Jumat, 12 September 2014

MENANG TANPA BERPERANG

Hampir di semua aspek kehidupan manusia diwarnai dengan persaingan atau kompetisi. Kompetisi sering dipandang sebagai sebuah peperangan. Memenangkan peperangan merupakan sebuah kenikmatan tersendiri. Pemenang selalu dipuji, dihormati dan disanjung. Sebaliknya, menjadi pecundang adalah hal memalukan. Maka tidaklah mengherankan kalau kita melihat ada orang yang jelas-jelas kalah dalam sebuah kompetisi tidak mengakui kekalahannya bahkan ia meradang dan mencari cara, kalau kalah, hancur, ya hancur sekalian semuanya!

Kehidupan dapat dipandang sebagai ajang peperangan, siapa yang dapat memenangkannya tentu merasakan kebahagiaan. Lalu, perang seperti apa yang kita hadapi, pertempuran fisikkah? Apakah orang atau kelompok yang berbeda dengan kita adalah musuh dan harus diperangi, ditaklukan kemudian dibinasakan? Rasanya bukan seperti itu. Yesus mengajarkan kita agar dalam hidup ini tidak mencari dan mempunyai musuh, malahan kalau pun ada musuh, mereka tidak perlu diperangi dan dibenci, melainkan harus dikasihi. Betapa pun yang kita anggap sebagai musuh dan kerap kali merugikan, mempermalukan serta berusaha menghancurkan hidup kita, tetaplah kita terpanggil untuk mengampuni.

Dalam kisah tentang perumpamaan pengampunan (Matius 18:21-33), Petrus bertanya kepada Yesus, sampai berapa kali harus mengampuni orang yang menjengkelkan kita? Yesus menjawabnya sampai tujuh puluh kali tujuh! Ini menandakan pengampunan tanpa batas! Pengampunan yang berkualitas. Mengapa begitu? Melalui cerita perumpamaan-Nya tentang hamba yang berhutang sepuluh ribu talenta, Yesus mengajarkan mengapa kita harus mengampuni tanpa batas. Dalam kisah itu, karena belas kasihan sang raja maka si hamba yang berhutang itu dibebaskan. Seperti itulah, kita mengampuni. Oleh karena telah terlebih dahulu diampuni maka kita terpanggil untuk mengampuni . Jadi, jelaslah kehidupan ini memang adalah ajang peperangan tetapi musuh itu bukanlah sesama kita. Musuh terbesar adalah diri kita sendiri dan persoalan yang ada dalam kehidupan kita.

Bagaimanakah kita berperang melawan diri sendiri sekaligus persoalan pelik dalam hidup ini? Berhasilkah kita menaklukkannya? Andalan dan senjata apa yang kita gunakan untuk peperangan itu?  Mari kita belajar dari kisah perjalanan, atau tepatnya keluaranya bangsa Israel dari negeri perbudakan menuju tanah perjanjian. Kisah ini menarik oleh karena sering mewakili gambaran perjalanan kehidupan kita. Padang gurun dan pengembaraan menuju tanah perjanjian bukankah cerminan hidup ini. Kita semua sedang berada dalam pengembaraan di padang gurun dan berharap suatu ketika nanti akan tiba di “negeri perjanjian”. Sampaikah nanti di negeri itu dan disambut oleh Tuhan sendiri? Ataukah kita tersesat di padang gurun, lalu menyesali hidup ini dan menyalahkan Tuhan? Atau barangkali kita menikmati padang gurun dan ogah meneruskan perjalanan?

Pierre Teilhard de Chardin pernah bercerita. Ada sekelompok pendaki gunung yang hendak memulai misinya untuk mendaki gunung yang tinggi. Setelah beberapa jam perjalanan, mereka sudah menempuh setengah perjalanan dan segera terbagi dalam tiga kelompok. Mereka semua memutuskan untuk beristirahat dalam sebuah pondok.

Satu kelompok merasa menyesal bahwa mereka telah melakukan perjalanan yang menegangkan dan diwarnai bahaya yang tidak setimpal dengan kenikmatan yang mereka harapkan. Begitu kecewanya mereka sehingga kelompok ini menggerutu, marah dan akhirnya memutuskan untuk kembali pulang.

Kelompok kedua sangat senang dan menikmati perjalanan itu. Mereka senang dapat menghirup udara pegunungan yang jernih dan sinar matahari yang menghangatkan tubuh mereka. Karena itu mereka duduk di rerumputan dan dengan lahap menyantap roti bekal mereka. Beberapa di antaranya mulai bernyanyi-nyanyi dan menarik nafas dalam kebebasan alam pegunungan yang indah. Mereka merasa puas dan senang berada di tempat itu. Kemudian mereka berpikir, kalau tempat ini begitu menyenangkan, mengapa harus berjalan mendaki lagi ke tempat yang lebih tinggi. Belum tentu di sana lebih indah dan nyaman seperti di sini. Karena itu mereka sepakat memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan. Mereka berhenti di situ.

Kelompok ketiga adalah para pendaki gunung sejati yang mendaki sampai ke puncak yang selalu terbayang di mata mereka sejak mereka mempersiapkan diri dan berangkat. Puncak itulah yang merupakan tujuan mereka dan mereka berupaya mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menaklukkan gunung itu. Dalam kehidupan ini, di saat kita mendaki untuk mencapai tujuan, kadang kita termasuk satu dari antara ketiga sikap kelompok pendaki itu.

Sikap seperti kelompok pertama tampaknya lebih dominan dalam perjalanan rombongan eksodus bangsa Israel. Mereka kecewa, menggerutu, marah dan minta kembali ke Mesir. “Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat ini terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Mesir?” (Keluaran 14:11). Itulah ungkapan kekecewaan mereka terhadap Musa.

Mereka marah oleh karena tidak melihat jalan keluar di tengah ancaman bahaya. Situasi mereka seperti syair lagu Koesplus “Maju kena, mundur kena”. DI depan mereka terbentang Laut Teberau sementara di belakang, Firaun dan tentaranya segera datang untuk membinasakan mereka. Mereka kepepet! Pernahkah Anda berada dalam situasi seperti ini, situasi teramat pelik: maju kena mundur kena? Bagaimana reaksi Anda? Ya, sudah dapat ditebak: Marah, kecewa dan bahkan prustasi! Semua gelap, tidak mampu melihat jalan keluar. Untunglah dalam perjalanan bangsa Israel itu Tuhan tidak membiarkan bangsa itu dalam kondisi prustasi. Tuhan memberikan pertolongan tepat waktu. Musa diperintahkan mengulurkan tongkatnya. Mujizat terjadi: Laut Teberau terbelah dan itulah jalan keluar buat mereka. Firaun dan tentaranya binasa di tempat yang menjadi solusi buat Israel. Mereka tidak usah berperang, Tuhanlah yang berperang serta menuntun mereka menuju tanah perjanjian itu.

Menang tanpa berperang! Apakah masih berlaku dalam kehidupan saat ini dan di sini? Ya, tentu saja! Syaratnya bukan seperti kelompok pertama para pendaki gunung atau kebanyakan orang Israel yang menyesali perjalanan mereka. Melainkan punyailah sikap seperti kelompok pendaki yang terakhir. Mereka punya visi dan semangat! Itulah modal untuk mengalahkan diri sendiri, modal itu tidak tumbuh dari para motivator atau orang lain siapa pun juga tapi harus ada dalam diri sendiri. Sebuah keyakinan optimis. Ketika si optimis ini berhadapan dengan tantangan maka ia akan dapat melihat kemudahan di balik kesulitan. Sebaliknya, si pesimis akan melihat kesulitan di balik kemudahan. Andaikata pun masalah pelik yang dihadapi seorang yang optimis, maka ia kan berkata, “Pastilah Tuhan tidak akan membiarkan aku melewati masalah ini seorang diri. Ia akan menolong tepat waktu!” Menang tanpa beperang itu akan terjadi mana kala kita menyiapkan sarananya, yakni: optimis, mengandalkan Tuhan dan hidup dalam rancangan-Nya.

Pengalaman Israel melewati masa sulit di Laut Teberau tampaknya begitu kuat menginspirasi pemazmur (Mazmur 114) dan ini dijadikannya modal dalam menghadapi setiap kesulitan hidup. Nah, bagaimanakah dengan kita? Apakah menjadi pecundang atau pemenang dalam hidup ini? Sampaikah kita pada negeri perjanjian, puncak gunung ataukah kita menjadi orang yang menyesali hidup ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar