Kamis, 13 November 2014

BILA TUHAN MENGUTUS

Sejak buku nyanyian Pelengkap Kidung Jemaat di pakai oleh banyak gereja, nyanyian no. 185 dengan judul “Tuhan Menutus Kita” mendadak hit. Iramanya dinamis cenderung ceria maka tidaklah mengherankan ketika kita menyanyikannya tanpa terasa anggota tubuh kita ikut bergerak sesuai dengan ritme lagu itu. Namun, pernahkah kita sejenak menelisik lirick lagu tersebut? Saya pernah merenungkan karya Arnoldus Isaak Apituley ini. Ternyata tidak semudah dan senyaman ketika menyanyikannya!

Tuhan mengutus kita kedalam dunia
bawa pelita kepada yang gelap.
Meski dihina serta dilanda duka,
harus melayani dengan sepenuh.
               
                Dengan senang, dengan senang
                marilah kita melayani umat-Nya.
                Dengan senang, dengan senang,
                berarti kita memuliakan nama-Nya

Betulkah kenyataannya seperti itu? Meski dihina serta dilanda duka akan tetap melayani dengan senang? Anda dapat menjawabnya sendiri!

Di balik dinamika keceriaan, nyanyian ini mengingatkan kita bahwa Tuhan mengutus kita bukan ke tempat atau situasi yang selalu menyenangkan. Untuk itu, Tuhan juga telah membekali kita dengan talenta agar tugas panggilan itu dapat dikerjakan dengan baik. Nah, masalahnya apakah kita menyadari talenta yang Tuhan percayakan kepada kita? Selanjutnya, apakah talenta itu dikelola dengan optimal?

Perumpamaan Yesus tentang talenta (Matius 25:14-30) dapat menolong bagaimana seharusnya kita mengelolanya dengan baik. Perumpamaan ini bercerita bahwa suatu kali seorang saudagar mempercayakan talenta-talentanya kepada tiga orang hambanya. William Barckay mencatat bahwa perumpamaan ini bukan mengenai uang logam, melainkan ukuran berat logam itu, entah tembaga, emas atau perak. Logam yang paling umum dipakai adalah perak dan nilai satu talenta perak sekitar £ 240. Nilai yang tidak sedikit. Sang tuan memberikan masing-masing kepada hambanya: lima, dua dan satu talenta. Sang tuan tidak bisa dikatakan tidak adil. Mengapa? Mereka diberi kepercayaan sesuai dengan kesanggupannya lalu sang tuan pergi untuk jangka waktu lama.

Perumpamaan ini mengungkapkan bahwa Allah memberi kepada manusia karunia yang berbeda-beda kepada setiap orang, dengan demikian maka bukanlah jumlah talenta yang menjadi persoalan melainkan bagaimana para hamba itu menggunakannya. Allah tidak pernah menuntut dari seseorang kemampuan-kemampuan yang tidak ia miliki. Tetapi Allah menuntut agar setiap orang memanfaatkan sepenuhnya semua kemampuan yang ia miliki. Apa upahnya bagi orang yang telah melakukan tanggungjawabnya dengan baik? Apakah kemudian disuruh beristirahat atau berleha-leha? Dalam perumpamaan itu, dua hamba yang melakukan tugasnya dengan baik dalam tidak diganjar dengan tamasya atau berleha-leha santai. Namun, sebuah tanggungjawab yang lebih besar sudah menanti dalam pekerjaan tuannya!

Sekarang apa yang terjadi dengan hamba yang diberikan satu talenta? Ia malah menguburnya! Hamba ini kemudian dikatakan hamba yang jahat. Loo koq bisa? Bukankah hamba ini tidak mengorupsi talenta yang dipercayakan kepadanya. Ia tidak menggunakan talenta itu untuk berfoya-foya. Bukankah ketika sang tuan datang ia mengembalikannya tanpa kurang sedikit pun? Lalu mengapa disebut jahat? Jawabnya: Ia tidak berbuat apa-apa dengan talenta itu. Seandainya ia telah melakukan sesuatu dengan satu talentanya itu, lalu hilang, hal itu masih lebih baik daripada tidak berbuat apa-apa. Selalu menjadi godaan bagi orang yang menerima satu talenta untuk berkata, “Saya hanya menerima talenta sedikit sekali maka sedikit pula dengan apa yang bisa saya lakukan.

Benarkah bahwa sedikit talenta kemudian menjadi alasan untuk tidak mengembangkan sebuah karya? Ataukah hal itu hanya sekedar alasan untuk tidak melakukan apa-apa terhadap talenta itu? Anda tahu Stephen Hawking? Setiap orang yang menekuni fisika pasti tidak asing dengan nama ini. Ia adalah seorang fisikawan denganotak cemerlang. Hawking lahir tahun 1942, sejak usia 21 tahun menderita Lou Gehrig atau  amyotrophic lateral sclerosis, penyakit yang menyebabkan melemahnya otot, mengakibatkan kelumpuhan dan kehilangan kemampuan bicara. Apakah Hawking menyerah? Tidak!

Hawking menyadari, ia masih mempunyai kekuatan berpikir. Ia tidak mau menyerah! Ia mengelola pikirannya sehingga kekuatan pikirannya sangat luar biasa, canggih, dan visioner, daya imajinasinya sulit dicarikan tandingan. Tahukah Anda bagaimana keseharian Hawking menjalani kehidupannya? Ia selalu ada di atas kursi roda yang dilengkapi dengan komputer dan sebuah pembangkit (synthesizer) suara. Dengan menekan tombol-tombol pada sebuah keyboard kecil, ia bisa memilih kata-kata di layar komputer, menggabungkannya menjadi kalimat yang diteruskan ke pembangkit suara. Ini merupakan kehidupan yang sulit dan membutuhkan mental baja untuk menjalani hidup seperti itu.

Itulah Hawking, dengan kelemahan fisik yang serius, ia memberikan inspirasi kepada dunia tentang asal kejadian dan nasib alam semesta. Saat serangan terhadap otot-otot motorik mencapai puncaknya, Hawking justeru habis-habisan melakukan riset. Sebuah buku hebat lahir dari kerja keras yang penuh semangat itu, A Brief History of Time. Hawking membuktikan bahwa kelemahan fisik bukan kendala untuk mengobarkan semangat dalam aktualisasi diri. Hasilnya? Sederet kontribusi pemikirannya telah membuka cakrawala ilmu pengetahuan, termasuk temuan,yang oleh fisikawan, John Wheeler disebut sebagai Black Hole. Hawking dengan segala temuan akbarnya telah menunjukkan sebuah daya imajinasi tiada tara dan antusia luar biasa (Agus Santoso, A Beautiful Heart. 2013). 

Kembali ke perumpamaan tentang talenta. Kisah ini mengungkapkan suatu hukum universal; bahwa kepada orang yang mempunyai lebih banyak akan diberi, dan orang yang tidak mempunyai akan diambil. Artinya, jika seseorang menyadari mempunyai talenta dan menggunakannya, ia akan semakin mampu bekerja dengan mengelola talenta itu. Namun, jika ia mempunyai talenta dan gagal memanfaatkannya, ia sungguh-sungguh akan kehilangan talenta itu. jika kita mempunyai kemahiran di bidang olah raga atau seni, jika kita mempunyai karunia untuk melakukan sesuatu, semakin banyak memanfaatkan kemahiran itu, semakin berat dan besar tugas yang dapat kita tangani. Sementara jika kita gagal memakainya (baca: mengubur talenta) kita akan kehilangan kemahiran itu. Hal ini juga berlaku dalam bermain golf, bermain piano, bernyanyi, menyusun khotbah, mengukir kayu, atau memikirkan gagasan-gagasan. Inilah pelajaran kehidupan bahwa satu-satunya jalan untuk memelihara sebuah karunia adalah memakainya dalam pelayanan kepada Allah melalui sesama manusia (William Barclay. 2011).   

Tuhan telah mengutus kita dan melengkapinya dengan talenta, seperti dalam perumpamaan, sang tuan pergi untuk jangka waktu lama dan tidak seorang pun tahu kapan ia akan kembali. Meminjam pernyataan Paulus tentang kedatangan Tuhan adalah seperti pencuri (1 Tesalonika 5:2), jadi tidak ada seorang pun yang tahu. Selanjutnya, Paulus mengajak kita untuk senantiasa berjaga-jaga dengan melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Asahlah dan gunakanlah terus talenta yang Tuhan percayakan pada kita, sebab semuanya itu akan diminta pertangungjawabannya kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar