Jumat, 11 Juli 2014

RIVALITAS VS SOLIDARITAS

Alkisah, ada dua kerajaan yang berbatasan satu dengan yang lainnya. Di negeri yang pertama mereka memuja Matahari, sedangkan di negeri satunya mereka menyembah Bulan. Berangkat dari perbedaan kepercayaan, mereka saling mengejek, merendahkan yang lain, menganggap diri paling benar, dan mengkafirkan yang lain. Dapat diduga, pertikaian tidak terhindarkan dan akhirnya perang terjadi. Masing-masing menyiapkan amunisi, mengumpulkan angkatan bersenjata dan kemudian bertemu di medan perang. Sinar matahari berkilauan memantul dari pedang, tombak dan pakaian perang mereka, berhadapan satu dengan yang lainnya, siap untuk mati!

Di setujui oleh masing-masing pihak untuk mengirim jawara mereka dan bertarung satu lawan satu. Terkuat, paling handal, paling tangkas dan perkasa dari masing-masing angkatan perang dipilih. Dua orang maju dengan wajah sangar, dengan pedang di tangan dan perisai di tangan yang lainnya. Di dada mereka ada lambang Matahari dan lambang Bulan pada yang satunya.

Kini mereka saling berhadapan dan kemudian bertarung seperti kesetanan. Mereka bertarung sepanjang pagi, siang, di bawah panasnya sinar matahari. Mereka bertarung terus dan terus sampai matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Mereka benar-benar seorang yang kuat, gagah perkasa dan ahli berperang, sehingga keadaan seri, tidak ada yang kalah. Mereka terus bertarung begitu dekat, sangat dekat, sampai akhirnya matahari terbenam. Mereka kelelahan, jatuh ke tanah, bahkan tidak cukup kuat untuk merangkak kembali ke tenda masing-masing. “Saya benci kamu!” geram jawara Matahari. “Saya juga benci kamu!” jawab jawara Bulan. “Saya harus membunuh kamu,” kata jawara Matahari, “di rumah saya punya anak dan isteri yang mencintai saya. Anak saya ingin menjadi pejuang seperti saya. Saya harus melindungi mereka dari orang-orang seperti kamu!”

“Saya juga mempunyai seorang isteri,” jawab jawara dari negeri yang memuja Bulan, “rakyatmu telah membunuhnya dalam perang yang lalu. Kini, bagaimana pun juga aku harus membalaskan dendamnya. Aku harus membunuhmu dan bila perlu anak isterimu juga!”

Jawara dari negeri yang memuja Bulan bangkit. Kemudian, jawara dari negeri yang memuja Matahari bertanya, “Seperti apakah rupa isterimu?” Jawara dari negeri yang memuja bulan menjawab, “Dia sangat cantik. Kami berpacaran sejak kami masih kecil. Aku sering bermain dengannya di hutan dekat sini.”

“Sepertinya kau memiliki masa kecil yang bahagia,” timpal jawara dari negeri yang memuja Matahari. “Tidak seperti saya. Aku hidup serba kekuarangan, ayahku selalu menyuruh kami bekerja di sawah setiap hari dan dia akan memukul kami bila kami membangkang.”

“Saya turut sedih mendengarnya,” jawab jawara Bulan.

Selanjutnya, entah kenapa, seolah mereka bertemu teman lama. Mereka berbincang-bincang tentang masa kecil, tentang sanak dan kerabat, tentang negeri yang dicintai, dan segala macam pengalaman masa lalu mereka. Mereka berbincang dan terus berbincang-bincang sampai bulan semakin tinggi. Mereka masih juga asyik berbincang ketika bulan mulai tenggelam di barat. Hanya tinggal satu, dua jam  untuk mereka beristirahat malam itu. Mereka tertidur dengan saling bersisihan, pedang dan tameng mereka tergeletak di samping mereka.

Langit mulai terang, lalu warna jingga mulai muncul di ufuk timur. Suara dan aroma sarapan yang berasal dari kedua kamp mulai tercium. Kedua jawara mulai terbangun oleh hangatnya sinar mentari yang menerpa wajah mereka. Letih, kesakitan, mereka meregangkan badan. Mereka saling menatap satu sama lain. Kemudian mereka berpelukan meninggalkan pedang-pedang dan tameng-tameng mereka, lalu berputar dan kembali ke pasukan masing-masing. Mereka sudah tidak lagi mampu bertarung. Bagaimana mungkin bertarung ketika kamu kenal baik dengan lawan tarungmu!

“Bagaimana mungkin kamu bertarung menyakiti bahkan membunuh lawanmu, ketika kamu kenal baik lawan tarungmu!” Itulah moral cerita di atas. Janganlah heran ketika musuh besar suatu saat dapat menjadi sahabat. Sebaliknya, saudara sekandung pun berpotensi menjadi musuh bebuyutan. Mengapa? Hal itu terjadi karena masing-masing tidak mau mengenal, tidak mau mengerti dan memahami satu sama lain. Sedekat apa pun, jika rasa peduli dan mengerti tidak ada maka sesama saudara dapat menjadi musuh. Kisah Esau dan Yakub (Kejadian 25:19-34) menggambarkan dengan tepat kondisi itu. Dalam satu rahim yang sama, rahim Ribka, mereka saling sikut dan saling mendominasi satu terhadap yang lainnya. Bahkan Alkitab menceritakan kisah selanjutnya keturunan mereka terus-menerus berperang, menjadi rival satu terhadap yang lain.

Apa sebenarnya yang membuat manusia sulit memahami dan mengerti keadaan orang lain? Tidak lain adalah memanjakkan keinginan diri sendiri. Paulus membahasakannya dengan keinginan daging. Orang yang menuruti keinginan daging adalah mereka yang tunduk pada nafsunya. Nafsu itu bisa bermacam-macam: ada nafsu berkuasa, nafsu seksual, nafsu menjadi kaya, nafsu ingin dipuja, nafsu hedonisme dan lain sebagainya. Pendekatan kehidupan nyaman dan nikmat dan dihormati! Siapa pun bisa tergoda dan terjerumus. Ketika kita masuk dalam perangkap kedagingan ini maka siapa pun yang dipandang dapat menghalangi untuk mewujudkan keinginanya akan menjadi rival, musuh yang harus disingkirkan.

Hari-hari belakangan ini kita prihatin. Pemilihan umum presiden dan wakilnya menyita banyak perhatian dan menguras emosi. Ada yang tadinya kawan dan sahabat, tiba-tiba karena beda pilihan menjadi lawan, kisah ini banyak sekali kalau mau ditelusuri. Jangan-jangan virus kedagingan itu sedang merasuk, menjalar ke semua elemen anak bangsa negeri ini sehingga tidak ada lagi tata krama kesopanan, etika dan spiritualitas, semuanya luluh lantak oleh nafsu ingin menang dan berkuasa! Bagaimana menangkalnya?

Paulus memberikan resep bahwa lawan dari nafsu kedagingan adalah tidak lain dari hidup menurut Roh. Roh yang dipercaya bekerja di dalam hati manusia, sekarang orang dapat memilih untuk tidak melakukan perbuatan dosa oleh karena kekuatan dari Roh itu. Lebih dari itu, Roh yang sudah membangkitkan Kristus itu, “...akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu...”(Roma 8:11). Tubuh adalah bentuk ragawidari manusia yang biasanya dianggap sebagai penjara, bisa binasa dan dipandang oleh para fisuf zaman perjanjian baru tidak terlalu berharga, sekarang menjadi begitu bernilai dan mulia ketika digerakkan dan dikuasai oleh Roh Kristus. Apa yang baik, apa yang mulia, yang surgawi dan ilahi itu bisa hadir dalam kehidupan duniawi. Orang yang hidup dipimpin oleh Roh dengan sendirinya akan mempunyai sifat-sifat, karakter-karakter dan budi pekerti luhur karena mengalami perubahan mind set, mengalami perubahan mental mendasar!

Ketika seseorang menyatakan diri hidup beriman kepada Kristus maka secara sadar ia akan membiarkan Roh Kristus itu bekerja dengan leluasa di dalam dirinya. Hidupnya bukan dirinya lagi tetapi Kristus yang hidup di dalamnya. Dampak hidup seperti ini akan menghasilkan semua yang positif, membangun, menghadirkan damai sejahtera, dan menghargai kemanusiaan. Hidup beriman seperti ini hanya bisa terjadi jika kita membiarkan diri menjadi “tanah yang gembur dan subur” ketika ditaburi Firman-Nya. Dan bukan sebaliknya, tanah tandus dan kering sehingga benih itu tidak pernah tumbuh dengan baik. Hanya memahami, mengerti dan manggut-manggut sesaat kemudian terlupakan. Untuk dapat menjadi tanah yang gembur, kita perlu mengelolanya. Berjuang untuk menggali, memupuk dan menjaganya. Hati kita, bila mau di samakan dengan analogi “tanah yang subur”, diperlukan kerja keras sehingga benih itu akan terus tumbuh dan akhirnya menghasilkan buah.  

Anda dan saya dapat mengubah rivalitas menjadi solidaritas kalau berhasil menanggalkan kedagingan dan diganti dengan hidup dikuasai Roh Kristus, sebab dalam kamus Kristus tidak ada lawan yang tidak dapat dicintai! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar