allah bahwa kita mengaku dan menyesali dosa-dosa kita tanpa meminta maaf kepada orang-orang yang bersalah kepada kita, orang-orang yang telah kita buat sakit hati dan berduka.

3.  Seseorang mesti membuat pengakuan yang tulus kepada Allah. Akhir keangkuhan adalah awal pengampunan. Hanya bila seseorang berkata, “Saya telah berdosa,” maka berkesempatan memberi anugerah-Nya, “Aku mengampuni Engkau!” Ingatlah, bukan orang yang ingin menemui Allah dengan berdiri sama tinggi yang akan mendapatkan pengampunan, melainkan orang yang bersujud dalam kerendahan dan berbisik dengan rasa malu, “Allah, kasihanilah aku, orang berdosa ini.”

Bagi seseorang yang kritis, baptisan yang dilakukan Yohanes terhadap Yesus menimbulkan masalah. Baptisan Yohanes adalah baptisan pertobatan, dimaksudkan untuk orang-orang yang menyesali dosa-dosanya dan yang ingin mengungkapkan kebulatan hati mereka untuk mengakhiri dosa-dosa itu. Lalu, apakah artinya batisan seperti itu bagi Yesus? Apakah Yesus termasuk orang yang berdosa? Bukankah selama ini kita diajari doktrin bahwa Yesus tidak berdosa dan dengan sendirinya baptisan seperti itu tidak perlu? Mari, kita cermati begini, bagi Yesus baptisan Yohanes itu mengandung empat hal:

1. Baptisan adalah saat pengambilan keputusan. Selama tiga puluh tahun, Yesus tinggal di Nazaret. Dengan setia, Ia telah melakukan pekerjaan-Nya sehari-hari dan menunaikan semua kewajiban-Nya terhadap keluarga-Nya. Kini, tiba waktunya untuk keluar menanggapi panggilan-Nya. Tampilnya Yohanes adalah waktu yang genap itu. Ia melihat bahwa sekaranglah tiba waktunya untuk memulai tugas-Nya. Nazaret penuh damai dan keluarga-Nya menyenangkan, tetapi Ia menjawab tantangan dan panggilan Allah.

2. Pembaptisan itu adalah saat identifikasi. Adalah benar bahwa Yesus tidak perlu bertobat dari dosa, tetapi di sini ada gerakan umat untuk kembali kepada Allah; dan dengan gerakan kembali kepada  Allah itulah Ia bermaksud untuk mengidentifikasikan diri-Nya. Seseorang bisa saja memiliki kehidupan yang tentram, aman dan sejahtera namun ia bisa terjun bersama-sama dengan sebuah gerakan untuk menghadirkan keadaan yang lebih baik bagi kaum miskin dan tertindas. Identifikasi yang benar-benar luhur adalah bila seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan suatu gerakan, bukan demi kepentingannya sendiri, melainkan untuk orang lain.

3. Baptisan itu adalah momentum untuk memperoleh persetujuan. Yesus telah mengambil keputusan akan apa yang harus Ia lakukan kedepan-Nya. Kini, Ia mengharapkan meterai persetujuan dari Allah. Allah menjawab, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah AKu berkenan.” Kalimat ini terasa berbeda ketika membandingkannya dengan Matius 3:17. Sangat personal, tidak diumumkan untuk semua orang, melainkan hanya kepada Yesus suara itu tertuju. Pada baptisan itu kita melihat bahwa Yesus menyerahkan tekad-Nya kepada Allah, dan keputusan itu sepenuhnya disetujui!

4. Baptisan adalah saat untuk memperoleh perlengkapan. Pada waktu itu Roh Kudus turun ke atas-Nya. Di sana ada lambang khusus yang dinyatakan oleh . Roh itu turun seperti seekor burung merpati. Kiasan ini dipilih tidak secara kebetulan, merpati adalah lambang kelemahlembutan. Selanjutnya orang-orang akan melihat bahwa Yesus tampil dengan lemah lembut.

Benar, bahwa Allah dengan segala kuasa-Nya bebas menentukan kepada siapa Ia mengasihi dan berkenan. Kebaikan dan kesalehan, apalagi ibadah-ibadah kamuplase manusia tidaklah mungkin dapat “membeli” kasih dan perkenan-Nya itu. Banyak contoh dalam Alkitab bahwa Allah bebas memilih, mengasihi dan memperkenankan seseorang. Abraham, jelas bapak dan leluhurnya dulu bukanlah penyembah Allah, Daud bukan selamanya tunduk kepada TUHAN, kita ingat bagaimana ia telah berzinah dengan Bersyeba, Paulus bukanlah dulunya adalah seorang Saulus, pembantai orang Kristen. Namun, kepada mereka Allah berkenan. Tentu, ada perubahan mendasar dari sikap mereka setelah Allah memanggil mereka. Sekali lagi, benar bahwa Allah mengasihi dan berkenan pada seseorang bukan karena kebaikan orang tersebut, namun kita bisa belajar dari sikap Yesus. Yesus adalah figur orang yang dikasihi dan diperkenan Allah. Sejak penyataan Allah melalui peristiwa baptisan Yohanes itu, Ia menyerahkan diri dan hidup-Nya dalam ketaatan mutlak kepada Sang Bapa. Jadi, kita tidak bisa berspekulasi hidup semaunya karena Allah bebas menentukan. Satu-satunya jalan pasti untuk dikasihi dan diperkenan Allah adalah meneladani sikap Yesus dan mengikuti ajaran-Nya!