Kamis, 18 Juli 2013

MENGIMANI SABDA ALLAH


Mengimani sabda Allah merupakan hal yang mutlak: mau tidak mau harus dilakukan dalam hidup seseorang yang menyatakan dirinya beriman! Sine qua non. Tiga suku kata Latin yang biasa diartikan “tidak boleh tidak, harus”. Not negotiable. A.S. Hornby memaparkan sin qua non sebagai “condition or qualification that cannot be done without; essential condition” (kondisi atau kualifikasi yang tidak boleh tidak harus ada karena esensial. Sin qua non mengacu pada keniscayaan yang harus dimiliki sesuatu untuk menjadi apa adanya. Ada dua kriteria yang saling melengkapi dalam sin qua non, yakni keharusan dan hakekat menjadi apa adanya. Sebuah lingkaran – ia disebut lingkaran – harus membentang 360º. Siku-siku harus memiliki sudut 90º. Kubus harus memiliki enam bidang sama sisi. Relativitas Einstein harus E=MC². Dalil aljabar 1+1 harus =2, dan bilangan nol dikalikan berapa pun hasilnya nol. Uang satu juta kurang satu rupiah hanyalah Rp. 999.999,00. Utara harus satu sumbu dengan selatan, dan bukan Timur jika tidak lateral dengan Barat.

Minggu lalu, ketika kita membaca Injil tentang Orang Samaria yang Murah Hati (Lukas 10:25-37). Diceritakan ada seorang ahli Taurat yang mau mencobai Yesus dengan pertanyaan; Apakah yang harus ia diperbuat untuk memperoleh kehidupan yang kekal? Yesus tidak menjawab langsung. Namun, Ia meminta si ahli Taurat itu menjawabnya sendiri menurut isi hukum Taurat. Orang itu menjawab, “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu...dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Lukas 10:27). Kata Yesus kepadanya, “Jawabanmu itu benar, perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” (Lukas 10:29).

“Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup!” Sin qua non! Inilah keharusan yang tidak mau tidak harus dilakukan jika seseorang menginginkan hidup yang kekal! Keharusan yang harus diterima tanpa syarat, dipatuhi tanpa alasan, dan dijalani tanpa pembelaan. Inilah hakikat orang percaya bahwa dirinya dapat memperoleh hidup yang kekal hanya dengan menjalankan hukum Tuhan. Namun, harus di sini sebenarnya tidak mutlak tanpa pilihan, sebab harus tidak selalu hasil manifestasi dari sebuah pengekangan, pemaksaan atau pun penindasan. Adakalanya harus merupakan konsekuensi dari sebuah pilihan – termasuk memilih untuk tidak memilih. Jadi, harus juga mesti dilihat sebagai ekspresi suatu pilihan. Di sinilah kita mesti membedakan antara  harus  sebagai paksaan dan harus oleh karena kesadaran. Artinya, melakukan perintah Allah sangat mungkin adalah sin qua non yang tidak nikmat, tetapi bagi orang yang mengasihi Allah, mempersembahkan hidup untuk-Nya, justeru mendatangkan nikmat sejati, karena lahir dari kesadaran, bukan dari tekanan, belenggu atau pun kekangan. Paulus harus mengutamakan Kristus (Kolose 1:15-23) dalam hidupnya, bukan karena ia ditekan dan ditindas oleh Yesus. Ia melakukan itu dengan sukacita oleh karena dirinya telah diperdamaikan dengan Allah!
  
Tidak seperti Paulus, Marta merasa diri “tertekan” dalam  menyiapkan jamuan untuk Yesus dan murid-murid-Nya. Ketika Marta protes kepada Yesus lantaran ia merasa sibuk sendiri menyiapkan perbagai keperluan dan hidangan untuk Yesus dan murid-murid-Nya, sementara Maria, saudaranya hanya duduk mendengarkan wejangan Yesus, Yesus menjawabnya, “Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.” (Lukas 10:41-42) Maria telah menemukan sin qua non  Kerajaan Allah! Ia memilih duduk di kaki Yesus dengan kesadaran yang penuh sukacita bahwa hanya dengan mendengar tutur-ajar-Nya Ia dapat mengerti tentang Kerajaan Allah.

Apa alasan Yesus sehingga Ia lebih berkenan kepada Maria ketimbang Marta dalam kasus ini? Apakah ada yang salah dengan Marta? Bukankah Marta juga melayani dan berusaha memenuhi kebutuhan Yesus dan para murid-Nya? Persoalannya adalah waktu dan cara sibuk Marta dengan “banyak perkara” itu menyebabkan bahwa ia melalaikan satu-satunya hal yang perlu! Segala pikiran dan perhatian Marta telah tenggelam dalam kesibukannya mengurusi makanan dan minuman. Konsentrasi seperti inilah yang menyita seluruh perhatian Marta: Begitulah cara Marta melayani Tuhan! Dan, sangkanya bahwa ia –dan hanya dia- melayani Yesus dengan cara yang tepat. Marta tidak menyadari bahwa ada waktu untuk “bekerja” bagi Yesus, tetapi juga ada waktu duduk tenang dan mendengarkan-Nya. Marta mengira bahwa ia tidak punya waktu sekarang untuk itu, sebab terlalu banyak yang harus dikerjakan, ia harus mengurus segala sesuatu, harus berada di depan dan di belakang sekaligus. Begitulah maunya Marta melayani Yesus, juga pada saat Yesus mau melayani dia. Itulah yang tidak salah ditangkap Maria; ia menghormati Yesus dengan mendengarkan-Nya ketika Yesus mau melayani Maria dengan jalan berbicara tentang hal-hal Kerajaan Sorga!

Banyak orang sering seperti Marta. Menganggap dirinya yang paling tepat, benar dan paling berlelah dalam “melayani” Tuhan. Orang seperti ini mudah sekali menghakimi orang lain dan menganggapnya tidak melakukan apa-apa! Bukankah kita juga seringkali seperti Marta? Memilih firman Tuhan menurut keinginan dan minat pribadi. Sementara itu, kita mengabaikan apa yang dianggap tidak mendukung keinginan kita. Pertimbangan akal budi dan emosi juga turut andil mempengaruhi kita untuk mendengar dan mengimani sabda Tuhan. Betapa pentingnya sikap seperti Maria, mendengar dan menyimak apa yang disabdakan Yesus. Sebab hanya dengan menyimak dengan baik seseorang dapat menjadi pelaku firman. Mengimani sabda Tuhan berarti tidak hanya sekedar mendengar, melainkan menjadikan firman itu sebagai “jalan hidup”! Sebab jika tidak demikian kita hanya menipu diri dan munafik!

Alkisah ada seorang pertapa. Ia ingin mecari pencerahan diri melalui jalan bertapa di sebuah gua dalam hutan lebat yang jarang sekali dilewati orang. Begitu suci dan salehnya ia hidup. Sehingga, dalam anggapannya, hanya dialah manusia yang paling saleh, suci dan paling mencintai Tuhannya di bumi ini. Suatu ketika Tuhan datang dalam gemuruh angin topan dan berkata kepadanya, “Hai, manusia saleh, sekarang pergilah ke sebuah desa di kaki gunung dengan mengikuti sungai yang mengalir ini. Di sana engkau akan menemui seorang petani yang sedang membajak sawahnya. Menurut-Ku, dialah orang yang berbakti kepada-Ku. Tugasmu, belajarlah dari dia!”

Lalu pergilah si pertapa ini ke tempat yang ditunjukkan Tuhan kepadanya. sikat cerita, ia bertemu dengan petani yang dimaksud. Pertapa itu memperhatikan ulah kerja si petani: Sebelum membajak, petani itu menundukkan kepala, saat beristirahat makan siang, petani ini menundukkan kepala lagi. Pertapa itu terus mengamati si petani itu sampai larut malam. Pada malam hari, petani itu kembali menundukkan kepala. Si pertapa itu berpikir dan menyimpulkan, “Apanya yang disebut berbakti kepada Tuhan. La, petani itu hanya melakukan tiga kali doa, itu pun sangat singkat, mengapa pula aku harus belajar kepadanya!” Tuhan mengetahui isi hati si pertapa itu. lalu Ia berkata kepadanya, “Sekarang ada satu tugas lagi untukmu. Pergillah mengelilingi desa si petani itu dengan membawa gelas berisi air penuh. Jangan engkau menumpahkan barang setetes pun!” Pertapa ini segera melakukannya.

Bertanyalah Tuhan, “Berapa kali dalam perjalananmu mengelilingi desa itu, engkau mengingat Aku?”
“Tidak sekalipun, ya Tuhan. Bagaimana mungkin aku mengingat Engkau, sementara Engkau menyuruh aku agar tidak menumpahkan air dalam gelas ini? Tuhan menegurnya, “Gelas ini menguasai pikiranmu, sehingga tidak sedetik pun engkau mengingat Aku. Tetapi lihatlah petani itu. Di saat ia sibuk mencari nafkah, mengolah sawahnya , untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya, Ia masih mengingat aku!”

Mengingat dan mengandalkan sabda Tuhan dalam kehidupan tidak berarti mengabaikan pekerjaan lantas berlaku seperti si pertapa tadi. Abraham, barangkali dapat menjadi contoh. Kejadian 18 :1-10 mengisahkan Tuhan menampakkan diri kepada Abraham dekat pohon terbantin di Mamre. Saat Tuhan menampakkan diri dalam bentuk tiga orang “asing” yang bertamu kepada Abraham, ia tidak sedang mempersembahkan korban dalam ritus ibadah. Abraham sedang duduk di pintu kemahnya karena waktu itu hari panas terik. Sepertinya, Allah ingin menunjukkan bahwa Ia bisa menunjukkan diri-Nya bukan saja dalam ritual ibadah. Namun hal itu bisa terjadi dalam pertemuan antara-manusia sehari-hari, termasuk dalam penerimaan tamu asing.

Abraham sibuk melayani tamunya, yang ternyata adalah Allah sendiri. Namun, sementara ia sibuk melayani dengan pelbagai macam jamuan, ia juga tidak kehilangan kesempatan untuk mendengar dengan cermat sabda Tuhan. jadi persoalannya di sini bukanlah sibuk atau tidak, tetapi apakah kita punya cukup ruang di hati ini bagi kehadiran Dia? Dan ruang yang seperti apa yang kita mau berikan kepada-Nya? Apakah ruang sisa? Ataukah ruang utama. Mengimani sabda Allah berarti ada kesediaan dalam hati ini untuk memberi ruang yang paling utama dalam hidup kita untuk sabda-Nya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar