Kamis, 23 Juni 2016

MENGIKUT YESUS, KEPUTUSANKU

Henry David Thoreau, penulis buku Walden, berkomentar, “Manusia dilahirkan ke dunia ini bukan untuk mengerjakan semua hal, tetapi untuk mengerjakan sesuatu.” Artinya, Anda harus mengenali prioritas-prioritas Anda dan terus-menerus bekerja berdasarkan hal itu. Prioritas adalah segala sesuatu yang didahulukan atau diutamakan untuk dikerjakan ketimbang perkara-perkara yang lain. Anda tahu prioritas, maka yang lain akan menjadi remeh-temeh. Dalam keadaan mendesak, bencana alam atau kecelakan transpotasi maka yang menjadi prioritas jelas bukanlah harta benda, tetapi nyawa manusia. Situasi genting dalam waktu yang terbatas akan tampak jelas mana yang menjadi prioritas seseorang.

Hanya orang yang menyadari waktu yang diberikan oleh Sang Penguasa adalah terbatas, maka ia akan memanfaatkannya seefisien mungkin dengan mengerjakan hal-hal yang berarti bagi kehidupannya. Berulang kali Yesus berbicara dan ditempatkan dalam konteks waktu berkaitan dengan tugas paggilan-Nya di dunia ini. Salah satunya terekam dalam Lukas 9:51, “Ketika hampir tiba waktunya Yesus diangkat ke surga, Ia mengarahkan pandangan-Nya ke Yerusalem,..” Saat pengangkatan Yesus, maksudnya bukan hanya mengacu bahwa sebentar lagi Ia akan mati disalibkan, melainkan seluruh proses peralihan-Nya dari bumi kepada Bapa di surga. Peralihan itu terjadi melalui kematian, pemakaman, dan kenaikan Yesus ke surga. Jadi, kisah ini mau menegaskan bahwa Yesus menyadari tidak lagi banyak waktu tersisa. Tidak ada lagi kompromi dengan waktu maka Ia harus menyelesaikan seluruh pekerjaan dengan baik.

Dalam kesempatan yang sangat terbatas itu, Yesus mengarahkan pandangan-Nya ke Yerusalem. Sebelumnya, Yesus telah dua kali berbicara tentang kesengsaraan yang harus ditanggung-Nya (Luk. 9:22,44) kini, Ia semakin mantap dan berani untuk menuju kota itu. Keputusan-Nya sudah bulat setidaknya digambarkan dalam tatapan-Nya ke Yerusalem. Yesus akan pergi ke kota suci itu untuk mempertanggungjawabkan seluruh ajaran dan karya-Nya dan sekaligus untuk bertatapan muka dengan penduduk Yerusalem sebagai nabi yang memeringatkan dan bahkan dengan nada ancaman (Luk.19:41-46; 21:20-24). Lalu Yesus mengutus beberapa orang mendahului-Nya.

Tampaknya para utusan itu masuk ke desa orang Samaria. Namun, ternyata desa itu tidak mau menerimanya. Kita bisa memahami sejarah panjang yang pahit telah merusak hubungan Yerusalem-Samaria. Berhadapan dengan penolakan orang-orang Samaria, Yakobus dan Yohanes teringat akan api dari langit yang dipakai oleh Nabi Elia untuk meyakinkan Raja Ahazia yang bertakhta di Samaria pula (2 Raja 1:9-12). Mereka memohon supaya Yesus mengijinkan mereka pula mendatangkan api dari langit, artinya membinasakan para penduduk kampung yang menolak kedatangan Yesus. Namun, Yesus menegur atau lebih tepatnya membentak mereka. Yesus tidak mau disamakan dengan Elia yang bertindak keras. Ia tidak mau mempertobatkan manusia melalui cara menakut-nakuti dengan hukuman. Kasih kepada para musuh yang diajarkan-Nya, kini Ia praktikan. Yesus menyadari kehadiran-Nya adalah untuk menyadarkan orang dengan cinta kasih. Ini bukan masa penghukuman. Hukuman adalah urusan Allah sendiri.

Kisah selanjutnya, Yesus dan murid-murid-Nya melanjutkan perjalanan. Selama perjalanan itu mungkin saja Yesus mengajar dan memanggil sejumlah orang untuk menjadi murid-Nya. Di tengah perjalanan yang mendesak inilah terjadi dialog bersama tiga orang yang hendak mengikut Yesus. Hal yang menarik dalam ketiga adegan ini adalah kombinasi ucapan.

Orang pertama : Aku akan mengikut Engkau;
Orang kedua     : Izinkan aku pergi dahulu;
Orang ketiga    : Aku akan mengikut Engkau, tetapi izinkanlah aku pamitan dahulu.
Rupanya orang pertama sudah begitu tertarik dengan apa yang dilakukan Yesus sehingga tanpa dipanggil pun ia menyatakan “aku au mengikut Engkau”. Bagaimana reaksi Yesus? Ia tidak langsung menerimanya. Namun, memperlihatkan kepada orang itu resiko yang harus ditanggungnya ketika mengikut Dia. Yesus mengatakan, “Srigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” Yesus tidak mengobral janji bahwa orang yang mengikuti-Nya akan selalu mendapatkan kemakmuran dan kenyamanan. Sebaliknya, ketiadaan tempat sangat mungkn terjadi terhadap para pengikut Yesus yang setia. Sama seperti Yesus, mereka tidak akan punya “rumah”, “kota abadi” di dunia ini. Mereka yang mengikut Yesus dengan sungguh-sungguh, pasti akan ditolak oleh dunia. Mengikut Yesus berarti bersedia menempuh jalan tidak aman secara duniawi.

Berbeda dari orang pertama, yang berikut Yesus memanggil, “Ikutlah Aku!” Orang itu menjawab, “Izinkan aku pergi dahulu menguburkan bapaku.” Betulkah bapaknya orang ini mati? Mengapa dalam keadaan duka ia masih ada di sekitar Yesus? Atau mungkinkah itu merupakan alasan yang dibuat-buat? Kita tidak tahu yang sebenarnya. Namun, walau bagaimana pun jawaban Yesus atas tanggapan orang ini terasa kasar, “Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana.” (9:60).

Jawaban Yesus sepintas bertentangan dengan moralitas orang Yahudi yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap orang tua. Namun, kita akan mengerti bila memahami ucapan Yesus ini diletakkan pada skala prioritas. Di awal saya mengatakan bahwa perjalanan Yesus menuju Yerusalem ini begitu mendesak. Tidak banyak lagi waktu yang tersisa dan dalam kondisi begini orang di hadapkan pada prioritas mana ia harus menentukan sikap. Kisah ini menggunakan setting ekstrem, yakni menguburkan ayah. Jika seseorang memutuskan untuk mengikut Yesus, dan – seperti Yesus – merelakan diri-Nya seutuhnya bagi Kerajaan Allah, maka segala urusan dunia ini tidak berarti apa-apa lagi! Urusan yang mahapenting sekalipun seperti pemakaman ayah tidak boleh mengikat orang yang mau merelakan dirinya bagi Kerajaan Allah. Sebab merelakan diri bagi Kerajaan Allah itu sama artinya dengan “pergi memberitakannya” tanpa terhalang oleh urusan keduniawian yang mahapenting sekalipun. Ini bukan berarti bahwa mereka yang mengikut Yesus harus memutuskan tali silahturahmi dengan keluarga, utamanya orang tua. Namun, ia harus menyadari bahwa akibat mengikut Yesus, bisa saja diperhadapkan pada siatuasi prioritas memilih. Orang yang tidak siap menghadapi situasi seperti ini mungkin sebaiknya harus berpikir ulang untuk mengikut Yesus.

Cerita beralih kepada orang ketiga. Orang ini ingin mengikut Yesus tetapi meminta izin untuk pamitan dahulu kepada keluarganya. “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah.”Demikian jawab Yesus (ay.62). Sadis! Mungkin kesan pertama itu ketika kita membaca jawaban Yesus. Bagaimana tidak, kita yang selalu diajarkan sopan santun dank e mana pun kita pergi mesti pamitan dulu. Nah, kenapa jawaban Yesus seperti itu? Tidak mengizinkan orang berpamitan. Namun, marilah kita kembali meletakan jawaban Yesus pada konteks penting dan mendesaknya Kerajaan Allah itu. Sekali lagi kita bicara skala prioritas.

Jawaban Yesus ini senada dengan yang sebelumnya, namun lebih luas. Mengikut Yesus searti dengan memutuskan hubungan dengan masa lampau. Menoleh ke belakang sama artinya dengan ingin memertahankan warisan nilai-nilai dan pengalaman masa lalu. Bajak  yang dimaksud di sini bukanlah bajak modern apalagi traktor. Bajak itu ringan dan dipengang dengan satu tangan saja. Tangan kedua dipakai sebagai sarana pengontrol sapi atau lembu yang menarik bajak. Pembajak harus kuat dan tanpa hentinya memerhatikan lurusnya alur. Bila ia menoleh ke belakang, alurnya bisa saja melenceng ke kiri atau ke kanan. Kondisi seperti ini yang mau diingatkan Yesus, siapa pun yang menyambut Kerajaan Allah tidak boleh merepotkan diri dengan apa yang sudah ditinggalkannya. Seperti yang pernah dikatakan Paulus, “Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada yang di hadapanku,…” (Fil.3:13)

Setiap orang yang terpanggil mengikut Yesus, mestinya mempunyai sikap yang jelas. Buanglah jauh-jauh motivasi mengikut Yesus hanya karena ingin menikmati mujizat dan hidup tanpa masalah karena ujungnya pasti mengecewakan. Kita juga tidak akan pernah merasakan dan mengalami apa itu Kerajaan Allah tanpa menempatkannya pada prioritas utama dan bersedia memutuskan ikatan-ikatan duniawi yang paling utama sekalipun, jika itu menuntut kita membuat keputasan. Tidak mudah. Benar! Menjadi pengikut Yesus yang sejati tidak pernah mudah. Namun, bukan tidak mungkin. Tuhan telah memberikan Roh-Nya, jadi barangsiapa hidup menurut Rohm aka ia akan dimampukan menjadi pengikut Yesus yang setia bahkan menghasilkan buah. Jika Anda memutuskan menjadi pengikut Yesus yang sejati, percayalah mungkin dunia tidak memberi timpat nyaman, mungkin juga orang-orang dekatmu tidak lagi memberi kenyamanan. Tetapi percayalah Anda telah memilih dan memberi prioritas yang tepat dan benar dalam hidup Anda yang cuma sekali saja!

Jakarta 23 Juni 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar