Kamis, 18 September 2014

HIDUP ADALAH ANUGERAH


Seorang isteri terbangun pada suatu pagi yang cerah oleh aroma kopi yang mengepul panas dan croissant yang harum. Beberapa menit kemudian,  suaminya muncul dari balik pintu kamar tidur sambil membawa nampan sarapan pagi. Sebelum suaminya sempat mengucapkan selamat pagi, sang isteri mulai berbicara.

“Tidak ada yang semanis madu di atas croissant pada pagi hari. Pernahkah kau perhatikan, sayang, ada berapa jenis madu di dunia ini? Setiap madu, seperti juga anggur, masing-masing punya sifat unik. Dari generasi ke generasi, madu selalu dijunjung tinggi di banyak kebudayaan. Tahukah engkau bahwa para pencari madu berani mempertaruhkan nyawa mereka mendaki tebing yang terjal dan pohon yang tinggi untuk mengumpulkan madu asli. Madu semacam ini terkenal karena khasiatnya yang mampu menyembuhkan banyak penyakit. Kita menyebut tempat-tempat yang memiliki tanah yang subur dan makmur dengan tanah susu dan madu. Madu jelas adalah selai makan pagi kesukaanku!”

Suaminya terheran-heran, sungguh di luar dugaan, lalu bertanya, “Ada apa ini? Mengapa kamu memuji-muji madu dengan begitu puitisnya? Tidak pernah kamu memuji aku seperti pujianmu terhadap madu hari ini!”

Sang isteri mengabaikan tanggapan dari suaminya, lalu ia melanjutkan, “Yah,...di sisi lain, madu tidak menyehatkan. Pernahkah kau bayangkan serangga-serangga kotor yang mengumpulkannya, membawanya di atas tubuh mereka, lalu mereka mengolahnya tentu saja dalam kondisi jauh dari hiegenis, dan menyimpannya di dalam hutan, entah di mana? Lebah belum pernah mendengar tentang Louis Pasteur.”

“Lagi pula mengkonsumsi madu terlalu banyak tidak baik untuk kadar gula darah kita. Selain kekotorannya, madu sendiri bisa menyebabkan masalah kesehatan. Dan bagaimana bisa kita tahu bahwa kita sudah terlalu banyak mengkonsumsi madu? Bagaimana kita tahu tingkat toleransi tubuh kita terhadap madu? Tidak! Setelah berpikir masak-masak, aku geli, aku benci dengan madu!”

Sang suami terbengong-bengong dengan monolog panjang isterinya. Dia tadinya hanya berpikir bahwa tindakannya membawakan makanan pagi ke tempat tidur ini pasti menjadi kejutan romantis bagi sang isteri karena belum pernah ia melakukan hal itu. Kini, ia heran akan komentar sang isteri yang penuh dengan empati dan penghargaan terhadap madu, tetapi juga kontradiktif dan membenci madu. “Tungu sebentar,” katanya. “Bagaimana kamu bisa memiliki dua pendapat yang sedemikian bertentangan tentang satu subjek yang sama, yakni madu?”

“Tidak, kok,” jawab isterinya, “Aku memiliki pilihan pendapat mana yang ingin kupegang – dan itu tergantung dari apakah kita punya madu di dapur atau tidak.”

“Hidup adalah Anugerah” Itu juga tergantung cara kita memandangnya. Seseorang bisa bekerja, mendapatkan upah, membangun rumah tangga, punya anak-anak, ada yang menganggapnya sebagai sebuah anugerah tak ternilai. Namun, tidak sedikit juga yang memandangnya sebagai sebuah beban kehidupan yang harus terus di jalaninya sampai ajal menjemput. Menghadapi hari Senin, banyak yang menganggapnya sebagai anugerah bahwa yang Mahakuasa memberi kesempatan lagi untuk berkarya, tetapi tidak sedikit yang membencinya!

Perjalanan Israel dari perbudakan di Mesir menuju tanah Perjanjian sangat menarik menjadi bahan refleksi kita. Saya sering berkaca pada peristiwa ini. Inilah gambaran kehidupan pengembaraan kita di padang gurun dunia. Isreal dibebaskan dari perbudakan, bukankah kita juga mengalami pembebasan dari dosa oleh penebusan Kristus? Israel dijanjikan akan tiba di negeri perjanjian, yakni tanah Kanaan. Kita yang percaya akan penebusan Kristus juga dijanjikan tanah Perjanjian, yakni Kerajaan Sorga. Israel harus mengalami pengembaraan di padang gurun sebelum sampai di negeri perjanjian. Kita pun harus mengalami pengembaraan di padang gurun dunia ini sebelum sampai di garis finis. Israel sering ngomel karena mendapati apa yang tidak mereka inginkan, begitu juga kita!

Perjalanan pembebasan dari Mesir ke tanah Perjanjian jika dilihat dari prespektif Allah, mestinya Israel bersyukur. Sebab Allahlah yang merancangkan kebaikan untuk umat-Nya. Namun, nyatanya tidak demikian. Sebagian besar umat itu menganggap perjalanan mereka adalah sia-sia, penuh kepahitan dan ancaman malapetaka. Mereka menyesali lalu marah dan mengingat kembali kehidupan di Mesir. Rasanya, ingin kembali. Biar menjadi budak asalkan isi perut terjamin. Israel tidak melihat perspektif Allah yang ingin mengangkat derajat kehidupan mereka dari bangsa budak menuju kepada umat pilihan. Maka tidak heran mereka berkata, “Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan TUHAN ketika kami duduk menghadap kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang! Sebab kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membunuh seluruh jemaah ini dengan kelaparan.” (Keluaran 16:3). Barangkali juga saat ini kita sedang seperti Israel, ketika kebutuhan dan keinginan tidak terpenuhi, yang ada hanyalah marah, kecewa dan penyesalan. Apakah ketika kebutuhan itu terjawab, lantas kelu-kesah itu berhenti? Tidak juga! Sebab peristiwa selanjutnya, ketika Allah menjawab dengan menurunkan hujan roti manna dan burung puyuh untuk kebutuhan makan mereka, tetap saja tidak puas! Ada yang tamak, mengumpulkan lebih dari semestinya sehingga berbau busuk. Kisah selanjutnya mereka ngomel lagi karena kehausan.

Bila setiap pemenuhan kebutuhan gagal membuat orang terpuaskan, merasa cukup, tidak kecewa, marah atau serakah, lalu adakah hal lain yang dapat meredakan itu? Ada! Jawabnya adalah bersyukur dan percaya kepada pemeliharaan Allah serta tidak iri akan kehidupan orang lain. Seberapa pun kita mempunyai persediaan makanan, uang, harta benda dan jaminan sosial jika tidak ada rasa bersyukur akan merasa kurang dan kurang terus. Kurang apa para pejabat kita? Tetapi mengapa mereka terus korupsi? Jawabanya sederhana: kurang bersyukur! Tuhan dapat memenuhi semua kebutuhan kita tetapi tampaknya Ia tidak mau mengambil alih rasa syukur. Rasa syukur itu bukan Allah yang menyediakan tetapi respon kita terhadap pemberian-Nya!

Bersyukur akan menjauhkan kita dari sikap iri hati. Kisah perumpamaan tentang pekerja kebun anggur yang disampaikan Yesus sangat menarik untuk kita belajar tidak iri hati (Matius 20:1-16). Seorang pengusaha kebun anggur mencari orang yang mau bekerja di kebunnya dengan upah sedinar sehari. Janji imbalan itu dia sampaikan sama kepada mereka yang bekerja mulai pukul sembilan, pukul dua belas dan pukul tiga petang. Pada sore hari Boss kebun anggur itu memanggil semua pekerjanya dan ia membayar sesuai kesepakatan. Yang bekerja belakangan dipanggil duluan, akibatnya mereka yang bekerja pagi hari melihat berapa upah yang diberikan. Sangkanya mereka akan mendapat lebih karena jam kerjanya lebih panjang. Namun, ternyata tidak! Mereka tidak terima dan protes. Si Boss lalu bertanya, bukankah semula sepakat sedinar sehari? Atau iri hatikah engkau karena Aku murah hati?

Bukankah perumpamaan ini sering  terasa cocok dengan kehidupan kita? Ketika melihat kesuksesan dan kelimpahan berkat pada diri saudara kita, ada perasaan tak nyaman, apalagi jika merasa bahwa diri ini telah lebih melayani dan berbuat baik. Selama masih ada iri hati dalam diri, kita sulit bersyukur! Iri hati membuat kita marah dan gagal menyukuri bahwa hidup ini semata-mata adalah anugerah!

Paulus, dalam segala kondisi hidupnya dapat memaknai sebagai anugerah. Ia mengatakan bahwa pada hakekatnya hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (Filipi 1:21) Mengapa ia mengatakan demikian? Ia memiliki keyakinan bahwa jika Tuhan memberinya hidup, maka hidupnya harus diisi dengan kerja yang menghasilkan buah. Sebaliknya, jika ia mati, kematian itu membuatnya bersuka cita, sebab dengan kematiannya, Paulus menyatukan diri dengan Kristus. Nah, bagaimanakah kita sekarang? Apakah memandang hidup ini sebagai anugerah atau beban dan kesialan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar