Senin, 18 Agustus 2014

DIPANGGIL UNTUK MEMERDEKAKAN


Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan kata “merdeka” dengan: bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya), berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat atau tergantung pada pihak-pihak tertentu, leluasa (boleh berbuat dengan leluasa). Hari ini, kita memperingati enam puluh sembilan tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Kita meyakini bahwa sejak Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan, maka saat itulah Indonesia disebut negara berdaulat. Merdeka menentukan nasibnya sendiri dan tidak tergantung pada otoritas negara lain.

Menelisik definisi “merdeka” tentu setiap orang punya pemahamannya sendiri-sendiri. Banyak orang beranggapan merdeka itu adalah bebas, sebebas-bebasnya, semau gue berekspresi, berbuat dan bertindak sehingga tidak peduli lagi dengan peraturan hukum, perasaan, hak, dan martabat orang lain. Kemerdekaan seperti ini tentu menjadi bencana bagi yang lain. Alih-alih merdeka, manusia yang mengumbar kebebasannya justeru sebenarnya sedang memperlihatkan bahwa dirinya dikuasai oleh nafsu keserakahan. Ia menjadi hamba atau budak nafsunya! Kita sering lupa bahwa ada semacam penjajah laten, tersembunyi dalam diri kita, yakni keserakahan sehingga muncul niat penaklukkan dan penguasaan atas diri atau milik orang lain. Bukankah penjajahan satu bangsa terhadap bangsa lain, atau kelompok satu terhadap kelompok yang lain sebenarnya terjadi akibat pribadi-pribadi dalam kelompok atau bangsa itu dikuasai oleh nafsu serakahnya?

Hitler, mungkin bagi diri dan pengikutnya merasa sebagai orang merdeka hingga dengan leluasa ia membantai lebih dari enam juta orang Yahudi. Abu Bakar al Baghdadi dengan ISIS-nya membantai sadis kelompok-kelompok yang berbeda dengannya, merasa merdeka dan bebas. Atau para Zionis Israel yang membombardir jalur Gaza yang sedang mempertontonkan kehebatannya. Mereka merasa bebas dan merdeka dari tekanan dunia internasional dengan dalil membalas serangan milisi Hamas. Sepintas mungkin iya, mereka tampak mempunyai kuasa, kekuatan dan kebebasan. Namun, bukankah sebenarnya mereka sedang mempertontonkan diri sebagai budak-budak nafsu? Nafsu menaklukan dan membunuh yang bersumber dari dendam dan kebencian! Mustahil sebuah komunitas dapat sungguh-sungguh mengalami kemerdekaan tanpa setiap pribadi dalam kelompok berusaha untuk tidak dikuasai oleh keserakahan, kerakusan, dendam kesumat dan kebencian.

Merdeka itu persoalannya terletak jauh di kedalaman hati manusia. Setiap orang yang berhasil menjaga hatinya dari niatan tidak baik: keserakahan, kerakusan, dendam kesumat dan kebencian tetapi membiarkan diri disentuh oleh cinta kasih, itulah sebenarnya manusia merdeka. Yusuf anak Yakub adalah salah seorang manusia merdeka itu. Yusuf pernah diperlakukan sangat buruk bahkan biadab oleh kakak-kakaknya sekarang sedang berkuasa di Mesir. Ia berada “di atas angin” jika ingin melampiaskan dendam dan kebencian terhadap saudara-saudaranya itu. Saudara-saudara Yusuf kini “mengemis” makanan dan kehidupan. Namun, Yusuf tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh kebencian dan dendam. Alih-alih membalas perlakuan buruk, Yusuf mempunyai cara pandang lain. Ia melihat dari sudut pandang rencana Allah, yakni memelihara kehidupan sebuah bangsa!

Yusuf bukan orang dengan amnesia sehingga ia lupa akan perlakuan kakak-kakak terhadap dirinya. Ketika saudara-saudara Yusuf berhadap-hadapan dengannya, Yusuf memperkenalkan diri ,”Akulah Yusuf, saudaramu, yang kamu jual ke Mesir.”(Kejadian 45:4). Itu berarti Yusuf mau berdamai dengan masa lalu yang pahit. Sering orang mengatakan, “Mengampuni berarti melupakan!” Padahal tidak harus selalu seperti itu. Yang dibutuhkan adalah kebesaran hati, tidak usah berusaha melupakan masa lalu yang menyakitkan melainkan melihat dari sudut pandang Allah. Leroy Eims menyarankan, “Jadilah seseorang yang melihat lebih banyak daripada yang dilihat orang lain, yang melihat lebih jauh daripada yang dilihat orang lain, dan yang melihat sebelum orang lain melihatnya.” Sementara kebanyakan orang melihat bahwa kebencian harus dilawan dengan kebencian, kekuasaan digunakan untuk menindas dan kepuasan terletak mana kala orang yang dulu menganiaya kini terkapar tidak berdaya. Yusuf dapat melihat sis lain, sisi yang berbeda: Ia melihat lebih jauh, lebih dalam, lebih utuh. Yusuf dapat melihat dari sudut pandang Allah sehingga ia mampu berkata, “Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu.”(Kej. 45:5)

Lihat, apa yang terjadi dalam diri orang merdeka! Yusuf yang tidak membiarkan diri diperhamba oleh dendam dan kebencian kini ia dapat menolong saudara-saudaranya yang berada dalam ketakukan yang membuat mereka “bersusah hati” dan “menyesali diri”. Kasih yang mengalir dari ketulusan hati yang merdeka inilah yang sanggup “memerdekakan” orang lain yang berada di bawah tekanan rasa bersalah. Setiap orang yang hidupnya dikuasai oleh kecemasan, takut, dan menyesali diri sesungguhnya ia tidak terbebas atau dalam bahasa tema kita tidak merdeka. Mereka perlu ditolong, dimerdekakan. Siapa yang mampu memerdekakan orang yang tertekan oleh ketakutan? Ya, tentu Tuhan sendiri. Namun, Tuhan bisa memakai setiap orang menjadi alat di tangan-Nya. Alat itu hanya dapat berfungsi dengan baik apabila ia sendiri telah dimerdekakan. Hanya orang-orang yang merdekalah yang dapat memerdekakan orang lain.

Perempuan Kanaan yang percaya (Matius 15:21-28) atau dalam Injil Markus 7 disebut sebagai perempuan Siro-Fenisia adalah contoh lain dari seorang dengan hati yang bebas dari kebencian. Hati yang merdeka! Coba Anda dapat banyangkan begini, Anda mempunyai seorang anak perempuan yang begitu dicintai. Anak itu kini sangat menderita karena kerasukan setan. Anda mendengar bahwa Yesus adalah orang yang sanggup memerdekakan sang anak dari cengkeraman kuasa setan itu. Anda bayangkan, seperti kata orang bahwa Yesus itu lemah lembut, Ia sangat baik dan penuh kuasa. Apa yang terjadi ketika Anda memohon, “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud,...” Tetapi Anda sama sekali tidak digubris, malah para murid menyuruh Yesus mengusir Anda! Bahkan, ketika Anda terus-menerus berteriak minta tolong, tanpa diduga Yesus menjawab, “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” Anda berharap banyak tapi kini Anda disebut anjing! Masihkah hati Anda terus berharap dan bebas dari kebencian? Tidak mudah menjaga hati. Namun, perempuan Kanaan ini berhasil, hatinya bebas dari kebencian, imannya luar biasa. Dalam kerendahaannya ia berkata, “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.”

Apa yang terjadi kemudian? Yesus menjawab, “Hai, ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki.” Dan seketika itu juga anaknya sembuh. Sang ibu ini menjadi alat untuk anaknya dimerdekakan dari kungkungan kuasa setan. Hati, iman dan ketulusan Ibu ini menjadi contoh bagi banyak orang Yahudi yang disebut “anak-anak” namun gagal membawa misi pembebasan lantaran terbelenggu oleh pemahaman sempit Hukum Taurat.

Kita dipanggil untuk merdeka dan pada gilirannya diutus untuk memerdekakan banyak orang terjajah oleh nafsu dan ketakutan. Misi pembebasan itu akan sangat efektif jika dimulai dari diri sendiri dengan hati yang lebih dahulu dibebaskan dari niatan-niatan nafsu duniawi. Tentu, orang-orang yang berada di bawah kuasa setan itu tidak selalu digambarkan seperti anak perempuan ibu dari Kanaan yang kerasukan atau kesurupan. Namun, bukankah saat ini di sekitar kita begitu banyak orang yang dikuasai nafsu destruktif: ketamakan, rakus, iri hati, benci, dendam, kesombongan dan semacamnya. Kita tidak pernah akan bisa menjadi alat pembebas jika kita sendiri masih menikmati hidup di dalamnya. Mulailah dari diri sendiri dengan menjaga hati agar tetap merdeka dari perhambaan nafsu serakah!

Jumat, 08 Agustus 2014

IRI HATI MEMADAMKAN CINTA

Bagaimana perasaan Anda apabila teman Anda mendapat hadiah undian dari bank sebuah mobil Mercedes Benz seri terbaru yang harganya miliaran rupiah? Padahal dulu, Andalah yang mengajurkan kepadanya untuk menabung di bank itu, bahkan Anda sendiri sudah lama menjadi nasabah sambil mengharapkan hadiah itu. Ikut senangkah? Atau ada perasaan yang tidak nyaman menggelitik? Perasaan it terus mengusik, lalu Anda menyesal mengapa dulu aku menyarankan kepadanya untuk menjadi nasabah bank itu? Mengapa bukan aku yang memenangkan hadiah itu? Anda mulai gelisah dan sulit tidur. Hati-hatilah! Virus iri hati mulai merasuk. Perlahan tapi pasti dan bisa menggerogoti kedamaian Anda. Amsal mengingatkan bahwa iri hati dapat membusukkan tulang (Amsal 14:30). Artinya, bukan saja merusak mentalitas kita melainkan dapat berdampak pada kesehatan kita.

Virus iri hati dapat merasuki siapa saja, tanpa pandang bulu. Ia bisa merasuki seorang karyawan, direktur, pengusaha, politikus, negarawan bahkan rohaniwan sekalipun. Iri tanda tak mampu!  Kalimat yang sering kita dengar bahkan menjadikannya sebagai bahan kelakar. Benarkan iri hati merupakan manifestasi ketidak mampuan seeorang? Kalau benar ketidakmampuan dalam hal apa? Pada dasarnya orang yang dikuasai oleh iri hati merupakan orang yang tidak mampu untuk: 1) Menerima diri sendiri apa adanya. 2) Bersyukur kepada Tuhan, Sang Pencipta dan Pemberi. 3) Mengelola potensi diri yang Tuhan berikan kepadanya agar bertumbuh kembang.  4) Menerima keberadaan orang lain yang lebih dari dirinya. 5) Bekerjasama dan membangun bersama.

Virus iri hati berakibat fatal, lebih mematikan dari pada virus Ebola atau HIV. Mengapa? Virus ini dapat menghentikan “metabolisme enzim” kasih di dalam tubuh. Jika seseorang terserang iri hati, kebencian sudah siap menyerang seluruh tubuh. Kini, siapa pun bisa dibencinya termasuk saudara sendiri. Kebencian itu sesaat saja akan berubah menjadi nafsu melenyapkan. Membunuh! Itulah kisah Yusuf dengan saudara-saudaranya.

Benar, mungkin ada alasan yang tepat mengapa saudara-saudara Yusuf menjadi iri terhadapnya. Mereka merasa diperlakukan tidak adil. Sang ayah begitu memanjakan Yusuf, diberinya jubah maha indah sementara yang lain tidak, padahal mereka sama-sama anaknya juga. Ditambah pula sang adik, Yusuf bercerita tentang mimpi yang menyiratkan bahwa kelak kakak-kakanya itu akan sujud menyembahnya. Kini, si tukang mimpi datang menghampiri mereka di padang penggembalaan domba memakai jubah maha indah pemberian sang ayah, bisa dibayangkan bagaimana kebencian itu semakin menjadi-jadi. Saya kira mungkin kita pun setuju dengan perasaan dan tindakan dari kakak-kakak Yusuf yang merasa diperlakukan tidak adil. Kita akan marah kalau dianaktirikan. Itulah pembenaran bagi setiap orang yang merasa diperlakukan tidak adil. Virus iri hati ini begitu dasyat, sehingga kita tidak mudah mendiagnosa mana perlakuan tidak adil sesungguhnya, atau hati yang sedang panas karena iri.  

Di lain pihak, benar juga bahwa lahan subur iri hati telah disiapkan sang ayah yang kelak berbuah kebencian. Namun, apakah semestinya kebencian yang berujung niat pembantaian ini dipelihara? Banyak orang merasa lebih puas melampiaskan kebencian dengan melukai bahkan membunuh ketimbang berdamai apalagi mengucap syukur atas tindakan kasih, keberhasilan, keadaan baik dan mulia yang diterima oleh sesamanya. Kita sering kali terlambat menyadari bahaya yang terjadi ketika iri hati terus dibiarkan berkembang. Sesal kemudian tidak berguna kata pepatah, dan itulah juga kelak yang terjadi dengan saudara-saudara Yusuf yang dirasuki kebencian.

Virus iri hati yang telah bermutasi menjadi kebencian ini memadamkan semua perasaan kasih sayang persaudaraan. Mereka kemudian mengolok-olok, membuang ke dalam sumur dan akhirnya menjual Yusuf sebagai budak ke saudagar-saudagar Midian seharga dua puluh syikal perak. Kisah Yusuf dan saudara-saudaranya hanya salah satu kisah dasyatnya iri hati. Kita masih bisa menemukan begitu banyak lagi kisah-kisah serupa. Atau jangan-jangan saat ini, kita sendiri tanpa sadar telah terjangkiti oleh virus iri hati. Sekali lagi untuk diagnosa virus ini tidak mudah, kita membutuhkan semacam “city scan” dan kesedian menjalani tindakan pemulihan.

Mari kita telusuri. Penyebab iri hati tidaklah jauh dari ketidakmampuan untuk:
1.    Menerima diri sendiri apa adanya.
2.    Bersyukur kepada Tuhan, Sang Pencipta dan Pemberi.
3.    Mengelola potensi diri yang Tuhan berikan kepadanya agar bertumbuh kembang. 
4.    Menerima keberadaan orang lain yang lebih dari dirinya.
5.    Bekerjasama dan membangun bersama.

Oleh sebab itu mengatasinya adalah dengan:

1.   Virus iri hati dapat ditangkal, jika rasa syukur meluap dengan ungkapan syukur. Membaca Mazmur 105 kita dapat belajar. Bersyukur dapat kita lakukan dengan mengenang kembali perbuatan Allah di masa lampau, kita dapat mengingat-ingatnya dan juga mendiskusikannya.

2.     Bila hati sedang panas, ambilah waktu sejenak untuk berdoa bersama Tuhan. Bukankah Yesus telah memberi kita teladan. Ia tidak membiarkan diri-Nya hanyut dalam rutinitas dan tergoda oleh popularitas. Ia selalu mengambil saat teduh bersama dengan Bapa-Nya. Ibarat batre telepon genggam, kita perlu diisi agar dapat digunakan lagi.

3.  Kenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Terimalah dan berdamai dengan itu, yakini bahwa Tuhan menciptakan kita dengan yang terbaik untuk kita menurut sudut pandang-Nya. Dia menciptakan kita hampir sama seperti diri-Nya (Mazmur 8:6).

4.    Setelah mengenal dan menerima potensi diri, kita akan dapat bersyukur kepada Tuhan karena Dialah Sang Pemberi talenta. Dia memberikan talenta itu menurut kesanggupan setiap orang, jadi jika ada yang diberi lebih dari kita, janganlah iri (Matius 25:15). Tuhan sangat tahu porsi yang harus kita terima.

5.    Anda adalah diri Anda, jangan ingin jadi orang lain. Belajar dari proses keberhasilan orang lain adalah baik. Namun, jauh lebih baik mengembangkan talenta yang Tuhan percayakan kepada Anda (Matius 25:16-17) dan jangan sekali-kali memendamnya (Matius 25:18).

6.     Jika ada orang yang lebih berhasil, lebih kaya, lebih pandai, lebih cakep, pendeknya lebih dari diri Anda, jangan marah apalagi menyimpan dengki. Rayakan dan bersukacitalah. Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita (Roma 12:15a). Pada awalnya mungkin sulit, tapi kalau kita berhasil melihat sisi positif dari merayakan keberhasilan orang lain, kita akan bisa melakukannya. Lakukan terus hingga kita terbiasa.

7. Tuhan memberikan kepada kita talenta yang berbeda, itu semua merupakan kekayaan untuk pembangunan bersama bukan sebaliknya saling iri dan menjadi bahan perpecahan. Di dalam Kristus kita adalah anggota-anggota Tubuh-Nya, untuk itu bekrjasamalah (1 Korintus 12:12-31).

Keberhasilan kita dalam menyingirkan virus iri hati akan berbuah sangat baik. Hidup ini jadi sehat, kita akan sangat mudah tersenyum, jauh dari rancangan busuk mencelakakan orang lain, jauh dari kecurigaan. Kita akan menikmati hidup yang berkualitas. Hidup seperti inilah yang memudahkan Injil dipahami oleh orang yang bersentuhan dengan kita. Jadi pilih mana: Bebas dari virus iri hati atau mau terus memeliharanya?