Kamis, 17 April 2014

AKULAH TUHAN, GURU, DAN PELAYAN


Kamis Putih, 17 April 2014

Tak pelak lagi, gereja sering menyebut dan menyatakan dirinya sebagai lembaga moral. Ya, lembaga yang meyakini mendapat mandat dari Tuhan sendiri untuk memelihara, meneruskan, mengajarkan kepada dunia ini tentang iman dan moralitas  kepada dan dari Tuhan yang sekaligus Sang Guru Agung, Yesus Kristus. Gereja juga merasa berwenang untuk menjatuhkan teguran dan sangsi serta mendengungkan suara kenabiannya. Gereja sering mengkritik dan mengutuk keserakahan, ketamakan, agitasi dan arogansi, korupsi serta penindasan; perlakuan kesewenangan manusia terhadap sesamanya.

Namun, dalam sejarahnya, gereja sebagai sebuah komuitas tidak luput dari hadirnya orang-orang berkarakter tinggi hati, serakah, gila hormat dan kekuasaan serta tidak peduli terhadap sesamanya. Lihatlah apa yang dikecam oleh Paulus di jemaat Korintus, “Apabila kamu berkumpul, kamu bukanlah berkumpul untuk makan perjamuan Tuhan. Sebab pada perjamuan itu tiap-tiap orang memakan dahulu makanannya sendiri, sehingga yang seorang lapar dan yang lain mabuk.”(I Kor.11:20-21). Bukankah kondisi seperti itu masih saja tetap berlangsung sampai pada hari ini? Banyak orang yang katanya mau melayani tetapi kemudian tersingkir atau menyingkirkan diri lantaran “sakit hati” merasa tidak dihargai!

Paulus memakai konteks  Jemaat  Korintus ini untuk mengingat kembali perjamuan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus menjelang penyaliban-Nya. Yesus menyatakan diri sebagai roti yang terpecah dan air anggur yang dicurahkan, menandakan bagaimana Ia menderita, menanggung sengsara dan mati bagi mereka. Mestinya, mereka yang ada di dalam Kristus terhisab menjadi satu tubuh, ya Tubuh Kristus! Dampak dari pemahaman ini mereka peduli dan mendahulukan kepentingan orang lain, “Karena itu, saudara-saudaraku, jika kamu berkumpul untuk makan, nantikanlah olehmu seorang akan yang lain.” (I Kor.11:33)

Jika kita menarik jauh ke belakang, murid-murid Tuhan pun tidak luput dari keserakahan untuk berkuasa. Ceritanya hampir sama seperti dalam 1 Korintus 11. Di meja makan, dalam perjamuan!
Terjadilah juga pertengkaran di antara murid-murid Yesus, siapakah yang dapat dianggap terbesar di antara mereka.”(Lukas 22:24). Setiap orang tanpa kecuali, termasuk yang menyatakan diri pelayan, rohaniwan, pendeta, ya...siapa saja dapat terjebak pada keinginan diri untuk menjadi sosok dominan yang berkuasa, lalu menuntut yang lain tunduk dan memberikan penghormatan serta pelayanan! Dalam situasi inilah Yesus mengajar dan memberi contoh! “ Bukan, bukan hanya dengan kata dan nasihat, melainkan dengan tindakan!

Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatnya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air pada sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya...”(Yoh.13:4-5). Yesus bangkit dari perjamuan dan menangalkan jubah-Nya. Yesus menanggalkan jubah-Nya untuk mengambil peran seorang budak yang membasuh kaki para tamu undangan dalam sebuah perjamuan. Jubah adalah simbol keagungan sang pemakai. Yesus bersedia menanggalkan kehormatan-Nya. Sebagai ganti jubah-Nya, Yesus mengikatkan kain lenan pada pinggang-Nya. Ia membasuh kaki para murid dan mengeringkannya dengan kain lenan itu. Semua pekerjaan ini hanya lazim dilakukan oleh seorang budak!

Yesus yang adalah Guru dan Tuhan telah menanggalkan jubah-Nya (kemuliaan dan kekuasaan-Nya) dan menempatkan diri-Nya di hadapan merekasebagai budak yang membasuh kaki mereka. Yesus mewujudkan di dalam diri-Nya apa yang diharapkan-Nya tumbuh di dalam diri para murid: kerendahan hati, pelayanan. Pembasuhan kaki itu disebut Yesus sebagai sebuah contoh atau teladan. Artinya, pembasuhan kaki itu merupakan sebuah cara hidup yang harus dilaksanakan bagi siapa pun yang menyatakan diri murid Yesus. Mereka harus saling membasuh kaki!

Yesus berkata, “Kamu melihat, apa yang telah Kulakukan. Kamu memanggil Aku Gurumu dan Tuhanmu, dan ucapanmu itu adalah benar, memang demikianlah Aku. Namun, Aku bersedia melakukan ini bagi kamu sekalian. Tentu, kamu dan semua orang tidak mengharapkan bahwa seorang murid dapat menerima kehormatan yang lebih besar dari pada gurunya. Atau seorang hamba akan lebih terhormat dari pada tuannya. Sesungguhnya, jika Aku melakukan ini semua, maka kamu pun wajib juga untuk bersedia melakukannya; menanggalkan kehormatan dan egoisme dan melayani semua orang tanpa kecuali dari arti yang sesungguhnya!”

Pembasuhan kaki bukan soal meniru tindakan Yesus secara harafiah, melainkan meniru apa yang dilakukan Yesus. Seorang murid pasti berjalan di belakang Sang Guru, waktu dan dunia akan menilai siapa murid sejati dan siapa yang munafik! Dunia membutuhkan tindakan nyata, bukan hanya gagasan dan teori. Keserakahan, ketamakan, kerakusan, peninggian diri, dan semua gaya hidup egoisme hanya dapa ditundukan dengan “membasuh kaki” orang lain; menganggap orang lain lebih utama. Yesus telah melakukan itu. Kita yang menyebut murid dan pengikut-Nya mestinya tidak ragu dan canggung untuk melakukannya!

Kamis, 10 April 2014

AKULAH SANG PEMENANG

Hampir semua aspek kehidupan manusia merupakan arena pertandingan, kompetisi. Ada pertandingan yang kasat mata, misalnya: olah raga, adu ketangkasan atau kecerdasan. Di situ dengan gamlang kita bisa melihat para pemain dan skore yang dicapai.  Ada kompetisi sedikit samar, tidak terlihat skore secara gamlang namun nyata kompetisinya, misalnya: kompetisi dunia bisnis, pendidikan, politik, agama, popularitas, industri, dan kemajuan teknologi. Ada juga kompetisi yang abstrak, seperti: spiritualitas, kebajikan, keluhuran budi, emosional dan apa yang menyangkut moralitas. Konsekuensi dari cara pandang bahwa dunia ini adalah arena kompetisi, maka kita sejak kecil, disadari atau tidak diarahkan untuk menjadi pemenang. Caranya untuk menang bermacam-macam. Ada yang dengan tekun belajar dan berlatih dengan tekun, cara ini memakan banyak waktu dan energi sehingga banyak orang memilih menempuh jalan pintas, menghalalkan segala cara, yang penting akulah sang pemenang!

Ada cara lain yang diusulkan oleh filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche (1844-1900) untuk menjadi pemenang maka manusia tidak boleh pecundang. Ia harus menjadi manusia super. Nietzsche mengatakan bahwa manusia bisa berkualitas tanpa batas dengan syarat manusia itu harus menanggalkan eksistensi dan peran Tuhan, Tuhan itu harus “dibunuh”! Tuhan harus mati dalam diri kita agar kita terbebas dan tidak lagi dilemahkan oleh kepercayaan takut akan Tuhan. Manusia super adalah pribadi yang mutlak berkuasa, sedangkan percaya akan kedaulatan Tuhan hanya membuat manusia terbelenggu. Jadi, agar manusia  itu menjadi super , ia harus membebaskan diri dari belenggu-belenggu moralitas, seperti belas kasihan, ketaatan, empati pada kaum papa serta nilai-nilai yang bisa mengerem nafsu dan naluri untuk berkuasa. Nietzsche kekuasaan itu sebaiknya tidak dilandasi moralitas nurani. Sebaliknya, setiap penguasa harus mengutamakan moralitas tuan dengan menyingkirkan si penakut, si cengeng, si picik, si oportunis, si pengemis, atau pun si anjing penjilat. Moralitas tuan membenarkan kekuasaan mutlak dan mengumbar kehendak berkuasa secara vulgar telanjang.

Apa yang dirumuskan Nietzsche merupakan potensi yang ada pada setiap manusia. Seribu delapan ratus tahun sebelum Nietzsche merumuskan filsafatnya, kota Filipi sudah akrab dengan paradigma manusia super ini. Warga kota Filipi punya spirit mengejar kehormatan dan kekuasaan. Peningkatan kehormatan dilakukan dengan cara menaikkan status sosial dan kedudukannya di tengah masyarakat. Peningkatan status sosial didapatkan dengan mengejar prestasi yang diakui oleh pemerintahan Roma. Semakin tinggi yang memberi pengakuan maka semakin tinggi juga derajatnya di masyarakat.  Tujuannya  dengan meningkatnya status sosial ini, otomatis orang yang di bawahnya harus tunduk dan memberi hormat! Ternyata budaya mengejar hormat dan status merembes juga dalam jemaat Tuhan. Anggota jemaat saling mengejar dan memperebutkan kehormatan. Setiap orang menganggap dirinya lebih utama dibandingkan yang lainnya. Mereka berlomba-lomba meninggikan diri. Dalam konteks inilah Paulus mengingatkan jemaat di Filipi (khususnya Filipi 2) bahwa mereka adalah warga Kerajaan Allah yang punya tatanan nilai berbeda, yakni nilai-nilai yang diajarcontohkan Kristus.

Jemaat Filipi diajak Paulus melihat bahwa Yesus rela melepaskan hak kesetaraan-Nya dengan Allah. Penduduk Filipi sangat bangga apabila memiliki status kewarganegaraan Romawi. Kesetaraan sebagai warga negara Romawi akan berdampak pada status dan hak mereka, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial. Dengan kesetaraan ini mereka akan mendapat perlakuan dan jaminan utuh layaknya warga Romawi. Ketika Paulus mengatakan, “...yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan.” Di sini Paulus mau mengatakan bahwa Tuhan Yesus yang sudah memiliki kemuliaan dan kehormatan yang begitu besar, dan berhak mendapatkan penghormatan dan kemuliaan itu, justeru melepaskannya demi keselamatan manusia berdosa! Hal inilah yang harus dicontoh oleh jemaat Filipi. Kehormatan itu ada bukan karena status atau jabatan pada diri mereka, melainkan melalui pelayanan kepada sesama. Namun, di lain pihak jangan juga pelayanan kepada sesama dijadikan sebagai alat untuk meraih kehormatan.

Selain menanggalkan kesetaraan dengan Allah, Paulus mencatat bahwa Yesus juga merendahkan diri. Tapeinos, kata Yunani untuk “merendahkan diri”. Arti harafiah kata ini berarti “menempatkan diri dekat dengan tanah”. Dengan begitu, orang yang merendahkan diri berarti adalah orang yang sungguh-sungguh menaruh posisi, perasaan, dan keberadaannya tidak lebih tinggi dari orang lain. Orang yang merendahkan diri artinya orang yang bersedia dikelompokkan sekaligus juga sebagai orang-orang hina dan rendah. Bahkan, tidak hanya itu, Paulus mengatakan bahwa Yesus dalam rangka merendahkan diri ini taat menderita sampai mati di kayu salib!

Yesaya 50:6 adalah narasi yang tepat untuk orang yang bersedia merendahkan diri. Gambaran itu adalah:
1.       Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku,..”. Ini menunjukkan ketidakberdayaan sang hamba atas dominasi kekuasaan yang ditampilkan di depan umum dengan tujuan agar khalayak mafhum bahwa orang yang dipukul itu berada di bawah kekuasaan si pemukul. Hal ini juga sebagai “peringatan” buat orang lain untuk tidak main-main dengan kekuasaan.

2.       “Pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku.” Di dalam budaya patriakal, kehormatan dikaitkan dengan simbol-simbol gender. Maskulinitas dipandang sebagai sebuah kehormatan dan feminitas dipandang sebagai kelemahan yang membawa rasa malu dan aib. Maka mencabut jenggot adalah sebuah upaya kekerasan yang bersifat gender yaitu mempermalukan dengan mengubah maskulinitas seseorang menjadi feminitas. Dengan demikian, mencabut jenggot merupakan kekerasan sosial dan psikologis di hadapan publik.

3.       “Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi.” Tidak semua golongan masyarakat mempunyai kewenangan untuk memukul punggung dan mencabut jenggot seseorang, namun setiap orang dapat dengan mudah untuk membuka mulut, membiarkan kata-kata meloncat liar, dan meludahi seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan dan pelecehan ternyata dilakukan bukan saja oleh orang-orang dengan status tertentu, tetapi juga oleh orang-orang biasa yang tidak mempunyai kedudukan.
(Tasiran diambil dari : Dian Penuntun Edisi 17/Rinto Tampubolon)

Jika kita berkaca pada gambaran nubuat Yesaya ini, maka hal merendahkan diri yang dilakukan Yesus mempunyai konsekuensi, Ia mengalami tindakan penghinaan dan kekerasan fisik, psikis, gender, sosial dari semua orang, penguasa maupun rakyat biasa. Lalu, bagaimana kita bisa mengerti bahwa dengan jalan itu Yesus menjadi pemenang? Bukankah kondisi seperti ini, menurut Nietzche harus ditolak? Benar, dunia memandang seperti itu.

Namun, bukankah sering kali apa yang dilakukan Yesus ditanggapi berbeda oleh orang yang berjumpa dengan-Nya? Lihat saja ketika Ia tampil memasuki Yerusalem dengan mengendarai seekor keledai (Matius 21:1-11). Padahal orang banyak mengharapkan Yesus masuk Yerusalem dan di sanalah Ia memproklamirkan diri sebagai Mesias lalu dengan kekuasaan dan mujizat yang selama ini mereka lihat, Yesus akan mengakhiri dominasi kekuasaan politik Romawi atas Israel. Ternyata bukan itu yang Yesus lakukan, malah di Yerusalemlah kelak vonis salib itu dijatuhkan kepada-Nya.

Di sinilah kita belajar, Yesus menjadi pemenang bukan penakluk!  Kemenangan-Nya bukan untuk menjadi penguasa yang menaklukan dan menindas orang lain sebagaimana para penguasa pada jaman-Nya. Kemenangan Yesus adalah kemenangan terhadap kuasa dosa, dalam hal ini kehendak bebas manusia yang mengumbar keserakahan dan egoisme. Bukankah ketika seseorang haus akan kekuasaan, gila hormat, dan memanjakan egoisme sebenarnya Ia sedang tunduk atau dikalahkan oleh kejahatan dan kuasa dosa? Untuk mengalahkannya jelas bukan dengan kuasa yang sejenis, yang lahir dari egoisme itu, melainkan dengan jalan menanggalkan egoisme dan egosentrisme. Dengan jalan itulah Yesus menjadi pemenang. Narasi Paulus mengatakan bahwa akhirnya Allah meninggikan Yesus dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama dan supaya dalam nama-Nya semua makhluk bertekuk lutut.

Yesus pemenang! Menarik, jika kita telusuri Filipi pasal 2 ini bahwa kemenanganYesus bukan dengan jalan menaklukkan iblis, sebab iblis sudah lama takluk, apalagi dengan jalan mencari popularitas dan menekan orang lain. Yesus menang justeru ketika Ia mengalahkan diri-Nya sendiri melalui pengosongan diri. Dia menanggalkan kesetaraan-Nya dengan Allah dan merendahkan diri sebagai hamba bahkan sampai mati di kayu salib! Nah, jika kita ingin menjadi pemenang, lawan dan taklukanlah ego sendiri!