Jumat, 31 Oktober 2014

ALLAH MENGARUNIAKAN KELELUASAAN HIDUP


Sampai hari ini gonjang-ganjing politik tampaknya belum menunjukan tanda-tanda mereda. Pagi ini (31 Oktober 2014), ditemani semangkok bubur kacang ijo saya menikmati lembar pertama koran Kompas. “DPR Semestinya Bersatu” judul besar yang memuat wawancara dengan berbagai tokoh nasional mengenai kegaduhan di parlemen kita.

“Koalisi Merah Putih ataupun Koalisi Indonesia Hebat seharusnya sadar, pemilu sudah usai. Masyarakat pun sudah menerima hasil pemilu. Jadi seharusnya partai politik bersatu. Bersatunya partai politik itu menjadi cermin kuatnya demokrasi...Sebaiknya memang Koalisi Merah Putih membuka diri, memasukkan perwakilan Koalisi Indonesia Hebat di pimpinan alat kelengkapan dewan....Namun, jika KMP tetap pada posisinya, KIH harus rela menyerahkan semua posisi pimpinan di dewan ke KMP...” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jilmy Asshiddiqie.

Hal senada diungkapkan oleh pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra yang prihatin atas kekrisruhan di DPR yang berujung pada dibentuknya  DPR tandingan. Menurutnya, hal ini menunjukkan para politisi belum mampu mendahulukan kepentingan bangsa dan negara dari pada kepentingan kelompok dan pribadi. Para politisi seharusnya mampu mengedepankan musyawarah dalam memecahkan persoalan bangsa.

Dari dua ungkapan tokoh tersebut setidaknya kita mendapat gambaran bahwa umumnya elit politik mengejar kekuasaan bukanlah dalam semangat membesarkan bangsa, membangun masyarakat yang lebih maju baik mental, spiritual maupun ekonomi melainkan lebih pada pemuasan ego sektoral: pribadi, keluarga, golongan, etnis dan partainya. Kekuasaan dipandang sebagai alat untuk membangun kebesaran diri sendiri. Maka tidaklah mengherankan, untuk meraihnya pelbagai cara dilakukan termasuk cara-cara keji dan kotor.

Kita menyaksikan wakil rakyat dan para pejabat dapat melanggeng dengan ijazah palsu. Kita dapat melihat gelar palsu pencitraan bertebaran di ranah publik. Siapa sebenarnya mereka? Mereka adalah cermin anak bangsa yang lebih menghargai simbol kosong, status palsu, untuk membodohi bawahan, kalau ia seorang pemimpin.  Atau untuk membohongi penggemar, kalau ia adalah seorang public figure. Atau untuk menipu rakyat, kalau ia seorang wakil rakyat. Atau untuk memanipulasi umat dengan ayat-ayat janji sorga, kalau ia seorang pendeta atau ustazd. Yang ingin disampaikan lewat sandiwara kepalsuan ini adalah, “Aku manusia bodoh yang pintar membungkus kebodohanku.” Jelas pejabat-pejabat seperti ini tidak bisa diteladani.

Pada jaman-Nya, Yesus menegur para elit pejabat agama Yahudi (Matius 23:1-12). Mereka adalah ahli-ahli Taurat dan orang Farisi. Mereka hanya memiliki otoritas dalam jabatanya, tetapi tidak memiliki integritas dan kredibilitas. Maka Yesus mengingatkan kepada para pengikut-Nya, “Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi kamu jangan turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.” (Mat. 23:3).

Berebut nama besar, populer dan punya otoritas rupanya telah lama menggoda manusia. Mengapa demikian? Tentu, kita semua memakluminya bahwa di balik itu ada sederet penghormatan, fasilitas, keuntungan, dan yang semacam itu. Berbeda dari kebanyakan orang, tokoh Alkitab yang satu ini tidak memaksakan diri menjadi pemimpin dan kemudian minta dihormati. Justeru, ia memaknai bahwa kepemimpinan itu dipergunakan seluas-luasnya agar karya Allah nyata di tengah-tengah umat-Nya. Namanya: Yosua bin Nun dari suku Yusuf (separuh keturunan Efraim) yang lahir di Mesir. Pada waktu orang Israel keluar dari Mesir, ia masih belia (Kel.33:11). Dia diberi nama Hosea (Ibr. Hosyea ‘keselamatan’, Bil. 13:8), tetapi kemudian Musa memanggilnya dengan Yosua (Ibr.yehosyua, ‘Tuhan keselamatan’, Bil.13:16).Yosua dipilih Musa untuk menjadi pembantu pribadinya dan ia hadir di gunung saat Musa menerima Taurat (Kel. 24:13, dst). Yosua juga menjadi penjaga kemah pertemuan pada saat Musa bertemu dengan Tuhan (Kel. 33:11). Selanjutnya Yosua diberi tanggung jawab memimpin bala tentara Israel yang ditugaskan untuk memukul mundur serangan Amalek di  Rafidim, Gurun Sinai. Kemudian ia menjadi salah seorang dari keduabelas pengintai tanah Kanaan, dan bersama Kaleb, memberi laporan yang mendorong Israel untuk memasuki Kanaan. Akhirnya ia diangkat oleh Tuhan menggantikan Musa.

Benar pada akhrinya Tuhan sendirilah yang memberikan mandat kepada Yosua. Namun, jangan kita lupa “karier politik” Yosua di tengah bangsanya. Mungkin, di antara teman seaangkatannya dialah yang paling banyak dicatat dalam Alkitab sebagai seorang yang setia, penuh dedikasi dan berpandangan positif tentang rencana Tuhan buat umat-Nya. Yosua bukan pemimpin karbitan, ia mau dibentuk oleh Tuhan sejak masa mudanya. Sehingga sangatlah tepat Tuhan memilih Yosua. Tuhan membesarkan namanya, “Pada hari inilah Aku mulai membesarkan namamu di mata seluruh orang Israel, supaya mereka tahu, bahwa dahulu Aku menyertai Musa, demikianlah Aku menyertai engkau.” (Yosua 3:7). Pernyataan Allah ini merupakan penegasan dari janjiNya dalam Yosua 1:5.

Dalam sejarah hidupnya, Yosua tidak pernah berupaya mempopulerkan atau mengkampanyekan dirinya supaya menjadi pemimpin Israel. Namun, Yosua membuka ruang agar Allah bertindak melalui dirinya. Dari pihak Allah, wujud kepercayaan dan pengesahan terhadap kepemimpinan Yosua dinyatakan melalui peristiwa mujizat di sungai Yordan. Sungai itu terbelah, ini mengingatkan bangsa Israel pada peristiwa laut Teberau, sehingga bangsa Israel dapat menyeberang di tempat yang kering. Pengesahan dan mujizat Allah yang menyertai kepemimpinan Yosua menandakan bahwa Allah hadir di tengah-tengah umat-Nya. Jadi, kebesaran nama Yosua dalam kepemimpinannya adalah manifestasi kehadiran Allah di tengah umat-Nya.

Rasanya, bagi Yosua keberhasilan dalam memimpin bangsa Israel untuk memasuki tanah perjanjian dan berdampak namanya semakin besar, bukanlah menjadi tujuan utama dalam hidupnya. Dengan kata lain, Yosua tidak mencari popularitas dan kekuasaan. Melainkan, ia menyediakan hidup sepenuhnya sebagai media agar kehadiran TUHAN di tengah-tengah umat-Nya menjadi nyata!

Nama besar, kekuasaan, kehormatan akan datang dengan sendirinya jika saja seseorang mau menyediakan diri menjadi alat untuk kehadiran Allah di dunia ini. Lihatlah tokoh-tokoh sejarah dunia seperti Bunda Teresa, Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, dll.  Dunia menghormati mereka bukan karena gelar, atau ambisinya dalam meraih kekuasaan. Melainkan karena apa yang diperjuangkan dan dikerjakan mereka.

Tuhan telah memberikan kesempatan hidup bagi setiap makhluknya. Ia memberikan kebebasan sejak awal penciptaan manusia. Apakah kebebasan atau keleluasaan hidup yang dikaruniakan kepada kita  telah digunakan dengan sebaik-baiknya? Hal yang terindah adalah, sama seperti Yosua, ia sebenarnya bebas menggunakan hidupnya tetapi ia memilih menyerahkan hidupnya agar dipakai seluas-luasnya oleh Tuhan sebagai alat-Nya untuk memimpin umat-Nya dalam menggenapi rencana-Nya sehingga umat Tuhan itu boleh leluasa hidup di negeri perjanjian. Bagaimana dengan kita? Apakah hidup ini kita gunakan dengan leluasa untuk memuaskan ambisi sendiri? Ataukah kita mau seperti Yosua?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar