Kamis, 27 Agustus 2015

HIDUP BERGAIRAH DALAM SUKACITA DAN KEGEMBIRAAN TUHAN

Pernah jatuh cinta? Atau setidaknya menyaksikan sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran. Kalau Anda diminta menyebut satu kata saja untuk melukiskan seorang yang sedang jatuh cinta, kira-kira kata apa yang tepat? Gairah! Ya, mungkin itu kata yang tepat. Ketika cinta merasuk dalam dada, hidup seseorang menjadi bergairah seolah tidak ada kata lelah untuk menyenangkan sang buah hati. Apa pun akan dilakukan. Satu syair cinta mengatakan, “Gunung ‘kan kudaki, lautan ‘kan kuseberangi dan nyawa ‘kan kupertaruhkan demi menyenangkanmu!” Bagi seorang yang sedang kasmaran dunia menjadi begitu indah sehingga tidaklah sulit untuk menuangkannya dalam bentuk puisi. “Dengarlah kekasihku! Lihatlah, ia datang, melompat-lompat di atas gunung-gunung, meloncat-loncat di atas bukit-bukit. Kekasihku serupa kijang, atau anak rusa. Lihatlah, ia berdiri di balik dinding kita,…”(Kid.2:8,9a). Sepenggal bait puisi sang pujangga Kidung Agung yang menyiratkan letupan hati yang penuh kerinduan.

Sungguh luar biasa jika kita bicara tentang gairah cinta. Tema yang satu ini tidak pernah habis dikupas, dibahas, dijadikan tema novel atau film. Perhatikan lirik-lirik lagu pop di tanah air, hampir sembilan puluh persen mengangkat tema cinta. Perhatikan tema-tema film di sepanjang zaman, bukankah kebanyakan berbicara tentang cinta. Cinta adalah keindahan begitulah kata pujangga. Cinta adalah gairah api yang tak terpadamkan bahkan oleh aliran-aliran sungai sekalipun. “…karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN.” (Kid.8:6). Gairah cinta itu kuat seperti maut, artinya: gairah itu, sama seperti maut, tidak bisa dilawan.

Berbicara gairah cinta, mestinya menyadarkan kita bahwa ada gairah yang membuat kehidupan menjadi semakin indah. Namun, fakta juga menunjukkan bahwa gairah itu dapat membakar hangus tanpa bekas orang yang dirasukinya. Ada cinta sejati, ada cinta terlarang. Cinta sejati mestinya akan membuahkan kebahagiaan sejati. Namun, cinta yang dibakar oleh nafsu birahi membuahkan kebinasaan! Cinta sejati adalah cinta menyeluruh, ia tidak pernah menuntut kecuali pada diri sendiri untuk memberikan yang terbaik bagi yang dicintainya. Ia tidak akan pernah merasa rugi atau merasa menjadi korban manakala telah berjuang memberikan yang terbaik. Orang lain akan melihat bahwa cintanya penuh pengorbanan. Tetapi si pencinta tidak pernah merasa dirugikan. Alih-alih berkelu-kesah atas penderitaan yang dialami, ia akan tersenyum manakala melihat sang kekasih tersenyum bahagia.

Cinta mestinya bening dan transparan. Ia tidak pernah membuahkan kegaduhan apalagi mencederai dan membinasakan. Cinta bukan hanya milik sepasang anak manusia yang sedang kasmaran. Cinta bisa merasuki semua orang. Karena cinta, orang tua rela melakukan apa saja untuk anak-anaknya. Karena cinta, seorang sahabat merelakan nyawanya. Karena cinta, TUHAN mau melakukan apa pun demi menyelamatkan manusia. Karena cinta, Ia memberikan Anak-Nya yang Tunggal untuk Anda dan saya. Karena cinta, mestinya Anda dan saya tidak akan tahan menyaksikan penderitaan sesama anak manusia! Karena cinta, mestinya kita bergairah dalam melakukan kehendak-Nya.

Kita sering menyatakan diri bahwa kita mencintai-Nya. Kita sering menyanyikan pujian tentang cinta kita kepada-Nya bahkan kita juga membuat syair-syair pujian maupun doa tentang cinta itu. Namun, apakah yang ditulis, digubah, dinyanyikan dan dilantunkan dalam doa itu membuat kita bergairah untuk melakukannya? Apakah gairah itu sama seperti ketika kita sedang jatuh cinta pada seseorang? Ataukah kita hanya bergairah dalam tataran ibadah formal saja?

Apa yang kita fikirkan seandainya cinta itu hanya diungkapkan dengan baku dan formal? Anda bisa membayangkan ketika Anda akan mengekspresikan cinta itu, kemudian didahului semacam kata-kata protokoler. Maka cinta itu menjadi kaku, beku dan kehilangan gairahnya. Hal yang sama terjadi apabila kita mengekspresikan ungkapan cinta kepada TUHAN itu hanya dibatasi dengan ritual-ritual ibadah formal saja. Cinta itu menjadi kaku dan beku serta kehilangan gairah esensialnya!

Dalam perjalanan pelayanan-Nya, kerap kali Yesus berhadapan dengan orang-orang yang begitu gigih  menekankan pemahaman harafiah formal atas aturan-aturan Taurat yang mereka anggap sebagai firman TUHAN ketimbang terlebih dahulu memahami jiwa atau motif-motif di balik aturan-aturan agama itu sebagai ekspresi cinta mereka kepada Allah. Mereka menyebut diri ahli Taurat dan orang Farisi. Mereka hanya bergairah melakukan hukum-hukum formal itu karena fikirnya, dengan melakukan sederetan syareat itu mereka mendapat upah yakni kehidupan yang diberkati dan sorga serta bonus pujian dari orang-orang yang melihatnya. Sehingga pelaksanaan aturan-aturan itu tidak lagi memertimbangkan konteks. Pokoknya, dalam segala kondisi aturan itu harus dilaksanakan, kalau tidak; berdosa!

Markus 7:1-23 mencatat bagaimana polemik Yesus dan ahli-ahli Taurat ini terjadi. Mulai dari soal membasuh tangan yang kemudian menilai orang najis atau tidak. Mereka mengecam murid-murid Yesus yang tidak membasuh tangan sebelum makan dan hal itu, menurut tradisi nenek moyang mereka disebut nazis dan berdosa. Maka Yesus menjawab mereka mengutip nubuat Yesaya, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” (Markus 7:6-8). Demikian pula, Yesus melanjutkan membongkar gairah mereka yang keliru dengan mencela praktek mentaati Taurat yang keliru. Yesus menyebut hukum kelima dari Taurat tentang menghormati ayah dan ibu. Namun, yang terjadi mereka tidak dapat merawat atau menyantuni orang tua mereka dengan baik karena uang untuk itu telah mereka gunakan untuk persembahan kurban di bait Allah. Yesus mengecam, mengapa hal yang esensi, yakni memelihara, merawat dan menyantuni orang tua diabaikan hanya dengan alasan memelihara kultus pengorbanan di bait Allah (Markus 7:9-13). Padahal Allah sebenarnya tidak memerlukan apa-apa lagi!

Bisa jadi gairah yang digandrungi ahli Taurat dan orang Farisi juga terjadi dalam hidup kita. Kita sering memilah orang; mana yang najis dan mana yang tidak. Seolah kitalah pemilik kuasa penghakiman. Demikian juga kita dapat saja bergairah sibuk “melayani” ini dan itu serta mempersembahkan banyak waktu, tenaga dan uang demi nama kita tercantum sebagai pelayan yang berdedikasi. Namun, apa yang terjadi di rumah sendiri? Terbengkalai! Tentu, di sinilah kecerdasan spiritual kita diuji. Mana gairah cinta kepada Tuhan yang benar dan mana gairah yang sedang memuaskan nafsu kita sendiri atas nama pelayanan! Ingat, gairah cinta yang fokusnya pada pemuasan diri kelak akan memberangus kita sendiri. Sebaliknya, gairah cinta yang tertuju kepada-Nya dan menjadikan Dia pusat segalanya akan membuat kita mengalami sukacita.

Gairah yang pemuasan diri yang sama dalam nuansa berbeda bisa kita jumpai dalam peradaban Kristen mula-mula. Rupa-rupanya, Yakobus menengarai orang-orang percaya gemar membicarakan dan menikmati firman yang diberitakan. “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.” (Yakobus 1:22). Mestinya setiap orang yang mencintai Tuhan tidak hanya sekedar mau mendengar melainkan menikmati, bersukacita dalam kegembiraan ketika melakukan firman itu dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya berbeda; bukan lagi kepuasan bagi diri sendiri melainkan selalu bertanya dan mencari tahu; apakah Tuhan bergembira, senang dengan apa yang kita lakukan atau tidak.

Seseorang yang hanya bisa membuat syair atau puisi pujian terhadap kekasihnya tapi tidak dapat memenuhi bahkan bertolak belakang dari yang diungkapkannya maka kita sering menyebutnya, “gombal”. Nah, jika tidak mau disebut gombal maka seharusnya kita melakukan firman Tuhan itu dengan sungguh-sungguh, bukan dengan terpaksa melainkan dengan gairah dan sukacita!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar