Kamis, 24 April 2014

IMAN YANG BERJUMPA DENGAN KRISTUS YANG BANGKIT

Paskah II,   2014

Ada hal yang teramat sulit dipahami dalam kisah kebangkitan Yesus. Bukan hanya sosok Yesus sebagai manusia yang pernah hidup lalu mati dan bangkit lagi. Namun juga, sikap para murid yang tidak mudah begitu saja menerima berita kebangkitan itu. Sebelum kematian-Nya, Yesus sudah berulang kali menegaskan bahwa diri-Nya harus melewati serangkaian penderitaan dan mati di kayu salib namun pada hari ketiga Ia akan bangkit. Sampai di sini, jika para murid tidak sepenuhnya percaya dapat kita maklumi. Mengapa? Ya, mereka belum melihat bukti dari ucapan Yesus itu. Nah, sekarang setelah beberapa hari dan berulang kali Yesus menampakan diri kepada para murid, toh mereka tetap saja bergeming, alih-alih antusias mereka dilingkupi pesimisme dan ketakutan. Setidaknya hal ini tercermin ketika mereka terus mengurung diri, mengunci dalam sebuah ruangan.

Yohanes 20:19-29 setidaknya mencatat ada dua peristiwa Yesus menyapa para murid-Nya setelah Yesus bangkit dan setelah penampakan-Nya kepada Maria Magdalena. Penampakan pertama terjadi tanpa dihadiri Tomas sedangkan yang kedua kalinya Tomas ada bersama-sama dengan murid yang lain. Kedua peristiwa penampakan ini terjadi dalam suasana yang hampir sama. Para murid berada dalam sebuah ruangan terkunci. Inilah hal yang aneh dan sulit dimengerti. Setelah mengetahui Yesus bangkit seharusnya mereka merespon dengan tindakan positif: bersuka cita dan mengabarkan berita itu tetapi mengapa kenyataannya mereka tetap mengurung diri dengan mengunci pintu. Apakah mereka masih begitu takut dan trauma terhadap penguasa Yahudi? Ataukah mereka masih belum yakin sepenuhnya bahwa Yesus yang mereka lihat itu adalah Yesus yang sama sebelum Ia disalibkan. Semuanya serba mungkin!

Ada paradoks dalam diri manusia berkaitan dengan keyakinan atau kepercayaan. Sebagian orang sangat sulit untuk diyakinkan pada sebuah pokok kebenaran. Namun, banyak juga orang gampang percaya. Lihatlah banyak orang menjadi korban iklan, korban pengobatan alternatif, dan lain-lainnya. Mengapa mereka tertipu? Ya, itu tadi, terlalu gampang percaya!

Kini, kita bicara kelompok manusia yang sulit diyakinkan. Salah satu faktor manusia sulit diyakinkan adalah karena manusia dilengkapi dengan nalar. Nalar atau akal budi membuat manusia berpikir berulang-ulang memakai teori dan pengalaman empirisnya untuk bisa memutuskan percaya. Setidaknya itulah gambaran yang diwakili oleh Tomas. Baginya tidak mudah begitu saja menerima keyakinan dan percaya bahwa Yesus bangkit. Sebelum dia sendiri melihat bukti konkrit wujud fisik Yesus, sekali-kali dia tidak akan pernah percaya. Dalam batas tertentu sikap nalar seperti itu tidak keliru. Bukankah akal budi juga Tuhan yang memberi, supaya manusia dapat berfikir tentang kebenaran? Namun, betapa pun canggihnya daya nalar seseorang, toh harusnya kita menyadari ada batasnya. Nalar adalah alat untuk mencari atau menggapai kebenaran. Nalar adalah “jalan” kita berjumpa dengan Sang Kebenaran, ia bukanlah tujuan kebenaran itu sendiri. Kelirulah kita jika menjadikan “jalan” itu sebagai tujuan, karena jika demikian kita hanya berhenti di jalan itu dan tidak sampai pada Sang Mahabenar itu sendiri.

Jika nalar yang menjadi tujuan pemenuhan kebenaran maka semua yang dinyatakan kebenaran itu harus memuaskan dan tunduk pada nalar. Padahal dalam bernalar kita sering terjebak untuk membuat kesimpulan-kesimpulan awal sebelum proses pergumulan itu terjadi. Akibatnya, kita mencari-cari argumen yang tampaknya masuk akal untuk mendukung kesimpulan awal itu. Contoh, kesimpulan awal bahwa manusia hidup pasti akan mengalami kematian, orang yang mati tidak mungkin hidup lagi, maka untuk mencari dan menguatkan kesimpulan ini semua yang berkait dengan kebangkitan dianggap tahyul, tidak masuk akal dan harus ditolak. Mungkin ada benarnya apa yang pernah disampaikan Anthony de Mello bahwa sering kali manusia itu sudah punya prapaham, asumsi atau kesimpulam lebih dulu sebelum percaya.  de Mello berkisah:

Kata Sang Guru, “Engkau mendengarkan bukan untuk menemukan, melainkan mencari sesuatu yang menguatkan pikiranmu sendiri. Engkau berargumentasi bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk mempertahankan pendapatmu.”

Lalu Sang Guru bercerita tentang seorang raja. Ketika sang raja melewati sebuah kota kecil, ia terkagum-kagum melihat tanda tembakan jitu bertebaran di mana-mana. Di batang-batang pohon, di dinding-dinding gudang, dan di pagar-pagar terlihat banyak gambar lingkaran dengan lubang peluru percis di tengahnya. Sang raja ingin berkenalan dengan jago tembak yang luar biasa itu. Ternyata, seorang anak berusia sepuluh tahun. “Luar biasa”, kata raja itu terheran-heran. “Bagaimana kamu dapat melakukannya?”

“Mudah sekali,” jawab si anak itu. “Saya menembak dulu. Setelah itu baru saya menggambar lingkarannya.”
“Jadi, engkau menarik kesimpulan dulu dan beru kemudian mencari premis-premisnya,” kata Sang Guru.

Untunglah dalam proses bernalar, Tomas berjumpa dengan Yesus yang bangkit itu, Sang Kebenaran itu. Setelah proses itu dilalui maka keyakinan iman Tomas begitu mantap. Tomas yang kini melihat dan mendengar perkataan Yesus tidak jadi mencucukkan jarinya ke tangan dan lambung Yesus sebagaimana yang diinginkannya. Ia justeru mengungkapkan rumusan iman, “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh.20:28). Ungkapan ini menggemakan kembali apa yang dicatat diawal Injil Yohanes (Yoh.1:1,18). Sejarah mencatat, Tomas kemudian mengabarkan berita Injil sampai ke India.

Namun, pada pihak lain ada banyak orang yang begitu mudahnya mengaku percaya tanpa pikir panjang. Akibatnya, ketika mengalami kenyataan hidup yang sesungguhnya, pahit getirnya hidup ini, dengan mudah pula menanggalkan imannya.

Dalam kisah penampakan Yesus ini kita menelusuri proses perjalanan murid-murid Yesus yang tidak mudah begitu saja percaya lalu segera mereka menjadi optimis dan menjadi saksi kebangkitan-Nya. Sama seperti kebanyakan orang, termasuk kita, bukti tampaknya merupakan faktor pendukung utama seseorang untuk percaya. Injil Yohanes banyak menyajikan itu. Tanda-tanda (mujizat) yang menyertai pelayanan Yesus begitu banyak, mulai dari air menjadi anggur, memberi makan banyak orang dengan dua ekor ikan dan lima ketul roti, penyembuhan orang sakit, pengusiran setan, bahkan membangkitkan orang mati. Banyak orang menjadi percaya kepada Yesus karena melihat tanda-tanda yang dibuat Yesus. Kepercayaan seperti itu tidaklah memadai. Kita tidak boleh berhenti pada kepercayaan karena tanda atau mujizat yang dibuat Yesus. Kita harus maju lebih jauh lagi yakni menjadi percaya kepada firman dan pribadi Yesus sendiri. Karena itulah Yesus menyatakan berbahagia mereka yang tidak melihat, namun percaya. Ungkapan berbahagia ini kemudian memasukkan juga orang-orang yang sampai beriman kepada Yesus meskipun tidak melihat peristiwa-peristiwa mujizat yang dilakukan Yesus.  

Pemulihan yang berulang kali Yesus lakukan dengan menampakkan diri pada murid-murid ternyata membuahkan hasil yang luar biasa. Kuasa Roh Kudus yang dihembuskan Yesus begitu dasyat berpengaruh pada diri murid-murid Yesus. Hembusan Roh Kudus itu bagaikan nafas kehidupan yang dulu Allah berikan kepada Adam, sehingga Adam menjadi manusia yang hidup atau seperti hembusan Roh atas tulang-tulang kering rakyat Israel yang telah mati dan kini bangkit kembali (Yeh. 37:9). Murid-murid yang tadinya mengurung diri dicengkram ketakutan dan pesimisme kini mereka bangkit, Yerusalem yang begitu mengerikan dan harus dihindari kini mereka hadapi. Bahkan di pusat kekuasaan pembesar Yahudi yang dahulu menyiksa, menista dan membantai Sang Guru, kini mereka tampil dengan penuh keyakinan. Petrus berkhotbah memberitakan kesaksian tentang Yesus (Kis.2:14-40). Itulah dampak yang terjadi ketika para murid berjumpa dengan Kristus yang bangkit. Kebangkitan itu bukan teori tetapi pengalaman eksistensial sehingga benar-benar mengubah kehidupan iman para murid.

Mestinya, kita yang mendengar berita kebangkitan dan menjadi percaya mengalami pengalaman yang serupa juga dengan para murid. Percuma kita percaya kepada Yesus yang bangkit kalau sampai saat ini kita masih “mengunci diri”, melarikan diri dari masalah dan pergumulan. Tidak ada gunanya mempertahankan doktrin Yesus yang bangkit kalau saja dalam kehidupan ini kita lebih memilih jalan pintas untuk menyelesaikan masalah. Sia-sia mengimani Yesus yang bangkit jika kita masih dikuasai oleh pesimisme. Tunjukkanlah, saksikanlah pada dunia bahwa Yesusmu itu hidup di dalam dirimu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar