Jumat, 04 Juli 2014

ALLAH MENUNTUN DAN MENOLONG

Tepat di tengah malam, deringan detektor asap mengejutkan sebuah keluarga yang sedang tidur lelap. Dengan segera mereka bangun dan melompat dari tempat tidur. Orang tua bergegas mencari anak mereka dan membawanya ke luar rumah. Begitu berada di luar, mereka mulai menghitung jumlah anggota keluarga dan menemukan bahwa seorang anak mereka hilang. Ketakutan orang tua akan hal terburuk kini menjadi kenyataan. Kemudian, mereka melihat anaknya yang kecil berada di balik jendela lantai dua, terperangkap dalam nyala api.

Sang ayah, seorang penatua gereja yang saleh, segera berlutut dan berdoa agar Allah bertindak untuk menyelamatkan anaknya. Sang ibu juga demikian. Ia seorang yang beriman teguh, tetapi juga seorang perempuan yang praktis. Tanpa pikir panjang, segera ia berlari ke rumah tetangga terdekat, meminjam tangga yang panjang, memasang tangga itu di depan rumahnya, tanpa takut menaiki anak tangga satu demi satu dan sampailah di lantai dua. Segera ia meraih sang anak dan menyelamatkannya.

Ada saat-saat di mana cara terbaik untuk mengungkapkan iman adalah dengan mengistirahatkan lutut. Dalam konteks cerita di atas, sang ibu segera bergerak pergi mendapatkan tangga dan segera melakukan hal-hal yang memang harus segera dilakukan dalam situasi kritis. Namun, tampaknya bagi orang yang menganggap diri sebagai pemelihara ritual ibadah dan mengerti ilmu agama, cara terbaik untuk menyelamatkan anaknya adalah seperti yang dilakukan oleh sang ayah. Ritual adalah mutlak! Dan bagi orang-orang seperti ini tindakan yang dilakukan oleh sang ibu bisa dikecam sebagai tindakan kebodohan.

Yesus sering mendapat kecaman dari orang-orang yang menganggap diri bijak pandai. Siapa orang-orang yang merasa diri bijak dan pandai itu? Pada saat itu, Yesus berada di tengah-tengah orang Yahudi di Galilea. Sezaman dengan Yesus, di Yunani filsafat dan ilmu alam sedang berkembang, tetapi di antara orang-orang Yahudi di Palestina hanya ada satu ilmu saja yang berkembang, yaitu teologi. Ahli-ahli Taurat merupakan faktor utama dalam diskusi-diskusi tafsir kitab suci. Yesus telah mengalami banyak perjumpaan dengan ahli-ahli Taurat yang sangat bangga dengan ajaran-ajaran kesenangan mereka itu, sampai-sampai mereka tidak dapat lagi bisa menerima ajaran yang disampaikan Yesus baik melalui tutur kata ataupun perbuatan dan mujizat-mujizat-Nya (Salah satu contohnya Matius 11: 25-30).

Jika Yesus berkata tentang “orang-orang yang bijak sana dan pandai” maka setiap pendengar-Nya pasti mengerti bahwa yang dimaksudkan-Nya adalah ahli-ahli Taurat itu. Mereka banyak tahu kaidah-kaidah Taurat dan turunannya lalui kemudian menetapkannya sebagai hukum yang tidak boleh dilanggar. Ahli-ahli Taurat menentukan ada enam ratus tiga belas peraturan yang harus diikuti dan tidak boleh dilanggar oleh orang yang mau hidup taat kepada TUHAN. Dapat dibayangkan hal itu telah menjadi beban berat. Hukum itu telah menjadi kuk!

Beratnya hukum-hukum ini mungkin seperti yang dirasakan Paulus, “...aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. Sebab dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tbuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa  yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku. Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” (Roma7:21-24). Paulus sebagai ahli hukum Taurat itu bertanya, siapakah yang dapat membebaskannya dari belenggu kuk itu? Dalam pergumulannya, ia menemukan jawaba, “Syukur kepada Allah! Oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.”(Roma 7:25)

Yesus memanggil “marilah kepada-Ku semua orang yang letih lesu dan berbeban berat.” Kata-kata ini sering terlalu terburu-buru diaplikasikan untuk semua tipe penderitaan umat manusia. Seolah-olah Yesus memanggil semua orang yang menderita. Padahal yang dimaksudkan semula di sini adalah orang Yahudi yang letih lesu karena semua peraturan ahli-ahli Taurat itu. Bayangkan orang Yahudi itu (seperti yang dikatakan  W. Barclay) bagaikan hidup di tengah-tengah sebuah hutan peraturan, yang mengatur setiap tingkah laku mereka, apalagi mereka adalah orang-orang sederhana yang tidak gampang dapat menghafal peraturan itu.

Dalam konteks inilah Yesus tampil menawarkan kelegaan. Sama sekali bukan maksud Yesus untuk menghapuskan peraturan dan kemudian orang menjadi liar. Ia tidak akan meniadakan Hukum Taurat, tetapi menggenapinya (Matius 5:17). Apa yang diajarkan Yesus adalah inti dari Taurat: keadilan, kasih, dan kesetiaan (Matius 23:23) yang merupakan inti sari dari hukum utama, yakni kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia (Mat. 22:37-40). Dengan cara seperti apa Yesus mengajarkan tentang Allah? Jelas, bukan dengan kata-kata saja, tetapi melalui seluruh kepribadian-Nya. Barangsiapa telah melihat Yesus, ia melihat Bapa (Yoh. 14:9), maka setiap orang yang ingin mengenal pikiran Allah, hati Allah dan sifat Allah, baiklah ia memandang Yesus.

Ironis! Mereka yang menyambut, memahami, mengerti dan mengaminkan ajaran Yesus bukanlah kaum cerdik pandai, melainkan nepios (bayi atau kanak-kanak) yang lazim diterjemahkan dengan orang-orang kecil (wong cilik), orang-orang sederhana, orang-orang yang tidak terpelajar dalam pemahaman Taurat. Sepertinya, orang-orang kecil ini menunjuk kepada setiap orang yang menyambut pewartaan-Nya dengan sukacita. Kemudian, Yesus tidak membebaskan murid-murid-Nya dari kuk (beban) itu, tetapi membuat kuk itu lebih mudah ditanggung.

Bagaimana mungkin kuk yang dibuat Yesus lebih ringan? Bukankah tidak pernah ada orang yang menuntut hukum kasih kepada Allah dan sesama seradikal apa yang diajarkan Yesus? Apakah hal itu bukan suatu beban yang berat? Benar! Namun, semua itu bergantung kepada setiap hati kita. Ketika setiap kita mengalam perjumpaan dan merasakan kasih-Nya yang begitu besar, maka kuk itu bukan lagi beban. Mana ada orang yang di dalam dirinya dirasuki cinta kasih akan merasakan terbebani. Yang ada ia akan terus memacu dirinya untuk berbuat memberikan yang terbaik untuk yang dikasihinya.

Belajar dari Yesus berarti tidak cukup hanya mendengar apa yang diajarkan-Nya, melainkan juga mengikuti cara hidup yang ditempuh oleh Yesus. Hidup-Nya adalah perwujudan keadilan, kasih dan kesetiaan. Dalam hidup-Nya terwujud keutuhan cinta kepada Allah dan sesama. Dalam hal inilah para murid diajak belajar dari Yesus. Yesus menuntun dan menolong para murid untuk hidup mengasihi Allah dan sesama.

Kerendahan hati adalah syarat mutlak bagi setiap orang yang mau dituntun dan ditolong oleh Allah. Setiap orang yang merasa mumpuni, merasa pandai, merasa mampu dan merasa serba tahu, maka baginya tidak lagi membutuhkan tuntunan dan pertolongan. Dari cerita perjumpaan Yesus dengan para “cerdik pandai” kita dapat belajar. Mereka bukan saja tidak dapat menerima kebenaran yang disampaikan Yesus, melainkan lebih dari itu berusaha membinasakan Sang Kebenaran itu! Orang-orang. Ilmu yang ada pada diri kita sekarang bisa menghambat dan menolak tuntunan yang ditawarkan Tuhan kepada kita, namun sebaliknya ia juga bisa membuat kita menyambut Sang Kebenaran yang sesungguhnya itu.

Jumat, 27 Juni 2014

TUHAN MENYEDIAKAN, MANUSIA MENGUSAHAKAN KELEGAAN



Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham.” Begitulah kalimat awal dari kitab Kejadian 22. Bukan perkara mudah memahami kalimat ini. Mengapa? Bukankah Allah itu Mahatahu mengapa pula harus menguji atau megetes seberapa besar kadar ketaatan Abraham kepada-Nya? Ataukah Allah sedang iseng dengan menggunakan waktu luang-Nya menunggu Ishak dewasa? Dan..apa untungnya pula bagi Allah atas pencobaan yang dilakukan-Nya? Sadarilah ketika kita berusaha menyingkap maksud Allah dengan cobaannya itu tetaplah selalu menyisakan misteri! Namun, dari sisi Abraham, ada banyak kekayaan hikmat yang bisa kita gali.

Sebelumnya sampai puncak pencobaan, Abraham berulang kali diuji. Ia disuruh meninggalkan rumah leluhurnya ke negeri entah berantah yang belum diketahuinya (Kejadian 12). Anak yang dijanjikan menjadi benih bagi bangsa yang besar tertunda-tunda kelahirannya (Kej. 15:2, 17:18). Kemudian kunjungan tiga orang  tamu yang seolah mengulangi janji-janji terdahulu (Kej.18) merupakan cara lain dari pemeriksaan dan pencobaan oleh Allah. Itu semua dapat di atasi. Namun, tampaknya Allah belum puas! Kini, Ia meminta anak yang sudah begitu lama dinanti-nantikannya untuk dipersembahkan, dijadikan korban bakaran! “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah...dan persembahkanlah dia di sana.” (Kej.22:2). Bukankah cara seperti ini Allah sedang tampil dengan ganas dan brutalnya merusak kebahagiaan orang yang setia kepada-Nya? Bayangkan ini, anak tunggal, anak sulung, anak yang dikasihi yang kelahirannya dinanti-nantikan kemudian sekonyong-konyong diminta-Nya untuk dibunuh dan dibakar demi sebuah ritual korban persembahan kepada Allah yang disebut Mahapengasih dan Penyayang? Tidakkah ada cara lain untuk itu?

Bukankah juga perintah Allah ini menentang dan membatalkan perjanjian Allah sendiri; Ishak merupakan anak perjanjian, ahli waris dan pengantara berkat Allah kepada keturunan Abraham dan kepada segala bangsa (Kej.12:3). Bagaimanakah Allah dapat memerintahkan sesuatu yang (pada pemandangan manusia saja!) sama sekali bertentangan dan berlawanan dengan kemauan-Nya sendiri? Bukankah perintah ini memperlihatkan bahwa Allah sedang merusak dan menghancurkan rencana-Nya sendiri? Jikalau Ishak, anak perjanjian itu dibunuh, bagaimana nanti keturunan Abraham dibangun? Adakah Allah bertentangan dengan diri-Nya sendiri?

Korban bakaran merupakan suatu korban keseluruhan, korban sempurna, ya sempurna lenyap, semua jadi abu! Demikianlah korban yang dituntut dari Abraham: Korban sempurna, korban total; korban seluruh harapan Abraham, seluruh kegembiraannya, seluruh jaminan masa depannya, sekarang harus dilepaskan demi ketaatannya kepada Allah! Dengan tidak mengucapkan sepatah katapun, Abraham menjawab permintaan Allah. Ia menyiapkan segala sesuatunya untuk ritual pengorbanan sang anak. Pastilah ketika detil persiapan itu dilakukan, hatinya terus dihantui tanda tanya. Alangkah banyaknya keruwetan pikirannya. Betapa penuh sesak dan mengharu-biru hatinya. Tetapi tentang hal itu tidak diberitahukan sepatah katapun: Abraham belajar mematuhi sambil menderita (Ibrani 5:8).

Lebih dari dua hari perjalanan membisu itu berlangsung. Pengorbanan Ishak bukanlah sebuah kecelakaan atau bencana alam, melainkan suatu pengorbanan sukarela oleh Abraham. Tidak dipaksakan oleh kekuatan dan kuasa manusia manapun juga; tidak datang menimpa dengan tiba-tiba, masih cukup banyak waktu untuk menyimpang atau berbalik arah dan pulang kemudian menikmati hidup berkeluarga kembali. Namun, Abraham berjalan terus, berjalan didorong oleh suatu keputusan hatinya yang bebas, yakni: kehendak untuk mematuhi Allahnya. Dengan perasaan yang sangat halus, Abraham menyuruh kedua budaknya tinggal di belakang. Mereka tidak boleh menjadi saksi dari pengorbanan dan penderitaan yang mengerikan itu. Abraham menjadi kesepian; bagian terakhir dari jalan penderitaan itu harus ia tempuh seorang diri saja. Ia harus menyediakan sendiri mezbah, kayu dan korban bakaran itu.

Pada pihak lain, Ishak yang akan dikorbankan tanpa curiga apalagi takut berjalan bersama sang ayah. Bagaimana mungkin sang ayah yang selama ini mengasihinya dapat berbuat tidak baik kepadanya. Ishak sekarang bukan bayi lagi, melainkan telah bertambah umur dan pengertiannya. Ia tahu apa yang dibutuhkan untuk sebuah korban bakaran. Dan ia juga mengerti, ada yang kurang, yakni: hewan korban! Dengan sopan, ia bertanya kepada bapanya tentang di manakah hewan korban itu. Pertanyaan itu setidaknya mengiris-ngiris hati Abraham. Ia mengetahui apa yang diminta Allah, haruskah kini mengatakannya dengan terus terang? Atau bolehkah ia menyembunyikan kebenaran itu?

Jawaban Abraham penuh dengan pengharapan kepada Allah dan tidak membelokkan kebenaran. “Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku.”(Kej.22: 8) Tetapi Abraham sama sekali belum mengetahui bahwa memang benar nantinya ada domba yang disediakan Allah. Kini  ia harus mempersiapkan diri untuk babak terakhir dari drama tragis: seorang bapa yang harus membunuh anaknya, dan seorang anak yang tidak bersalah dan yang tidak curiga sedikit pun bahwa sang bapak akan membunuhnya. Beban ketaatan itu terus menekan semakin berat sampai mereka tiba di tempat yang telah ditentukan.

Kini, ritual pembantaian itu akan segera dilakukan. Abraham telah belajar ketaatan, jadi bukan saja ia sudi mempersembahkan anaknya, seluruh harapannya itu sebagai korban penuh bagi Allah, melainkan sekarang juga Abraham bertindak untuk melaksanakan pengorbanan itu. Ia telah mempersembahkan anaknya sendiri di dalam hatinya. Di hatinya hanya ada ketaatan kepada Allah, seluruh yang tampaknya memberi pengharapan dan membuat hatinya melekat di sana, telah dipersembahkan kepada Allah. “Sekarang ia mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya.” Di sinilah Abraham melepaskan segala sesuatu; ia melepaskan harapannya, jaminan di masa depannya, kebanggaanya, kegembiraannya, dan semua yang dapat melekatkan hatinya, yang berpotensi menggeser posisi Allah kini “disembelih”, dipisahkan dari dirinya.

Dalam tataran inilah kita bisa memahami ucapan Yesus ribuan tahun setelah peristiwa pengorbanan Abraham, ketika Yesus berkata, “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” (Matius 10:37). Orang-orang yang terdekat dalam hidup ini sangat berpotensi merampas posisi Allah di hati kita, akibatnya ketaatan dapat menjadi pudar.

Barulah setelah Abraham menyerahkan dan mempersembahkan anaknya (baca: yang paling berharga dalam hidupnya), maka dengan sekejap mata sebelum pisau itu merenggut nyawa Ishak, terdengarlah suara Tuhan melalui malaikat-Nya untuk menghentikan tangan Abraham yang sedang bergerak menghujamkan pisau. Ishak selamat dan Tuhan menyediakan domba sebagai ganti pengorbanan itu. Abraham lolos dari ujian yang maha sulit itu. Abraham tidak mempertahankan nyawa anaknya yang begitu berharga, apa akibatnya? Abraham tidak kehilangan nyawa anaknya. Ia mendapatkannya kembali! Jadi tidaklah sulit meyakini janji Tuhan, “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”(Matius 10:39).

Jadi pencobaan yang dialami Abraham bukanlah bertujuan menyengsarakan atau menjatuhkan Abraham (meskipun ketika menjalaninya penuh dengan kegalauan), melainkan sebuah kesempatan meneguhkan ketaatan Abraham kepada Allah. Melalui pencobaan atau mata ujia yang maha berat  itu hal utama yang berpotensi menggantikan posisi Allah di hati Abraham dibersihkan. Dan Abraham berhasil melewatinya, hatinya sudah mempersembahkan anaknya itu. Ingat! Tuhan melihat hati (niat dan motivasi manusia) dan bukan wujud atau bentuk persembahan sebagai wujud dari ketaatan manusia kepada-Nya. Berapa pun besarnya persembahan yang kita berikan kepada-Nya, jika itu diberikan tidak dengan niat tulus ketaatan kepada-Nya akan sia-sia. Lihatlah pada zaman nabi Amos, Tuhan menolak cara ibadah dan persembahan luar biasa dari mereka. Tetapi tengoklah persembahan janda miskin, Tuhan mengindahkannya!

Pencobaan berat dapat menimpa siapa pun. Dulu Abraham, sekarang pencobaan itu bisa mampir pada Anda atau saya. Mungkin tampaknya Allah kejam dan sadis sekali: merenggut kebahagiaan, masa depan, harapan dan pelbagai tumpuan hidup. Namun, ketika kita letakan dalam perspektif Abraham: Allah ingin kita “naik kelas”! Hati kita dimurnikan. Allah tidak ingin kita menggantungkan diri kepada yang kita anggap sebagai tumpuan dan harapan hidup ini. Allah ingin kita selalu mendekap kepada-Nya. Ingatlah kisah Abraham, Allah sudah menyediakan segala yang terbaik, kini berusahalah taat dan setia kepada-Nya! 



(sumber tafsir Kejadian 22:Dr. Walter Lempp, “Kitab Kejadian 12:4-25:18”.BPK Gunung Mulia, 1994)