Kamis, 11 Desember 2014

TAAT DAN SETIA SEPERTI MARIA


Adven IV, Tahun B

Ketika anak-anak seusianya sibuk berjam-jam dengan gadget di tangan mereka, ketika media-media sosial begitu banyak merasuki dan digandrungi para abege, ketika senda gurau dan hubungan mesra mulai mengusik keinginan dan ketika anak-anak sebayanya sibuk merintis cita-cita di bangku sekolah, Malala Yousafzai justeru sedang sibuk memperjuangkan haknya dan hak teman-teman sebayanya agar bisa bersekolah. Adalah rezim Taliban yang melarang setiap perempuan dapat bersekolah. Ancamannya tidak tanggung-tanggung, ditembak mati!

Sejak usianya menginjak 13 tahun, Malala berjuang menantang maut dan ia hampir tewas di tangan kaum Taliban. Pada Oktober 2012, Malala ditembak di kepalanya karena ia selalu gencar mengampanyekan pendidikan untuk anak-anak perempuan di Pakistan. Perjuangannya untuk sebuah keyakinan yang dianggapnya sebagai kebenaran yang mengandung resiko dan menyita keceriaan masa mudanya berbuah manis. Dunia mengakuinya dan menganjar dengan hadiah Nobel Perdamaian. Hari Rabu, 10 Desember 2014, ketua Komite Nobel Thorbjorn Jagland menganugerahkan Hadiah Nobel kepada gadis berusia 17 tahun ini bersama dengan Kailash Satyarthi dari India. Dan, Malala tercatat sebagai pemenang Nobel termuda sepanjang 113 tahun sejarah Hadiah Nobel. Dalam sambutannya yang disaksikan oleh Raja Norwegia Harald V, Jagland mengatakan, “Mereka adalah juara untuk perdamaian!”

Dalam pidatonya, seperti diberitakan Kompas (11/12), Malala mengatakan, dia berada di Oslo untuk mewakili hak anak-anak yang dilupakan dan anak-anak yang ketakutan untuk menyuarakan semua hak mereka. Malala mengatakan bahwa penghargaan itu tidak hanya untuk dirinya. “Ini untuk anak-anak terlupakan yang ingin pendidikan. Hal ini untuk anak-anak yang ketakutan, yang menginginkan perdamaian. Hal ini untuk suara mereka yang menginginkan perubahan.” Ujarnya. Kemudian uang 1,4 juta dollar AS yang diterimanya akan didedikasikan untuk Malala Fund, yayasan yang dibentuknya untuk memperjuangkan nasib anak-anak perempuan agar lebih baik. Malala telah menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya untuk sebuah peradaban yang lebih baik. Untuk perjuangannya itu ada banyak pengorbanan. Masa mudanya, bahkan nyawanya sendiri terancam. Namun, ia tetap setia dalam perjuangannya itu.

Berbeda zaman, budaya dan konteksnya, Maria mungkin saat itu sebaya dengan Malala. Sebagaimana gadis belia, Maria punya segudang impian untuk masa depannya. Paling jelas adalah impian di depan mata, yakni: membangun keluarga. Bersama Yusuf, sang kekasih sekaligus tunangannya tentu ia membayangkan sebuah kehidupan rumah tangga yang bahagia. Paling lama setahun lagi ia bersama Yusuf akan tinggal satu rumah, satu kamar dan menikmati indahnya bulan madu. Gambaran sukacita itu tampaknya harus dipendam dalam-dalam ketika Malaikat Gabriel menyampaikan salam dan pesan Ilahi bahwa ia akan segera mengandung. Dalam benaknya: ya, mungkin saja itu terjadi sebagai buah pernikahannya dengan Yusuf. Namun, ternyata bukan seperti itu. Yusuf sama sekali tidak terlibat dalam kehamilannya! Bagaimana mungkin terjadi?

Maria punya rencana dan Allah pun punya rencana di dalam dirinya. Pada kisah-kisah natal sering kali momen pergumulan ini lalu begitu saja. Sosok Maria digambarkan begitu lugunya. Ia tidak banyak bicara dan hanya menuruti saja skenario sang sutradara, yakni Allah sendiri. Cobalah sejenak kita merasakan pergumulan yang berkecamuk di dalam bathin Maria. Setelah mendapat kabar dari Gabriel bahwa dirinya akan segera mengandung, bagaimana nanti memberitahukan kepada Yusuf, sang kekasihnya? Akankah Yusuf dengan begitu saja percaya bahwa kehamilannya adalah karena rencana Allah? Atau, jangan-jangan Yusuf akan memandangnya sebagai perempuan murahan. Kalau sudah begini semua harapan akan sebuah keluarga bahagia akan segera kandas! Lalu, seandainya pun Yusuf dapat diyakinkan, bagaimana pula menjelaskan kepada orang tua, sanak keluarga tentang kehamilan itu. Bukankah dalam tradisi Yahudi sepasang anak manusia yang bertunangan tidak boleh tinggal satu atap, apalagi melakukan hubungan suami-isteri. Bagaimana nanti reaksi masyarakat dan hukuman sosial yang harus ditanggungnya. Berbeda dengan sanaknya, Elizabet. Bagi Elizabet, mungkin pergumulannya tidak seberat dengan apa yang dialami Maria. Elizabet jelas-jelas sudah puluhan tahun menikah  dengan Zakharia dan wajar saja kalau ia kemudian mengandung dan melahirkan. Masyarakat akan menerimanya.

Sungguh situasi tidak mudah yang sedang dihadapi Maria. Maka sangat wajarlah ketika ia menanggapinya dengan, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (Lukas 1:34). Malaikat itu mengatakan, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah...Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Lukas 1:35, 37). Maria menyadari bahwa rencana Allah jauh lebih besar, lebih mulia, lebih agung ketimbang rencana dan angan-angannya. Dampak rencana Allah adalah bagi keselamatan dunia sedangkan rencana dan cita-citanya hanya sebatas dirinya bersama Yusuf dan sanak keluarganya.

Sambil berserah dan dalam sikap rendah hati, Maria mengamini pesan yang didengarnya itu. Katanya, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan: Jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”(Lukas 1:38). Maria menyebut dirinya sebagai hamba. Tepat sekali, bukan hanya sekedar perkataan belaka. Esensi mendasar dari seorang hamba adalah taat dan setia kepada tuannya dalam segala hal, bahkan ketika harus berhadapan dengan resiko yang membahayakan dirinya. Maria punya rencana, ia punya cita-cita bersama Yusuf dan tentu kaum keluarganya. Namun, ketika Allah melalui malaikat-Nya menyatakan bahwa dirinya dipakai Tuhan untuk rencana agungNya, Maria rela melepaskan impiannya. Ia rela hidupnya diri dan hidupnya dipakai sepenuhnya oleh Tuhan.

Manusia pada umumnya dapat taat dan setia ketika melihat di depannya ada upah atau keuntungan yang setimpal dengan resiko atau pengorbanan yang diberikannya. Contohnya, dapat kita lihat pada loyalis partai atau tokoh politik tertentu. Mereka bersedia membela, mendukung bahkan membukam nuraninya demi membela sang tokoh. Mengapa? Karena sudah jelas, di ujungnya nanti akan mendapat posisi tertentu. Maria, taat dan setia kepada rencana Tuhan ketika ia belum tahu dan mengerti posisi seperti apa yang akan dia peroleh. Ia menjalani saja sampai akhir hidupnya. Namun, ternyata Tuhan memuliakan dia sebagai perempuan yang paling berbahagia. Demikian juga dengan Malala, ia berjuang bukan untuk sebuah penghargaan. Malala berjuang untuk sebuah masa depan kaumnya yang lebih baik. Ia tidak mencanangkan tindakannya untuk sebuah penghargaan. Namun, apa yang tidak dicarinya, dunia menghormatinya.

Anda dan saya punya rencana, keinginan, cita-cita dan harapan. Tuhan juga punya rencana dengan hidup kita. Kita sering menyebut diri hamba-Nya atau anak-anak-Nya, manakah yang kita dahulukan? Apakah rencana dan ambisi diri sendiri atau rencana dan kehendak-Nya? Sudahkah kita berupaya untuk mencari dan menemukan kehendak-Nya dalam hidup kita dan kemudian menyesuaikan rencana hidup kita dalam rencana-Nya? Ataukah malah sebaliknya, kita terus berupaya supaya melibatkan dan mengatur Tuhan dalam rencana dan ambisi kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar