Jumat, 18 Juli 2014

PERJUMPAAN DI TENGAH PELARIAN

Alkisah ada seorang pengembara yang memulai perjalanan dalam pencariannya untuk mendapatkan kedamaian, kegembiraan dan cinta. Pengembara itu melewati jalan panjang, berliku dan tentu saja  melelahkan. Perlahan tetapi pasti, langkah muda yang penuh semangat, berangsur menjadi pelan dan  berat. Jalan yang dilalui oleh sang pengembara tidaklah penuh dengan kegembiraan. Jalan mirip-mirip seperti yang dilalui Yakub di tengah pelariannya menghindar dari murka sang kakak yang pernah ditipunya.

Sang pengembara ini harus melewati wilayah peperangan, perselisihan, penolakan, perpecahan dan kesakitan. Negeri yang sepertinya makin dipenuhi dengan orang-orang yang terasuki keyakinan. Semakin mereka berperang semakin mereka harus bertahan dan menyerang sesamanya. Kerinduan mereka akan kedamaian menyebabkan mereka mengangkat senjata dan berperang. Kerinduan mereka akan hidup dalam cinta kasih menyebabkan mereka membangun tembok-tembok ketidakpercayaan di sekitar mereka. Kerinduan mereka untuk hidup menyebabkan mereka berjalan lebih jauh ke dalam kematian. Ya, sebuah paradok nyata yang sering didukung oleh dokma-dokma sempal.

Cerita sang pengembara menjadi lain. Suatu pagi yang indah, sang pengembara itu melihat sebuah padepokan yang menarik perhatiannya. Tempat itu berada di pinggir jalan besar. Ada sesuatu dari tempat itu yang memaksanya mengayunkan langkah. Tempat itu seakan memiliki sesuatu yang menghidupkan dari dalamnya. Tempat itu ibarat magnet yang memaksa dirinya mendekat dan masuk ke dalamnya, dan di dalam padepokan itu ia menemukan sebuah toko kecil. Di balik meja counter berdiri seorang pramuniaga, ia tidak bisa menduga berapa umurnya, bahkan sulit juga untuk menentukan apakah ia pria atau wanita. Ada yang aneh ketika ia berada di tempat itu. Rasanya waktu menjadi hampa. Diam tak bergerak!

“Apa yang Anda inginkan?” tanya penjaga toko dengan ramah.
“Persediaan apa yang Anda punya di sini?” Sang pengembara balik bertanya.
“Oh,...kami mempunyai semua yang Anda rindukan dalam hidup ini!” jawabnya. “Katakan saja apa yang menjadi hasrat paling besar di dalam hidup Anda!”

Sang pengembara mengalami kesulitan, ia bingung untuk memulai dari mana, banyak hal yang melintas di dalam benaknya. Meskipun demikian ia mencoba mengutarakannya, “Saya ingin kedamaian, selama ini kata itu sudah menjauh dari kehidupan saya. Saya mengalami konflik dalam keluarga, tanah kelahiran saya berubah menjadi suatu tempat mengerikan dan tidak lagi nyaman untuk ditinggali. Saya ingin kedamaian bukan hanya di kampung saya tetapi di semua tempat yang saya singgahi. Sesudah itu saya ingin membuat sesuatu yang baik dalam hidup saya!”

Selanjutnya Sang Pengembara itu menyampaikan daftar keinginannya:
“Saya ingin, diri saya menjadi seorang penyembuh bagi orang-orang yang sedang sakit dan menjadi sahabat bagi orang-orang yang sedang kesepian.”
“Saya ingin menjadi orang yang dapat menghadirkan makanan bagi orang-orang yang sekarat kelaparan.”
“Saya ingin setiap anak yang terlahir di dunia ini boleh mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan.”
“Saya ingin semua orang hidup dalam kedamaian, saya ingin dunia ini menjadi kerajaan cinta kasih!” Ia berhenti sebentar untuk memeriksa kembali daftar belanjanya itu.

Perlahan sang penjadi toko menyela, “Maafkan saya,” katanya lirih, “saya seharusnya menjelaskan, “kami tidak menyediakan buah yang siap dinikmati di sini, yang kami sediakan hanya bibitnya saja.”

Kita mudah terjebak dengan budaya instan. Mengenal, mengikut dan beribadah kepada Tuhan akan mendapatkan ganjaran kebaikan. Ternyata tidak selalu seperti itu. Ada bagian yang sudah dikerjakan Tuhan. Namun, pada pihak lain ada bagian yang harus kita usahakan untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih baik. Dalam ilustrasi perumpamaan-Nya (Matius 13:24-30, 36-43), Yesus menyebutkan bahwa bagian Allah adalah memberikan/menaburkan benih gandum. Benih makanan, bibit yang baik untuk kehidupan manusia. Benih itu ditaburkan di ladang. Benih itu adalah anak-anak manusia, anak-anak Kerajaan Allah dan ladang itu adalah dunia.  Namun, di dunia ini ada juga yang menaburkan bibit yang jelek, yakni bibit lalang. Keduanya, dibiarkan tumbuh dan berhimpitan, suatu saat, dari buahnyalah kita akan tahu mana gandum dan mana ilalang.

Dunia ini penuh dengan ilalang adalah benar, penuh dengan kekejian dan kejahatan, namun bagi orang percaya bukanlah untuk ditakuti apalagi diratapi. Betapa susah untuk gandum bertumbuh dengan baik dan pada waktunya menghasilkan buah. Betapa orang baik sering kali mengalami kesulitan untuk menyatakan kebaikan dan kebenaran, namun ketika seseorang menyadari bahwa dirinya berasal dari “biji gandum” maka ia akan dengan sekuat tenaga tumbuh, ya tumbuh di tengah ilalang.

Meminjam ilustrasi di atas, kita ibarat sang pengembara itu. Ia mengalami perjumpaan dengan pemilik toko benih. Tidaklah mungkin untuk mendapatkan kedamaian, cinta kasih, menjadikan diri sendiri berkat buat orang lain dengan cara instan. Kita harus mengupayakan, merawat, menjaga agar setiap benih kebajikan itu dapat tumbuh dengan baik. Di sini yang diperlukan adalah keberanian, berani untuk tumbuh bahkan bila diperlukan berani menentang arus. Ingatlah cerita Sang Pengembara yang lain. Kisah Yakub yang mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Yakub mengembara dan melarikan diri oleh karena ia telah membuat kekeliruan besar dalam hidupnya: menjadi penipu. Benar, Allah telah menetapkan dia kelak sebagai ahli waris dari Ishak dan Abraham, namun caranya seperti itu, membawanya dalam masalah besar. Ancaman sang kakak yang merasa ditipu.

Bersyukurlah Yakub karena Allah terus menyertai dirinya. Bahkan Allah mengingatkan kembali jati diri Yakub, jati diri sang benih itu, “Sesungguhnya Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, kemana pun engkau pergi, dan Aku akan membawa engkau kembali ke negeri ini, sebab Aku tidak akan meninggalkan engkau, melainkan tetap melakukan apa yang Kujanjikan kepadamu.”(Kej. 28:15). Sekelumit kisah perjumpaan Yakub di tengah pengembaraannya dengan Allah kemudian mengubahkan dirinya. Selanjutnya, Yakub berani menghadapi kenyataan untuk berjumpa dengan Esau, sang kakak.

Dalam kehidupan ini, bukankah kita semua juga adalah “sang pengembara” Tuhan dengan pelbagai cara terus berusaha untuk menjumpai kita. Ia mengingatkan kita untuk menyadari tentang jati diri kita, jati diri yang baik “benih gandum” untuk tidak kalah menghadapi tantangan jaman, untuk tidak layu sebelum berkembang. Hari Minggu ini, khususnya di jemaat-jemaat lingkup GKI SW Jawa Barat, kita merayakan delapan windu berdirinya lembaga pendidikan PENABUR, tepatnya tanggal 19 Juli enam puluh empat tahun silam. Saya kira penamaan PENABUR pasti berkaitan juga dengan kisah perumpamaan yang diucapkan Yesus dalam Matius 13. Menyadari itu, maka kita terpanggil untuk terus mengingatkan PENABUR untuk menjadi sarana atau alat di tangan TUHAN untuk terus merawat, menjaga, memupuk, mendidik dan mengajar agar “benih-benih” itu terus tumbuh dengan baik. Agar benih-benih itu tidak dikalahkan oleh ilalang. Agar kelak benih-benih itu menjadi buah-buah perdamaian, cinta kasih dan berkat bagi banyak orang. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar